TESIS
Oleh
DEWI FITRI
107011041/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
DEWI FITRI
107011041/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nomor Pokok : 107011041
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Sanwani Nasution, SH)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Sanwani Nasution, SH
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
3. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn
Nama : DEWI FITRI
Nim : 107011041
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : ANALISIS PERBUATAN WANPRESTASI PIHAK
PENYEWA DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA
RUMAH (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG RI NO. 1507K/PDT/2010)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan satu dengan lainnya. Pada dasarnya suatu perjanjian akan berlangsung dengan baik jika para pihak yang melakukan perjanjian tersebut dilandasi oleh itikad baik (good faith), namun apabila salah satu pihak tidak beritikad baik atau tidak melaksanakan kewajibannya maka akan timbul perbuatan wanprestasi. Seperti halnya yang terjadi pada perjanjian sewa menyewa yang telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1507 K/PDT/2010. Dalam penelitian tesis ini membahas mengenai bagaimana akibat hukum jika pihak penyewa melakukan perbuatan wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa rumah yang telah lama disewanya dan bagaimanakah dasar pertimbangan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan MARI No. 1507 K/PDT/2010 mengenai perkara ini.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder. Dan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya suatu perjanjian sewa-menyewa dibuat secara dibawah tangan seperti ternyata dalam kwitansi tertanggal 20 Desember 1959. Hubungan sewa-menyewa ini terus berlangsung dengan baik ketika penyewa dan yang menyewakan meninggal dunia kemudian dilanjutkan oleh ahli waris dari kedua belah pihak. Namun diawal bulan April 2005 ahli waris dari penyewa menghentikan pembayaran uang sewa, hingga diajukannya gugatan perkara ini. Perjanjian sewa-menyewa ini sebenarnya telah batal demi hukum dikarenakan ahli waris dari pihak penyewa dengan ahli waris pihak yang menyewakan tidak memperbaharui perjanjian sewa menyewa rumah tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1994 tentang Penghuni Rumah Oleh Bukan Pemilik yang menyatakan bahwa penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik dan sewa-menyewa rumah baik dengan perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak tertulis yang tidak menetapkan batas waktu dan telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1992, dinyatakan berakhir dalam jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut. Dan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara ini adalah menolak permohonan kasasi dari para pemohon kasasi (ahli waris dari penyewa)
dan mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak mau
mengosongkan dan menyerahkan atas obyek terperkara, padahal para pemohon kasasi tidak memiliki alas hak yang sah atas obyek perkara. Sedangkan termohon kasasi adalah pemilik yang sah atas obyek perkara dengan membuktikan bahwa obyek tersebut diperolehnya dari almarhum orang tua kandungnya berdasarkan Akta Pembagian Waris No. 6 tanggal 09 September 2003 yang dibuat dihadapan Notaris di Medan.
agreement. Reciprocal agreement is an agreement causing right and responsibility to both parties and the rights and responsibility are related to each other. Basically, an agreement will last well if the parties involved in this agreementare with good faith, but if one party does not have good faith or does not implement his obligations, a default action will arise. Like what happened to the lease agreement which has been approved by the Supreme Court of the Republic of Indonesia No.1507 K/PDT/2010. This study discussed what legal consequence will raise if the tenant commits default in the lease agreement of the house he has rented for a long time and the basic consideration taken by the Supreme Court of the Republic of Indonesia in its decision No.1507 K/PDT/2010 rconcering this case.
The data for this descriptive analytical study with juridical normative approach were secondary data obtained through documentation study.
The result of this study showed that there was a leasing agreement made underhanded as turned out in the receipt dated December 20, 1959. This leasing relationship kept lasting well even though the lessee and the lessor have passed away, this leasing agreement was continued by the heirs of both parties. But, in the beginning of April 2005, until the filing of this case, the heir of the lessee has stopped paying the rent. Actually, this leasing agreement has been annuled by law because theirs of both the lessee and the lessor did not renew the leasing agreement of the house. This is regulated in Article 2 And Article 21 paragraph (1) of The Government Regulation No.44/1994 on the House is not Inhabited by the Owner of the House stating that the house occupied by non-owner is only valid if there is a written leasing agreement or permit from the owner or the unwritten agreement which does not determine the time limit and had existed before the enactment of Law No.4/1992, and stated to be expired within a period of 3 (three) years from the enactment of Law No.4/1992. And the consideration of the panel of judges of the Indonesian Supreme Court in this case to reject the request for a cassation filed by the cassation applicants (the heir of the lessee) and they have committed an unlawful act because they did not want to vacate and hand over the sued property, whereas the cassation applicants have no legal title on the sued property. Yet, the cassation defendent is the legal owner of the sued property by prooving that the sued object is obtained fro his deceased biological parents based on the Deed of Inheritance Distribution No. 6 dated September 9, 2003 made before a Notary in Medan.
Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ANALISIS
PERBUATAN WANPRESTASI PIHAK PENYEWA DALAM PERJANJIAN
SEWA-MENYEWA RUMAH (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG RI NO. 1507 K/PDT/2010)”.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi
untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn), pada Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini, penulis telah mendapat bimbingan dan pengarahan
dari semua pihak maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan kepada seluruh Dosen Pembimbing yakni kepada BapakProf. Sanwani
Nasution, SH selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CNsertaIbu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum ,masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, nasehat serta bimbingan
demi kesempurnaan tesis ini.
Selanjutnya ucapan terima kasih atas semua bimbingan, bantuan dan dorongan
penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K), selaku
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga
selaku Dosen Pembimbing II penulis dalam penulisan tesis ini yang telah banyak
memberikan masukan dan arahan yang berarti serta dengan sabar memberikan
petunjuk dalam penulisan ini.
4. Bapak Prof. Sanwani Nasution, SH, selaku Dosen Pembimbing Utama penulis
dalam penulisan tesis ini, atas ilmu dan pengajaran serta bimbingan dan arahan
yang telah diberikan dalam proses penyelesaian tesis ini.
5. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan
juga Dosen Pembimbing III penulis yang telah dengan sabar memberikan
masukan yang berarti untuk penulisan ini, serta informasi dan tata cara penulisan
tesis yang benar.
6. Ibu Hj. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn selaku Dosen Penguji penulis yang
telah dengan sabar memberikan masukan yang berarti untuk penulisan ini, serta
8. Bapak dan Ibu Guru Besar juga segenap Dosen dan staf pengajar Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, tanpa bisa disebutkan satu persatu
namanya, atas jasa-jasanya dalam memberikan ilmu dan bimbingan selama masa
perkuliahan.
9. Seluruh staff Biro Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam manajemen
administrasi yang diperlukan.
10. Secara khusus dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
tidak terhingga kepada Orang Tua yang sangat penulis cintai dan sayangi, Bapak
Drs. R. Basuki dan Ibu Fatimah serta juga kepada kakak tersayang Sri Rezeki,
SH yang telah memberikan doa, dorongan dan bantuan moril maupun materil
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
11. Bapak Hendarto dan keluarga di Balikpapan yang telah membantu dan memberi
dukungan secara moril maupun materil bagi penulis.
12. Rekan-rekan Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
stambuk 2010 Group A, Group B dan Group C yang telah berjuang
bersama-sama selama ini serta telah memberikan banyak dukungan dan kerjabersama-samanya
Tesis yang telah diselesaikan dengan segenap hati dan pemikiran ini tentunya
masih perlu untuk diperbaiki karena di dalamnya masih terdapat
kekurangan-kekurangan. Untuk itu, dengan tangan terbuka akan menerima segala kritik maupun
saran yang sifatnya membangun demi kemajuan kita bersama.
Akhir kata, atas segala perhatian yang telah diberikan untuk tesis ini, sekali
lagi mengucapkan terima kasih. Semoga tesis ini sedikit banyak juga dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 14 Januari 2013 Hormat Penulis,
Nama : Dewi Fitri
Tempat/Tanggal lahir : Medan, 13 Nopember 1972
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Alamat : Jalan Rajawali No. 54, Medan
II. ORANG TUA
Nama Bapak : Drs. R. Basuki
Nama Ibu : Fatimah
III. PENDIDIKAN
Tahun 1985 : Menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri No. 060788, Medan.
Tahun 1988 : Menyelesaikan Pendidikan Sekolah
Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Medan.
Tahun 1991 : Menyelesaikan Pendidikan Sekolah
Menengah Atas di SMA Swasta Angkasa Lanud Medan.
Tahun 2004 : Menyelesaikan Pendidikan Starata-I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Tahun 2013 : Menyelesaikan Pendidikan Starata-II
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI... viii
DAFTAR ISTILAH ... x
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 9
1. Secara Teoritis ... 9
2. Secara Praktis ... 9
E. Keaslian Penelitian ... 9
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi ... 11
1. Kerangka Teori ... 11
2. Kerangka Konsepsi ... 14
G. Metode Penelitian ... 17
1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 18
2. Sumber Data ... 19
3. Tehnik Pengumpulan Data ... 20
4. Analisis Data ... 21
BAB II AKIBAT HUKUM TERHADAP PENYEWA YANG MELAKUKAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA-RUMAH ... 22
A. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian ... 22
F. Hapusnya Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah ... 50
G. Akibat Hukum Terhadap Penyewa Yang Melakukan Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah... 51
BAB III ANALISIS PERBUATAN WANPRESTASI PENYEWA DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH PADA PUTUSAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 1507 K/PDT/2010 ... 55
A. Kasus Posisi ... 55
B. Memori Kasasi dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1507 K/PDT/2010 ... 71
C. Analisis Kasus ... 79
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 96
A. Kesimpulan ... 96
B. Saran ... 98
DAFTAR PUSTAKA ... 99
jumlah ganti rugi oleh hakim, bilamana tidak ada keterangan yang lengkap/obyektif
Algemeene Regels : peraturan-peraturan/ ketentuan umum
Dissenting opinion : pendapat yang berbeda.
Dwangsom : uang paksa.
Goede trouw : itikad baik.
Impartiality : asas tidak berpihak.
Judex facti : hakim yang memeriksa duduknya
perkara
Legitma Persona Standi In Judicio : tidak mempunyai kwalitas dan kapasitas hukum untuk bertindak selaku penggugat di depan persidangan Pengadilan
Obscuur libelum : gugatan kabur atau tidak jelas. Onrechmatigedaad : perbuatan melawan hukum Plurium Litis Cnsortium : gugatan kurang pihak Produral due process : asas beracara secara benar
Motiveringsplicht : pemberian alasan (dari putusan hakim). Te kwader trouw : beritikad tidak baik
balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan satu dengan lainnya. Pada dasarnya suatu perjanjian akan berlangsung dengan baik jika para pihak yang melakukan perjanjian tersebut dilandasi oleh itikad baik (good faith), namun apabila salah satu pihak tidak beritikad baik atau tidak melaksanakan kewajibannya maka akan timbul perbuatan wanprestasi. Seperti halnya yang terjadi pada perjanjian sewa menyewa yang telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1507 K/PDT/2010. Dalam penelitian tesis ini membahas mengenai bagaimana akibat hukum jika pihak penyewa melakukan perbuatan wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa rumah yang telah lama disewanya dan bagaimanakah dasar pertimbangan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan MARI No. 1507 K/PDT/2010 mengenai perkara ini.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder. Dan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya suatu perjanjian sewa-menyewa dibuat secara dibawah tangan seperti ternyata dalam kwitansi tertanggal 20 Desember 1959. Hubungan sewa-menyewa ini terus berlangsung dengan baik ketika penyewa dan yang menyewakan meninggal dunia kemudian dilanjutkan oleh ahli waris dari kedua belah pihak. Namun diawal bulan April 2005 ahli waris dari penyewa menghentikan pembayaran uang sewa, hingga diajukannya gugatan perkara ini. Perjanjian sewa-menyewa ini sebenarnya telah batal demi hukum dikarenakan ahli waris dari pihak penyewa dengan ahli waris pihak yang menyewakan tidak memperbaharui perjanjian sewa menyewa rumah tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1994 tentang Penghuni Rumah Oleh Bukan Pemilik yang menyatakan bahwa penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik dan sewa-menyewa rumah baik dengan perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak tertulis yang tidak menetapkan batas waktu dan telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1992, dinyatakan berakhir dalam jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut. Dan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara ini adalah menolak permohonan kasasi dari para pemohon kasasi (ahli waris dari penyewa)
dan mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak mau
mengosongkan dan menyerahkan atas obyek terperkara, padahal para pemohon kasasi tidak memiliki alas hak yang sah atas obyek perkara. Sedangkan termohon kasasi adalah pemilik yang sah atas obyek perkara dengan membuktikan bahwa obyek tersebut diperolehnya dari almarhum orang tua kandungnya berdasarkan Akta Pembagian Waris No. 6 tanggal 09 September 2003 yang dibuat dihadapan Notaris di Medan.
