• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metafora Ontologis

Dalam dokumen BAB III METODE PENELITIAN (Halaman 26-39)

Metafora ontologis lebih mewakili upaya untuk menjelaskan konsep dan pengetahuan yang abstrak dalam kehidupan manusia, seperti kejadian-kejadian, aktivitas, emosi dan gagasan yang diwujudkan dalam kata-kata dan kalimat yang mengarah pada objek dan substansi fisik yang jelas dan nyata secara fisik. Metafora ontologis mengonseptualisasikan pikiran, pengalaman, dan proses atau hal yang abstrak lainnya ke sesuatu yang memiliki sifat fisik. Berikut adalah pemaparan PK dari beberapa jenis metafora ontologis yang terdapat dalam teks perumpamaan Injil Lukas.

Tabel 4.2 Metafora Ontologis No Pemetaan Konseptual (PK) Data

4. A MAN IS TREE For a good tree does not bear bad fruit, nor does a bad tree bear good fruit. (Lukas 6:43) 5. TENET IS GARMENT No one puts a piece from a new garment on an

old one; otherwise the new makes a tear, and also the piece that was taken out of the new does not match the old. (Lukas 5:36)

6. TENET IS WINE And no one puts new wine into old wineskins; or else the new wine will burst the wineskins and be spilled, and the wineskins will be ruined. (Lukas 5:37)

7. A MAN IS LAMB Go your way; behold, I send you as lambs among wolves (Lukas 10:3)

8. LIGHT IS EYE The lamp of the body is the eye. Therefore, when your eye is good, your whole body also is full of light. But when your eye is bad, your body also is full of darkness. (Lukas 11:34a)

(4) Metafora ontologis pohon

Metafora pada data (4) termasuk dalam kategori metafora ontologis pohon karena a tree “pohon” sebagai RSu yang merupakan ungkapan metaforis. Kajian utama yang difokuskan dari data tersebut di atas adalah bagaimana interpretasi dari makna dan signifikansi dari cerita (perumpamaan) yang diberi judul perikop oleh LAI “Pohon dan Buahnya” dapat dijelaskan. Dalam studi Alkitab, baik simbol maupun cerita (perumpamaan), dapat diinterpretasikan melalui beberapa cara yang berbeda, di dalam tulisan ini digunakan Pemetaan Konseptual (PK).

(4) For a good tree does not bear bad fruit, nor does a bad tree bear good fruit. (Lukas 6:43)

Pada data (4), nomina a tree sebagai RSu dilihat dari perspektif linguistik kognitif merupakan entitas abstrak yang secara metafora konseptual melalui entitas konkret dapat lebih mudah dipahami. Dengan kata lain, entitas tersebut melalui PK dapat dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa yang ideal. Pemetaan metafora konseptual a tree dapat menghasilkan a man sebagai RSa.

Makna dari entitas abstrak yang membentuk sebagian sistem simbol dari Kekristenan yakni a man, sebagai RSa, merupakan konsep metafisika yang digunakan untuk mendefinisikan a man (Neville, 2001). Konsep a tree yang dikonseptualisasikan sebagai a man dipetakan melalui PK: A MAN IS TREE. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa a tree yang sebenarnya merupakan pohon, secara metafora konseptual dianalogikan sebagai a man (manusia). Ranah sumber dari metafora ini diambil dari bahasa sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas kehidupan. Metafora A MAN IS TREE dapat dipahami bagaimana pohon (TREE) sebagai RSu yang bersifat abstrak digambarkan agar lebih mudah dipahami karena dibandingkan dengan manusia (MAN) sehingga dapat dipahami maksud yang terkandung dalam metafora tersebut. Dengan demikian, akan dapat dimengerti apa yang dimaksud dengan pohon (TREE) berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki oleh manusia (MAN) sebagai RSa. Kesamaan ciri atau karakteristik yang terdapat dalam kedua komponen makna tersebut menjadi dasar metafora, yaitu kalau dalam pohon ada buah yang baik/manis ataupun tidak baik, demikian pula sifat seseorang dengan perbuatan dan perkataan yang diucapkannya.

