PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
PERJANJIAN KEAGENEN
(Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
A
A
G
G
U
U
N
N
G
G
S
S
A
A
T
T
R
R
I
I
A
A
S
S
I
I
T
T
E
E
P
P
U
U
NIM. 040200329FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
ii
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
PERJANJIAN KEAGENEN
(Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
A
A
G
G
U
U
N
N
G
G
S
S
A
A
T
T
R
R
I
I
A
A
S
S
I
I
T
T
E
E
P
P
U
U
NIM. 040200329Disetujui oleh:
KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
Pembimbing I
Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985081001
Pembimbing II
Muhammad Hayat, SH NIP. 195008081980021001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
Muhammad Husni, SH, M.Hum NIP. 195802021988031004
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini
berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen (Studi Putusan
Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)”.
Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :
- Bapak Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
- Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum, selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
- Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara dan sebagai Dosen Pembimbing II Penulis.
- Bapak Muhammad Hayat, SH, selaku Pembimbing I Penulis.
- Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
- Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum
iv
- Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya
Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang
tiada terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita
jalani ini tetap menyertai kita selamanya.
Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Medan, Nopember 2011
Penulis
DAFTAR ISI
halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
ABSTRAKSI ... v
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 3
C. Tujuan dan manfaat Penulisan ... 3
D. Keaslian Penulisan ... 4
E. Tinjauan Kepustakaan ... 4
F. Metodologi Penulisan ... 9
G. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II. PELAKSANAAN PERJANJIAN KEAGENAN ... 12
A. Syarat Sahnya Perjanjian ... 12
B. Wewenang Keagenan ... 20
C. Dasar Hukum Perjanjian Keagenen ... 26
D. Pelaksanaan Perjanjian Keagenan. ... 28
BAB III. PERLINDUNGAN HUKUM PERJANJIAN KEAGENAN. .... 36
A. Para Pihak Dalam Perjanjian Keagenen ... 36
B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Keagenen ... 38
vi
BAB IV. PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN KEAGENEN 44
A. Tanggung Jawab Perdata Terhadap Kemungkinan
Timbulnya Kerugian Berdasarkan Perbuatan Agen ... 44
B. Upaya Hukum Jika Terjadi Wanprestasi ... 58
C. Tahapan Penyelesaian Sengketa Perjanjian Keagenan. ... 69
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 72
A. Kesimpulan ... 72
B. Saran ... 72
ABSTRAK
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN KEAGENEN (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)
Sebagai salah satu pembantu di luar perusahaan maka keberadaan agen ini sangat berperan dalam hal penyampaian suatu produk ke tangan pihak ketiga. Meskipun pada dasarnya seorang pengusaha memiliki pembantu-pembantu yang memiliki hubungan kerja dengan seorang pengusaha dan dapat dipergunakan secara maksimal dalam hal penyampaian suatu produk ke tengah masyarakat, tetapi dalam hal keadaan-keadaan tertentu keberadaan agen sangat memberikan andil bagi suatu perusahaan. Dimisalkan pada suatu lokasi pemasaran produk suatu perusahaan tidak mencapai daerah tersebut, maka dengan peran agen produk tersebut dapat disampaikan.
Dalam penelitian ini diajukan rumusan masalah Bagaimana pelaksanaan perjanjian keagenen, Bagaimana perlindungan hukum perjanjian keagenan dan bagaimana penyelesaian sengketa perjanjian keagenan.
Setelah dilakukan penelitian dan pengumpulan data maka diketahui pelaksanaan perjanjian keagenan dilakukan berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh agen dengan pihak prinsipal yang dilakukan berdasarkan ketentuan perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perjanjian tersebut menghasilkan hak dan kewajiban antara agen dengan prinsipal secara bertimbal balik, perlindungan hukum perjanjian keagenan adalah perlindungan yang diberikan oleh hukum dalam kaitannya dengan kegiatan usaha para agen, karena kegiatan peragenan dapat saja melampauia suatu batas wilayah suatu daerah maupun suatu negara. Perlindungan yang diberikan adalah perlindungan oleh Pemerintah terhadap warganya yang menjadi agen dalam suatu persaingan usaha, Penyelesaian sengketa perjanjianan dapat dilakukan melalui mediasi dengan cara melakukan penyelesaian di luar pengadilan. Meskipun demikian tetap terbuka bagi para pihak yang terkait dalam perjanjian keagenan untuk menyelesaikan sengketa tersebut di dalam pengadilan.
vii ABSTRAK
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN KEAGENEN (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)
Sebagai salah satu pembantu di luar perusahaan maka keberadaan agen ini sangat berperan dalam hal penyampaian suatu produk ke tangan pihak ketiga. Meskipun pada dasarnya seorang pengusaha memiliki pembantu-pembantu yang memiliki hubungan kerja dengan seorang pengusaha dan dapat dipergunakan secara maksimal dalam hal penyampaian suatu produk ke tengah masyarakat, tetapi dalam hal keadaan-keadaan tertentu keberadaan agen sangat memberikan andil bagi suatu perusahaan. Dimisalkan pada suatu lokasi pemasaran produk suatu perusahaan tidak mencapai daerah tersebut, maka dengan peran agen produk tersebut dapat disampaikan.
Dalam penelitian ini diajukan rumusan masalah Bagaimana pelaksanaan perjanjian keagenen, Bagaimana perlindungan hukum perjanjian keagenan dan bagaimana penyelesaian sengketa perjanjian keagenan.
Setelah dilakukan penelitian dan pengumpulan data maka diketahui pelaksanaan perjanjian keagenan dilakukan berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh agen dengan pihak prinsipal yang dilakukan berdasarkan ketentuan perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perjanjian tersebut menghasilkan hak dan kewajiban antara agen dengan prinsipal secara bertimbal balik, perlindungan hukum perjanjian keagenan adalah perlindungan yang diberikan oleh hukum dalam kaitannya dengan kegiatan usaha para agen, karena kegiatan peragenan dapat saja melampauia suatu batas wilayah suatu daerah maupun suatu negara. Perlindungan yang diberikan adalah perlindungan oleh Pemerintah terhadap warganya yang menjadi agen dalam suatu persaingan usaha, Penyelesaian sengketa perjanjianan dapat dilakukan melalui mediasi dengan cara melakukan penyelesaian di luar pengadilan. Meskipun demikian tetap terbuka bagi para pihak yang terkait dalam perjanjian keagenan untuk menyelesaikan sengketa tersebut di dalam pengadilan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seorang pengusaha atau produsen dalam rangka memperkenalkan
produknya baik barang atau jasa dapat melakukan dengan berbagai cara, yaitu
bekerjasama dengan pihak lokal/nasional atau pihak asing. Dengan kata lain
seorang pengusaha/produsen tidak dapat bekerja sendiri, mereka memerlukan
bantuan orang lain untuk membantu dalam pengelolaan perusahaannya.
Pembantu disini dapat dibagi dua yaitu pembantu dalam lingkungan
perusahaan dan pembantu di luar perusahaan. Pembantu dalam lingkungan
perusahaan misalnya pemegang prokurasi, pengurus filial, pelayan toko dan
pekerja keliling. Sedangkan pembantu luar lingkungan perusahaan ada dua jenis
yaitu:
1. Pembantu yang mempunyai hubungan kerja tetap dan koordinatif dengan
pengusaha, termasuk jenis ini adalah perusahaan dan bank.
