• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Terhadap Gugatan Wanprestasi Akibat DItolaknya Klaim Asuransi. (Studi Kasus Putusan MA No K/Pdt/2011)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Analisis Yuridis Terhadap Gugatan Wanprestasi Akibat DItolaknya Klaim Asuransi. (Studi Kasus Putusan MA No K/Pdt/2011)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Yuridis Terhadap Gugatan Wanprestasi Akibat DItolaknya Klaim Asuransi

(Studi Kasus Putusan MA No. 1987 K/Pdt/2011) Iqbal Prasetya, Endah Hartati, Wahyu Andrianto

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Iqbal.prasetya04@gmail.com

ABSTRAK

Perkembangan usaha asuransi di Indonesia dirasakan semakin membaik seiring dengan perkembangan perekonomian Indonesia. Kebutuhan akan hadirnya usaha perasuransian dirasakan sangat penting oleh dunia usaha mengingat adanya risiko, oleh karena itu asuransi penting untuk menjamin keberlangsungan usaha. Namun, perkembangan asuransi di Indonesia diiringi pula dengan peningkatan sengketa klaim asuransi. Wajar apabila klaim asuransi tidak selamanya diterima karena asuransi sendiri adalah suatu perjanjian antara tertanggung dengan penanggung yang memiliki hak dan kewajiban serta adanya perlindungan hukum bagi masing- masing pihak. Oleh karena itu, perlu adanya tinjauan dari prinsip-prinsip hukum perjanjian untuk melihat masalah dalam perjanjian asuransi. Penelitian ini menjelaskan tentang keabsahaan perjanjian asuransi berdasarkan hukum perjanjian, menjabarkan permasalahan hukum yang muncul dari perjanjian asuransi serta upaya hukumnya, dan analisis yuridis Putusan MA No.

1987 K/Pdt/2011 tentang kasus penolakan klaim asuransi.

Kata kunci: Perjanjian, Wanprestasi, Asuransi

ABSTRACT

The growth of insurance business in Indonesia perceived improved along with the development of Indonesian economy. The presence of insurance is very important to businesses

(2)

because there is risk in every activity, therefore insurance is important to ensure business continuity. Unfortunately, the development of insurance in Indonesia is followed by an increase in disputes of insurance claims. It is normal if the insurance claim is not always accepted because insurance is an agreement between the insured and the insurer wich has the protection of the rights and obligations of each party. Therefore, we need to review the insurance agreement problems from agreement law principle point of view. This study is to explain the validity of the insurance agreement under the law of agreement, describes the possibility of problems arising from the insurance agreement along the legal efforts, and the juridical analysis of court decisions from Mahkamah Agung No. 1987 K/Pdt/2011.

Key words: Agreement, Breach of Contract, Insurance

Pendahuluan

Sesuai dengan sifatnya yang hakiki dari manusia dan kehidupan dunia ini, maka kehidupan manusia itu selalu mengalami pasang dan surut. Hal ini disebabkan oleh sifatnya yang tidak kekal dan abadi. Artinya manusia itu di samping mengalami suka, tidak jarang juga mengalami duka dan kemalangan silih berganti datangnya. Ada kalanya untung, tetapi tidak jarang mengalami kerugian, seperti roda suatu ketika di atas dan pada saat lain di bawah.

Kemalangan atau kerugian yang mungkin terjadi itu ada kalanya berasal dan disebabkan dari diri manusia itu sendiri dan ada kalanya berasal dari luar diri manusia.1

Kebutuhan akan hadirnya usaha perasuransian dirasakan sangat penting oleh dunia usaha mengingat di satu pihak terdapat berbagai risiko yang secara sadar dan rasional dapat mengganggu kesinambungan kegiatan usahanya, di lain pihak dunia usaha seringkali tidak dapat menghindarkan diri dari sistem yang memaksanya menggunakan jasa usaha perasuransian.

Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan berperan dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor usaha lainnya, dan sejauh ini kehadiran usaha perasuransian seringkali terlihat sejalan dengan perkembangan pembangunan ekonomi yang semakin meningkat serta dalam rangka pengamanan kepentingan masyarakat atas hak milik maupun diri dan keluarganya.

                                                                                                                         

1  Sri  Rejeki  Hartono,  Hukum  Asuransi  dan  Perusahaan  Asuransi,  cet.  3,  (Jakarta:  Sinar  Grafika,  1995),  hlm.  

12.  

(3)

Namun, pada praktiknya usaha asuransi tidaklah selamanya dipandang positif oleh masyarakat mengingat tidak selalu perusahaan asuransi menerima klaim yang diajukan oleh tertanggung. Pada tahun 2012, mulai dari Januari sampai dengan bulan September Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) mencatat adanya peningkatan sengketa klaim asuransi yang tajam, yaitu mencapai 158% atau terdapat 124 kasus jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya sampai 48 kasus pada periode yang sama.2 Data tersebut belum ditambah sengketa klaim yang diajukan di lembaga arbitrase dan pengadilan. Hal tersebut menunjukan bahwa kesadaran masyarakat terhadap haknya semakin meningkat tetapi di sisi lain menunjukan masih banyaknya permasalahan dalam usaha perasuransian.

