DAN AKIBAT HUKUMNYA
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2238 K/PDT/2020) Arkianti Anindita Putri1, Chesario Own Kristoffel1, Dewi Ratnadewanti1,
Kamila Khaerunisa1, Nadia Rastika Alam1, Farahdinny Siswajanthy1
1Fakultas Hukum Universitas Pakuan Email :*[email protected],
[email protected], [email protected], [email protected], [email protected],
Abstrak
Manusia sebagai makhluk sosial, selalu menimbulkan hubungan hukum. Dikarenakan masih banyaknya kesenjangan ekonomi, menimbulkan maraknya perjanjian hutang piutang. Tidak sedikit dalam prosesnya terjadi wanprestasi yang merugikan pihak kreditur. Maka, jaminan pun sangat penting dalam perjanjian hutang piutang ini. Seperti kasus dengan no perkara 2238 K/PDT/2020, Suryanto meminjamkan uang kepada Sukardi. Diberikan Jaminan cek, yang ternyata cek kosong, dan mengakibatkan perjanjian ini wanprestasi. Dalam tulisan ini akan dibahas penyelesaian perkara wanprestasi ditempuh melalui jalur litigasi. Pada karya ilmiah ini dipergunakan penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus, yang mana hasil akhir dari penelitian ini akan ditonjolkan proses dan tahapannya. Metode yang kami terapkan juga tentunya mengkaji setiap dokumen dokumen dan buku yang sesuai dan tentunya bersinggungan atau berkaitan mengenai perkara yang akan di teliti. Selain itu, metode yang di gunakan juga memakai metode atau konsep empiris, artinya tahapannya menggunakan proses focus group discussion (FGD).
Kata Kunci : Makhluk Sosial, Perjanjian Hutang Piutang, Wanprestasi, Jaminan.
Abstract
Humans as social beings, always give increase to legal relations. Because there is still various economic disparities, this has led to the growth of loan agreements. Not least in the process there was a default that harmed the creditor. So, guarantees are also very important in this debt agreement. Like the case with case number 2238 K/PDT/2020, Suryanto lent money to Sukardi. Given a check guarantee, which turned out to be an unqualified check, and resulted in this agreement being in default. In this paper, the settlement of default cases will be discussed through litigation. This research is a descriptive qualitative research method with a custody approach in which the final result of the circuit will highlight the process and stage. The method that we apply also, of course, examines every document and book that is relevant and of course related or related to the problem to be examined. In addition, the method used also uses empirical methods or concepts, meaning that the stages use the focus group discussion (FGD) process.
Keywords: Social Creatures, Loan Agreements, Defaults, Guarantees.
A. LATAR BELAKANG
Manusia telah memiliki kodrat sebagai mahluk sosial sejak dilahirkan. Sesuai dengan pendapat ahli filsuf terkemuka asal Yunani yaitu Aristatoles yang mengemukakan bahwa manusia adalah zoon poloticion. Secara harfiah zoon politicon memiliki arti yaitu, manusia merupakan makhluk yang dasarnya selalu berkeinginan bergaul dan berbaur dengan sesama manusia lainnya (hidup bermasyarakat). Dalam artian lain dapat dijelaskan bahwa manusia ialah makhluk sosial, yaitu mahkluk yang tidak dapat hidup secara individual dan selalu berkeinginan untuk berinteraksi dengan manusia lainnya (bermasyarakat) serta saling membutuhkan satu sama lain.
Ketika bermasyarakat manusia yang satu akan selalu melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Dari interaksi manusia yang terjalin di lingkungan masyarakat ini dapat melahirkan pula suatu perbuatan hukum. Pada dasarnya masyarakat tidak dapat menghindar dari hukum, sebab hukum itu memerlukan khalayak dan khalayak memerlukan hukum. Dalam istilah juga dikenal adanya "Ubi Societas Ibi lus" yang dengan kata lain dijelaskan bahwa apabila di suatu tempat yang tentunya terdapat masyarkat maka disitu pula akan terdapat hukumnya.
Perbuatan hukum yang dapat timbul dari kegiatan interaksi yang sering dilakukan oleh manusia di masyarakat salah satunya yaitu terkait adanya suatu kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh atau di antara minimal kedua belah pihak baik antara subjek hukum satu dengan subjek hukum lainnya, kelompok dan kelompok, orang atau subjek hukum dan kelompok ataupun lain sebagainya, sehingga menimbulkan akibat hukum di antara kedua belah pihak. Perjanjian tersebut dapat mewujudkan perikatan dari kedua belah pihak yang melakukannya. (Ike Perwitasari, 2014:2).
Dalam pelaksanaan kontrak atau perjanjian tersebut tidak semua kasusnya bisa diwujudkan atau dilakukan secara teratur dan tepat dengan yang diperjanjikan dan telah dituangkan dalam kontrak tersebut. Sering pula ditemukan kasus adanya pebuatan- perbuatan yang tidak tepat dengan apa yang terdapat di kontrak atau pelanggaran pada perjanjian tersebut atau sering dikenal dengan wanprestasi.
