• Tidak ada hasil yang ditemukan

Langkah-langkah Merancang Sistem Pelatihan .1 Identifikasi Kebutuhan Pelatihan .1 Identifikasi Kebutuhan Pelatihan

LANDASAN TEORI

2.3 Langkah-langkah Merancang Sistem Pelatihan .1 Identifikasi Kebutuhan Pelatihan .1 Identifikasi Kebutuhan Pelatihan

Tahap pertama dalam melakukan pelatihan adalah menentukan adanya kebutuhan pelatihan yang aktual. Suatu perusahaan akan melakukan pelatihan apabila hal tersebut diharapkan dapat mendukung tujuan perusahaan. Keputusan pelaksanaan pelatihan harus berdasarkan analisis kebutuhan, yang dilakukan dengan menganalisis data yang tersedia di perusahaan. Menurut Bernardin dalam Veithzal (2008: 234) analisis kebutuhan pelatihan adalah proses mengidentifikasi gejala dan informasi yang diharapkan dapat menunjukkan adanya kekurangan atau kesenjangan pengetahuan, keterampilan , dan sikap kerja karyawan yang menempati posisi jabatan tertentu dalam suatu perusahaan. Analisis kebutuhan pelatihan didefinisikan sebagai suatu proses pengumpulan dan analisis data dalam rangka mengidentifikasi bidang-bidang atau faktor-faktor apa saja yang ada di dalam perusahaan yang perlu ditingkatkan atau diperbaiki agar kinerja pegawai dan produktivitas perusahaan menjadi meningkat (Sulianti, 2005:18). Sejalan dengan pendapat Veitsal, menurut Milkovich & Boudreau dalam Suyatna, (1995: 9) analisis kebutuhan pelatihan adalah

proses mengidentifikasi gap atau kesenjangan yang menjadi tujuan dan merupakan suatu cara untuk menetapkan tujuan dan standar evaluasi.

Dari pendapat-pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis kebutuhan pelatihan adalah proses mengidentifikasi kesenjangan antara tujuan yang ditetapkan dengan hasil kerja karyawan, sehinggga perlu diperbaiki untuk meningkatkan produktivitas kerja pegawai dan perusahaan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk memperoleh data akurat tentang apakah ada kebutuhan untuk menyelenggarakan pelatihan. Mengingat bahwa pelatihan pada dasarnya diselenggarakan sebagai sarana untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi gap (kesenjangan) antara kinerja yang ada saat ini dengan kinerja standar atau yang diharapkan untuk dilakukan oleh pegawai, maka dalam hal ini analisis kebutuhan pelatihan merupakan proses untuk mengidentifikasi kesenjangan yang ada tersebut, dan melakukan analisis apakah kesenjangan tersebut dapat dikurangi atau dihilangkan melalui suatu pelatihan. Selain itu dengan analisis kebutuhan pelatihan maka pihak penyelenggara pelatihan (HRD atau Divisi Training) dapat memperkirakan manfaat-manfaat apa saja yang bisa didapatkan dari suatu pelatihan, baik bagi partisipan sebagai individu maupun bagi perusahaan. Kesenjangan antara yang diharapkan dengan kenyataan, tingkat kinerja karyawan, prestasi unit kerja, dan karakteristik dari karyawan dapat menjadi tujuan diadakannya pelatihan. Faktor kesenjangan tersebut harus diidentifikasi sebagai faktor penting, yang harus mendapat perhatian perusahaan dan dapat dipecahkan melalui pelatihan.

Selain itu pelatihan akan berhasil jika proses mengisi kebutuhan pelatihan yang benar. Pada dasarnya kebutuhan itu adalah untuk memenuhi kekurangan pengetahuan, meningkatkan keterampilan atau sikap dengan masing-masing kadar yang bervariasi. Kebutuhan dapat digolongkan menjadi:

1. Kebutuhan memenuhi tuntutan sekarang.

Kebutuhan ini biasanya dapat dikenali dari prestasi karyawannya yang tidak sesuai dengan standar hasil kerja yang dituntut pada jabatan itu.

Meskipun tidak selalu penyimpangan ini dapat dipecahkan dengan pelatihan.

2. Memenuhi kebutuhan tuntutan jabatan lainnya.

Pada tingkat hirarki manapun dalam perusahaan sering dilakukan rotasi jabatan. Alasannya bermacam-macam, ada yang mengatakan untuk mengatasi kejenuhan dan ada juga yang menyebutkan untuk membentuk generalisasi.

3. Untuk memenuhi tuntutan perubahan.

Perubahan-perubahan baik intern (perubahan sistem, struktur organisasi) maupun ekstern (perubahan teknologi, perubahan orientasi bisnis perusahaan) sering memerlukan adanya tambahan pengetahuan baru.

Meskipun pada saat ini tidak ada persoalan antara kemampuan orangnya dengan tuntutan jabatannya, tetapi dalam rangka menghadapi perubahan di atas dapat diantisipasi dengan adalanya pelatihan yang bersifat potensial.

2.3.2 Penetapan Tujuan dan Sasaran Pelatihan

Tujuan adalah pernyataan formal yang jelas dari suatu hasil akhir yang diharapkan, dan dapat dicapai melalui serangkaian kegiatan yang terperinci dalam suatu program. Dalam menetapkan tujuan terdapat beberapa hal yang harus menjadi acuan agar tujuan yang ditetapkan jelas dan terukur. Acuan dalam menetapkan tujuan tersebut adalah apa yang harus diketahui atau yang dapat dikerjakan oleh para peserta pada akhir pelatihan, bagaimana peserta memperagakan hasil dari pelatihan, berbagai standart yang diperlukan untuk mencapai tingkat kompetensi baru, hambatan yang akan mengganggu upaya mewujudkan sasaran.

Pada dasarnya sasaran dan tujuan pelatihan dapat dibedakan dalam tiga jenis kategori pokok yaitu:

1. Pengetahuan (cognitive), yaitu sasaran pelatihan yang berkaitan dengan aspek pengetahuan.

2. Keterampilan (psychomotor), yaitu sasaran pelatihan yang berkaitan dengan aspek keterampilan.

3. Sikap (affective), yaitu sasaran pelatihan yang berkaitan dengan sikap dan tingkah laku.

2.3.2.1 Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan

indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya.

Pengetahuan adalah informasi yang telah dikombinasikan dengan pemahaman dan potensi untuk menindaki yang melekat di benak seseorang. Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan memprediksi sesuatu sebagai hasil pengenalan atas suatu pola. Jika informasi dan data sekedar berkemampuan untuk menginformasikan atau bahkan menimbulkan kebingungan, maka pengetahuan berkemampuan untuk mengarahkan tindakan (www.wikipedia.com).

Menurut Widayana, (2005:13) pengetahuan adalah informasi yang dilengkapi dengan pemahaman pola hubungan dari informasi disertai pengalaman, baik individu maupun kelompok dalam organisasi. Terdapat dua tipe pengetahuan yaitu pengetahuan implisit dan pengetahuan ekspisit.

Pengetahuan implisit adalah pengetahuan yang sebagian besar berada dalam organisasi. Pengetahuan ini merupakan sesuatu yang diketahui dengan alami, namun sulit untuk diungkapkan secara jelas dan lengkap. Pengetahuan implisit sangat sulit untuk dipindahkan kepada orang lain, karena pengetahuan tersebut tersimpan pada masing-masing pikiran (otak) indvidu dalam organisasi sesuai dengan kompetensinya.

Dalam buku knowledge management yang dituliskan oleh widayana, pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan dan pengalaman seseorang tentang

“bagaimana untuk”, yang diuraikan secara lugas dan sistematis. Contoh konkretnya

adalah sebuah buku petunjuk pengoperasian sebuah mesin atau penjelasan yang diberikan oleh seorang instruktur dalam sebuah program latihan.

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan adalah merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Overt Behavior). Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan.

Menurut Nonaka dalam Munir (2008: 26) pengetahuan ekspisit dan pengetahuan implisit dapat diekspresikan dengan rumus sebagai berikut:

Pengetahuan = Pengetahuan Eksplisit + Pengetahuan Implisit…..….(2.1) Pengetahuan eksplisit selanjutnya disebut sebagai pengetahuan yang dapat diekspresikan dengan kata-kata dan angka, serta dapat disampaikan dalam bentuk formula ilmiah, spesifikasi, prosedur operasi standar, bagan, manual-manual dan sebagainya. Pengetahuan jenis ini dapat segera diteruskan dari satu individu ke individu lainnya secara formal dan sistematis. Di pihak lain pengetahuan implisit merupakan pengetahuan yang terletak pada benak manusia, bersifat sangat personal dan sulit dirumuskan, sehingga membuatnya sulit untuk dikomunikasikan atau disampaikan pada orang lain. Perasaan pribadi, intuisi, bahasa tubuh, pengalaman fisik, petunjuk praktis termasuk jenis pengetahuan ini.

Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman cendrung bersifat terbatinkan, fisik dan subjektif. Dilain pihak, pengetahuan yang diperoleh melalui proses rasional cendrung eksplisit, metafisik dan objektif.

Notoadmodjo (1993), berpendapat pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yakni:

a. Tahu (Know).

Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima.

b. Memahami (Comprehension).

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi real (sebenarnya).

d. Analisis (Analysis).

Analisis adalah suatu komponen untuk menjabarkan analisis atau suatu objek ke dalam komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti menggambarkan (membuat bagan) membedakan memisahkan, mengelompokkan dan lain sebagainya.

e. Sintesis (Synthesis).

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (Evaluation).

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini didasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada.

2.3.2.2 Keterampilan (Skill)

Menurut Gordon (1994: 55) keterampilan merupakan kemampuan untuk mengoprasikan pekerjaan secara mudah dan cermat. Pengertian ini biasanya cenderung pada aktivitas psikomotor. Iverson (2001:133) menambahkan bahwa selain training yang diperlukan untuk mengembangkan kemampuan, keterampilan juga membutuhkan kemampuan dasar (basic ability). Di sisi lain Robbins (2000:494) menyatakan bahwa keterampilan dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu:

1. Kemampuan Dasar (Basic literacy skill).

Keahlian dasar merupakan keahlian seseorang yang pasti dan wajib dimiliki oleh kebanyakan orang, seperti membaca, menulis, dan mendegar.

2. Kemampuan Teknikal (Technical skill).

Keahlian teknik merupakan keahlian seseorang dalam pengembangan teknik yang dimiliki, seperti menghitung secara tepat, dan mengoprasikan komputer.

3. Kemampuan Beriteraksi (Interpersonal skill).

Keahlian interpersonal merupakan kemampuan seseorang secara efektif untuk berinteraksi dengan orang lain maupun dengan rekan kerja, seperti pendengar yang baik, menyampaikan pendapat secara jelas dan bekerja dalam satu tim.

4. Kemampuan Memecahkan Masalah (Problem solving).

Menyelesaikan masalah adalah proses aktivitas untuk menajamkan logika, berargumentasi dan penyelesaian masalah serta kemampuan untuk mengetahui penyebab, mengembangkan alternatif dan menganalisa serta memilih penyelesaian yang baik.

Sedangkan keterampilan kerja yang dimiliki seseorang menurut Kost dan Rosenweig (1998: 77) dapat dibagi sebagai berikut:

1. Technical Skill, terampil dan pakar dalam pekerjaan tertentu, berupa metoda-metoda, proses-proses dan prosedur-prosedur atau teknik-teknik pelaksanaan kerja.

2. Human Skill, yaitu kemampuan untuk kekerja sama secara efektif sebagai anggota kelompok.

3. Conseptual Skill, yaitu kepekaan karyawan terhadap organisasi.

Keterampilan adalah hasil dari latihan berulang, yang dapat disebut perubahan yang meningkat atau progresif oleh orang yang mempelajari keterampilan tadi sebagai hasil dari aktivitas tertentu (Whiterington, 1991 : 22). Keterampilan dari kata dasar terampil yang artinya cakap menyelesaikan tugas, mampu dan cekatan sedangkan keterampilan artinya kecakapan untuk menyelesaikan tugas (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999).

Menurut Graeff, dkk (1996: 102), pelatihan keterampilan merupakan aktivitas utama selama fase implementasi suatu program kesehatan. Selama implementasi pelatihan bertujuan untuk membangun dan memelihara perilaku-perilaku yang sangat penting dalam kelangsungan program, maka pelatihan tersebut akan mengarah kepada perolehan keterampilan. Keterampilan adalah kemampuan melaksanakan tugas/pekerjaan dengan menggunakan anggota badan dan peralatan kerja yang tersedia. Ada 3 jenis kemampuan dasar bersifat manusia (human skill), kemampuan teknik (technicall skill), dan kemampuan membuat konsep (conceptual skill).

Keterampilan teknik adalah kemampuan untuk menggunakan alat, prosedur, dan teknik yang berhubungan dengan bidangnya. Keterampilan manusia adalah kemampuan untuk dapat bekerja, mengerti, dan mengadakan motivasi kepada orang lain. Keterampilan konsep adalah kemampuan untuk melakukan kerja sama dalam pekerjaan dan pekerjaan itu dapat memberikan keterampilan.

Dalam proses pendidikan atau pelatihan, Notoatmodjo, (1993: 53) menyebutkan bahwa suatu sikap belum tentu terwujud dalam praktek atau tindakan.

Masih diperlukan kondisi tertentu yang memungkinkan terjadinya perubahan sikap menjadi praktek. Kondisi tersebut antara lain tersedianya fasilitas untuk belajar yaitu:

1. Peserta diberi kesempatan untuk melihat dan mendengar orang lain melakukan keterampilan tersebut dan diberi kesempatan melakukan sendiri.

2. Peserta diberi kesempatan untuk menguasai sub-sub komponen keterampilan sebelum menguasai keterampilan secara keseluruhan.

3. Peserta harus melakukan sendiri keterampilan baru.

4. Pelatih mengevaluasi hasil keterampilan baru dan memberi umpan balik.

Menurut Green (1991), ada tiga faktor yang mempengaruhi perilaku atau sikap seseorang, yaitu:

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yang meliputi pengetahuan, sikap, keyakinan dan persepsi individu.

b. Faktor-faktor penguat (enabling factors), meliputi sikap dan perilaku petugas kesehatan dan orang lain disekitarnya.

c. Faktor-faktor pemungkin (reinforcing factors), seperti kebijakan teknis kesehatan seperti adanya revitalisasi, ketersediaan sumberdaya kesehatan yang ada.

Sedangkan pengetahuan seseorang sangat dipengaruhi oleh adanya pengalaman dan juga informasi dari orang lain, buku dan media massa WHO (1992).

Menurut Notoatmodjo, (1995), pendidikan kader sangat berpengaruh terhadap pengetahuannya, sehingga kader perlu tambahan pengetahuan melalui kursus ulang

kader, bimbingan dan penyuluhan di lapangan. Ada 5 (lima) faktor yang dapat diidentifikasi berpengaruh terhadap perilaku positif atau tindakan seseorang dalam bentuk keterampilan seperti:

1. Faktor interpersonal atau individual, yaitu karakteristik seseorang yang meliputi pengetahuan, sikap, keyakinan dan ciri-ciri kepribadian.

2. Faktor interpersonal yaitu proses hubungan antar manusia dan kelompok-kelompok utama yang berpengaruh seperti keluarga, teman yang memberikan informasi.

3. Faktor institusional, yaitu undang-undang, peraturan dan kebijakan.

4. Faktor kelompok masyarakat, yaitu norma, standar formal maupun informal dan organisasi masyarakat.

5. Faktor kebijakan publik, yaitu adanya kebijakan yang berhubungan dengan tenaga kerja dan dikeluarkan oleh pemerintah berupa undang-undang yang mendukung program tenaga kerja.

2.3.2.3 Sikap

Thurstone mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis Azwar, (2005: 4). La Pierre mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi, atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Definisi Petty & Cacioppo secara

lengkap mengatakan sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu (Azwar, 2005: 5).

Menurut Fishben & Ajzen, sikap sebagai predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dalam cara tertentu berkenaan dengan objek tertentu.

Sherif menyatakan bahwa sikap menentukan ciri khas perilaku seseorang dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku terhadap suatu objek yang merupakan hasil dari interaksi komponen kognitif, afektif dan konatif.

Sikap memiliki 3 komponen (Fisbein dan Ajzen, 1975) dalam (Azwar, (2005: 8) yaitu:

a. Komponen Kognitif.

Komponen kognitif merupakan komponen yang berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap.

b. Komponen Afektif.

Komponen afektif merupakan komponen yang menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu.

c. Komponen Konatif (Perilaku).

Komponen konatif atau komponen prilaku dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.

2.3.3 Menyusun Materi Program

Materi program disusun dari estimasi kebutuhan dan tujuan pelatihan.

Kebutuhan dalam hal ini merupakan bentuk pengajaran keahlian khusus, menyajikan pengetahuan yang diperlukan, atau berusaha untuk mempengaruhi sikap. Apapun materinya, program harus dapat memenuhi kebutuhan organisasi dan peserta pelatihan. Jika tujuan perusahaan tidak tercapai maka sumber daya menjadi sia-sia.

Peserta pelatihan harus melihat bahwa materi harus dapat menganalisis bahwa materi pelatihan relevan dengan kebutuhan mereka atau motivasi mereka mungkin rendah.

Materi pokok yang akan disajikan dalam suatu pelatihan sangat bergantung pada hasil analisis kebutuhan pelatihan. Proses pembelajaran pada umumnya, seperti halnya dalam pelatihan yang mengajarkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan, tidak bisa terlepas dari proses kognitif. Dalam pendekatan pemrosesan informasi, pengetahuan, sikap dan keterampilan, ketiganya merupakan wujud atau representasi dari informasi yang dimasukkan, disimpan dan diolah dalam sistem kognitif manusia.

Anderson (dalam Matlin, 1998) melalui teori Adaptive Control of Thought (ACT), membedakan pengetahuan manusia yang tersimpan dalam memori menjadi dua, yaitu pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan deklaratif adalah

pengetahuan tentang fakta-fakta, hukum-hukum, pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang bagaimana cara melakukan suatu tindakan. Cara mengajarkan kedua jenis pengetahuan tersebut dalam pelatihan berbeda, termasuk cara dalam memberikan feedbacknya. Jika tujuan pelatihan untuk mengajarkan fakta-fakta dan hukum-hukum (pengetahuan deklaratif), maka eksternal feedback lebih tepat dan seharusnya diberikan secara bebas. Akan tetapi, apabila tujuan pelatihan untuk mengajarkan bagaimana melakukan sesuatu (pengetahuan prosedural), maka feedback intrinsik relatif lebih penting.

Dalam merancang materi suatu pelatihan, perlu memperhatikan prinsip-prinsip kerja sistem kognitif. Matlin (1998) menggambarkan adanya lima prinsip-prinsip bagaimana sistem kognitif bekerja, yaitu: 1) proses kognitif adalah aktif, bukan pasif;

2) proses kognitif dapat ditandai secara efisien dan akurat; 3) proses kognitif menangani informasi yang positif dengan lebih baik dibanding informasi yang negatif; 4) proses kognitif saling berhubungan antara satu dengan yang lain, tidak bekerja sendiri-sendiri; dan 5) kebanyakan proses kognitif berlangsung secara top-down dan bottom-up sekaligus. Dengan mendasarkan pada bagaimana proses-proses kognitif berlangsung, maka dalam merancang materi suatu pelatihan seharusnya: 1) antara materi satu dengan yang lainnya harus dapat dihubungkan secara logis; 2) materi-materi yang disajikan dalam bentuk positif (menggunakan kalimat-kalimat positif, afirmatif), tidak menegasikan fakta-fakta; 3) penjelasan-penjelasan menggunakan penalaran induktif dan deduktif sekaligus.

Selain hal tersebut, perlu diperhatikan pula bagaimana agar materi (dalam bentuk pengetahuan, informasi) dapat tersimpan dengan lebih baik dalam memori sehingga konsekuensinya juga akan lebih mudah dipanggil kembali ketika diperlukan (untuk diaplikasikan). Materi harus disampaikan dengan cara sedemikian rupa agar menimbulkan recency effect, primacy effect, self-reference effect dan generation effect.

Recency effect dan primacy effect berhubungan dengan urutan masuknya informasi ke dalam sistem memori. Informasi yang disajikan di bagian awal sehingga masuk terlebih dahulu ke dalam sistem memori, akan lebih mudah dipanggil kembali.

Ini yang disebut dengan primacy effect. Sebaliknya, informasi yang paling akhir masuk merupakan informasi yang paling segar dalam ingatan sehingga juga lebih mudah untuk dipanggil kembali, ini yang disebut dengan recency effect Matlin (1998). Tata urutan penyajian materi atau informasi yang diberikan dalam suatu pelatihan harus diatur sedemikian rupa agar dapat diperoleh kedua efek tersebut.

Pengaturan urutan tersebut dapat secara keseluruhan dalam suatu program pelatihan maupun dalam potongan-potongan kecil yaitu bagian-bagian atau sesi pelatihan.

Self-reference effect dan generation effect berhubungan dengan isi materi dan cara penyampaiannya. Informasi-informasi yang dihubungkan dengan diri sendiri (peserta) akan lebih mudah untuk diingat kembali (self-reference effect) dan informasi yang dibuat, dihasilkan dan disusun sendiri juga akan lebih mudah untuk dingat (generation effect) (Matlin, 1998). Metode pembelajaran pengalaman (experiential learning) sangat mendukung untuk dapat diperolehnya kedua efek

memori tersebut. Dalam experiential learning, materi pelatihan diberikan dalam bentuk pengalaman-pengalaman, baik langsung maupun tidak langsung, nyata maupun simbolik, sehingga mereka mengalami sendiri akan sesuatu yang dipelajari.

Mereka kemudian merefleksikan pengalaman-pengalaman mereka sendiri dan dari padanya mereka membuat sendiri suatu konsep abstrak dari apa yang dipelajarinya.

Dengan demikian para peserta akan mendapatkan sekaligus self-reference effect dan generation effect.

Materi yang satu dengan yang lainnya dalam suatu pelatihan, selain mempertimbangkan efek-efek memori tersebut, dalam penyajiannya juga harus diorganisasikan agar dapat saling dihubungkan dan mengikuti urutan yang logis.

Urutan tersebut dapat mengikuti pola-pola yang ada, bergantung pada isi materi dan tujuan diberikannya materi tersebut. Pola-pola urutan (sequencing) yang dapat digunakan misalnya time-sequencing (yaitu suatu pola penyajian materi berdasarkan urutan waktu secara kronologis); spatial-sequencing (yaitu suatu pola yang menunjukkan bagaimana sesuatu berhubungan dengan sesuatu yang lain dalam ruang, posisi dan orientasi visual); atau cause-effect sequence (yaitu suatu pola yang menjelaskan terlebih dahulu alasan-alasan suatu kejadian, masalah atau isu, kemudian mendiskusikan konsekuensi-konsekuensi, hasil-hasil dan akibat-akibatnya).

2.3.4 Memilih Metode Pelatihan

Idealnya pelatihan akan lebih efektif jika metode pelatihan disesuaikan dengan sikap pembelajaran peserta dan jenis pekerjaan yang dibutuhkan organisasi.

Metode yang dipilih hendaknya disesuaikan dengan jenis pelatihan yang akan dilaksanakan dan dapat dikembangkan oleh suatu perusahaan. Bahkan beberapa pendekatan yang mengguakan sedikit prinsip belajar, seperti ceramah, adalah alat berharga karena dapat memenuhi keperluan untuk tukar menukar keahlian atau pengalaman. Misalnya ceramah menjadi cara terbaik untuk menyampaikan konten akademik secara efektif, terutama bila kelas amat besar dan ruangan tidak memungkinkan dengan pendekatan lain. Walaupun cara ini dapat mempengaruhi metode yang dipakai, pengembangan SDM perlu mengenal seluruh teknik dan prinsip belajar sebagai berikut:

1. Metode di dalam pekerjaan (on the job Training).

Metode ini menempatkan para trainee ke dalam situasi nyata, dimana karyawan yang berpengalaman memperlihatkan atau membimbing para karyawan baru yang diharapkan memberikan contoh-contoh pekerjaan yang baik dan memperlihatkan penanganan suatu pekerjaan yang jelas dan konkrit. Meliputi latihan orientasi, magang, pelatihan pada pekerjaan, penugasan penelitian dan penilaian kinerja. Walaupun metode ini tampak sederhana, apabila tidak ditangani dengan tepat, beberapa permasalan mungkin timbul, seperti kerusakan mesin produksi, ketidakpuasan konsumen, kesalahan melakukan filing dokumen dan lain-lain. Untuk mencegah masalah ini instruktur harus dipilih secara selektif. Salah satu pendekatan on job training yang sistematis adalah Job Instruction Training (JIT). Melalui sistem ini, instruktur pertama kali memberikan

pelatihan kepada supervisor, dan selanjutnya supervisor memberikan pelatihan kepada pekerja. Kemudian pelatih menunjukkan pekerjaan untuk memberi contoh pada peserta. Karena peserta diberi petunjuk pekerjaan, pelatihan ditransfer kepada pekerja. Keuntungan dari metode pelatihan on

pelatihan kepada supervisor, dan selanjutnya supervisor memberikan pelatihan kepada pekerja. Kemudian pelatih menunjukkan pekerjaan untuk memberi contoh pada peserta. Karena peserta diberi petunjuk pekerjaan, pelatihan ditransfer kepada pekerja. Keuntungan dari metode pelatihan on