2. Pembantu yang mempunyai hubungan kerja tidak tetap dan koordinatif dengan
pengusaha, termasuk jenis ini adalah agen, komisioner, notaris, pengacara.1
Mencermati hal tersebut ternyata perusahaan perdagangan tidak hanya
dijalankan oleh pengusaha perdagangan sendiri, melainkan dengan bantuan pihak
lain/perantara dagang untuk mengelola kegiatan perdagangan, mengingat besarnya
volume usaha dan luasnya pemasaran. Kerjasama bisnis yang saling mendukung
1
ix
tersebut terjalin karena masing-masing pihak mempunyai suatu kepentingan yaitu
untuk tercapainya suatu tujuan ekonomi tertentu berupa mendapatkan keuntungan
ekonomis/kebendaan.2
Sebagai organ yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
maka pengusaha dan agen dalam melakukan aktivitasnya tentunya juga harus
dilandasi oleh suatu hubungan kerja, baik itu hubungan kerja secara tertulis Selain itu mempunyai tujuan untuk mempercepat proses
pemasaran produknya ke konsumen.
Sebagai salah satu pembantu di luar perusahaan maka keberadaan agen ini
sangat berperan dalam hal penyampaian suatu produk ke tangan pihak ketiga.
Meskipun pada dasarnya seorang pengusaha memiliki pembantu-pembantu yang
memiliki hubungan kerja dengan seorang pengusaha dan dapat dipergunakan
secara maksimal dalam hal penyampaian suatu produk ke tengah masyarakat,
tetapi dalam hal keadaan-keadaan tertentu keberadaan agen sangat memberikan
andil bagi suatu perusahaan. Dimisalkan pada suatu lokasi pemasaran produk suatu
perusahaan tidak mencapai daerah tersebut, maka dengan peran agen produk
tersebut dapat disampaikan.
Selain dapat memotong jalur distribusi suatu produk secara ringkas,
sehingga suatu perusahaan tidak memerlukan jalur produksi yang panjang atau
menempatkan agennya pada suatu wilayah dan harus mengeluarkan biaya untuk
membayar ongkos dan agen maka dengan kebedaan agen hal tersebut dapat diatasi.
Selain memotong saluran distribusi menjadi pendek, maka bagi seorang pengusaha
berhubungan dengan agen akan menjadi lebih ekonomis dan efisien.
maupun tidak tertulis. Kenyataan ini juga menjadikan suatu hubungan antara
pengusaha dan agen merupakan suatu hubungan hukum yang menempatkan hak
dan kewajiban secara bertimbal balik antara kedua belah pihak.
Kajian yang menarik terhadap hal di atas adalah terjadinya hubungan
tersebut dan akibat hukum jika salah satu pihak tidak mendapatkan haknya dan
salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya merupakan suatu hal yang
menarik untuk dikaji dalam bentuk skripsi. Dengan dasar tersebut maka
diketengahkan pembahasan skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap
Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)”.
B. Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang diajukan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian keagenen?
2. Bagaimana perlindungan hukum perjanjian keagenan?
3. Bagaimana penyelesaian sengketa perjanjian keagenan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian keagenen.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum perjanjian keagenan.
3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa perjanjian keagenan
Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas penelitian ini
2
xi
diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Dari segi teoritis sebagai suatu bentuk penambahan literatur di bidang hukum
dagang perihal pengaturan perjanjian keagenen.
2. Dari segi praktis sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan para
pihak yang berkepentingan sehingga didapatkan kesatuan pandangan tentang
perjanjian keagenen.
D. Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap
Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)” ini
merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri, dan dari telaah kepustakaan
belum didapatkan judul yang sama dengan judul penelitian ini.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Perjanjian
Apabila membicarakan perjanjian, terlebih dahulu diketahui apa
sebenarnya perjanjian itu dan dimana dasar hukumnya. Perjanjian yang
penulis maksudkan adalah perjanjian yang diatur dalam Buku III KUH
Perdata yang berjudul tentang perikatan yang terdiri dari ketentuan umum
dan ketentuan khusus.
kepada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, jadi berisi hukum perjanjian.3
Adapun yang dimaksudkan dengan perikatan oleh Buku III KUH Perdata
itu adalah: “Suatu perhubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara
dua orang, yang memberikan kepada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari
yang lainnya, sedangkan orang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”. 4
“Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum/harta
benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada suatu pihak
untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk
menunaikan prestasi.
Perikatan, yang terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus itu, mengatur
tentang persetujuan–persetujuan tertentu yang disebut dengan perjanjian
bernama, artinya disebut bernama karena perjanjian tersebut diatur dan diberi nama
oleh pembuat undang-undang, dan di samping perjanjian bernama juga terdapat
perjanjian yang tidak bernama, yang tidak diatur dalam undang-undang, misalnya
perjanjian sewa beli dan lain sebagainya.
5
Perikatan seperti yang dimaksudkan di atas, paling banyak dilahirkan dari
suatu peristiwa dimana dua orang atau lebih saling menjanjikan sesuatu. Peristiwa
ini paling tepat dinamakan “ perjanjian yaitu suatu peristiwa yang berupa suatu
rangkaian janji-janji. Dapat dikonstatir bahwa perkataan perjanjian sudah sangat
populer di kalangan rakyat “.6
Demikian pula Wirjono Prodjodikoro mengemukakan: “Perjanjian adalah
3
R. Subekti, 1998, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, hal. 101.
4Ibid
., halaman 101.
5
xiii
suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana
satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal sedang
pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”. 7
Perikatan yang dilahirkan karena undang-undang saja dan undang-undang
karena perbuatan orang, bukanlah merupakan perjanjian karena kedua macam Menurut pasal 1233 KUH Perdata bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan
baik karena undang-undang, maupun karena adanya suatu perjanjian.
Dengan demikian maka harus terlebih dahulu adanya suatu perjanjian atau
undang, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian dan
undang-undang itu merupakan sumber suatu ikatan.
Dasar hukum dari persetujuan adalah pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat dengan sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sedangkan sumber
perikatan yang lahir karena undang-undang dapat dibagi dua pengertian yaitu
undang saja dan undang karena perbuatan orang. Karena
undang-undang saja misalnya kewajiban atau hak orang tua terhadap anak, dan sebaliknya
kewajiban anak terhadap orang tua apabila orang tua tidak berkemampuan.
Undang-undang karena perbuatan orang dapat pula di dalam dua pengertian
yaitu perbuatan yang diperbolehkan undang-undang dan perbuatan yang melawan
hukum. Yang diperbolehkan undang-undang misalnya : mengurus harta orang lain
tanpa sepengetahuan orang tersebut, sedangkan perbuatan melawan hukum adalah
perbuatan yang merugikan orang lain.
6
R. Subekti, 1996, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung: Alumni, hal. 12.
7
Wirjono Prodjodikoro. 1991, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,
perikatan tersebut tidak mengandung unsur janji. Seseorang tidak dapat dikatakan
berjanji hal sesuatu, apabila sesuatu kewajiban dikenakan kepadanya oleh
undang-undang belaka atau dalam hal perbuatan melawan hukum secara bertentangan
langsung dengan kemauannya. Dalam hal ini penulis akan mem-fokuskan diri
pada perikatan yang bersumberkan pada persetujuan atau perjanjian.