Berkembangannya zaman yang sudah semakin maju menjadikan perekonomian semakin berkembang pula. Perekonomian ini tentunya sangat berpengaruh bagi khalayak masyarakat dan negara, dimana perekonomian ini memiliki dampak, dampak ini bisa dialami dan dinikmati oleh berbagai pihak, pihak tersebut bisa khalayak atau masyrakat ataupun negara tersendiri. Pengaruh terhadap berkembangnya ekonomi tentunya memiliki peran penting untuk mensejahterakan masyarakat, dimana berarti perekonomian ialah sektor utama atau memegang kendali terhadap kondisi masyarakat ataupun negara. Ekonomi ini dibangun atau diselenggarakan sebagaimana ditinjau dari prinsip kebersamaan yang ada pada demokrasi ekonomi, selain itu dengan efisiensi keseimbangan, berkesinambungan, berpengetahuan alam, kedaulatan dan untuk melindungi kesetimbangan pertumbuhan serta kepaduan ekonomi nasional.
Negara Indonesia sendiri masuk kedalam negara berkembang. Negara berkembang, di dalamnya terdapat beberapa Negara-negara Asia Tenggara, yang artinya tingkat perekonomian dan perkembangannya belum begitu tinggi dan baik seperti negara maju lainnya. Ahli menyatakan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang masuk ke dalam kategori ketinggalan zaman dalam persaingan ekonominya atau tertinggal dari negara negara ASEAN lainnya. Sebelum tahun 1997 keadaan ekonomi atau perekonomian di Indonesia sendiri dapat dikatakan stabil, bahkan mendapatkan banyak pujian dari beberapa pihak atau beragam prestasi yang di dapatkannya. Prestasi tersebut dapat dikatakan dengan perindustrian yang semakin merata atau meluas di keseluruhan wilayah indonesia, daripada itu bidang pertanian juga semakin tumbuh dengan cepat, lapangan pekerjaan yang semakin banyak dan hubungan internasional yang sudah terjalin juga menguntungkan perekonomian di Indonesia.
Namun, awal tahun 1997 menjadi mimpi buruk bagi tiap pelaku usaha maupun masyarakat, hal ini disebabkannya terjadi krisis ekonomi, dimana masyarakat mengalami kesusahan untuk bangkit agar perekonomian semakin membaik.
Perekonomian Indonesia sendiri hingga saat ini belum dapat dikatakan pulih sepenuhnya, karena dari apa yang terjadi pada tahun 1997 tersebut menimbulkan berbagai dampak yang sangat relevan dan komplek untuk masyarakat, didalamnya terdapat angka tunakarya yang cukup banyak, tingkat kemiskinan yang terus bertambah, daya produksi serta keunggulan tenaga kerja yang lemah, serta masih banyak lagi. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai masalah sosial. Berarti masalah ini menghambat, membahayakan, merugikan kehidupan masyarakat atau kelompok sosial nantinya.
Masuknya Negara Indonesia sebagai salah satu negara berkembang ini menyebabkan masih banyaknya kesenjangan yang terjadi. Terdapatnya kesenjangan ekonomi sedangkan kebutuhan yang terus menaik harganya, menjadikan masyarakat Indonesia masih banyak melakukan perjanjian hutang-piutang, yang mana sebagai negara hukum sudah pastinya terdapat aturan yang mengatur mengenai hubungan hukum tersebut.
Negara Indonesia sendiri merupakan Negara Hukum seperti yang dijelaskan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang memiliki makna “Negara Indonesia berupa Negara Hukum”. Dijelaskan pada UUD 1945 yaitu “Negara Indonesia didasari oleh hukum (rechtstaat) bukan didasari kedaulatan belaka (machstaat), sebabnya negara tidak dapat mewujudkan kegiatan berdasarkan kedaulatan belaka, akan tetapi didasari oleh hukum”. Dengan begitu diartikan bahwa kehidupan manusia, masyarakat atau subjek hukum tidak akan berjauhan atau selalu beriringan dengan aktivitas ekonomi, dimana aktivitas ekonomi ini berupa suatu aktivitas, dimana aktivitas tersebut berhubungan antara badan atau individu (korporasi) dalam jumlah lebih dari satu. Dimana didalamnya akan selalu melengkapi dan membutuhkan untuk setiap tahapan tahapan yang terjadi selama kegiatan ekonomi.
Perjanjian atau kontrak pada masa kini menjadi acuan atau jaminan untuk akibat yang logis sebab bertumbuhnya aliansi antara subjek hukum satu dan subjek hukum
lainnya atau kerja sama bisnis dan pelaku bisnis. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata dimaknai yaitu “Suatu perjanjian merupakan aksi antara satu orang atau lebih yang mengaitkan manusia antara satu orang, dua orang atau bahkan lebih. Di masa kini tentunya banyak terjadi perjanjian atau kontrak antara pihak satu dan pihak lainnya.