agreement. Reciprocal agreement is an agreement causing right and responsibility to both parties and the rights and responsibility are related to each other. Basically, an agreement will last well if the parties involved in this agreementare with good faith, but if one party does not have good faith or does not implement his obligations, a default action will arise. Like what happened to the lease agreement which has been approved by the Supreme Court of the Republic of Indonesia No.1507 K/PDT/2010. This study discussed what legal consequence will raise if the tenant commits default in the lease agreement of the house he has rented for a long time and the basic consideration taken by the Supreme Court of the Republic of Indonesia in its decision No.1507 K/PDT/2010 rconcering this case.
The data for this descriptive analytical study with juridical normative approach were secondary data obtained through documentation study.
The result of this study showed that there was a leasing agreement made underhanded as turned out in the receipt dated December 20, 1959. This leasing relationship kept lasting well even though the lessee and the lessor have passed away, this leasing agreement was continued by the heirs of both parties. But, in the beginning of April 2005, until the filing of this case, the heir of the lessee has stopped paying the rent. Actually, this leasing agreement has been annuled by law because theirs of both the lessee and the lessor did not renew the leasing agreement of the house. This is regulated in Article 2 And Article 21 paragraph (1) of The Government Regulation No.44/1994 on the House is not Inhabited by the Owner of the House stating that the house occupied by non-owner is only valid if there is a written leasing agreement or permit from the owner or the unwritten agreement which does not determine the time limit and had existed before the enactment of Law No.4/1992, and stated to be expired within a period of 3 (three) years from the enactment of Law No.4/1992. And the consideration of the panel of judges of the Indonesian Supreme Court in this case to reject the request for a cassation filed by the cassation applicants (the heir of the lessee) and they have committed an unlawful act because they did not want to vacate and hand over the sued property, whereas the cassation applicants have no legal title on the sued property. Yet, the cassation defendent is the legal owner of the sued property by prooving that the sued object is obtained fro his deceased biological parents based on the Deed of Inheritance Distribution No. 6 dated September 9, 2003 made before a Notary in Medan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.1Perjanjian
harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu,
dan suatu sebab yang halal. Dengan terpenuhinya empat syarat sahnya perjanjian,
maka secara hukum adalah mengikat bagi para pihak yang membuatnya.
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Memang
perikatan itu paling banyak lahir dari perjanjian, tetapi ada juga perikatan yang lahir
dari undang-undang.2Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat
kita temui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang menyatakan bahwa : Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena
perjanjian baik karena undang-undang. Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan
rumusan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
menyatakan bahwa : Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau
lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Setiap perjanjian yang
melahirkan suatu perikatan diantara kedua belah pihak adalah mengikat bagi kedua
1
Wirjono Prodjodikoro,Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung : Mandar Maju, 2000), hal. 4. 2
belah pihak yang membuat perjanjian, hal ini berdasarkan atas ketentuan hukum yang
berlaku di dalam Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.”
Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat
kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 (3) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal berbagai
perjanjian3 contoh dari perjanjian yang sering ditemui dalam kegiatan sehari-hari
antara lain seperti : jual-beli; sewa-menyewa; tukar menukar; pinjam meminjam; dan
lain-lain.
Sewa menyewa adalah merupakan perjanjian timbal balik yang bagi
masing-masing pihak menimbulkan perikatan terhadap yang lain. Perjanjian timbal balik
seringkali juga disebut perjanjian bilateral atau perjanjian dua pihak.
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan
kewajiban kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai
hubungan satu dengan lainnya. Yang dimaksud dengan mempunyai hubungan antara
yang satu dengan yang lain adalah bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari
perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain disana
berkedudukan sebagai pihak yang memikul kewajiban.4
Sehingga dalam hal ini terjadi adanya keseimbangan antara pihak penyewa
dan yang menyewakan. Kedudukan pihak penyewa dan yang menyewakan diperkuat
dengan adanya dasar hukum yang terdapat di dalam Pasal 1548 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :
“Sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya”.5
Dari definisi sewa menyewa tersebut diatas, maka dapat ditelaah bahwa :
1. Perjanjian sewa menyewa merupakan suatu persetujuan timbal balik antara
pihak yang menyewa dengan pihak penyewa, di mana pihak yang
menyewakan menyerahkan sesuatu kepada penyewa yang berkewajiban
membayar sejumlah harga sewa.
2. Pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu barang kepada si penyewa untuk
sepenuhnya dinikmati atau dipakai dan bukan untuk dimiliki .
3. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan pembayaran
sejumlah harga yang tertentu pula.
4 J. Satrio,Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Bandung , Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 43.
Perjanjian sewa menyewa menimbulkan suatu perikatan yang bersumber pada
perjanjian. Perjanjian ini diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Tentang Perikatan.6Meskipun demikian, peraturan tentang sewa menyewa yang termuat
dalam Bab ke Tujuh dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku untuk
segala macam sewa menyewa mengenai semua jenis barang baik bergerak maupun tidak
bergerak, baik yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu,
oleh karena “waktu tertentu” bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa menyewa.7
Perjanjian sewa menyewa ini seperti juga perjanjian-perjanjian lainnya
merupakan suatu perjanjian konsensuil yaitu bahwa perjanjian itu sudah sah dan
mengikat pada detik tercapainya kesepakatan. Mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu
barang dan harga.8 Akan tetapi walaupun merupakan perjanjian konsensuil oleh
undang-undang diadakan perbedaan terutama berdasarkan akibat-akibat yang timbul
antara sewa tertulis dan sewa lisan.