2. Pengertian Agen
Berbagai istilah untuk keagenan didapatkan dalam praktek, misalnya
terdapat istilah Autthorized Agent, Sole Agent, Exclusive Agent dan sebagainya.
Dari istilah tersebut yang lebih lazim dipakai dalam praktek adalah istilah Sole
Agent yang dalam bahasa Indonesia disebut Agent Tunggal yang sering pula
disebut pihak perantara.8
Adapun pengertian agen dalam kegaitan bisnis ini biasanya diartikan
sebagai suatu hubungan hukum dimana sesorang/pihak agen diberi kuasa bertindak
untuk dan atas nama orang/pihak prinsipal untuk melaksanakan transaksi bisnis
dengan pihak lain.
9
Menurut Muhammad Agen perusahaan adalah orang yang
mewakilkan pengusaha untuk mengadakan dan melaksanakan perjanjian dengan
pihak ketiga atas nama pengusaha.10
8
Munir Fuady, 1997, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 152.
9
Richard Burton Simatupang, 1996, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 67.
10
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 29.
Sedangkan menurut Encyclopedia Dictionary
Of Business (Prentice Hall Inc Englewood, New York) agen adalah “orang/pihak
xv
Mencermati defenisi tersebut, dapat dikatakan bahwa agen adalah seorang
atau badan yang usahanya menjadi perantara, dia bertindak atas nama pemberi
kuasa bukan bertindak atas namanya sendiri. Sehingga dalam keagenan terdapat 3
pihak yaitu :
a. Yang member perintah/kuasa untuk melakukan perbuatan hukum disebut
prinsipal
b. Yang diberi perintah/menerima kuasa untuk melakukan perbuatan hukum
disebut agen
c. Yang dihubungi oleh agen dengan siapa transaksi diselenggarakan, disebut
pihak ketiga.
Oleh karena agen bertindak atas nama prinsipal maka agen tidak
melakukan pembelian dari prinsipal. Perbuatan apa saja yang harus dilakukan oleh
agen untuk prinsipalnya, diatur dalam perjanjian keagenan yang dibuat oleh agen
dan prinsipal.
3. Jenis-Jenis Agen
Menurut Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Hukum Bisnis dalam
Teori dan praktek, bahwa dalam praktek perdagangan ada 2 macam keagenan,
yaitu :
a. Agen institusional
Yang dimaksud dengan agen insidental adalah agen yang semata-mata bertugas atau mempunyai bisnis yang tidak semata-mata di bidang keagenan. Misalnya, dalam hal adanya suatu sindikasi kredit diantara beberapa bank yang ditunjuk sebuah bank untuk menjadi agen sindikasi (in casu agen insidental) yang akan mewakili dan bertindak untuk dan atas nama seluruh bank anggota sindikasi.11
F. Metodologi Penulisan
Metodologi penulisan yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Materi / Bahan penelitian
Materi / bahan penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi
ini bersumber dari data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni
undang-undang yang di dalamnya mengandung mengenai perjanjian keagenan, seperti
KUH Perdata dan KUH Dagang.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan
sebagainya.
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup :
1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan
terhadap hukum primer dan sekunder.
2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang
hukum seperti kamus, ensklopedia, majalah, koran, makalah, dan
sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.
11Ibid
xvii
2. Alat Pengumpul Data
Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah melalui studi literatur atau studi kepustakaan.
3. Analisis Hasil penelitian
Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran
kepustakaan, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif.
Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang
teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori-teori-teori tersebut dapat ditarik
beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab
terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam
bentuk uraian:
Bab I. Pendahuluan
Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian
pada umumnya yaitu, Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan
dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan,
Metodologi Penulisan serta Sistematika Penulisan.
Bab II. Pelaksanaan Perjanjian Keagenan
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang Syarat Sahnya
Perjanjian, Wewenang Keagenan, Dasar Hukum Perjanjian Keagenen,
Bab III. Perlindungan Hukum Perjanjian Keagenan.
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Para Pihak
Dalam Perjanjian Keagenen, Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam
Perjanjian Keagenen serta Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian
Keagenen.
Bab IV. Penyelesaian Sengketa Perjanjian Keagenen.
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap Tanggung
Jawab Perdata Terhadap Kemungkinan Timbulnya Kerugian
Berdasarkan Perbuatan Agen, Upaya Hukum Jika Terjadi Wanprestasi
serta Tahapan Penyelesaian Sengketa Perjanjian Keagenan.
Bab V. Kesimpulan dan Saran
Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan
xix BAB II
PELAKSANAAN PERJANJIAN KEAGENAN
Syarat Sahnya Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
c. Mengenai suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena
mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang
dilakukan itu.
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.
Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, si penjual mengingini sesuatu barang si penjual .12
a. Syarat itikad baik,
Sedangkan syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata
yang terdiri dari :
b. Syarat sesuai dengan kebiasaan,
12
c. Syarat sesuai dengan kepatuhan,
d. Syarat sesuai dengan kepentingan umum,
Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Munir Fuady terdiri
dari :
a. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu,
b. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu,
c. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak
tertentu,
d. Syarat izin dari yang berwenang.13
Menurut Mariam Darus Badrulzaman:
Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat dibedakan syarat subjektif, dan syarat objektif. dalam hal ini kita harus dapat membedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Syarat subjektif adalah kedua syarat yang pertama, sedangkan syarat objektif kedua syarat yang terakhir.14
2). Sesuatu sebab yang halal (kausa).
Sedangkan Saliman menjelaskan tafsiran atas Pasal 1320 KUH
Perdata yaitu:
a. Syarat subjektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat dibatalkan, meliputi :
1). Kecakapan untuk membuat kontrak (dewasa dan tidak sakit ingatan)
2). Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hukum meliputi :
1). Suatu hal (objek) tertentu
15
Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus
13
Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 34.
14
Mariam Darus Badrulzaman, 1993, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Bandung: Alumni, , hal. 98.
15
Abdul R. Saliman, et. al. 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus, Jakarta: Prenada, hal. 12-13.
xxi
dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus
diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaan.
Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila
kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat
mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata
sepakatnya.
Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena penipuan. Pendek kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau kata sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat
perizinan mana menjadi pincang tidak sempurna.16
Tentang halnya kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak
memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu
dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang
bersifat relatif, dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan
apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya,
sehingga kalau tidak ada perjanjian dari orang yang dipaksa itu maka jelas
bahwa perjanjian yang telah diberikan itu adalah perjanjian yang tidak
sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal
1320 KUH Perdata.
Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat
dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian,
yaitu suatu paksaan yang membuat perjanjian atau perizinan diberikan,
tetapi secara tidak benar.
16
dimaksud dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu penulis harus melihat
pendapat doktrin yang mana telah memberikan pengertian terhadap
kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek
perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan itu terhadap unsur
pokok dari barang–barang yang diperjanjikan yang apabila diketahui atau
seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjian itu
tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu
adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan
untuk mengadakan perjanjian.
Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna
menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa
barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai
pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan
yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa
kesilapan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu
sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan
seseorang yang silap.
Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi yang mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah mengadakan kontrak dengan penyanyi kesohor yang
sama namanya.17
Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan
diatas adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam
perjanjian. Jadi orang itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira
bahwa penyanyi tersebut adalah orang yang dimaksudkannya. Dalam halnya
17
xxiii
ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu
pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok
barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan oleh
pihak lawannya. Dalam hal penipuan inipun dapat pula diajukan sanksi atas
dasar perbuatan melawan hukum atau sebagaimana diatur Pasal 1365 KUH
Perdata.
Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut
ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata. Yuriprudensi dalam hal
penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu
penipuan atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya
melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada
sesuatu rangkaian kebohongan. Karena muslihat itu, pihak yang tertipu
terjerumus pada gambaran yang keliru dan membawa kerugian kepadanya.
Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah, kecakapan para pihak.
Untuk hal ini penulis kemukakan Pasal 1329 KUH Perdata, dimana
kecakapan itu dapat kita bedakan:
a. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian
secara sah.
b. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap
untuk mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata
yang menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila
diadakan antara suami isteri.
Sedangkan perihal ketidak cakapan pada umumnya itu disebutkan
bahwa orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh
Pasal 1330 KUH Perdata ada tiga, yaitu :
a. Anak-anak atau orang yang belum dewasa
b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan
c. Wanita yang bersuami
Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi
kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu
sendiri. Menurut pasal 1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada
umumnya adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau
ditentukan lain oleh undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum
harus dibantu atau mendapat izin dari suaminya.
Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga
adalah besar sekali, seperti yang kita kenal dengan istilah maritale macht.
Walau, demikian, melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah
berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya
sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan surat
Edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap
Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri
untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan
pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.
Dalam halnya perjanjian-perjanjian yang dibuat mereka yang
tergolong tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh
mereka yang dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang
beranggapan bahwa perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh
pihak yang tidak cakap itu sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak
cakap itu mengadakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan
konsekwensinya adalah segala akibat dari perjanjian yang dilakukan oleh
xxv
bahwa pembatalannya hanya dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang
merasa dirugikan.
Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan
membuat suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH
Perdata tersebut, kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan
hukum sendiri pada hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa
keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain.
Maka demikianlah bilamana dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah
mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila orang yang membuat
suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula
mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan tanggung-jawab
yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan
apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu
adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran
yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat
menginsyapi apa sesungguhnya tanggung-jawab itu.
Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang
dari sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban
hukum dalam masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu
pada dasarnya berarti juga mempertaruhkan harta kekayaannya. Maka
adalah logis apabila orang-orang yang dapat berbuat itu adalah harus
orang-orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta
kekayaannya itu. Dimana kenyataan yang demikian itu tidaklah terdapat
dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah pengampuan
atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab lainnya
Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah
adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang
diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang
dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya
(Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya
barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau
ditetapkan.
Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa
saja yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian
yang mereka buat itu. “Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak
dapat dilaksanakan , maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak
dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”.18
Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal 1320
KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu
sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi
perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro,
yaitu: “Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah
bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu keadaan belaka. Selanjutnya
beliau mengatakan dalam pandangan saya, causa dalam hukum perjanjian
adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya
perjanjian itu”.19
Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang
halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang
18
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, hal. 94.
19
xxvii terlarang.
“Sebagai sontoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang
terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si
pembeli membunuh orang”20
Wewenang Keagenan
Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu
perjanjian telah penulis kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif
dan syarat subyektif, maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi,
perjanjian itu dapat dikatakan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal
syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang
demikian itu salah satu pihak mempunyai hak untuk menuntut perjanjian
yang telah dibuat menjadi batal.
Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi
maka dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat subyektif yang
tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.
Semua definisi keagenan yang dibuat senantiasa ada kekurangannya, akan tetapi pada intinya keagenan didefinisikan sebagai hubungan yang timbul dimana satu pihak yang disebut sebagai agen bertindak untuk pihak lainnya yang disebut prinsipal.
Berdasarkan tindakan agen, prinsipal dan pihak ketiga masuk ke dalam
hubungan kontraktual. Agen juga dapat memiliki kekuasaan untuk melepaskan harta kekayaan milik prinsipal kepada pihak ketiga. Umumnya, agen dapat bertindak demikian karena prinsipal telah memberikan wewenang kepadanya untuk melakukan tindakan yang dimaksud dan agen menyetujui untuk
melakukannya. Agen sepertinya menjadi perpanjangan tangan dari prinsipal dan karenanya dapat mengubah kedudukan hukum prinsipal baik berupa mengikat prinsipal ke dalam suatu perjanjian atau melakukan pelepasan harta kekayaan milik prinsipal yang bersifat mengikat.
diberikan kepadanya oleh kontrak keagenan. Namun kekuasaannya untuk mengikat
prinsipal melampaui wewenang kontraktual ini.
Cara yang paling jelas terlihat dalam hal terbentuknya suatu hubungan
keagenan adalah berdasarkan pemberian ijin atau kewenangan. Kewenangan secara
tegas timbul ketika prinsipal berkata secara tegas bahwa ia memberikan ijin kepada
agen untuk bertindak atas namanya dengan cara tertentu dan agen menyetujui
untuk melakukannya. Prinsipal dan agen akan dianggap telah sepakat apabila
mereka telah menyetujui apa akibat hukum atas hubungan tersebut, meskipun
mereka tidak mengakuinya sendiri dan meskipun mereka menyatakan untuk
menyangkalnya. Akan tetapi, masing-masing dari mereka harus memberikan
persetujuan tersebut. Kebanyakan orang akan melihat apa yang dikatakan dan
dilakukan pada saat timbulnya dugaan terbentuknya hubungan keagenan. Kata-kata
dan tindakan sebelumnya dapat menjadi bukti adanya suatu hubungan yang pernah
dilakukan sebelumnya pada saat itu dan umumnya dapat dipertimbangkan sebagai
latar belakang historis. Kata-kata dan tindakan di kemudian hari dapat pula
memiliki arti meskipun mungkin tidak terlalu penting.
Cara lain terbentuknya suatu hubungan keagenan adalah ketika
adanya pemberian kewenangan secara tersirat. Dalam hal pemberian
kewenangan secara tersirat, prinsipal tidak berkata secara tegas kepada
agen bahwa agen telah diberikan kewenangan untuk bertindak dengan cara
tertentu. Sementara sebaliknya, tindakan-tindakan dari prinsipal dan agen
sedemikian jelasnya terlihat bahwa prinsipal telah mengijinkan agen untuk
memiliki kewenangan tertentu, dan agen telah menyetujuinya. Dengan kata
20
xxix
lain, kesepakatan itu disimpulkan dari tindakan para pihak dan
keadaan-keadaan dari kasus yang bersangkutan. Contoh yang paling umum dari
pemberian kewenangan secara tersirat adalah ketika seseorang diangkat
untuk menduduki suatu jabatan tanpa memberikan kewenangan secara
tegas kepada orang itu, dan jabatan tersebut adalah jabatan yang biasanya
memiliki kewenangan tertentu. Misalnya, ketika direksi mengangkat salah
satu anggotanya untuk menduduki posisi managing director atau chief
executive officer, maka direksi secara tersirat memberikan wewenang
kepadanya untuk melakukan segala sesuatu yang biasanya masuk dalam
lingkup kewenangan jabatan itu. Orang akan berharap bahwa kebanyakan
managing director biasanya akan memiliki sekurang-kurangnya
kewenangan tersirat untuk menyetujui atau mengadakan perjanjian yang
berada dalam lingkup usaha perusahaan sehari-hari.