Perjanjian atau kontrak ini juga tidak hanya berbentuk tulisan melainkan dapat secara lisan juga, akan tetapi kontrak atau perjanjian yang dibuat secara lisan tentunya tidaklah aman, artinya sangat beresiko. Contohnya, jika suatu waktu terjadi penyalahgunaan antara kontrak tersebut maka pihak yang dirugikan akan mengalami kesulitan untuk membuktikannya jika terjadi sengketa hukum.
Umumnya suatu perjanjian atau kontrak ini dimulai dari suatu kepentingan antara pihak satu dan pihak lainnya, dimana artinya sebelum menandatangani kontrak pihak tersebut pastinya telah melakukan kesepakatan terlebih dahulu. Kemudian, setiap pihak atau orang yang melakukan perjanjian kontrak ini disebut sebagai pihak yang memiliki hubungan hukum yang mana berarti dapat mengakibatkan terdapatnya suatu hak dan kewajiban untuk para pihaknya yang telah menyepakatinya dan harus menjalankannya, untuk itu sebelum dilakukan perjanjian diadakannya kesepakatan dengan negosiasi, karena dengan negosiasi tentunya dapat tawar menawar mana yang lebih sesuai dan tidak ada yang merugikan salah satu pihaknya.
Hutang-piutang sendiri merupakan praktik pinjam meminjam yang biasanya berbentuk uang untuk objek hutangnya yang di laksanakan atas seseorang bersama orang lainnya yang dituangkan pada sebuah perjanjian, dimana tidak sedikit dalam hutang piutang ini menggunakan jaminan dalam perjanjian hutang piutang tersebut.
Jaminan tersebut dapat berupa kebendaan maupun jaminan perorangan. Perjanjian juga diatur pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 1313. Dalam hukum perdata perianjian sudah disusun tentang hak dan kewajiban pihak- pihak yang menjalankan perjanjian tersebut. Pihak yang memberikan pinjaman disebut kreditur sedangkan pihak yang menerima pinjaman disebut debitur. Kreditur memiliki hak atas pemenuhan prestasi sedangkan debitur mempunyai kewajiban menjalankan prestasinya.
Pada realitanya, hubungan hukum antara kreditur dan debitur tidak selamanya setara, terlebih lagi mengenai perjanjian seringkali bermasalah sehingga menimbulkan ingkar janji atau wanprestasi, yang mana biasanya lebih merugikan pihak kreditur.
Ketidak setaraan antara pihak kreditur dengan debitur ini mengakibatkan kerugian pihak didalamnya, terlebih pihak kreditur. Maka, untuk mengatasi hal tersebut, tidak sedikit dalam perjanjian hutang piutang ini di lengkapi dengan jaminan, yang berfungsi sebagai alat jamin untuk pihak kreditur, apabila pihak debitur tidak bisa melaksanakan pelunasan perjanjian hutang piutang tersebut.
Wanprestasi merupakan peristiwa lalai yang mana seseorang tidak memenuhi kewajibannya atau menjalankan prestasinya tidak tepat dengan yang telah diperjanjikan, sehingga menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Dalam kasus pelanggaran perjanjian hutang piutang ini terdapat dua cara penyelesaiannya, dengan jalur non
litigasi (diluar pengadilan) atau jalur litigasi (pengadilan).
Penelitian dengan judul “PENYELESAIAN HUTANG PIUTANG DITINJAU DARI PUTUSAN HAKIM DAN AKIBAT HUKUMNYA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2238 K/PDT/2020)” menganalisis putusan hakim atas gugatan perkara tersebut mengenai perjanjian hutang piutang.
B. PEMBAHASAN
1. Penyelesaian Hutang Piutang
(Supramono, 2013) Hutang Piutang merupakan perjanjian yang masuk kedalam perbuatan hukum sehingga menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihaknya.
Tiap dikembalikannya uang yang berupa hutang dari debitur, debitur dapat mengembalikan hutang nya dengan cara menyicil atau mengangsur setiap bulan. Dalam prosesnya, perjanjian hutang piutang ini tidak selalu benar dan sesuai dengan yang tertuang dalam akta perjanjian tersebut dan dapat menimbulkan adanya kerugian pada salah satu pihak, terlebih pada pihak kreditur. Begitu banyak kejadian yang terjadi di bidang pinjam meminjam uang atau hutang piutang, pengembalian hutang yang wajib dibayar oleh debitur kerap kali tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh kreditur (Putri Anggun Puspasari, Ni Luh Made Mahendrawati, Desak Gde Dwi Arini, 2021;182).