Nomina fruit sebagai RSu yang juga merupakan entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif, secara metafora konseptual, dapat dipetakan sehingga menghasilkan makna sebagai RSa, yaitu treasure of man’s heart,

yang merupakan konsep metafisika yang digunakan untuk mendefinisikan the fruit (Neville, 2001).

Eksistensi dari a tree sebagai pohon dapat pula dikonstruksikan secara esensial dengan dua cara. Di satu sisi, sebagai pemikiran (thought) dan tindakan (action). Di sisi lain, pohon dapat berbuah baik maupun tidak baik (hal tersebut memiliki sense sebagai proses dan bahkan peristiwa atau hasil dari sebuah proses). Pertama, sebagai proses, a good tree does not bear bad fruit, nor does a bad tree bear good fruit (Lukas 6:43) yang secara metafora konseptual bermakna ‘orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik, dan orang yang jahat mengeluarkan barang yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat’ (Lukas 6:45a). Dari proses ini terlihat bahwa terjadi analogi antara a tree sebagai RSu dengan a man sebagai RSa, demikian pula terjadi analogi antara a fruit sebagai RSu dengan treasure of man’s heart sebagai RSa. Kedua, sebagai peristiwa atau dapat dikatakan sebagai hasil dari suatu proses, secara metafora konseptual ungkapan itu bermakna ‘apa yang diucapkan manusia, meluap dari hatinya’ (Lukas 6:45b). (5) Metafora ontologis kain

Metafora pada data (5) termasuk metafora ontologis kain karena a

garment ‘kain’ sebagai RSu yang merupakan ungkapan metaforis. Kajian

difokuskan pada interpretasi makna dan signifikansi dari cerita (perumpamaan) tersebut.

(5) No one puts a piece from a new garment on an old one; otherwise the

new makes a tear, and also the piece that was taken out of the new does not match the old. (Lukas 5:36)

Nomina a garment sebagai RSu dalam kalimat tersebut merupakan kontainer abstrak dari perspektif linguistik kognitif terbukti dari adanya adverbia on pada frasa an old one yang secara metafora konseptual melalui entitas konkret dapat lebih mudah dipahami. Dengan kata lain, kontainer tersebut melalui PK dapat dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa yang ideal. Pemetaan metafora konseptual a garment adalah tenet sebagai RSa.

Makna yang tercipta dari kontainer/wadah abstrak yang membentuk sebagian sistem simbol dari Kekristenan adalah tenet sebagai RSa merupakan konsep metafisika yang digunakan untuk mendefinisikan apa tenet itu (Neville, 2001). Konsep a garment yang dikonseptualisasikan sebagai a tenet RSa dapat dipetakan melalui PK: TENET IS GARMENT. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa garment yang sebenarnya merupakan kain, secara metafora konseptual dianalogikan sebagai tenet (ajaran).

Koherensi metaforis pada ranah sumber dari metafora itu diambil dari bahasa sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas kehidupan. Metafora TENET IS GARMENT dapat dipahami bagaimana kain (GARMENT) sebagai RSu yang bersifat abstrak dibandingkan dengan ajaran (TENET) supaya dipahami maksud yang terkandung dalam metafora tersebut.

Eksistensi dari garment dapat pula dikonstruksikan secara esensial dengan dua cara. Pertama, sebagai pemikiran (thought) dan tindakan (action). Kedua, hal tersebut memiliki sense sebagai proses dan bahkan peristiwa atau hasil dari sebuah proses. Sebagai proses, no one puts a piece from a new garment on an old one; otherwise the new makes a tear, and also the piece that was taken out of the new does not match the old (Lukas 5:36) yang secara metafora konseptual bermakna ‘tidak ada seorang pun mengoyakkan secarik kain dari baju yang baru dan menambalkannya pada baju yang lama, karena itu menambal lubang pada kain lama dengan memakai kain baru justru akan merusak dan mengoyakkan kain yang ditambal itu’ (Lukas 5:37). Dari proses ini terlihat bahwa terjadi analogi antara garment sebagai RSu dan tenet sebagai RSa atau analogi antara “kain” dan “ajaran.” Dalam konteks ini biasanya orang sulit menerima ajaran baru apabila mereka sudah meyakini ajaran lama sebagai paham yang menurut mereka benar.

(6) Metafora ontologis anggur

Metafora pada data (6) termasuk metafora ontologis anggur karena wine “anggur” sebagai RSu yang merupakan ungkapan metaforis. Kajian utama yang difokuskan dari data tersebut di atas adalah bagaimana interpretasi dari makna dan signifikansi dari cerita (perumpamaan) dapat dijelaskan. Anggur sebagai simbol dalam cerita (perumpamaan) dapat diinterpretasikan dengan Pemetaan Konseptual (PK) seperti analisis berikut.

(6) And no one puts new wine into old wineskins; or else the new wine will burst the wineskins and be spilled, and the wineskins will be ruined. (Lukas 5:37)

Dalam kalimat tersebut di atas nomina wine sebagai (RSu) merupakan entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif yang secara metafora konseptual melalui entitas konkret dapat lebih mudah dipahami. Dengan kata lain, entitas tersebut melalui PK dapat dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa yang ideal. Pemetaan metafora konseptual wine, yaitu tenet, sebagai RSa.

Makna yang tercipta dari kontainer/wadah abstrak yang membentuk sebagian sistem simbol dari Kekristenan adalah tenet sebagai RSa merupakan konsep metafisika yang digunakan untuk mendefinisikan apa tenet itu (Neville, 2001). Konsep wine yang dikonseptualisasikan menjadi tenet dipetakan melalui PK: TENET IS WINE. Dengan lain kata, dapat dikatakan bahwa wine yang sebenarnya merupakan buah/minuman, secara metafora konseptual dianalogikan dengan tenet (ajaran).

Koherensi metaforis pada RSa dari metafora tersebut diambil dari bahasa sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas kehidupan, yaitu budi daya anggur biasa diusahakan di tanah Kanaan. Sesudah anggur masak dan diperas kemudian disimpan dalam kirbat (kantong kulit) baru yang kuat untuk difermentasikan.

Metafora TENET IS WINE dapat dipahami bagaimana minuman (WINE) sebagai (RSu) yang bersifat kurang abstrak digambarkan. Dengan demikian,

ungkapan tersebut lebih mudah dipahami karena dibandingkan dengan ajaran (TENET) sehingga dipahami maksud yang terkandung dalam metafora tersebut.

Frasa nominal wineskins sebagai RSu, yang juga merupakan kontainer abstrak dari perspektif linguistik kognitif, terbukti dari kalimat And no one puts new wine into old wineskins melalui metafora konseptual dapat dipetakan sehingga menghasilkan makna sebagai RSa yang membentuk sistem simbol yaitu frame of man’s thought. Hal ini merupakan konsep metafisika yang digunakan untuk mendefinisikan wineskins.

Eksistensi wine sebagai buah/minuman dapat pula dikonstruksikan secara esensial dengan dua cara. Di satu sisi, sebagai pemikiran (thought) dan tindakan (action). Di sisi lain, minuman yang sudah difermentasi dapat memicu kemabukan dan yang tidak difermentasi tidak memicu kemabukan. Hal tersebut memiliki sense sebagai proses dan bahkan peristiwa atau hasil dari sebuah proses. Pertama, sebagai proses, no one puts new wine into old wineskins; or else the new wine will burst the wineskins and be spilled, and the wineskins will be ruined (Lukas 5:37) yang secara metafora konseptual bermakna ‘ajaran baru/Injil harus diberikan pada orang yang memiliki kerangka pikir baru’ (Lukas 5:38). Dari proses ini terlihat bahwa terjadi analogi antara wine sebagai RSu dan tenet sebagai RSa, demikian pula terjadi analogi antara wineskins sebagai RSu dan frame of man’s thought sebagai RSa. Kedua, sebagai peristiwa atau dapat dikatakan sebagai hasil dari suatu proses, secara metafora konseptual

bermakna bahwa kesamaan ciri atau karakteristik yang terdapat dalam kedua komponen makna tersebut menjadi dasar metafora. Perumpamaan ini menunjuk pada praktik menempatkan anggur baru ke dalam kantong kulit baru, dan ketidakmungkinan untuk melakukan hal itu. Demikian pula anggur yang menunjuk pada bekerjanya ajaran baru/Injil, maka kantong yang pecah dapat menunjuk, baik pada ajaran konvensional maupun hati manusia yang membutuhkan penataan kembali, sesuai dengan tantangan zaman baru (Hillyer, 1999:51).