Dampak dari adanya permasalahan tersebut dapat berakibat terhadap kepercayaan publik menggunakan jasa asuransi. Hubungan antara penanggung dan tertanggung dalam suatu perjanjian asuransi sangat dilandasi oleh kepercayaan. Tertanggung percaya bahwa penanggung akan menjalankan usaha dengan baik, sehingga tidak akan bangkrut atau mengalami kesulitan keuangan dalam pembayaran klaim. Tertanggung juga percaya bahwa kelak jika terjadi risiko, maka penanggung akan membayar klaim sesuai dengan apa yang telah diperjanjikannya. Dengan maraknya sengketa klaim asuransi hal tersebut dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap usaha perasuransian.

Dari kasus persengketaan klaim asuransi yang masuk, mayoritas dimenangkan oleh pihak tertanggung dengan perbandingan 4:1. Hal ini menunjukan belum ada itikad baik dari beberapa perusahaan asuransi untuk memenuhi kewajibannya untuk melindungi konsumen. Posisi tawar yang rendah dari konsumen yang menjadi salah satu faktor gagalnya klaim asuransi disebabkan oleh adanya perjanjian baku dari perusahaan asuransi. Kontrak baku berisi klausul-klausul standar yang kesemuanya disiapkan dari perusahaan. Konsumen yang berminat untuk berasuransi tidak punya pilihan lain kecuali menandatangani perjanjian baku tersebut dikarenakan semua klausul telah dalam format standar dalam perusahaan.3

Usaha perasuransian, sama halnya dengan usaha perbankan, akan dipercaya apabila dapat memberikan jaminan kepercayaan kepada masyarakat. Perusahaan asuransi harus benar-benar dapat memberikan jaminan bahwa dana yang dikumpulkan akan dikembalikan di kemudian hari                                                                                                                          

2  Surya  Mahendra  Saputra,  “Sengketa  Klaim  Asuransi  Melonjak  158%”,http://www.bisnis-­‐

jatim.com/index.php/2012/11/07/sengketa-­‐klaim-­‐asuransi-­‐melonjak-­‐158/  diunduh  22  April  2013.  

  3  Rizqi  Amrilah,  “Disfungsi  Asuransi”  Media  Indonesia.  (16  April  2012).  hlm.  7.  

(4)

sesuai dengan hak nasabah. Masyarakat harus dapat diyakinkan bahwa perusahaan asuransi akan dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh masyarakat tertanggung.

Memang wajar apabila tidak selamanya klaim asuransi selalu diterima, karena bentuk dari asuransi sendiri adalah perjanjian antara tertanggung/pembayar polis dengan penanggung.

Masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban serta adanya perlindungan hukum bagi para pihak. Perjanjian asuransi memiliki kekhususannya sendiri yang membedakannya dengan bentuk perjanjian-perjanjian lainnya namun tetap berlaku prinsip-prinsip hukum perjanjian pada umumnya. Apabila salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya maka pihak lain dapat menuntutnya.

Untuk itu perlu adanya pemahaman dari aspek hukum perjanjian terkait masalah-masalah sengketa asuransi untuk mengetahui apa yang benar, pihak mana yang harus dimenangkan apabila adanya gugatan, dan apa saja masalah-masalah yang timbul dari adanya perjanjian asuransi. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membahas tentang perjanjian asuransi menurut hukum perjanjian, beberapa masalah yang menurut penulis cukup penting untuk dikemukakan adalah :

1. Bagaimana keabsahan perjanjian asuransi ditinjau dari hukum perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata?

2. Apakah permasalahan-permasalahan hukum yang mungkin terjadi berkaitan dengan perjanjian asuransi dan bagaimana upaya hukumnya?

3. Bagaimana analisis yuridis terhadap Putusan MA No. 1987 K/Pdt/2011 (gugatan wanprestasi akibat ditolaknya klaim asuransi)?

Tinjauan Teoritis

Untuk mempermudah dalam penelusuran penelitian, penulis menggunakan beberapa definisi operasional yaitu diantaranya :

1. Kreditor

Kreditor adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu.4

                                                                                                                         

4  Indonesia,  Undang-­‐Undang  Hak  Tanggungan  Atas  Tanah  Beserta  Benda-­‐Benda  Yang  Berkaitan  dengan   Tanah,  UU  No.  4  Tahun  1996,    LN  No.  42  Tahun  1996,  TLN  No.  3632,  Ps.  1.      

 

(5)

2. Debitor

Debitor adalah pihak yang berutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu.5 3. Penanggung

Penanggung adalah terjemahan dari Verzekeraar yaitu pihak yang menanggung risiko.6 4. Tertanggung

Tertanggung adalah terjemahan dari Verzekerde yaitu pihak yang mengalihkan risiko atas kekayaaan atau jiwanya kepada penanggung.7

Metode Penelitian

Tipe penelitian yang penulis gunakan dari sudut sifatnya yaitu penelitian deskriptif.

Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu.8 Penulis mencoba untuk menjelaskan tentang penerapan hukum perjanjian dalam kasus asuransi, serta membandingkannya dengan teori-teori dari para ahli.

Dari sudut bentuknya tipe penelitian pada penulisan ini adalah penelitian preskriptif.

Penelitian preskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran atau merumuskan masalah sesuai dengan keadaan/fakta yang ada.9 Penulis dalam penulisan ini berusaha menggambarkan keadaan penerapan hukum perjanjian dalam kasus asuransi dan merumuskan permasalahan yang mungkin terjadi dalam perjanjian asuransi.