Ketidak sesuaian dalam proses pelaksanaan perjanjian hutang piutang ini disebut dengan wanprestasi, adapun beberapa bentuk wanprestasi ini ialah:
1. Tidak melaksanakan sesuatu yang dijanjikan.
2. Terlambat memenuhi janji.
3. Melakukan janji tetapi tidak sesuai kesepakatan.
4. Melakukan hal yang dilarang dalam perjanjian.
Dalam hal terjadinya wanprestasi yang menyebabkan kerugian pada pihak kreditur, tentu terdapat penyelesaiannya. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur (Salim HS, 2008;180). Penyelesaian wanprestasi mengenai perjanjian hutang piutang dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui jalur non-litigasi (diluar pengadilan) dan juga litigasi (pengadilan). Dalam prosesnya, kedua jalur penyelesaian ini memiliki prosedurnya masing-masing. Seperti pada jalur non-litigasi, atau penyelesaian dilakukan diluar pengadilan, yaitu penyelesaian hanya diselesaikan oleh para pihak nya tanpa adanya keikut sertaan lembaga pengadilan.
Beberapa contoh non-litigasi ini ialah penyelesaian dengan damai antara kedua belah pihak, atau pun negosiasi. Lain hal nya dengan proses penyelesaian menggunakan jalur litigasi, penyelesaian ini mengikutsertakan lembaga pengadilan, dalam prosesnya pun terdapat proses mediasi yang akan ditemani oleh mediator yang telah dipilih oleh pengadilan, apabila tidak terjadi kesepakatan damai di tahap ini, maka proses pengadilan
di muka hakim pun berlanjut dan akan ditetapkannya hukuman bagi Tergugat. Hukuman adalah merupakan risiko yang ditanggung oleh siapa saja yang melakukan kesalahan.
Hukuman tidak selamanya berbentuk penjara' yang mengekang seseorang atau sekelompok orang, hukum-an juga tidak selamanya pengekangan fisik agar orang teasing dari komunitas sosial. (Dr. Harifin A. Tumpa, S.H., M.H., 2010).
Selain daripada litigasi dan non litigasi, terdapat alternatif lain yang dapat dipakai dalam penyelesaian sengketa perdata di pengadilan diantaranya seperti:
Arbitrase.
Negosiasi.
Mediasi.
Konsiliasi.
Terdapat pula faktor faktor yang mendorong penyelesaian sengketa di luar pengadilan, diantaranya
Tuntutan dunia bisnis.
Kritik yang ditujukan kepada lembaga peradilan.
Berdasarkan kasus perkara antara Sukardi (Tergugat) dengan Suryanto (Penggugat) diketahui melakukan penyelesaiang sengketa perkara melalui jalur litigasi.
Suryanto (Penggugat) mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Bantul terhadap Tergugat, yakni Sukardi.
2. Kronologi Kasus Hutang Piutang Antara Sukardi (Tergugat) dengan Suryanto (Penggugat)
A. Kronologis & Putusan Pertama Antara Penggugat (Suryanto) dan Tergugat (Sukardi) dengan Nomor Perkara No. 94/Pdt.G/2018/PN Btl
1. Bahwa Sukardi (Tergugat) berhutang sebesar 2,5M kepada Suryanto (Penggugat) di tahun 2016 untuk keperluan modal usaha.
2. Bahwa Sukardi (Tergugat) telah berjanji akan membayar hutang tersebut dengan bunga 2,5% setiap bulannya.
3. Bahwa pada awal 2017 hutang 2,5M tersebut telah lunas beserta bunganya dan setelah itu Tergugat mengajukan pinjaman lagi pada bulan mei dengan ketentuan bunga 2,5% setiap bulannya. perjanjian tersebut dilakukan dengan atas dasar kepercayaan masing masing atau dilakukan secara lisan.
4. Bahwa Penggugat kemudian memberikan 1,3M uang untuk dipinjamkan kepada Tergugat sesuai ketentuan ketentuan yang diperjanjikan oleh Tergugat.
5. Bahwa Tergugat memberikan jaminan 9 buah (1. 078.000.000) cek dengan ketentuan apabila sudah waktunya cek tersebut cair, Penggugat bisa menghubungi Tergugat terlebih dahulu.
6. Bahwa setelah sudah waktunya pencairan cek, Tergugat menyatakan bahwa cek tersebut kosong.
7. Bahwa setelah Tergugat mengakui hutang tersebut kosong akhirnya Tergugat melunasi hutang tersebut, akan tetapi hanya pokok hutangnya saja tidak dengan bunganya.
8. Bahwa setelah kurang lebih 1 tahun Tergugat belum juga melunasi hutang kepada Penggugat.
9. Bahwa setelahnya Tergugat membuat surat pernyataan pengakuan hutang sebesar pokok hutang dengan nominal 1.220.000.000 dengan dituangkan hutang akan di kembalikan akhir juni 2018.
10. Bahwa pada awal september Tergugat memberikan solusi pelunasan hutang dengan syarat Penggugat memberikan uang lagi kepada Tergugat untuk proses biaya balik nama rumah dari Tergugat.