Jika sewa menyewa itu diadakan secara tertulis, sewa akan berakhir demi
hukum apabila waktu yang ditentukan sudah habis tanpa memerlukan suatu
pemberitahuan pemberhentiannya. Sebaliknya jika sewa menyewa itu dibuat hanya
secara lisan, sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan melainkan jika pihak
yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa hendak menghentikan
sewanya. Akan tetapi, pemberhentian ini harus dilakukan dengan memperhatikan
jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.
Untuk sewa menyewa terhadap benda tidak bergerak seperti rumah, dengan
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 Tentang Penghuni Rumah
Oleh Bukan Pemilik, khusus mengenai Perjanjian Sewa- Menyewa Rumah haruslah
diperbuat dengan suatu batas waktu tertentu dan segala bentuk perjanjian
sewa-menyewa rumah yang telah diperbuat tanpa batas waktu adalah batal demi hukum9.
Di dalam sewa-menyewa, si pemilik objek hanya menyerahkan hak
pemakaian dan pemungutan hasil dari benda tersebut, sedangkan hak milik atas benda
tersebut tetap berada di tangan yang menyewakan sebaliknya pihak penyewa wajib
memberikan uang sewa kepada pemilik benda tersebut.10
Pada dasarnya suatu perjanjian akan berlangsung dengan baik jika para pihak
yang melakukan perjanjian tersebut dilandasi oleh itikad baik (good faith), namun
apabila salah satu pihak tidak beritikad baik atau tidak melaksanakan kewajibannya
maka akan timbul perbuatan wanprestasi. Seperti halnya yang terjadi pada perjanjian
sewa menyewa yang telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia No.
1507 K/PDT/2010, awalnya hubungan sewa menyewa ini berlangsung dengan baik
antara D (pihak yang menyewakan) dengan CF (penyewa) berdasarkan Surat
Perjanjian Sewa Menyewa dibawah tangan seperti ternyata dalam kwitansi tanda
terima tertanggal 20 Desember 1959 dan tidak menentukan jangka waktunya atas :
“sebidang tanah sebagian dari bekas Grant C / Controleer Nomor : C 5377 berikut
9 Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung : Alumni, 2006), hal. 185
satu pintu rumah petak semi permanen terletak di Kota Medan, Kecamatan Petisah,
Kelurahan Petisah Tengah, setempat dikenal dengan Jalan Mojopahit (yang
selanjutnya menjadi obyek perkara).”
Ketika D dan CF meninggal dunia, hubungan tersebut berlanjut ke para ahli
waris mereka yakni antara anak si pemilik tanah (yang menyewakan) yakni KGR
(anak kandung D) dan F (cucu dari penyewa) beserta suaminya R. KGR memperoleh
tanah beserta bangunan rumah tersebut dari almarhum orangtuanya berdasar pada
Akta Pembagian Waris tanggal 9 September 2003 No. 6 yang dibuat dan
ditandatangani dihadapan Notaris di Medan yang kemudian oleh KGR didaftarkan
kepemilikannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan terdaftar pada
Sertipikat Hak Milik No. 1239 yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Medan
tanggal 29 Maret 2006.
KGR selaku ahli waris pihak yang menyewakan pernah beberapa kali
menerima pembayaran uang sewa dari cucu penyewa yang dibayar setiap bulannya,
namun sejak bulan April 2005 pihak penyewa (cucu dari penyewa) tidak lagi
membayar uang sewa dengan alasan tidak jelas dan apabila yang menyewakan
menagih uang sewa, penyewa sama sekali tidak mengindahkannya. Hal ini sudah
menimbulkan suatu itikad tidak baik dikarenakan penyewa tidak mau membayar uang
sewa.
Dengan tidak adanya pembayaran uang sewa, maka diawal tahun 2006 pihak
yang secara sah dan menurut hukum adalah miliknya dan karenanya meminta agar
penyewa untuk mengosongkan obyek perkara namun sama sekali tidak dihiraukan .
Bulan Oktober 2006 melalui kuasa hukumnya, pihak yang menyewakan melayangkan
somasi yang intinya agar penyewa dapat segera mengosongkan obyek perkara
dikarenakan obyek tersebut akan ditempatinya.
Penyewa bukannya mengosongkan obyek perkara malah memberikan surat
somasi kepada yang menyewakan dengan alasan bahwa mereka telah tinggal menetap
di obyek perkara sejak tanggal 20 Desember 1959 ( kurang lebih 50 tahun ) dan
sepengetahuan mereka bangunan yang didirikan diatas obyek perkara itu dibangun
oleh kakek penyewa dan selama itu pula pemilik tanah tidak pernah menempati dan
mengurus obyek perkara tersebut.
Perbuatan penyewa tersebut telah membuktikan bahwa mereka telah
melakukan ingkar janji (wanprestasi) dan beritikad tidak baik terhadap yang
menyewakan serta telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad)
karena selain tidak membayar uang sewa juga tidak mau mengosongkan serta
menyerahkan obyek perkara. Sehingga pihak yang menyewakan merasa sangat
dirugikan dan mengajukan gugatan, kasus ini bergulir panjang sampai pada tahap
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1507K/PDT/2010,11 dimana
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut menolak gugatan pihak
penyewa.
11Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2010 tentang Sewa Menyewa.pdf,
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian dalam bentuk
tesis dengan judul “Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam
Perjanjian Sewa Menyewa Rumah ( Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia No. 1507 K/PDT/2010).”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan (problem)yang
dirumuskan untuk dapat dilakukan pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana akibat hukum jika pihak penyewa melakukan perbuatan
wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa rumah yang telah lama
disewanya?
2 Bagaimanakah dasar pertimbangan dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia dalam putusan MARI No. 1507 K/PDT/2010 mengenai perkara ini?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat
dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui akibat hukum atas perbuatan wanprestasi yang dilakukan
penyewa dalam perjanjian sewa menyewa rumah yang telah lama disewa.
2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan dari Mahkamah Agung Republik
D. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, secara teoritis
dan secara praktis.
1. Secara Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
mengetahui dan juga mengembangkan Ilmu Hukum Kenotariatan pada umumnya,
khususnya hukum perjanjian, serta menambah pengetahuan dan wawasan juga
sebagai referensi tambahan pada program studi Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara Medan, khusus mengenai perbuatan wanprestasi yang dilakukan
penyewa dalam perjanjian sewa-menyewa rumah.
2. Secara Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan
masukan bagi kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta
dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian di bidang yang
sama.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang khususnya di
lingkungan Universitas Sumatera Utara, sepanjang yang diketahui dari hasil - hasil
penelitian yang sudah ada maka belum ada penelitian yang menyangkut masalah
“Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa
No. 1507 K/PDT/2010)”. Adapun penelitian yang berkaitan dengan perjanjian sewa
menyewa yang pernah dilakukan oleh:
1. Nama : RIKA FITRI
Nim : 087011101
Judul Tesis : Tinjauan Yuridis Terhadap Akta Sewa Menyewa Rumah
Yang Dibuat Oleh Notaris.
Permasalahan :
1). Bagaimanakah pengaturan klausul akta sewa menyewa yang dibuat
Notaris?
2). Bagaimanakah kewajiban pemilik rumah untuk menjamin bahwa hak –
hak penyewa itu ada?
3). Bagaimanakah ketentuan asuransi yang dibuat di dalam akta sewa
menyewa rumah yang dibuat oleh Notaris ?
2. Nama : KELVINA SEFIALORA
Nim : 087011062
Judul Tesis : Aspek Yuridis Dari Perjanjian Sewa Menyewa Rumah
Yang Objeknya Dijaminkan Bank.
Permasalahan:
1) Apakah sewa menyewa rumah dapat dilakukan jika objek sewa
dijaminkan ke Bank?
2) Bagaimana akibat hukum yang akan timbul terhadap penyewa rumah
3) Bagaimana upaya penyelesaian dari akibat wanprestasi debitur terhadap
kreditur (Bank)?
Dengan demikian penelitian ini secara ilmiah adalah asli dan secara akademis
dapat dipertanggungjawabkan . Meskipun peneliti terdahulu ada yang pernah
melakukan penelitian mengenai masalah perjanjian sewa-menyewa namun secara
substansi pokok permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi
1. Kerangka Teori
“Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas
penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.12Teori berfungsi untuk
menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi
dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat
menunjukkan ketidakbenaran”.13
M.Solly Lubis yang menyatakan bahwa:
Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.14
Teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaktis yaitu
mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya
12Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 6. 13J.J.J M. Wuisman. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting : M. Hisyam, Fakultas Ekonomi, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1996), hal. 203
dengan tata dasar yang dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk
meramalkan dan menjelaskan fenomena yang terjadi.15
Kerangka teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kerangka
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum di
bidang hukum perjanjian, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang
mungkin disetujui atau tidak disetujui,16 yang merupakan masukan bagi penulisan
tesis ini.
Berdasarkan pengertian teori dan kegunaan serta daya kerja teori tersebut
diatas dihubungkan dengan judul penelitian ini tentang “Analisis Perbuatan
Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Rumah ( Studi Kasus
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1507 K/PDT/2010), maka
dipergunakan teori keadilan dan teori kepastian hukum.
Menurut Roscoe Pound, keadilan dikonsepkan sebagai hasil- hasil konkrit
yang bisa di berikan kepada masyarakat. Dimana menurut Roscoe Pound, bahwa hasil
yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia
sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Yang mana dengan kata lain
semakin meluas/ banyak pemuasan kebutuhan manusia tersebut, maka akan semakin
efektif menghindari pembenturan antara manusia.17
15Snelbecker, dalam Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif.(Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), hal.34
16 M. Solly Lubis,Op.Cit.,hal. 80
17Ahmad Yahya Zein, Keadilan Dan Kepastian Hukum, diakses dari:
Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” mengatakan bahwa tujuan dari hukum
adalah menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh
kesadaran etis mengenai apa yang di katakan adil dan apa yang dikatakan tidak adil.
Menurut teori ini hukum mempunyai tugas suci dan luhur ialah keadilan
dengan memberikan kepada tiap-tiap orang apa yang berhak ia terima serta
memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap- tiap kasus. Untuk terlaksananya hal
tersebut, maka menurut teori ini hukum harus membuat apa yang dinamakan
“Algemeene Regels” ( peraturan/ ketentuan umum).18
Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan
ketertiban dalam masyarakat karena kepastian hukum ( peraturan/ ketentuan umum)
mempunyai sifat sebagai berikut :
a. Adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan
dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara alat- alatnya.
b. Sifat undang- undang yang berlaku bagi siapa saja.
Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, ia tidak mempersoalkan
apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, yang diperhatikan adalah
bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian hukum tidak memberi sanksi kepada
seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan tetapi yang di beri sanksi
adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut atau menjadikannya
perbuatan yang nyata atau konkrit.
Namun demikian dalam prakteknya apabila kepastian hukum di kaitkan
dengan keadilan, maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini di
karenakan di suatu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip- prinsip
keadilan dan sebaliknya tidak jarang pula keadilan mengabaikan prinsip-prinsip
kepastian hukum. Kemudian apabila dalam prakteknya terjadi pertentangan antara
kepastian hukum dan keadilan, maka keadilan lah yang harus diutamakan. Alasannya
adalah bahwa keadilan pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi keadilan
sedangkan kepastian hukum lahir dari sesuatu yang konkrit.19
Di Indonesia pandangan modern tentang peranan hukum sebagai sarana
pembangunan digambarkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan mengatakan
bahwa hukum itu mempunyai dua fungsi yakni sebagai sarana ketertiban masyarakat
(menjamin adanya ketertiban dan kepastian) dan sarana perubahan masyarakat.20
Dalam keterkaitannya dengan kasus ini diharapkan Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia No. 1507 K/PDT/2010 dapat memberikan suatu keadilan dan
kepastian hukum bagi kedua belah pihak yang sedang berperkara.
2. Kerangka Konsepsi
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi
19 Loc.cit.
operasional.21 Kegunaan dari adanya konsepsi agar supaya ada pegangan dalam
melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi
orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang
dikemukakan.22
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya
merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis
yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi - defenisi operasional
yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.23
Agar terdapat persamaan persepsi dalam memahami penulisan di dalam
penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan beberapa konseptual
sebagaimana terdapat di bawah ini:
a. Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah
“performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan
hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri
untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana
disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.24Adapun yang merupakan
model-model dari prestasi adalah seperti yang disebutkan dalam Pasal 1234
KUHPerdata, yaitu berupa :
1) Memberikan sesuatu;
21Sumadi Suryabarata,Metodologi Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo, 1998), hal.3. 22H. Hilman Hadikusuma,Hukum Waris Adat(Bandung:Citra Aditya Bakti, 1999), hal.5. 23Sumadi Suryabarata,Op.cit, hal. 28.
2) Berbuat sesuatu;
3) Tidak berbuat sesuatu;
b. Wanprestasi adalah apabila seorang debitur tidak melakukan prestasi sama sekali
atau melakukan prestasi yang keliru atau terlambat melakukan prestasi, maka dalam
hal-hal yang demikian inilah yang disebut seorang debitur melakukan wanprestasi.25
c. Perjanjian, menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.26
d. Sewa Menyewaadalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat
dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari sesuatu
barang, selama suatu waktu tertentu dengan pembayaran sesuatu harga yang
oleh pihak terakhir disanggupi pembayarannya. Demikian uraian yang diberikan
oleh pasal 1548 KUH Perdata mengenai perjanjian sewa menyewa.27
e. Sewa Menyewa Rumah adalah keadaan dimana rumah dihuni oleh bukan
pemilik berdasarkan perjanjian sewa menyewa.28
f. Pemilikadalah setiap orang atau badan yang mempunyai hak atas rumah.29
g. Penyewa adalah setiap orang atau badan yang membayar harga sewa pemilik
berdasarkan perjanjian yang telah disepakati.30
25
Qirom S. Meliala,Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta : Liberty, 1985), hal. 29.
26
Purwahid Patrik,Dasar-Dasar Hukum Perikatan(Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 94. 27R. Subekti,Hukum Perjanjian( Jakarta: Intermasa, 2002), hal. 90.
28Peraturan Pemerintah Republik Indonnesia Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik , Pasal 1 butir (3).
29
h. Ganti Rugi adalah penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya
suatu perjanjian, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan
lalai memenuhi perjanjiannya tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus
diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang
waktu yang telah dilampaukannya (Pasal 1243 KUHPerdata). Dengan demikian
pada dasarnya, ganti-kerugian itu adalah ganti-kerugian yang timbul karena
debitur melakukan wanprestasi.
G. Metode Penelitian.
Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak
harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan.
Penelitian adalah usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan
dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna
terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau
menjawab problemnya.31 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.
Kecuali itu,maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum
tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-30Ibid, Pasal 1 butir (6).
permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.32 Sebagai suatu
penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian dinilai dari pengumpulan data
sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah
sebagai berikut :
1. Sifat dan Jenis Penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Bersifat deskriptif maksudnya
penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang
permasalahan yang diteliti. Analitis dimasukan berdasarkan gambaran fakta yang
diperoleh akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan.33
Jenis penelitian yang digunakan disesuaikan dengan permasalahan yang
diangkat di dalamnya. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa
hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal
dengan nama bahan hukum sekunder dan bahan acuan dalam bidang hukum atau
bahan rujukan bidang hukum.34
Penelitian hukum normatif dimaksudkan untuk mengadakan pendekatan
terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta doktrin-doktrin. Dalam penelitian ini, penelitian hukum normatif
32Soerjono Soekanto,Op.Cit, hal. 43.
33 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke 20, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 101.
bertujuan untuk meneliti aturan-aturan mengenai perbuatan wanprestasi yang
dilakukan penyewa dalam perjanjian sewa menyewa rumah.
Penelitian ini dilakukan dengan memakai metode penelitian normatif yakni
dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder yang meliputi
buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum dan sistematika hukum serta mengkaji
ketentuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya.35
2. Sumber Data
Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber data, karena
dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya
dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam
penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan atau library
research.36
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh melalui data sekunder yaitu data
yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan yang terdiri
dari:
1. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghuni Rumah Oleh Bukan
35 Ibrahim Johni, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, ( Malang : Bayu Media Publishing , 2005), hal. 336.
Pemilik, Undang- Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Pemukiman, .Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1507
K/PDT/2010.
2. Bahan hukum sekunder adalah hasil penelitian para pakar yang termuat dalam
literatur, artikel, media cetak maupun media elektronik mengenai perjanjian
yang berhubungan dengan penelitian ini.
3. Bahan hukum tersier yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus umum, kamus hukum, jurnal ilmiah yang berhubungan dengan materi
penelitian.
3. Tehnik Pengumpulan Data.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan (library research) untuk
mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pemikiran konseptual dan penelitian yang
dilakukan oleh pihak lain yang relevan dengan penelitian ini dengan cara menelaah
dan menginventarisasi pemikiran atau pendapat juga sejarah atau latar belakang
pemikiran tentang wanprestasi yang dilakukan penyewa dalam perjanjian sewa
menyewa rumah.
Pemikiran dan gagasan serta konsepsi tersebut dapat diperoleh melalui
peraturan perundang-undangan yang berlaku, literatur dari para pakar yang relevan
dengan objek penelitian ini, artikel yang termuat dalam bentuk jurnal, majalah ilmiah,
maupun dalam bentuk dokumen atau putusan berkaitan dengan permasalahan
penelitian ini.
4. Analisis Data.
Analisa data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.37
Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya
berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis. “Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi”.38
Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini termasuk ke dalam tipe penelitian
hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk
melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan
dengan :39
a. mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti;
b. memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian;
c. mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, azas atau doktrin;
d. menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin
yang ada;
e. menarik kesimpulan dengan menggunakan pendekatan deduktif.
37 Lexy J. Moleong,Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung :Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 101. 38 Soerjono Soekanto,Op.Cit.,hal. 251.
39
BAB II
AKIBAT HUKUM TERHADAP PENYEWA YANG MELAKUKAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH
A. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian.
Syarat-syarat untuk sahnya perjanjian disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:40
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu; dan
4. Suatu sebab yang halal.
Dibawah ini akan diuraikan secara garis besar satu-persatu keempat syarat sahnya
perjanjian itu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para
pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau
saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan
tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan.41
Persoalan yang sering dikemukakan dalam hubungan ini adalah, kapan
saatnya kesepakatan itu terjadi? Persoalan ini sebenarnya tidak akan timbul jika para
pihak yang membuat perjanjian itu pada suatu saat bersama-sama berada disatu
tempat dan disitulah dicapai kata sepakat. Akan tetapi, nyatanya dalam pergaulan
40Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung :Alumni), 2004, hal. 205.
hukum di masyarakat tidak selalu demikian, melainkan banyak perjanjian terjadi
antara para pihak melalui surat-menyurat, sehingga menimbulkan persoalan kapan
saatnya kesepakatan itu terjadi. Hal ini penting dipersoalkan sebab untuk perjanjian –
perjanjian yang tunduk pada asas konsensualitas , saat terjadinya kesepakatan
merupakan saat terjadinya perjanjian.42
Apabila ternyata dalam memberikan kesepakatan-kesepakatan itu terdapat
unsur kekhilafan, atau dengan diperoleh dengan suatu paksaan atau penipuan maka
dalam hal ini tidak terjadi kesepakatan demikian ketentuan yang terdapat dalam Pasal
1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kekhilafan yang menyebabkan batalnya suatu perjanjian yaitu kekhilafan
mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian, dan selain itu kekhilafan
yang lain tidak menjadi batalnya suatu perjanjian (Pasal 1322 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata).
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan
hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang
oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan
tertentu.43
Dalam Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat asas umum yang
mengatakan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika ia oleh
undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”.44
Pengecualian yang terdapat dalam Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tersebut diatur dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
mengatakan tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
1). Orang-orang yang belum dewasa;
Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa:
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Apabila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, bagian keempat, bagian kelima, dan bagian keenam Bab ini.”
Ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut memberikan
arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa:
a). seorang baru dikatakan dewasa jika ia:
i). telah berumur 21 tahun; atau
ii).telah menikah;
44Menurut M. Isnaeni substansi Pasal 1329 KUHPerdata, khususnya pada redaksi “…cakap
hal kedua membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang sudah
menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum genap berusia 21
tahun tetap dianggap telah dewasa.
b). anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili
oleh:
i). orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada dibawah kekuasaan
orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);
ii).Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan
orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).45
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang dalam rumusan Pasal 50-nya menyatakan bahwa:
(1) “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.”
Dengan demikian maka, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, kecakapan bertindak orang pribadi dan
kewenangannya untuk melakukan tindakan hukum ditentukan sebagai berikut:46
a). jika seseorang:
i). telah berumur 18 tahun; atau
ii). telah menikah;
45 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,( Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2003, hal 129-130.
iii).seseorang yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya
dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah
dewasa.
b). seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun, dan belum menikah,
dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh:
i). orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan
orang tua ( yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);
ii).walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan
orang tuanya ( artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).
2). Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
Orang yang dibawah pengampuan, menurut hukum tidak dapat berbuat bebas
dengan harta kekayaannya. Ia berada dibawah pengawasan pengampuan.
Kedudukannya, sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang
anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang
dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu
atau kuratornya.47
Orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa
yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit ingatan atau boros.
pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu
menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk
mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang berada dibawah pengampuan
mengadakan perjanjian, yang mewakilinya adalah orang tuanya atau
pengampunya (Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).48
3). Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada
umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Dalam hal ini, sejalan dengan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan,
baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah, maka ketentuan angka 3 dari
Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi tidak berarti lagi.49Hal ini
berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September
1963, telah menghapus Pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menyatakan bahwa: ”seorang istri tidak diperkenankan menghibahkan,
menggadaikan, memindah tangankan dan sebagainya ataupun melakukan suatu
pelunasan atau menerima suatu pembayaran masing-masing tanpa izin tertulis atau
tegas dari suaminya” dan Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menyatakan bahwa: “seorang istri tidak diperbolehkan menghadap pengadilan tanpa
izin suaminya.” Dengan dihapuskan kedua pasal diatas maka nyatalah kepada kita
bahwa tidak ada lagi perbedaan hak antara suami-istri, ini semua berlaku untuk warga
48 Mohd. Syaufii Syamsuddin,Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial, (Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2005), hal. 16.
49
Negara Indonesia, sehigga istri dapat bertindak bebas melakukan tindakan hukumnya
ataupun menghadap ke pengadilan, walaupun tidak ada izin dari suaminya.50
3. Suatu hal tertentu.
Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek suatu
perjanjian. Menurut Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata barang yang
menjadi obyek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan
jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat
ditentukan atau diperhitungkan.51 Pada perikatan untuk memberikan sesuatu,
kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebut
haruslah sesuatu yang telah ditentukan secara pasti. Dalam jual-beli misalnya, setiap
kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai kebendaan yang dijual atau dibeli
harus telah ditentukan terlebih dahulu kebendaannya.52
4. Suatu sebab yang halal.
Didalam KUHPerdata tidak memberikan pengertian atau defenisi dari “sebab”
yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hanya saja
dalam Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “suatu
perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau
yang terlarang, tidaklah mempunyai.”
50Pr86’s Weblog, http://pr86.wordpress.com/2008/05/17/surat-edaran-mahkamah-agung/, diakses pada tanggal 12 Nopember 2012.
51Riduan Syahrani,Op.Cit,hal. 209-210.
Jadi didalam Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dijelaskan
bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah:
1). bukan tanpa sebab;
2). bukan sebab yang palsu;
3). bukan sebab yang terlarang.53
Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut diatas dapat diklasifikasikan
kedalam dua kelompok yaitu:
a. Syarat subyektif
1). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2). Kecakapan membuat perikatan.
b. Syarat obyektif
1). Suatu hal tertentu
2). Suatu sebab yang halal.
Dikatakan syarat subyektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada
subyek-subyek perjanjian itu. Sedangkan yang dikatakan syarat-syarat obyektif
adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu, yang meliputi suatu sebab
yang halal dan suatu sebab tertentu.
Akibat hukum dari syarat subyektif, maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan, maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut memang ada tetapi dapat
dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak.
53
Adapun apabila pihak tidak memenuhi syarat objektif itu adalah apabila syarat
tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum atau dengan kata lain
batal dengan sendirinya. Hal ini berarti secara yuridis sejak lahirnya perjanjian itu
sudah batal atau perjanjian itu memang ada tetapi tidak berlaku.
Disamping itu dalam hal perjanjian yang batal demi hukum tersebut, maka
pihak yang satu tidak dapat menuntut pihak yang lain di depan hakim sebab dasar
hukumnya tidak ada.
Dalam pelaksanaan suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang
telah dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut.
Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah disebut sebagai prestasi.54
B. Asas-Asas Dalam Perjanjian.
Asas-asas yang harus diperhatikan oleh para pihak dalam membuat suatu
perjanjian antara lain:
1. Asas kebebasan berkontrak
Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut sistem
terbuka,artinya memberi keleluasan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola
hubungan hukumnya. 55
Sistem terbuka Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata ini tercermin dari substansi Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah
54Ahmadi Miru,Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Cetakan ketiga, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 67.
55Agus Yudha Hernoko,Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, itu dimaksudkan
untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian yaitu kekuatan yang sama dengan
suatu undang-undang.
Di dalam asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk
melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan
perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan
syarat-syarat perjanjian.56
Menurut Sutan Remi Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak menurut hukum
perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:57
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapaia ingin membuat perjanjian.
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan
dibuatnya.
d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang
yang bersifat opsional (aanvullend, optional).
Namun yang penting untuk diperhatikan bahwa kebebasan berkontrak
sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tidaklah berdiri dalam kesendiriannya. Asas tersebut berada dalam
56Ibid,hal. 110.
57Sutan Remy Sjahdeini,Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para
satu sistem yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait.58Apabila mengacu
rumusan Pasal 1338 ayat(1) KUHPerdata yang dibingkai oleh pasal-pasal lain dalam
satu kerangka sistem hukum perjanjian /kontrak (vide Pasal 1320, 1335, 1337, 1338
ayat (1) serta 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), maka penerapan asas
kebebasan berkontrak ternyata perlu dibingkai oleh rambu-rambu hukum lainnya. Hal
ini berarti kebebasan para pihak dalam membuat perjanjian dengan memerhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian.;
b. untuk mencapai tujuan para pihak, perjanjian harus ada mempunyai kausa;
c. tidak mengandung kausa palsu atau dilarang undang-undang;
d. tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan dan ketertiban
umum;
e. harus dilaksanakan dengan itikad baik.59
2. Asas konsensualisme.
Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terkandung asas
yang esensial dari hukum perjanjian, yaitu asas “konsensualisme” yang menentukan
“ada”-nya perjanjian (raison d’etre, het bestaanwaarde).60 Di dalam asas ini
terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan
58Agus Yudha Hernoko,Op. Cit, hal. 111. 59Ibid, hal. 118.
kepercayaan (vertrouwen) di antara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Asas
kepercayaan (vertrouwenleer) merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.61
Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan
berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal ini sedasar dengan pendapat Subekti,
yang menyatakan bahwa asas konsensualisme terdapat dalam Pasal 1320 jo Pasal
1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.62 Pelanggaran terhadap ketentuan ini
akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai
undang-undang.
3. Asaspacta sunt servanda.
Dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,asas pacta sunt
servanda63dapat dicermati dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata mengatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang bagi mereka yang membuatnya.” Pengertian berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya menunjukan bahwa undang-undang-undang-undang sendiri
mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam perjanjian sejajar dengan
pembuat undang-undang.64
61Mariam Darus Badrulzaman,Perjanjian Kredit Bank, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 43-44.
62Ibid, hal. 37.
63N. E. Algra et al., dalam “Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia”, (Jakarta : BinaCipta, 1983), Cetakan pertama, hal. 384.
64
Di dalam pandangan Eropa Kontinental, asas kebebasan berkontrak
merupakan konsekuensi dari dua asas lainnya dalam perjanjian yaitu konsensualisme
dan kekuatan mengikat suatu perjanjian yang lazim disebut sebagai pacta sunt
servanda. Konsensualisme berhubungan dengan terjadinya perjanjian, pacta sunt
servandaberkaitan dengan akibat adanya perjanjian yaitu terikatnya para pihak yang
mengadakan perjanjian, sedangkan kebebasan berkontrak menyangkut isi
perjanjian.65
4. Asas itikad baik.
Dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
mengatakan “persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Apa
yang dimaksud dengan itikad baik (good faith) perundang-undangan tidak
memberikan defenisi yang tegas dan jelas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
yang dimaksud dengan itikad adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud,
kemauan yang baik.66 Dalam Kamus Hukum Fockema Andreae dijelaskan bahwa
“goede trouw” adalah itikad baik.67
Wirjono Prodjodikoro memberikan batasan itikad baik dengan istilah “dengan
jujur” atau “secara jujur”.68 Wirjono Prodjodikoro membagi itikad baik menjadi dua
macam, yaitu:
65Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Volume 18 No.3, Mei Tahun 2003, hal. 197.
66Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, (Jakarta : Balai Pustaka), 1995, hal. 369.
67N.E. Algraet al.,Op.Cit, hlm 174.