Berdasarkan ulasan di atas, terlihat jelas seperti apa yang dikatakan oleh K vecses (2006) bahwa kaitan antara ranah sumber dan ranah target merupakan hubungan yang berlaku antara ranah sumber yang dapat diberlakukan pada beberapa ranah target, demikian pula satu ranah target mungkin dapat diberlakukan pada beberapa ranah sumber. Hal ini ditunjukkan oleh ranah sumber “ajaran” selain sesuai diterapkan untuk ranah target garment melalui PK: TENET IS GARMENT, sesuai juga untuk ranah target wine melalui PK: TENET IS WINE. Hubungan yang berlaku antara ranah sumber yang dapat diberlakukan pada beberapa ranah target disebut ruang lingkup sumber.

(7) Metafora ontologis domba

Metafora pada data (7) termasuk metafora ontologis domba, lamb ‘domba’ sebagai RSu yang merupakan ungkapan metaforis. Melalui lamb kajian difokuskan pada interpretasi makna dan signifikansi dari cerita (perumpamaan)

ini. “Domba” sebagai simbol dalam cerita (perumpamaan) dapat diinterpretasikan dengan Pemetaan Konseptual (PK).

(7) Go your way; behold, I send you as lambs among wolves. (Lukas 10:3)

Dalam kalimat tersebut di atas nomina lamb sebagai (RSu) merupakan entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif yang secara metafora konseptual melalui entitas konkret dapat lebih mudah dipahami. Dengan kata lain, entitas tersebut melalui PK dapat dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa yang ideal. Pemetaan metafora konseptual lamb yaitu man sebagai RSa.

Makna yang tercipta dari entitas abstrak yang membentuk sebagian sistem simbol man sebagai RSa merupakan konsep metafisika yang digunakan untuk mendefinisikan man (Neville, 2001). Konsep lamb yang dikonseptualisasikan menjadi man sebagai RSa dapat dipetakan melalui PK: A MAN IS LAMB. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa lamb yang sebenarnya merupakan domba, secara metafora konseptual dianalogikan sebagai man (manusia).

Koherensi metaforis pada RSa dari metafora tersebut diambil dari bahasa sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas kehidupan, yaitu jenis domba yang dikenal di Palestina bertubuh lebar dan penuh lemak. Domba digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya untuk persembahan, termasuk makanan istimewa. Domba tidak merusak atau merugikan, tetapi

memiliki sifat penurut (Hillyer, 1999: 254-255). Domba merupakan lambang hati yang suci atau tak bersalah (Matius 7:15).

Pada metafora A MAN IS LAMB dapat dipahami tentang domba (LAMB) sebagai RSu yang bersifat kurang abstrak digambarkan. Dengan demikian, ungkapan tersebut lebih mudah dipahami karena dibandingkan dengan manusia (MAN) sehingga dipahami maksud yang terkandung dalam metafora tersebut.

Nomina wolves sebagai RSu, yang juga merupakan entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif, melalui metafora konseptual dapat dipetakan sehingga menghasilkan makna sebagai RSa yang membentuk sistem simbol, yaitu ‘seseorang yang menyalahgunakan wibawanya’. Hal ini merupakan konsep metafisika yang digunakan untuk mendefinisikan wolves (Neville, 2001).

Eksistensi wolves sebagai binatang dapat pula dikonstruksikan secara esensial dengan dua cara, yaitu sebagai pemikiran (thought) dan tindakan (action). Koherensi serigala mengacu pada serigala Asia Tenggara walaupun bentuknya agak lebih kecil, serigala Palestina serupa dengan serigala Eropa tengah dan Eropa Utara (Hillyer, 1999:386).

Korespondensi konseptual antara ranah mental sumber dan target yang menunjukkan kesamaan kekuatan yang dimiliki wolves (serigala), dilihat dari RSa bermakna seseorang yang menyalahgunakan wibawanya, hanya dapat dilakukan oleh suatu entitas yang memiliki kekuatan lebih besar dibandingkan dengan lamb

(domba), yakni suatu ungkapan metaforis yang bermakna lemah dan penurut. Di samping itu, hubungan kesamaan sifat antara ranah sumber dan target dapat melatarbelakangi hubungan antara ranah sumber dan ranah target. Kata wolves (serigala) dianalogikan dengan man (manusia) yang berarti serigala yang hidupnya liar karena tidak dikandangkan, dibiarkan hidup di habitatnya. Konseptualisasi yang dilakukan pewarta dalam perumpamaan Injil Lukas dengan menggunakan ungkapan metaforis wolves dapat diinferensikan bahwa pewarta melakukan strategi asosiatif antara serigala dan manusia, sifat liar mengimplikasikan penyalahgunaan wewenang, sewenang-wenang, tidak mengindahkan aturan.

Dari penjelasan di atas terlihat jelas seperti apa yang dikatakan oleh K vecses (2006) bahwa kaitan antara ranah mental sumber dan ranah target merupakan hubungan yang berlaku antara ranah sumber yang dapat diberlakukan pada beberapa ranah target, demikian pula satu ranah target mungkin dapat diberlakukan pada beberapa ranah sumber. Hal ini ditunjukkan oleh ranah sumber ‘manusia’ selain bisa diterapkan untuk ranah target tree melalui PK: A MAN IS TREE, sesuai juga untuk ranah target lamb melalui PK: A MAN IS LAMB. Hubungan yang berlaku antara ranah sumber yang dapat diberlakukan pada beberapa ranah target disebut ruang lingkup sumber.

(8) Metafora ontologis mata

Metafora pada data (8) termasuk metafora ontologis pelita karena the eye ‘mata’ sebagai RSu yang merupakan ungkapan metaforis difokuskan pada interpretasi maknanya dan signifikansi dari cerita (perumpamaan) ini. “Mata” sebagai simbol dalam cerita (perumpamaan) dapat diinterpretasikan dengan Pemetaan Konseptual (PK).

(8) The lamp of the body is the eye. Therefore, when your eye is good, your whole body also is full of light. But when your eye is bad, your body also is full of darkness. (Lukas 11:34a)

Dalam kalimat tersebut di atas nomina the eye sebagai (RSu) merupakan entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif yang secara metafora konseptual melalui entitas konkret dapat lebih mudah dipahami. Dengan kata lain, entitas tersebut melalui PK dapat dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa yang ideal. Pemetaan metafora konseptual the eye, yaitu light, sebagai RSa. Makna yang tercipta dari entitas abstrak yang membentuk sebagian

sistem simbol man sebagai RSa merupakan konsep metafisika yang digunakan untuk mendefinisikan light (Neville, 2001). Konsep the eye yang dikonseptualisasikan menjadi light sebagai RSa dapat dipetakan melalui PK: LIGHT IS EYE. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa the eye yang sebenarnya merupakan mata, secara metafora konseptual dianalogikan sebagai light (terang). Koherensi metaforis pada RSa dari metafora tersebut diambil dari bahasa sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas kehidupan, yaitu mata adalah pelita bagi tubuh atau dapat dikatakan sebagai sebuah simile,

yakni mata ibarat sebuah lampu bagi tubuh karena mata memiliki peran yang sangat penting bagi tubuh, apakah untuk kebaikan tubuh atau tidak. Koherensi inilah yang mengacu kepada perumpamaan yang terdapat dalam Lukas 11:34.

Pada metafora LIGHT IS EYE dapat dipahami bagaimana pelita sebagai RSu yang bersifat kurang abstrak dibandingkan dengan mata, berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki oleh mata (THE EYE) dengan ciri yang dimiliki sebagai RSa. Kesamaan ciri atau karakteristik yang terdapat dalam kedua komponen makna tersebut menjadi dasar metafora, yakni ibarat mata yang menerangi tubuh atau dapat dikatakan mata menjadi pelita bagi tubuh, demikian pula manusia haruslah memberi terang terhadap lingkungannya.

Dalam dokumen BAB III METODE PENELITIAN (Halaman 26-39)

Dokumen terkait