11. Bahwa Penggugat memberikan biaya pajak dan balik nama dengan total 34.500.000.
12. Kemudian surat hak milik (SHM) atas nama Sukardi keluar, Tergugat tidak juga menyerahkan SHM asli tersebut kepada Penggugat, dan malah sulit dihubungi.
13. Bahwa hal tersebut menjadikan total hutang Tergugat terhadap Penggugat ialah 1.815.250.000 dengan rincian sisa hutang pokok, keuntungan 2,5% dan hutang biaya balik nama.
14. Bahwa Penggugat telah melakukan somasi atau teguran sebanyak dua kali namun tidak pernah ditanggapi.
Yang diminta Penggugat dalam gugatannya:
1. Menyatakan sah sita jaminan berupa bangunan dengan SHM atas nama Sukardi dan menyerahkannya kepada Penggugat serta membayar hutang pokok dan bunga kepada Penggugat.
2. Membayar uang paksa dengan nominal 1 juta setiap hari atas keterlambatan melaksanakan putusan ini.
Putusannya gugatan dari Penggugat diterima oleh hakim sehingga Tergugat wajib melunasi hutang terhadap Penggugat bahwa Sukardi (Tergugat) berhutang sebesar 2,5M kepada Suryanto (Penggugat) di tahun 2016 untuk keperluan modal usaha.
B. Putusan Kedua (Banding) Antara Penggugat (Sukardi) dan Tergugat (Suryanto) dengan No Perkara No. 106/PDT/2019/PTYYK.
1. Setelah putusan pertama dijatuhkan oleh hakim, ternyata Sukardi tidak puas dengan putusan tersebut sehingga mengajukan banding sehingga posisi antara Penggugat dan Tergugat menjadi terbalik. Semula Tergugat menjadi Pembanding, dan semula Penggugat menjadi Terbanding.
2. Kemudian setelah dilakukan pengecekan berkas perkara secara ulang, maka berkas yang bersangkutan terdiri dari Berita Acara Persidangan, surat surat bukti dan salinan resmi dari putusan pengadilan negeri bantul nomor 94/Pdt.
G/2018/PN. Btl. Tanggal 13Agustus 2019, majelis hakim pengadilan tinggi berpendapat bahwa pertimbangan hukum putusan hakim tingkat pertama telah tepat dan benar. Pada tingkat banding ini menghasilkan menguatkan putusan pengadila negeri bantul tanggal 13 Agustus 2019 nomor 94/Pdt. G/2018/PN.
Btl.
3. Menghukum pembanding atau Penggugat untuk membayar keseluruhan biaya perkara.
C. Putusan Ketiga (Kasasi) Antara Penggugat (Sukardi) dan Tergugat (Suryanto) dengan Nomor Perkara 2283 K/Pdt/2020
1. Setelah putusan banding dijatuhkan oleh hakim pengadilan tinggi, ternyata Sukardi tidak puas dengan putusan tersebut sehingga mengajukan kasasi ke MA dan posisi antara Penggugat serta Tergugat menjadi terbalik. Semula Tergugat menjadi pemohon kasasi, dan semula Penggugat menjadi termohon kasasi
2. Bahwa permohonan kasasi tidak dapat dibenarkan karena setelah diadakan pengecekan ulang terhadap berkas dan meneliti semuanya dan hukum acara pun sudah dilaksanakn dengan benar dalam memutus perkara ini, baik putusan pengadilan negeri bantul hingga putusan pengadilan tinggi juga tidak bertentangan dengan hukum atau undang undang yang berlaku.
3. Bahwa selain itu, alasan alasan kasasi terhadap pemohon kasasi tidak bisa dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi karena pemeriksaan dalam tingkat hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, dan aturan lainnya.
4. Bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ditolak dan Pemohon Kasasi ada di pihak yang kalah, maka Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;
5. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Sukardi tersebut.
3. Analisis Kasus Perkara Hutang Piutang Antara Sukardi (Tergugat) dengan Suryanto (Penggugat)
Hal yang harus diperhatikan dalam kasus perkara ini:
a. Perjanjian dilakukan secara lisan
Dalam hal ini penulis mempelajari kronologis perkara tersebut dan kemudian penulis menyimpulkan bahwa kasus perkara ini sangat beresiko, yang mana dapat menimbulkan Penggugat tidak memiliki bukti lain yang cukup kuat maka Penggugat akan berada di posisi yang kurang menguntungkan.
Hal ini dikarenakan antara Penggugat dan Tergugat melakukan perjanjian hutang piutang dengan ketentuan perjanjian dilakukan secara lisan dan hanya berdasarkan rasa saling percaya, yang dalam hal tersebut cukup beresiko, karena perjanjian secara lisan dapat dibatalkan suatu waktu atau dilanggar dengan dalih tidak memiliki perjanjian dan tidak memiliki bukti apapun sebelumnya, hal ini disebabkan karena tidak adanya bukti tertulis.