Harus diperhatikan bahwa pemberian kewenangan secara tegas
ataupun tersirat dianggap sebagai kewenangan yang sebenarnya atau
sesungguhnya. Dengan kata lain, kewenangan itu sungguh-sungguh ada.
Akan tetapi, dalam situasi dimana tidak ada kewenangan yang diberikan
baik secara tegas ataupun tersirat, seorang ‘agen’ tetap dapat mengikat
‘prinsipal’. Dalam hal ini, ‘agen’ dikatakan memiliki kewenangan yang
terlihat. Meskipun kewenangannya tidak sungguh-sungguh ada, sepanjang
tindakan ‘agen’ dapat mengikat ‘prinsipal’, suatu hubungan keagenan telah
terbentuk.
Alasan mengapa prinsipal dapat terikat berdasarkan cara ini adalah
karena hukum keagenan terutama berlaku dalam lingkup komersial dimana
kepastian transaksi merupakan hal yang penting. Dengan demikian, hukum
keagenan tidak dapat terbatas pada kasus-kasus dimana agen memiliki
kewenangan yang sesungguhnya, baik yang diberikan secara tegas ataupun
tersirat. Apabila transaksi-transaksi komersial dalam perekonomian modern
harus dilakukan secara cepat dan efisien, maka batas-batas tersebut akan
sangat memberatkan biaya untuk bertransaksi. Penyelidikan harus
dilakukan dan, dalam hal perusahaan, keputusan secara formal harus
diperoleh. Hal ini akan sangat tidak sesuai dengan tujuan diperbolehkannya
penggunaan agen-agen. Lebih lanjut, di dalam perdagangan modern,
seringkali dirasa perlu untuk memberikan keleluasaan sampai batas tertentu
kepada agen, misalnya untuk melakukan perundingan dan melakukan tahap
finalisasi atas ketentuan-ketentuan dari suatu perjanjian, terutama jika agen
adalah seorang karyawan senior dari organisasi usaha. Dengan keleluasaan
tersebut, kadangkala terjadi dimana agen bertindak di luar lingkup
kewenangannya yang sesungguhnya. Apabila terjadi demikian, maka agen
akan bertanggung jawab kepada pihak ketiga atas pelanggaran terhadap
jaminan tentang kewenangan agen (lihat perkara Bagian 9 di bawah ini).
Akan tetapi, hal ini mungkin tidak memuaskan pihak ketiga, yang seringkali
lebih memilih untuk menghubungi prinsipal sehubungan dengan kontrak
yang telah diadakannya.
Dengan demikian, apabila tidak ada keadaan-keadaan tertentu
dimana hukum keagenan memperbolehkan kontrak-kontrak tersebut dapat
dilaksanakan, maka kepercayaan terhadap penggunaan agen akan sangat
terusik yang mana hal ini dapat menganggu kenyamanan dalam berdagang
dan efisiensi dalam pengoperasian pasar. Apabila hukum mengatur
sedemikian rupa sehingga tidak ada satupun keadaan dimana prinsipal akan
xxxi
selalu menghubungi prinsipal untuk memastikan pengadaan transaksi yang
bersifat mengikat. Prinsipal dapat mengelak dari perjanjian yang diadakan
oleh agennya tanpa wewenang, terlepas bagaimanapun pihak ketiga secara
obyektif sebagaimana layaknya berpikir bahwa agen telah diberikan
wewenang sebagaimana mestinya. Prinsipal juga tidak terdorong untuk
memiliki prosedur untuk memastikan bahwa para agennya bertindak secara
baik.
Dengan demikian, hukum keagenan telah mengembangkan suatu
doktrin kewenangan yang terlihat, dimana seorang agen yang kelihatannya
memiliki kewenangan dapat mengikat prinsipalnya ketika pihak ketiga
bertindak dengan mengandalkan kewenangan yang terlihat tersebut,
biasanya dengan mengadakan perjanjian dengan agen. Doktrin ini bukanlah
doktrin yang tanpa syarat, doktrin ini timbul ketika, berdasarkan fakta,
tampak atau terlihat seolah-olah seseorang (‘agen’) memiliki kewenangan
yang sesungguhnya. Kewenangan yang terlihat ini timbul karena ‘prinsipal’
melakukan atau mengatakan sesuatu, dengan kata lain, karena suatu
pernyataan dari ‘prinsipal’. Apabila pihak ketiga mengandalkan ini dan
mengadakan perjanjian dengan ‘agen’ karena meyakini bahwa ‘agen’
bertindak atas nama ‘prinsipal’, maka ‘prinsipal’ menjadi terikat. Penjelasan
yang paling umum untuk kewenangan yang terlihat adalah doktrin estoppe.
Kewenangan yang terlihat dapat timbul ketika seorang agen
melampaui kewenangannya atau ketika seseorang yang bukan agen terlihat
bertindak seperti agen karena apa yang dilakukan atau dikatakan oleh
‘prinsipal’. Misalnya, A telah ditunjuk untuk bertindak sebagai agen dari P.
Hubungan keagenan kemudian diakhiri oleh P tetapi A terus bertindak
yang tidak tahu bahwa hubungan keagenan telah diakhiri. P dengan
demikian terikat oleh tindakan A. Contoh lain adalah apabila P tidak pernah
menunjuk A sebagai agen P tetapi P memperbolehkan A bertindak
seolah-olah ia adalah agen, atau membuat T merasa yakin bahwa A adalah agen
dari P. Dalam situasi-situasi tersebut, P akan terikat dengan T apabila T
mengadakan transaksi dengan A yang dengan sengaja bertindak atas nama
P dalam lingkup kewenangannya yang terlihat.
Perlu diperhatikan bahwa kewenangan yang terlihat harus timbul
karena apa yang dilakukan oleh ‘prinsipal’. Seorang agen tidak dapat
membuat pernyataan mengenai kewenangannya dan mengikat prinsipal
berdasarkan apa yang dikatakan oleh agen itu sendiri. Apabila pendapat ini
tidak ada, maka setiap orang yang memiliki suatu hubungan dengan
prinsipal dapat mengaku bahwa ia memiliki kewenangan untuk mengikat
prinsipal dan dapat membuat prinsipal memiliki kewajiban kepada pihak
ketiga. Usaha-usaha dagang terpaksa harus mengambil langkah yang luar
biasa guna memberitahukan semua orang dan menjelaskan apa yang dapat
atau tidak dapat dilakukan oleh karyawannya, meskipun seringkali tidak
berhasil.
Kewenangan yang terlihat dapat timbul bahkan di perusahaan. Suatu
perusahaan dapat membuat pernyataan-pernyataan penting melalui
pejabatnya yang sah atau melalui salah satu organnya seperti direksi.
Kewenangan yang terlihat juga dapat membuat pihak ketiga
mengajukan gugatan terhadap prinsipal. Apabila prinsipal ingin mengajukan
gugatan terhadap pihak ketiga, ia tidak dapat mengandalkan kewenangan
yang terlihat karena ia jelas-jelas mengetahui bahwa agennya tidak memiliki
xxxiii
doktrin estoppel yang timbul dari tindakan prinsipal itu sendiri. Agar dapat
menggugat pihak ketiga, prinsipal harus mengesahkan tindakan agen.
Dasar Hukum Keagenan
Lembaga keagenan bukan merupakan lembaga baru dalam dunia
perdagangan di Indonesia, hanya saja undang-undang yang secara khusus
mengatur lembaga keagenan belum ada. Dengan demikian bukan berarti lembaga
keagenan beraktivitas tanpa aturan. Pijakan yuridis untuk beraktivitas, pranata
dagang yang disebut agen ini dapat dilihat dari :
1. Kitab undang-undang Hukum perdata
Hal ini karena pola hubungan hukum yang terjadi antara prinsipal dengan
agen adalah perjanjian pemberian kuasa, maka ketentuan perjanjian pemberian
kuasa yang diatur dalam pasal 1792 sampai dengan 1819 KUHPerdata berlaku
sebagai dasar perjanjian keagenan. Selain itu, pranata hukum agen ini muncul
dalam praktik bisnis, sehingga dasar hukum diantara mereka dibangun atas dasar
perjanjian yang berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang dijamin oleh Pasal
1338 ayat 1 KUHPerdata.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Di dalam KUHDagang ada pengaturan yang berkaitan atau mirip dengan
keagenan, yaitu pengaturan tentang makelar (pasal 62 s/d 73 KUHD) dan
komisioner (pasal 76 s/d 85 KUHD), yang pada dasaranya berfungsi sebagai
pranata dagang. Dengan demikian pengaturan KUHD tentang makelar dan
bukan saja merupakan pekerjaan selingan dan bagian dari perusahaan pemberi
kuasa, tetapi merupakan perusahaan yang berdiri sendiri. Dengan demikian hukum
perusahaan berlaku pada agen.
3. Pengaturan Administrasi
Walaupun agen, makelar, komisioner termasuk pranata, tetapi
ketentuan-ketentuan tentang makelar dan komisioner dalam KUHD dan ketentuan-ketentuan pemberian
kuasa dalam KUHPerdata tidaklah dapat diterapkan begitu saja untuk lembaga
keagenan.21
Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 1977 pemerintah telah
mengeluarkan peraturan pemerintah No. 36 tahun 1997 yang menentukan bahwa
perusahaan asing yang telah berakhir masa kegiatannya hanya dapat terus
melakukan usaha dagangnya dengan cara menunjuk perusahaan perdagangan
nasional sebagai penyalur/agen dengan membuat surat perjanjian. Dengan adanya
peraturan pemerintah ini, lembaga keagenan baru berkembang dalam dunia
perdagangan di Indonesia. Peraturan yang bersifat administratif lainnya
dikeluarkan Menteri Perindustrian yaitu SK Menteri Perindustrian No.
295/M/SK/1982 yang dalam pasal 22 menyebutkan bahwa
pengangkatan/penunjukan suatu perusahaan nasional oleh prinsipal asing wajib
dilakukan dengan suatu perjanjian yang berisfat akslusif untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan sifat dan tujuan penggunaan barang-barang modal dan Artinya selain undang-undang tersebut di atas, lembaga keagenan ini
diperlukan peraturan khusus yang dikeluarkan oleh Pemerintah (Peraturan yang
xxxv
barang-barang modal dan barang-barang industri tertentu yang menjadi obyek
perjanjian. Selain peraturan tersebut masih ada beberapa peraturan administratif
yang lain.
Pelaksanaan Perjanjian Keaganen
Perjanjian baku adalah bentuk perjanjian yang disetujui oleh para pihak
dalam bentuk tertulis berupa formulir perjanjian yang telah ditentukan oleh pihak
pertama yaitu pihak prinsipal, dimana dengan demikian kontrak yang diadakan
merupakan perjanjian baku atau perjanjian standar. Perjanjian baku adalah
perjanjian yang dibuat secara kolektif dalam bentuk formulir. Pernyataan ini
sejalan dengan memperhatikan fakta dari format kontrak yang telah ditandatangani
oleh para pihak tersebut di atas secara awam dapat diketahui terdapat beberapa
bagian yang memang sengaja dikosongkan sebagai reservasi apabila ternyata
terdapat perbedaan antara kontrak distributor yang satu dengan kontrak yang
lainnya. Adapun bagian-bagian yang sengaja dikosongkan antara lain adalah :
1. Kolom para pihak, khususnya kolom agen.
2. Kolom Territory
3. Kolom yang berkenan dengan masa berlaku perjanjian dan ketentuan-ketentuan
lain yang mengatur mengenai pembatasan jangka waktu (baik dalam hitungan
hari, bulan maupun tahun)
4. Kolom Agen (dalam hal ini adalah agen pembayaran dalam transaksi ini yang
setiap saat dapat berubah)
21
5. Kolom harga objek yang didistribusikan
Identifikasi dapat dilakukan secara mudah dan cepat, dimana pihak
prinsipal dalam hal ini telah terlebih dahulu memberikan kolom-kolom yang siap
diisi setiap saat dengan menggantungkan agen, besaran nilai transaksi, dan hal-hal
lain yang merupakan kewajiban dari pihak agen yang perlu dijadikan sebagai
bahan pertimbangan oleh prinsipal. Namun di lain pihak selain ditentukan lain oleh
para pihak (khususnya oleh prinsipal) tidak terdapat suatu penambahan dan/atau
perubahan yang sifatnya spesifik atau setidaknya terjadi penambahan atau
perubahan, dan dapat dengan mudah diidentifikasi oleh penulis.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka seharusnya dengan adanya azas
kebebasan berkontrak tersebut, posisi kedua belah pihak adalah sama dan
sederajat. Namun, dalam praktek sehari-hari kita bisa melihat bahwa sebenarnya
kedua pihak tidak dalam posisi yang seimbang. Seringkali terjadi pihak distributor
harus menerima persyaratan-persyaratan yang diberikan oleh perusahaan produsen
secara mutlak tanpa bisa menawar lagi. Hal ini disebabkan perusahaan prinsipal
telah mempersiapkan standar formulir-formulir kontrak, berarti bagi distributor
yang ingin mengadakan perjanjian dengan pihak produsen terkait dengan
formulir-formulir kontrak yang sudah disediakan pihak produsen. Adapun hal yang
melatarbelakangi dibuatnya suatu standar kontrak adalah untuk mempermudah
perusahaan prinsipal dalam menjalankan usahanya, yang dalam lingkup usahanya
perusahaan prinsipal telah mempersiapkan jaringan distributor produknya tidak
secara ekslusif dipegang oleh 1 (satu) distributor dan hanya pada 1 (satu) negara,
xxxvii
transaksi, pola administrasi dan permasalahan lainnya, maka perusahaan prinsipal
cendrung menjaalankan pola pemberlakuan standar kontrak baku tersebut.
Perjanjian baku diadakan dengan maksud untuk mencapai tujuan efisiensi,
kepastian dan lebih bersifat praktis meskipun kadang-kadang mengandung faktor
negatif, karena dapat merugiksn pihak lain yaitu pihak konsumen yang lemah.
Dalam perjanjian baku maka konsumen dalam hal ini hanya mempunyai dua
pilihan yaitu menerima atau menolak perjanjian yang disodorkan kepadanya, yang
artinya tidak terjadinya transaksi antara para pihak. Dalam bahasa Inggris
perjanjian baku sering diungkapkan sebagai take it or leave it contract. Ada hal
yang perlu digaris bawahi oleh penulis dalam menyikapi perjanjian baku ini adalah
undang-undang tidak melarang siapun juga untuk membuat, memasuki,
menandatangani dan/atau menjadi pihak dalam suatu kontrak dimaksud, sepanjang
kontrak baku tersebut tidak memuat hal-hal yang secara tegas-tegas dilarang oleh
undang-undang, yaitu perjanjian dibuat dengan tidak melanggar ketertiban umum
dan kesusilaan, dimana oleh karenanya perjanjian yang telah dibuat oleh para
pihak tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Pada umumnya kontrak yang dilakukan oleh dan antara prinsipal dengan
distributornya, yang lazim terjadi isinya ditentukan oleh pihak yang lebih kuat
kedudukannya atau kedudukan ekonominya lebih kuat dalam perjanjian tersebut.
Dalam perjanjian demikian, lazim pembuat perjanjian atau pihak ekonomi yang
kuat (pihak kreditur), lebih banyak menentukan kewajiban-kewajiban kepada pihak
yang mengikatkan diri dalam perjanjian yang lazimnya merupakan pihak ekonomi
eksonerasi atau exemplion clause.
Hal mana sebenarnya tidak semana-mana dikarenakan pihak tersebut secara
ekonomi lebih kuat, yang sebenarnya faktor tersebut memang juga tidak dapat
dipungkiri, tetapi apabila dilihat dari perspektif pihak prinsipal maka sudah barang
tentu yang menjadi pemikiran adalah bagaimana pihaknya memperoleh resevasi
dan/atau pihak terjamin untuk memasuki sebuah transaksi. Sebagaimana kendala
yang mungkin timbul adalah prinsipal yang merupakan perusahaan yang tergolong
dalam lingkup lembaga wholesaler, prinsipal beranggapan bahwa perusahaannya
merupakan salah satu perusahaan yang bonafid dan memiliki jaringan pemasaran
yang luas dan tersebar diseluruh penjuru dunia, dimana apabila masing-masing
negara yang bersedia untuk mengadakan kerjasama distribusi memberikan draft
perjanjiannya secara tersendiri, maka sudah barang tentu akan terjadi suatu
kesulitan dalam pemahaman transaksi. Terlebih lagi terhadap permasalahan
perbedaan sistem hukum, atau meskipun menggunakan sistem hukum yang sama
tetapi sudah barang tentu kinerja dari sistem hukum yang sama tersebut antara satu
negara dengan negara lainnya berbeda, yang dikarenakan oleh faktor sosiologis
dan antropologis suatu masyarakat serta seberapa dekat masyarakat tersebut dekat
dengan perkembangan dan globalisasi dibidang teknologi.
Apabila ditarik mundur sejarah menunjukan tentang latar belakang sistem
hukum Belanda yang kemudian berlaku di Indonesia, yang mana salah satu alasan
mendasarnya adalah pihak kolonial Belanda dalam mengadakan transaksi jual beli
rempah-rempah dengan berbagai macam suku bangsa yang berbeda di Hindia
xxxix
minim tentang hukum adat yang berlaku pada masing-masing suku. Sementara itu
dilain pihak kolonia Belanda tetap memerlukan rempah-rempah yang merupakan
hasil bumi Hindia Belanda, maka untuk mempermudah jalannya transaksi pola
yang diterapkan dan diberlakukan dalam transaksi jual beli dimaksud adalah
dengan menggunakan hukum Belanda, dimana pada suatu pihak para kolonia
Belanda lebih mengetahui hukum mereka dan di lain pihak tercipta suatu efesiensi,
serta dikarenakan alasan-alasan lainnya. Seiring dengan perkembangan yang
terjadi dan dengan terjadinya dominasi kolonial Belanda, maka masyarakat Hindia
Belanda menjadi terpengaruh dan melihat bahwa perlu diadakan suatu kerangka
hukum yang konstruktif agar tercipta efisiensi dan efektifitas dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan. Sehingga sampai sekarang sistem tersebut tetap berlaku
namun banyak pihak yang berupaya untuk melakukan perubahan terhadap sistem
hukum peninggalan kolonia Belanda dimaksud.
Sejarah menunjukan tentang faktor kekuatan ekonomi, faktor efisiensi dan
efektifitas serta faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi penilian masyarakat dan
dalam rangka menunjang untuk terjadinya suatu proses penciptaan atau setidaknya
pemahaman/penyamaan perspektif dalam menyikapi suatu sistem hukum atau
perjanjian. Sehingga tercipta suatu fleksibilitas antara keinginan dari para pihak
yang memasuki dan menandatangani kontrak, termasuk dan tidak terbatas pada
kontrak distributor dimaksud.
Jika diperhatikan lebih mendalam hal melatarbelakangi disepakatinya
kontrak disbutor adalah kepentingan dari pada para pihak yang perlu untuk
memproduksi barang-barang yang dilain pihak memiliki suatu kendala dalam
memasarkan produk mereka, dimana asumsinya adalah bangsa pasarnya terbatas
pada lingkup lokal dan sekitar dari domisili prinsipal. Tetapi dalam dunia bisnis
tidaklah demikian, dimana agar perusahaan dapat memperoleh keuntungan yang
lebih, maka diperlukan suatu perluasan jaringan pasar. Pertanyaannya adalah
apakah prinsipal dapat melakukan hal semacam itu mengingat kemungkinan untuk
terjadinya monopoli dan biaya yang dikeluarkan oleh pihak prinsipal justru
membengkak apabila prinsipal harus membuka cabang-cabang divisi
pemasarannya baik domestik maupun internasional. Begitu banyaknya prosedur
yang harus ditempuh, terutama prosedur hukum yang sudah barang tentu negara
yang satu berbeda dengan negara lainnya, maka mengakibatkan kompleksitas
usahnya semakin rumit dan tidak tertutup kemungkinan biaya operasional
usahanya menjadi membengkak. Oleh karenanya dalam perkembangan dunia
perdaganngan lahirlah lembaga-lembaga yang memiliki fungsi sebagai
perpanjangan tangan dari prinsipal, yang seiring dengan perkembangan dikenal
dengan istilah perusahaan penyaluran, agen, distributor dan sebagainya. Di lain
pihak lembaga penyaluran ini ada tidak semata-mata terkungkung pada konteks
keberadaannya yang diperlukan, tetapi juga dikarenakan adanya manfaat maupn
keuntungan yang dapat diperoleh melalui kegiatan usaha penyaluran tersebut.
Sehingga keberadaan kedua lembaga perdagangan tersebut sebenarnya
menciptakan suatu sinergi perekonomian yang kondusif dan konstruksif. Namin
demikian, perlu adanya suatu kerangka yang secara spesifik mengatur tentang hak
xli
tersebut berada dalam kerangka tatanan hukum, yaitu yang lazim dikenal dengan
istilah kontrak.
Kontrak distributor pada umumnya tidak terdapat suatu format baku dan
oleh karenanya tidak terdapat suatu bentuk keseragaman format, tetapi selayaknya
sebuah kontrak, maka didalamnya diatur secara spesifik tentang segala sesuatu
yang berkaitan dengan kepentingan para pihak. Dengan kata lain kontrak
merupakan suatu sarana meeting of the minds among the parties thereto. Prinsip
lain yang perlu diperhatikan dalam perjanjian baku adalah masalah pilihan. Psra
pihak dalam kontrak tersebut telah menjatuhkan pilihannya untuk saling
mengikatkan diri. Suatu ikatan pada umumnya tidak akan dapat dilaksanakan
apabila melulu dalam perjanjian tersebut sangat berat sebelah dan tidak
memberikan keuntungan/manfaat bagi pihak yang lainnya. Alasan untuk
menciptakan iklim perekonomian yang baik memang merupakan konsep yang
ideal, tetapi motivasi yang timbul adalah sebenarnya untuk memperoleh
keuntungan finansial bagi perusahaan. Oleh karenanya meskipun perjanjian ini
sifatnya baku tetapi secara finansial menguntungkan, maka sudah merupakan suatu
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM PERJANJIAN KEAGENEN
A. Para Pihak Dalam Perjanjian Keagenan
Para pihak dalam perjanjian keagenan adalah:
1. Agen
2. Prinsipal
3. Pihak ketiga
Agen atau keagenan tidak diatur secara tegas dalam KUHPerdata maupun
KUHDagang. Dengan demikian dilapangan hukum perdata dan hukum dagang,
perjanjian keagenan ini merupakan suatu bentuk perjanjian atau lembaga khusus
yang timbul dalam praktek seperti halnya lembaga-lembaga yang timbul dalam
praktik lembaga keagenan ini memperoleh dasar yuridis yang diterima ekistensinya
melalui asas kebebasan berkontrak yang dijamin oleh hukum perjanjian dalam
KUHPerdata. Dengan demikian ketentuan-ketentua perjanjian pada umumnya
yang bersifat memaksa dalam KUHPerdata berlaku pula untuk perjanjian
keagenan. Selain itu menurut R. Subekti menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan
mengenai lastgeving, makelar dan komisioner juga peraturan-peraturan mengenai
keagenan yang dikeluarkan pemerintah kemudian dapat diberlakukan sebagai
ketentuan untuk perjanjian keagenan. Dengan kata lain terhadap perjanjian
keagenan akan dibelakukan ketentuan-ketentua pokok yang menyangkut
pemberian kuasa ditambah dengan beberapa ketentuan mengenai makelar dan
komisioner dan peraturan khusus yang dikeluarkan oleh Departemen Teknis. 22
22
xliii
Kriteria utama untuk dapat dikatakan adanya suatu keagenan adalah adanya
wewenang yang dipunyai agen yang bertindak untuk dan atas nama prinsipnya.
Agen bukanlah karyawan prinsipal, ia hanya melakukan perbuatan
tertentu/mengadakan perjanjian dengan pihak ke tiga. Perjanjian dengan pihak
ketiga dibuat agen untuk dan atas nama prinsipalnya berdasarkan pemberian
wewenang/kuasa dan prinsipalnya akan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh agen sepanjang tindakan tersebut dilakukan dalam batas
wewenang yang diberikannya. Perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh
pihak agen untuk prinsipalnya dan hak kewajiban para pihak dituangkan dalam
perjanjian keagenan yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Dengan
demikian keagenan dapat pula merupakan bentuk khusus dari perjanjian pemberian
kuasa, sehingga ketentuan pokok perjanjian pemberian kuasa berlaku terhadap
perjanjian keagenan. Perjanjian pemberian kuasa ini menciptakan hubungan
hukum yang bersifat koordinatif dan tetap berdasarkan alas an-alasan sebagai
berikut :
1. Agen perusahaan adalah perusahaan yang berdiri sendiri bukan bagian dari
perusahaan pemberi kuasa
2. Agen perusahaan adalah pemegang kuasa untuk menjalankan keagenan
sebagai perusahaan perwakilan dari perusahaan pemberi kuasa
3. Agen perusahaan menjalankan keagenan secara terus menerus selama tidak
dihentikan oleh perusahaan yang diageninya.23
23
Mencermati pola hubungan hukum maka akan terkait tiga pihak yaitu pihak
pemberi kuasa (prinsipal), pihak penerima Kuasa (agen), dan pihak ketiga
B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Keagenan
Seperti kita ketahui bahwa perjanjian keagenan didasari oleh kebebasan
berkontrak dalam membuat isi perjanjian, namun sebagai pedoman dasar,
Departemen perdagangan telah mengeluarkan draft yang berisi :
1. Pengangkatan Keagenan, antara lain berisi :
a. Penentuan agen tunggal atau bukan agen tunggal
b. Jenis barang yang dipasarkan
c. Daerah pemasaran
2. Hak dan Kewajiban Prinsipal, antara lain berisi :
a. Kewajiban prinsipal memasok barang yang akan dipasarkan
b. Larangan mengangkat agen lain diwilayah yang sama
c. Memelihara mutu produk
d. Memberikan bantuan promosi produk
e. Bantuan tenaga teknis kepada agen
f. Tunduk pada peraturan dimana produk dipasarkan
g. Terms dan conditions tentang pembayaran harga barang kepada prinsipal
3. Hak dan kewajiban Agen, antara lain :
a. Memproduksikan produk
b. Melindungi kepentingan prinsipal (hak paten, merek, rahasia dagang)
c. Mngembalikan semua data/informasi kepada prinsipal apabila perjanjian
xlv
d. Kewajiban menyampaikan laporan berkala
e. Larangan menjual produk di bawah harga minimum
f. Hak untuk memasarkan, membuat perjanjian jual beli, mengikuti tender
dan hak untuk mencantumkan nama prinsipal atau merek produk di kantor
agen, serta hak menerima komisi
C. Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenan
Usaha keagenan ini merupakan hubungan perdata, artinya hubungan antara
pribadi dengan pribadi yang diatur dalam bidang hukum perdata. Hubungan hukum
yang dilakukan antara pribadi dengan pribadi ini dapat terjadi dalam suatu wilayah
negara ataupun melintasi batas-batas negara, hubungan hukum yang terjadi antara
agen dan prinsipalnya atas dasar perjanjian yang berdasarkan asas kebebasan
berkontrak. Para pihak bebas membuat perjanjian apa saja/memperjanjikan apa
saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan
kesusilaan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan mengingat usaha keagenan
sudah melintasi batas-batas negara yang mana prinsipalnya di luar negeri, maka
pemerintah perlu ikut campur tangan dalam kegiatan usaha keagenan yaitu dengan
mengeluarkan peraturan-peraturan (lewat Departemen Teknis). Adanya campur
tangan pemerintah dalam usaha keagenan ini merupakan konsekuensi logis dalam
menyelenggarakan usaha-usaha untuk kesejahteraan rakyatnya dan upaya
melindungi warganya yang berposisi dipihak yang lemah terhadap pihak yang kuat
Dengan kata lain pemerintah perlu melakukan campur tangan dalam
pelaksanaan “asas kebebasan berkontrak” yang diatur dalam hukum privat.
Pertanyaan yang timbul dapatkah pemerintah mencampuri kebebasan individu
untuk melakukan suatu perjanjian keagenan? Sejauh mana campur tangan tersebut
dapat dilakukan? Menurut Setiawan ada beberapa hal pokok yang mendapatkan
perhatian, antara lain :
a. Negara/Pemerintah mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari suatu
persaingan yang dilakukan dalam bidang perdagangan, sebagai akibat dari
adanya kebebasan untuk memilih sesuatu jenis kegiatan usaha berdasarkan
pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
b. Negara/Pemerintah melakukan campur tangan semata-mata untuk menetralisir
mekanisme pasar yang dapat merugikan masyarakat.
c. Memberikan kepastian usaha.
d. Kurangnya pengetahuan pengusaha Indonesia mengenai lembaga keagenan
sehingga dapat menimbulkan kerugian24
Perwujudan