Kemudian dari sudut tujuannya penelitian ini merupakan penelitian problem-finding.

Penelitan problem-finding adalah penelitian yang bertujuan untuk menemukan masalah.10

                                                                                                                         

5    Ibid.  

6  Abdulkadir  Muhammad,  Hukum  Asuransi  Indonesia,cet.  5,  (Bandung:  PT.  Citra  Aditya  Bakti,  2011),  hlm.    

7.  

7  Ibid.      

8  Soerjono  Soekanto  dan  Sri  Mamudji,  Penelitian  Hukum  Normatif  Suatu  Tinjauan  Singkat,  ed.  1,  cet.  10,     (Jakarta  :  Raja  Grafindo  Persada,  2007),  hlm.  9.  

9  Ibid.    

  10  .Soerjono  Soekanto,  Pengantar  Metode  Penelitian  Hukum,  cet.  10,  (Jakarta:  UI  Press,  2000),  hlm.  10.  

 

(6)

Penulis bertujuan untuk mencari permasalahan-permasalahan yang mungkin terjadi dalam perjanjian asuransi

Data penelitian yang dipakai penulis dalam rangka pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini hanya menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.11 Bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

Hasil Penelitian

Pendapat dari mayoritas majelis hakim dalam Putusan MA No. 1987 K/Pdt/2011 pada intinya menyatakan bahwa SIB sudah tidak berlaku lagi, dan dengan demikian telah terjadi pelanggaran pasal 251 KUHD mengenai prinsip utmost good faith karena kapal tidak berangkat sesuai jadwal SIB.

Dari Dissenting Opinion atau perbedaan pendapat dalam Majelis Hakim oleh Prof. Dr.

Takdir Rahmadi, SH. LLM pada intinya menyatakan perubahan jadwal keberangkatan KLM Sinar Bunga Perdana serta fakta bahwa SIB KLM Sinar Bunga Perdana tidak berlaku bukan hal yang esensial yang dapat membatalkan perjanjian. Sudah terdapat konsistensi/kesesuaian antara dokumen hukum dan fakta keberangkatan, serta kecelakaan terjadi dalam rentang waktu setelah perjanjian dibuat bukan sebelum perjanjian dibuat.

Dalam perjanjian suatu perjanjian dianggap lahir pada waktu tercapainya suatu kesepakatan antara kedua belah pihak. Sedangkan dalam konteks asuransi kesepakatan tersebut tidak hanya bersifat materil tetapi juga harus bersifat formil. Oleh karena sifat materil dan formil tersebut harus dipenuhi maka makna “disepakati” dalam konteks asuransi disebut dengan

“ditutup/ditutupnya suatu asuransi”. Sifat formil dari kesepakatan tersebut dinilai dari dua hal yaitu :

1. Penanggung menyatakan secara tertulis untuk menanggung risiko.

2. Adanya pembayaran dari pihak Tertanggung

Walaupun suatu polis belum terbit tetapi apabila penutupan sudah terjadi (Penanggung sudah bersedia menutup risiko dan Tertanggung sudah membayar premi), maka Penanggung

                                                                                                                         

11  Ibid.,  hlm.  51.    

 

(7)

wajib untuk menanggung risiko. Artinya adalah Perjanjian Asuransi lahir seketika setelah ditutup.

Berdasarkan teori tersebut, walaupun polis baru ditandatangai pada tanggal 23 Juni 2008 tetapi perikatan telah lahir sejak tanggal 20 Juni 2008. Pihak Tertanggung telah membayar premi kepada PT Ganie Akbarindo Distributory pada tanggal 20 Juni 2008 yang mengakibatkan telah ditutupnya perjanjian asuransi antara Zainuddin Anshori sebagai pihak Tertanggung dengan PT.

Asuransi Recapital sebagai pihak Penanggung.

Pasal 5 poin (a) UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU UP) menyebutkan bahwa perusahaan pialang hanya dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi.12 Apabila penutupan asuransi menggunakan jasa pialang asuransi, pialang bertugas menyalurkan premi dari tertanggung ke penangggung. Pialang wajib menyerahkan premi tersebut sebelum tenggat waktu pembayaran premi yang ditetapkan dalam polis, apabila melewati tenggat waktu maka perusahaan pialang bertanggung jawab atas pembayaran klaim yang timbul dari kerugian yang terjadi dalam jangka waktu antara habisnya tenggang waktu sampai dengan diserahkannya premi kepada perusahaan asuransi

Melihat fakta bahwa penutupan telah dibayar pada tanggal 20 Juni 2008 dan polis ditandatangani pada tanggal 23 Juni 2008, serta tidak ada pernyataan dari pihak Tergugat bahwa ia belum menerima pembayaran premi dari pihak PT. Ganie Akbarindo, maka tidak ada masalah dengan tenggat waktu penyerahan premi. Oleh karena itu, kewajiban menanggung risiko Penggugat berada di tangan Tergugat.

Gugatan wanprestasi bertujuan untuk menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian terlaksana, ganti rugi yang diberikan adalah kehilangan keuntungan yang diharapkan atau ecpectation loss. Sedangkan gugatan PMH bertujuan menempatkan penggugat pada posisi sebelum terjadi PMH, sehingga ganti rugi yang diberikan adalah kerugian yang nyata.13 Oleh karena berdasarkan suatu perjanjian dan bertujuan untuk mendapatkan penggantian kerugian (expectation loss), Penulis berpendapat bahwa kasus ini merupakan kasus mengenai wanpresetasi.

                                                                                                                         

12  Indonesia,  Undang-­‐Undang  Usaha  Perasuransian,  UU  No.  2  Tahun  1992,  LN  No.  13  Tahun  1992,  TLN  No.  

3467,  Ps.  5.    

 13  Rosa  Agustina,  dkk.  Hukum  Perikatan  (Law  of  Obligations).  Cet.  1.  (Denpasar  :  Pustaka  Larasan,  2012_    

hlm.  11-­‐12.  

(8)

Pengaturan Utmost Good Faith diperuntukan untuk melindungi kepentingan pihak asuransi. Penanggung harus dapat mempercayai bahwa Tertanggung tidak berbohong atau menipunya oleh karena itu pihak Tertanggung harus memberikan informasi yang sebenar- benarnya mengenai obyek pertanggungan dan risiko yang diketahui. Karena berdasarkan informasi tersebut mempengaruhi apakah Penanggung berani melakukan penutupan dan besarnya nilai premi.

Mengenai informasi tentang keberangkatan KLM Sinar Bunga Perdana ditinjau dari teori diatas penulis berpendapat bahwa informasi tersebut merupakan keterangan bersifat terbuka dan harus membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Dan misalkan informasi tersebut merupakan keterangan yang keliru/misrepresentasi dan dapat membatalkan perjanjian asuransi tersebut maka perlu diketahui apakah infromasi itu memang disengaja atau tidak.

Brian Amy Prastyo, dosen Hukum Asuransi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia berpendapat bahwa fakta materil dari perjanjian asuransi adalah hal yang mempengaruhi nilai premi dari suatu pertanggungan. 14 Fakta materil sendiri adalah fakta yang berkaitan dengan hakekat dari risiko, dimana pihak penanggung mempertimbangkan fakta tersebut untuk menentukan apakah akan menutup risiko tertanggung atau tidak.

Mengenai perubahan jadwal dari tanggal 19 Juni menjadi 24 Juni sendiri tidak mempengaruhi nilai premi. Justru jika tidak mengikuti ketentuan izin berlayar jika dipaksakan pada saat terjadi gangguan cuaca maka akan memperbesar risiko terjadinya kerugian.

Keberlakuan jadwal keberangkatan menjadi berbeda halnya ketika tanggal terjadinya risiko diluar cangkupan pertanggungan yang diatur dalam polis, jika terjadi hal tersebut maka pihak penanggung tidak wajib memberikan biaya kerugian. Tetapi dari kesesuaian dokumen dengan jadwal keberangkatan serta tanggal tenggelamnya kapal tidak terdapat masalah. Menurut penulis alasan dari misrepresentasi pihak penanggung untuk menolak klaim pihak tertanggung tidak beralasan.

                                                                                                                         

14  Wawancara  dengan  Brian  Amy  Prastyo,  M.LI,  pada  tanggal  6  Januari  2014  di  Fakultas  Hukum  Universitas   Indonesia,  Depok.  

(9)

Pembahasan

Bila hendak mendefinisikan mengenai perjanjian pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari pengertian perikatan. Hal inilah yang termuat dalam Buku III KUHPerdata, yang berjudul

“Perihal Perikatan”. Dipilihnya istilah “Perihal Perikatan” dalam Buku III KUHPerdata didasarkan pada lebih luasnya pengertian perikatan bila dibandingkan dengan istilah perjanjian.

Buku III KUHPerdata tidak hanya mengatur mengenai hubungan hukum yang bersumber pada perjanjian saja, namun juga mengatur mengenai hubungan hukum yang tidak bersumber dari perjanjian. Oleh karena itulah, KUHPerdata lebih menggunakan istilah perikatan daripada perjanjian. Dengan kata lain, perikatan pada dasarnya merupakan suatu pengerian abstrak, sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang kongkrit.15

Pengertian dasar dari perikatan menurut Subekti adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang atau dua pihak, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Adapun pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau

“kreditor, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau

“debitor”. Sedangkan barang atau sesuatu yang dapat dituntut disebut dengan istilah “prestasi”.

Adapun prestasi tersebut menurut undang-undang dapat berupa menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan.

Subekti mendefinisikan perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.16

Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja perjanjian adalah satu sumber perikatan.

Perjanjian melahirkan perikatan yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang                                                                                                                          

15  Subekti,  Pokok-­‐Pokok  Hukum  Perdata,  (Jakarta:  PT.  Intermasa,  2001),  hlm  122.  

 16  Subekti,  Hukum  Perjanjian,  cet.  21,    (Jakarta:  Intermasa,  2005),  hlm.  1.  

(10)

lahir dari perjanjian tersebut. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut. Dalam hal debitor tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati tersebut, maka kreditor berhak untuk menuntut pelaksanaan kembali perjanjian yang belum, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan atau yang telah dilaksanakan secara bertentangan atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, dengan atau tidak disertai dengan penggantian berupa bunga, kerugian dan biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditor.17

Menurut R. Setiawan, dalam perikatan paling sedikit terdapat satu hak dan satu kewajiban. Suatu persetujuan dapat menimbulkan satu atau beberapa perikatan, tergantung daripada jenis persetujuannya. Menurutnya, perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh Hukum. Hubungan hukum ini perlu dibedakan dengan hubungan-hubungan yang terjadi dalam pergaulan hidup berdasarkan kesopanan, kepatutan, dan kesusilaan. Pengingkaran terhadap hubungan-hubungan semacam itu, tidak akan menimbulkan akibat hukum. Jadi hubungan yang berada di luar lingkungan hukum bukan merupakan perikatan.

Selanjutnya terdapat istilah kontrak atau contract dalam bahasa Inggris. Dalam Black’s Law Dictionary, Contract diartikan sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus. I.G Rai Widjaya menganggap batasan antara perjanjian dan contract mempunyai arti yang lebih kurang sama. Menurut Black’s Law Dictionary juga dikatakan bahwa Agreement mempunyai pengertian yang lebih luas daripada contract. Semua contract adalah agreement, tetapi tidak semua agreement merupakan contract.18

Secara hukum, istilah asuransi saat ini di Indonesia didefinisikan dalam 3 (tiga) peraturan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU UP), dan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (UU LPEI). KUHD memuat aturan yang utamanya

                                                                                                                         

17  Kartini  Muljadi  dan  Gunawan  Widjaja,  Perikatan  yang  Lahir  dari  Perjanjian,  cet.3,  (Jakarta  :  PT  Raja   Grafindo  Persada,  2006),  hlm.    91.  

18  I.  G.  Rai  Widjaya,  Merancang  Suatu  Kontrak  (Contract  Drafting),  cet.  4,  (Jakarta:  Megapoin,  2007),  hlm.    

11-­‐12.  

 

(11)

mengenai prinsip-prinsip dalam Perjanjian Asuransi, sedangkan UU UP memuat aturan mengenai tata kelola bisnis perasuransian.

1. Definisi Asuransi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yaitu :

“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.”19

2. Definisi asuransi menurut UU No. 2 Tahun 1992 (UU UP) yaitu:

“Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”20

3. Definisi asuransi berdasarkan UU No. 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (UU LPEI) yaitu:

“Asuransi adalah pemberian fasilitas berupa ganti rugi atas kerugian yang timbul sebagai akibat dari suatu peristiwa yang tidak pasti.”21

Dari ketiga definisi tersebut penulis berpendapat bahwa terdapat persamaan definisi yaitu mengenai asuransi merupakan penggantian kerugian dari persitiwa yang tidak tentu. Definisi dari KUHD dan UU UP menekankan bahwa asuransi merupakan suatu perjanjian antara pihak tertanggung dan penanggung dengan ditandai pembayaran premi. Namun makna definisi dari UU UP lebih luas dari dua definisi lainnya karena mencakup jenis asuransi yaitu mengenai

                                                                                                                         

19  Kitab  Undang-­‐Undang  Hukum  Dagang  dan  Undang-­‐Undang  Kepailitan  [Wetboek  Van  Koophandel  en     Faillissements-­‐Verordening],  diterjemahkan  oleh  Subekti  dan  R.  Tjitrosudibio,  (Jakarta:  PT.  Pradnya  Paramita),  Ps.  

246.    

20  Indonesia,  Undang-­‐Undang  Usaha  Perasuransian,  UU  No.  2  Tahun  1992,  LN  No.  13  Tahun  1992,  TLN  No.    

3467,  Ps.  1.    

21  Indonesia,  Undang-­‐Undang  Lembaga  Pembiayaan  Ekspor  Indonesia,  UU  No.  2  Tahun  2009,  LN  No.  2     Tahun  2009,  TLN  No.  4957.  Ps.  1.    

(12)

asuransi dari risiko tanggung jawab pihak ketiga, asuransi dari risiko harta, dan asuransi dari risiko manusia.

Di dalam perumusan pasal 246 KUHD disebutkan arti asuransi atau pertanggungan itu ada unsur suatu perjanjian. Maka dapat dikatakan asuransi juga mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam hukum perjanjian yang diatur di dalam KUHPerdata

Perjanjian asuransi di dalam pasal 1774 KUHPerdata termasuk perjanjian untung- untungan atau Kansovereenkomst yang menyebutkan tiga contoh perjanjian tersebut, yaitu asuransi, bunga cagak hidup, dan perjudian/pertaruhan.

Perjanjian asuransi harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai pasal 1320 KUHPerdata yang meliputi: kesepakatan, kecakapan, adanya hal tertentu yang diperjanjikan, dan adanya sebab yang halal. Dalam perjanjian asuransi, perjanjian itu akan sah jika hasil dari penawaran yang sah diikuti dengan penerimaan yang sah pula. Penawaran ini dilakukan oleh pelamar/peminta jasa asuransi yang selanjutnya disebut sebagai pemegang polis. Pelamar tersebut bisa perorangan/individu ataupun badan hukum/perusahaan. 22

Oleh karena dalam perjanjian asuransi tidak terjadi tawar-menawar, sebab perjanjian itu diciptakan sendiri oleh perusahaan asuransi dan tertanggung tinggal memilih apakah menerima atau menolak perjanjian itu. Fakta ini penting jika pengadilan harus menafsirkan bunyi perjanjian itu. Jika isi perjanjian itu kabur atau multitafsir, maka biasanya pengadilan akan memberikan penafsiran yang menguntungkan bagi tertanggung berdasarkan asuransi bahwa karena penanggung yang membuat kontrak itu maka seharusnya ia mengetahui apa yang ingin dikatakannya dan seharusnya dikatakan dengan jelas.23

Apabila pihak pelamar dan penanggung sama-sama setuju, maka perjanjian tersebut dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. Jadi dalam hal ini jika antara penanggung dan tertanggung telah tercapai kesepakatan, maka berlakulah kepada mereka isi dari pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” 24

                                                                                                                         

22Marudut  Siregar,  “Suatu  Tinjauan  tentang  Perjanjian  Asuransi  pada  PT.Maskapai  Asuransi  Ramayana”,   (Skripsi  Sarjana  Universitas  Indonesia,  Jakarta,1985),  hlm.  62.    

23  Ibid.      

24  Kitab  Undang-­‐Undang  Hukum  Perdata  [Burgerlijk  Wetboek],  diterjemahkan  oleh  R.  Subekti  dan  R.    

Tjitrosudibio,Cet.40,(Jakarta:  Pradnya  Paramita,2009),  Ps.  1338  (1).    

(13)

Jadi para pihak harus mematuhi apa yang telah diperjanjikan mereka di dalam polis itu.

Dapat dikatakan bahwa perjanjian asuransi disamping menganut asas kebebasan berkotrak juga bersifat konsensuil, karena perjanjian itu terbit seketika setelah ada kata sepakat walaupun polisnya belum ditandatangani.25

Syarat kedua sahnya suatu perjanjian, penerapannya dalam perjanjian asuransi menetapkan bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian haruslah mempunyai kemampuan hukum. Artinya bahwa pihak-pihak yang boleh mengadakan perjanjian asuransi haruslah mereka yang dianggap cakap dalam melakukan tindakan hukum.26

Syarat ketiga, untuk terpenuhinya syarat adanya hal tertentu, maka yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu.

Barang yang dimaksudkan paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Dalam kaitannya dengan premi, maka harus dapat ditentukan jumlah nominalnya dan dirinci beberapa nominal dari premi tersebut yang peruntukannya sebagai premi murni dan berapa yang untuk biaya administrasi.

Dalam kaitannya dengan nilai pertanggungan yang kelak akan dibayar jika terjadi risiko, maka terhadap asuransi dengan sejumlah uang, nilai tersebut harus ditentukan secara jelas dan jika ada pengurangan nantinya harus dirinci untuk apa saja pengurangan tersebut.27

Suatu sebab yang halal dalam perjanjian asuransi dapat diartikan bahwa tujuan dari perjanjian asuransi harus legal, tidak boleh bertentangan dengan undang-undangan atau kebijaksanaan pemerintah, bukan semata-mata karena faktor perjudian maupun pertaruhan. Jadi tujuan diadakannya perjanjian asuransi itu harus benar-benar untuk mengalihkan resiko yang mungkin akan menimpa diri si tertanggung akibat suatu peristiwa yang belum pasti terjadi.

Dengan demikian “itikad baik” para pihak sangat mutlak diperlukan.28

Dalam perjanjian asuransi selain asas-asas umum hukum perjanjian, perjanjian asuransi juga harus memiliki prinsip khusus yaitu:

1. Asas Kejujuran yang Sempurna (Principle Of Utmost Good Faith)

                                                                                                                         

25  Marudut  Siregar,  Op.Cit.,  hlm.  62.    

 26  Ibid.    

 27  Simanjuntak,  Prastyo,  dan  Setiawan,  Hukum  Asuransi,  cet.  1,  (Depok:  Djokosoetono  Research  Center   FHUI,  2011),  hlm.  21-­‐22  

 28  Ibid.,  hlm.  62-­‐63.    

(14)

Inti dari prinsi Utmost Good Faith ini adalah bahwa setiap pihak diwajibkan untuk mengungkapkan segala fakta material atau fakta yang diduga dapat mempengaruhi penutupan asuransi terhadap suatu obyek (duty of disclosure) dan dilarang membuat pernyataan yang keliru atau tidak benar (mispreperstation) dalam Perjanjian asuransi. Jika kewajiban dan larangan itu dilanggar, maka Perjanjian asuransi dapat batal, walaupun calon Tertanggung menunjukan itikad baik selama proses berkontrak tersebut. 29

Pemenuhan asas ini sangatlah penitng karena mempengaruhi keputusan dari penanggung untuk sepakat melakukan penutupan perjanjian atau tidak. Informasi yang diberikan tertanggung sangatlah penting karena mempengaruhi persyaratan-persyaratan yang akan dikenakan yang nantinya akan menentukan besarnya premi.

2. Asas Kepentingan yang dapat diasuransikan (Insurable Interest)

Asas ini mengatur bahwa dalam menutup perjanjian asuransi seseorang yang melakukan penutupan perjanjian asuransi haruslah memiliki kepentingan terhadap objek yang diasuransikan.

Kepentingan yang dimaksud di sini adalah kepentingan keuangan, bahwa orang tersebut akan menderita kerugian secara finansial apabila resiko yang diperjanjikan terjadi. Asas ini diatur dalam Pasal 250 dan 268 KUHD yang pada dasarnya mengatur bahwa setiap kepentingan dapat diasuransikan sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 268 yaitu kepentingan tersebut dapat dinilai dengan uang, dapat diancam bahaya, dan tidak dikecualikan oleh Undang-Undang.

Untuk mengetahui apakah seseorang mempunyai kepentingan atau tidak terhadap objek yang diasuransikan dapat kita lihat dengan cara:

a. Seberapa jauh keterkaitannya terhadap objek yang diasuransikan terhadap terjadinya peristiwa yang diperjanjikan;

b. Apakah terjadinya peristiwa yang diperjanjikan tersebut menyebabkan kerugian atau tidak terhadap tertanggung.30

3. Asas Indemnitas 3. Asas Indemnitas

Asas indemnitas adalah suatu asas dimana penggantian kerugian bertujuan untuk mengembalikan posisi keuangan tertanggung seperti sesaat sebelum terjadinya kerugian. Maksud                                                                                                                          

29  Ibid.  

 30  Ibid,  hlm.  100.    

(15)

dari asas ini adalah penggantian kerugian yang dilakukan tertanggung harus sesuai besarnya kerugian yang dilakukan tertanggung harus sesuai besarnya kerugian yang benar-benar diderita oleh tertanggung sesaat sebelum kerugian terjadi. Pengganti kerugian ini tidak boleh menyebabkan posisi keuangan tertanggung menjadi lebih diuntungkan daripada sesaat sebelum terjadinya kerugiaan. Prof Emmy Pangaribuan memberikan pendapat bahwa “asas keseimbangan ini ditarik pada asas umum dari hukum perdata yaitu “larangan memperkaya diri secara melawan hukum atau memperkaya diri tanpa hak”.31

4. Asas Subrogasi

Asas ini daitur dalam Pasal 284 KUHD yang pada intinya mengatur mengenai penggantian kedudukan tertanggung oleh penanggung sebagai pihak yang telah membayar ganti kerugian, dalam melaksanakan hak-hak tertanggung terhadap pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya kerugian. Maksudnya adalah penanggung yang telah mengganti kerugian kepada tertanggung atas kerugian yang dialaminya karena tindakan pihak ketiga, maka ia berhak untuk menggantikan kedudukan tertanggung untuk mendapat ganti kerugian dari pihak ketiga tersebut.

Kesimpulan

Kesimpulan pokok permasalahan satu yaitu sebagaimana perjanjian pada umumnya, keabsahan perjanjian asuransi harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

1. Kesepakatan.

Dalam perjanjian asuransi tidak ada tawar-menawar, Tertanggung hanya bisa memilih menerima atau menolak perjanjian. Kesepakatan ditunjukan pada saat tertanggung melakukan pembayaran premi.

2. Kecakapan.

Para pihak yang mengadakan perjanjian haruslah mereka yang dianggap cakap dalam melakukan tindakan hukum.

3. Mengenai suatu hal tertentu.

                                                                                                                         

31  Ibid,  hlm.  99.    

(16)

Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian asuransi haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas. Hal atau barang tersebut harus dapat ditentukan jumlah nominal dan preminya. Hal atau barang tersebut dapat ditentukan dengan jelas nilai kerugiannya pada saat terjadi kerugian.

4. Sebab yang halal.

Tujuan dari perjanjian asuransi tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, ataupun kepentingan umum.

Perjanjian asuransi merupakan perjanjian untung-untungan sesuai Pasal 1774 KUHPerdata yang pengaturannya diatur di dalam KUHD.

Kesimpulan mengenai pokok permasalahan 2 yaitu permasalahan hukum yang mungkin terjadi dalam Perjanjian Asuransi ada dua kelompok. Yang pertama sengketa mengenai tanggung jawab polis (policy liability), apakah polis menjamin kerugian atau klaim yang diajukan Tertanggung. Yang kedua adalah sengketa mengenai besaran atau jumlah ganti kerugian atau klaim (amount of loss) yang diajukan oleh Tertanggung.

Upaya hukum untuk penyelesaian permasalahan yang timbul dari perjanjian asuransi dapat melalui 3 cara. Penyelesaian sengketa secara adminsitratif, penyelesaian sengketa secara perdata, dan penyelesaian sengketa secara pidana.

Kesimpulan mengenai pokok permasalahan 3, berdasarkan analisis maka penulis berkesimpulan bahwa Putusan MA No. 1987 K/Pdt/2011 tidak tepat karena

a. Seharusnya pihak Tergugat berkewajiban menanggung risiko dari Penggugat karena sudah lahir perikatan pada saat dilakukan pembayaran premi oleh pihak Penggugat pada tanggal 19 Juni 2008 dan sudah ditandatangani Polis Nomor : SMG/CC-6/2008/00121 pada tanggal 23 Juni 2008. Tetapi hakim tidak mempertimbangkan kapan lahirnya perjanjian asuransi antara pihak Penggugat dan Tergugat, sehingga hakim menyatakan pihak tergugat tidak wajib memberikan ganti rugi (pertanggungan)

b. Perbedaan tanggal keberangkatan yang didalilkan oleh Tergugat bukan merupakan misrepresentasi yang dilakukan oleh pihak Penggugat yang dapat membatalkan pertanggungan karena tidak terbukti kesengajaan pihak Penggugat. Pihak Tergugat sendiri seharusnya telah mengetahui perubahan jadwal keberangkatan Kapal KLM Sinar Bunga Perdana karena Polis Nomor : SMG/CC-6/2008/00121 telah menyebutkan bahwa keberangkatan kapal adalah tanggal 24 Juni 2008. Tetapi hakim menganggap bahwa

(17)

perbedaan tanggal merupakan misrepresentasi walaupun tanggal keberangkatan yang benar sudah disebutkan dalam polis sehingga hakim menyatakan pihak tergugat tidak wajib mengganti kerugian pihak penggugat.

c. Perubahan jadwal keberangkatan KLM Sinar Bunga Perdana bukanlah hal yang dapat membatalkan perjanjian karena tidak mempengaruhi nilai premi. Tetapi hakim menganggap perbedaan jadwal merupakan hal yang penting sehingga dapat membatalkan perjanjian pertanggungan antara pihak tergugat dengan pihak penggugat.

Saran

Dalam penelitian ini penulis memberikan beberapa saran yaitu:

1). Para penjual jasa asuransi agar menjelaskan detail perjanjian, sehingga tidak ada kesalahpahaman jika terjadi sesuatu yang tidak bisa ditanggung penyedia jasa asuransi

2). Calon tertanggung atau calon peserta asuransi sebaiknya membaca dengan detail surat perjanjian dan perlu memahami polis asuransi sebelum resmi menjadi anggota asuransi, agar tidak merasa kecewa di kemudian hari yang menyebabkan timbulnya sengketa asuransi.

3). Kedepannya pengaturan tentang prinsip Utmost Good Faith memiliki penjelasan dan pengaturan lebih lanjut agar pasal ini tidak menjadi “pasal karet”.

4). Adanya pengawasan usaha perasuransian yang baik untuk mencegah terjadinya sengketa yang berasal dari perjanjian asuransi.

Daftar Referensi

Sumber Peraturan Perundang-Undangaan:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita,2009.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan [Wetboek Van Koophandel en Faillissements-Verordening], diterjemahkan oleh Subekti dan R.

Tjitrosudibio, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2004.

Indonesia, Undang-Undang Usaha Perasuransian, UU No. 2 Tahun 1992, LN No. 13 Tahun 1992, TLN No. 3467.

(18)

Indonesia, Undang-Undang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, UU No. 2 Tahun 2009, LN No. 2 Tahun 2009, TLN No. 4957.

Indonesia, Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, UU No. 4 Tahun 1996, LN No. 42 Tahun 1996, TLN No. 3632.

Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, Nomor 422/KMK.06/2003.

Sumber Buku:

Agustina, Rosa. Et. Al. Hukum Perikatan (Law of Obligations). Cet. 1. Denpasar: Pustaka Larasan, 2012.

Hartono, Sri Rejeki. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Cet. 3, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

Kaihatu, JE. Asuransi Kebakaran. Cet.1. Jakarta : Djambatan, 1972.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Asuransi Indonesia. Cet. 5. Bandar Lampung: Citra Aditya Bakti, 2011.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Cet.3. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Prodjodikoro, Wirjono. Azas-azas Hukum Perjanjian, Cet. 8, Bandung : Mandar Maju, 2000.

Prodjodikuro, Wirjono. Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta : Intermasa 1982.

Setiawan, R. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Cet. 4. Bandung : Binacipta, 1987.

Simanjuntak, Kornelius, Brian Amy Prastyo, dan Myra R.B Setiawan. Hukum Asuransi. Cet. 1.

Depok: Djokosoetono Research Center FHUI, 2011.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Cet. 10. Jakarta: UI Press, 2000.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3. Jakarta: UI-Pres, 1986 Subekti. Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional. Cet. 1, Bandung: Alumni, 1980.

Subekti. Hukum Perjanjian, Cet. 21, Jakarta: Intermasa, 2005.

Sumber Tesis:

Marudut Siregar, “Suatu Tinajauan tentang Perjanjian Asuransi pada PT.Maskapai Asuransi Ramayana”, (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta,1985), hlm. 62.

(19)

Sumber Artikel:

Amrilah, Rizqi, “Disfungsi Asuransi” Media Indonesia. (16 April 2012). hlm. 7.

Sumbe Internet:

Saputra, Surya Mahendra, “Sengketa Klaim Asuransi Melonjak 158%”,http://www.bisnis- jatim.com/index.php/2012/11/07/sengketa-klaim-asuransi-melonjak-158/ diunduh 22 April 2013.

Referensi

Dokumen terkait

Pada tugas akhir ini akan dirancang suatu software untuk mendeteksi penyakit kelainan jantung PACs mengunakan RR interval dan algoritma QRS Detection Pan and

[r]

Dimaksudkan evaluasi disini adalah mengetahui sejauh mana langkah konseling yang telah dilakukan telah mencapai hasilnya. Dapat dilihat pada perkembangan selanjutnya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan adanya pengaruh Bauran Promosi yang terdiri dari Periklanan, Promosi Penjualan, dan Publisitas baik secara

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah hasil belajar akuntansi yang diajar

Berbagai ide yang tidak terduga oleh pasukan Bizantium dilakukan oleh Sultan yaitu memindahkan 70 kapal di utara Galata, membuat menara dari kayu, menggali terowongan bawah tanah,

Meskipun secara parsial persepsi harga tidak berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap keputusan pembelian namun penilaian terhadap harga serta kualitas dari suatu

Dalam hal ini yang menjadi kajian peneliti adalah yang berkaitan dengan objek jaminan fidusia yang disita oleh Negara akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan debitur