Walaupun memang benar, tiap perjanjian yang dilakukan akan mengikat kedua pihaknya seperti yang telah tertuang dalam Pasal 1338 KUHPerdata
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya.” Namun, penulis menyarankan agar pihak yang akan melaksanakan perjanjian hutang piutang dan perjanjian lainnya untuk dilakukan secara tertulis atau hitam diatas putih agar hal hal beresiko yang akan terjadi dan tidak di inginkan akan lebih mudah di proses permasalahannya dengan dibantu oleh bukti-bukti yang ada. Terlebih dikarenakan proses pengadilan perdata bersifat untuk mencari kebenaran secara formil, yaitu kebenaran berdasarkan bukti tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan. Resiko atau hal yang tidak diinginkan pun akan sedikit kemungkinannya terjadi karena umumnya debitur akan lebih menaati aturan secara tertulis dan lebih taat pada perjanjian perjanjian yang ada di dalamnya.
Dalam hal ini seharusnya antara kreditur dan debitur disaat dilakukannya pembayaran oleh debitur untuk melakukan cicilan hutang tersebut harus dibubuhkan dalam kwitansi yang nantinya akan menjadi pegangan baik untuk Penggugat dan Tergugat sebagai alat bukti apabila hal hal yang tidak diinginkan terjadi. Kwitansi sendiri merupakan bukti transaksi keuangan dalam kegiatan ekonomi berbentuk selembar kertas dengan materai yang dijamin oleh hukum. Dokumen tersebut umumnya digunakan oleh pengusaha ketika membeli atau membayar barang dagangan dalam jumlah besar.
Disaat Penggugat atau kreditur sepakat untuk melakukan perjanjian hutang piutang (terlebih nominal yang di butuhkan cukup besar) dengan Tergugat seharusnya kreditur sudah meminta jaminan kepada Tergugat atas pernjanjian hutang piutang tersebut, dimana apabila debitur tidak sanggup untuk melunasi hutang tersebut maka jaminan tersebut dapat menguntungkan pihak kreditur.
b. Gugatan
Gugatan merupakan sebuah tuntutan hak dari pihak Penggugat kepada pihak Tergugat. untuk memproses gugatan, Penggugat diperlukan untuk membuat atau mengajukan gugatan kepada pengadilan terlebih dahulu.
gugatan sendiri ada dua macam, diantaranya.
Gugatan sederhana, dimana gugatan ini biasanya nilai kerugian materiilnya tidak akan melebihi angka 500 juta yang mana pembuktian dan penyelesaiannya juga lebih sederhana.
Gugatan biasa, berbeda dengan gugatan sederhana, gugatan biasa sendiri umumnya terjadi pada suatu perkara yang dapat disebut perkara biasa. gugatan biasa ini biasanya dikarenakan ada kerugian materiil yang tidak di batas nominal atau besarannya. dimana artinya bisa dapat lebih daripada 500 juta.
Dalam kasus Sukardi (Tergugat) dan Suryanto (Penggugat) sendiri jenis gugatannya ialah gugatan biasa, hal itu tentu sudah terlihat jelas dari kerugian materiil yang dialami oleh pihak (Penggugat) Suryanto yang besaran atau nominalnya lebih daripada 500 juta, sehingga penyelesaian dan pembuktiannya tidak sesederhana seperti gugatan sederhana sehingga tentunya memerlukan beberapa tahapan dan perlunya pembuktian yang semakin kuat di pengadilan.
Selain itu Dalam kasus perkara hutang piutang Sukardi (Tergugat) Suryanto (Penggugat) tersebut juga diketahui terdapat beberapa penulisan gugatan yang belum tepat. Dimana diantaranya, pihak yang ditarik sebagai Tergugat tidak lengkap (Plurium litis consortium) dimana dalam kasus ini Penggugat menyebutkan bahwa terdapat cek kosong yang dikeluarkan oleh ibu Halimatus Sadiah atau PT. Nafas Sejahtera, maka sudah seharusnya dimintai pertanggung jawaban.
Dalam pengajuan gugatan haruslah benar dan sesuai agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan seperti kasus diatas. Ketentuan penulisan surat gugatan dalam hukum acara perdata dirinci sebagai berikut:
1. Pencantuman Tanggal Gugatan.
2. Pencantuman Alamat Ketua Pengadilan.
3. Pencantuman Lengkap Dan Terang Nama Dan Alamat Para Pihak.
4. Penegasan Para Pihak Dalam Perkara.
5. Uraian Posita Atau Dalil Gugat.
6. Perumusan Hal-Hal Yang Bersifat Assesor.
7. Pencantuman Permintaan Untuk Dipanggil Dan Dipanggil.
8. Petitum Gugat.
Dalam uraian surat gugatan antara perkara Sukardi (Tergugat) dan Suryanto (Penggugat) penegasan antara para pihak tidak disebutkan semuanya. Dapat diketahui bahwa penegasan ini merupakan syarat formil.
Kelalaian yang disebabkannya dapat dianggap Obscur Libel. Tujuan penegasan kedudukan para pihak ini berhubungan dengan hak membela dan mempertahankan kepentingan para pihak. Sekiranya surat gugatan hanya
mencantumkan identitas seseorang tetapi tidak menegaskan posisinya dalam perkara dan tidak disebutkan ada berapa Tergugat, dan siapa Penggugatnya bagaimana mungkin orang yang bersangkutan dapat membela dan mempertahankan hak dan kepentingannya. Pada kasus Sukardi dan Suryanto dalam eksepsi disebutkan Bahwa berdasarkan dalil Penggugat yang menyebutkan / mendalilkan mengenai cek kosong yang dikeluarkan oleh Ibu Halimatus Sadiyah atau PT. Nafas Sejahtera dari Bank BNI, maka semestinya gugatan a quo juga harus mengikut-sertakan Ibu Halimatus Sadiyah atau PT.
Nafas Sejahtera sebagai pihak yang mungkin juga dapat dimintai pertanggung-jawaban; Bahwa dengan tidak lengkapnya pihak-pihak yang seharusnya digugat/turut Tergugat, maka gugatan Penggugat dapat merugikan Penggugat itu sendiri karena terdapat celah bagi Tergugat untuk melaukan rekovensi atau gugatan balik.
c. Jaminan yang tidak jelas
Jaminan dapat membantu perolehan pada pihak yang memerlukannya serta memberikan kepastian-kepastian kepada pihak kreditur dimana dalam hal ini artinya barang jaminan setiap waktu tersedia untuk di eksekusi bila perlu, jaminan digunakan untuk melunasi hutang penerima kredit apabila terjadi pelanggaran kontrak hutang piutang. Jaminan sendiri dapat digolongkan menurut hukum yang mana khususnya berlaku di Indonesia dan berlaku di negeri. Pada pasal 24 UU No 14 Tahun 1967 disebutkan bahwa jaminan dapat dibedakan menjadi dua macam, diantarnya:
1. Jaminan Materiil (Kebendaan).
2. Jaminan Imateriil (Perorangan).
(Dr. H. Salim HS., S.H., M.S., 2014:21) Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping pertanggungan jawab umum debitur terhadap barang- barangnya.
Dikutip dalam buku perkembangan hukum jaminan di Indonesia bahwa yang dimaksud dengan hukum jaminan tertulis ialah wadah di temukan atau didapatkannya kaidah kaidah hukum jaminan yang berasal dari sumber tertulis, contohnya buku II KUHPerdata atau BW. Sedangkan hukum jaminan tidak tertulis kebalikan daripada hukum jaminan tertulis, contoh hukum kebiasaan atau hukum adat. M. Bahsan pernah berpendapat bahwa jaminan merupakan segala sesuatu yang diterima kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin sesuatu utang piutang dalam masyrakat (M. Bahsan, 2002:148).
Alasan digunakan istilah jaminan itu sendiri karena:
1. Telah lazim digunakan dalam bidang ilmu hukum, dalam hal ini berkaitan dengan penyebutan penyebutan, misalkan hukum jaminan, lembaga jaminan, jaminan kebendaan, jaminan perorangan, hak jaminan, dan sebagainya.
2. Telah digunakan dalam beberapa peraturan perundang undangan tentang lembaga jaminan seperti yang tercantum dalam Undang Undang Hak Tanggungan, dan jaminan fidusia. (Dr. H. Salim HS., S.H., M.S., 2014:23).
Akan tetapi dalam hal perkara perdata nomor 2283 K/Pdt/2020 jaminan tidak di rinci secara jelas. Dalam contoh kasus perkara ini, jaminan yang diberikan oleh Tergugat kepada Penggugat diantaranya ada 9 cek yang terdiri dari: 5 lembar cek PT. Nafas Sejahtera dari Bank Mandiri Syariah, 2 cek dari Ibu Halimatus sadyah dari Bank BNI, 2 lembar cek dari Bank BRI, dengan keseluruhan 1.078.000.00 (satu miliar tujuh puluh delapan juta rupiah) dan rumah. Cek sendiri merupakan salah satu surat berharga, dimana dalam hal ini cek bisa dijadikan alat pembayaran. Namun dalam beberapa kasus cek ini sering disalahgunakan dengan menerbitkan cek kosong. Kasus tersebut terjadi dalam perkara antara Sukardi (Tergugat) dan Suryanto (Penggugat). Sukardi (Tergugat) memberikan cek kosong kepada Suryanto (Penggugat), kemudian ternyata diketahui bahwa cek tersebut kosong, karena Tergugat sendiri yang menyampaikan bahwa cek tersebut kosong kepada Penggugat. Jadi, dari apa yang penulis pelajari maka dapat disimpulkan bahwa Tergugat memanipulasi pihak Penggugat agar terlihat seperti memberikan jaminan untuk pelunasan peminjaman uang kepada Penggugat, padahal dalam cek tersebut hanyalah cek kosong saja, sedangkan telah diketahuinya oleh pihak Tergugat.
Selain daripada cek, seperti yang sudah di jelaskan diatas, Sukardi (Tergugat) juga mengajukan syarat kepada Penggugat untuk dapat melunasi hutangnya sendiri terhadap Penggugat. Sukardi (Tergugat) mengajukan syarat kepada Penggugat yaitu meminta peminjaman kembali kepada Penggugat untuk balik nama rumah menjadi atas miliknya, dan SHM akan diserahkan kepada Penggugat, dimana hasil dari penjualan dapat dibagi 2 untuk melunasi hutang terhadap Penggugat dan juga untuk dirinya. namun, setelah proses balik nama terlaksanakan, Sukardi (Tergugat) justru menghilang dan tidak dapat dihubungi, dengan fakta SHM masih ditangan Tergugat. Secara tidak langsung, rumah yang seharusnya dapat menjadi Jaminan bisa saja hilang dan merugikan pihak kreditur. Dari sini maka dapat disimpulkan bahwa jaminan harus dirinci secara jelas dan benar dengan bukti yang dapat menguatkan agar terhindar dari hal hal yang tidak diinginkan berujung merugikan pihak krediturnya. Pihak debitur sendiri seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap apa yang dijaminkannya karena jika pihak debitur lari dari tanggung
jawabnya maka itu akan merugikan pihak debitur di persidangan. sedangkan fungsi daripada jaminan sendiri ialah untuk membantu perolehan terhadap pihak kreditur jika suatu hal yang tidak diinginkan terjadi. Dimana dalam kasus perkara tahap 1 ini jaminan atas hutang tersebut bisa sewaktu-waktu hilang.
A.
C. PENUTUP 1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka penulis merumuskan beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
a. Indonesia sebagai negara berkembang, mengakibatkan maraknya kesenjangan ekonomi. Hal ini pun menjadi salah satu alasan, masih banyak masyarakat yang melakukan kegiatan hutang piutang.
b. Banyak perbuatan hukum yang terjadi akibat interaksi manusia dalam masyarakat yang berhubungan dengan perjanjian kontrak. Lalu, selama proses dilakukannya suatu kontrak atau perjanjian, tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan tidak adanya gangguan, sehingga melanggar kontrak.
c. Pelanggaran kontrak atau wanprestasi ini sudah banyak terjadi di masyarakat dan tidak sedikit yang diselesaikan melalui jalan litigasi atau pengadilan.
d. Terdapat kelemahan pada perjanjian yang dibuat secara lisan, dan dalam hal ini penulis telah mempelajari urutan kronologis fakta dan menyimpulkan bahwa, pertaruhan dalam kasus ini dapat megakibatkan penggungat tidak memiliki bukti yang cukup kuat untuk merugikan Penggugat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Dr. Harifin A. Tumpa, S.H., M.H. 2010. Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) Dan Implementasinya Di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Dr. H. Salim HS., S.H., M.S. 2014. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nurnaningsih Amriani, S. H., M. H. 2011. MEDIASI (Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Supramono, G. (2013). Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta.
B. Jurnal
Perwitasari, Ike. Penyelesaian Wanprestasi Dalam Perjanjian Pembayaran Hutang Piutang Dengan Bilyet Giro di Pengadilan Negeri Surakarta, Vol.2, no. 4, Privat Law, 2014.
Putri Anggun Puspasari, Ni Luh Made Mahendrawati, Desak Gde Dwi Arin.
Penerapan Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Hutang Piutang Di Pengadilan Negeri Gianyar, Vol.2, no. 1, Jurnal Preferensi Hukum, 2746-5039.
Jon Hendri, Khoiri, Tinjauan Yuridis Terhadap Wanprestasi Dalam Hal Hutang Piutang, Jurnal Cendikia Hukum.
C. Skripsi
Tambunan, Elisa Damris. Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Sita Jaminan Akibat Wanprestasi Hutang Piutang (Studi Putusan Perdata Pengadilan Negeri Ciamis No.1/PDT.G.S/2017/PN.CMS). 2020. Institusi Universitas Sumatera Utara.
D. Internet
https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-hukum jaminan/#:~:text=Undang%
2DUndang%20Tentang%20Hukum%20Jaminan,-Meskipun%20undang
%2Dundang&text=Bagian%201131%20KUHPerdata%20menyatakan%3 A,dengan%20sendirinya%20menjadi%20jaminan%20utang
https://jeo.kompas.com/amp/jejak-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-dari-masa- ke-masa
https://blog.justika.com/hutang-piutang/cara-penyelesaian-kasus-hutang-piutang/
https://103.226.55.86/direktori/putusan/1dd99e01c47be67c7440175748c13123.ht m
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/858088d0b39b087de3de 42e64d69c065.html
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/858088d0b39b087de3de 42e64d69c065.html
E. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal 1338 BW Perjanjian Mengikat Pihaknya)
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Negara Hukum
Pasal 24 UU No 14 Tahun 1967 Jaminan
UU No 12 Tahun 2011 tentang Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal