• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kanker menyebar melalui invasi dan ekstensi secara langsung untuk menumbuhkan sel kanker pada tubuh dan melakukan metastasis melalui pembuluh darah dan limfa. Metastasis digambarkan sebagai perkembangan tumor sekunder yang letaknya jauh dari tumor primer. Tumor yang bermetastasis memiliki karakteristik seperti tumor primer. Pada proses metastasis, sel kanker harus melepaskan diri dari tumor primer, kemudian menginvasi matriks ekstraseluler di sekitarnya, menuju pembuluh darah, tumbuh dari pembuluh darah pada lokasi yang nyaman, menginvasi jaringan sekitar dan mulai tumbuh

(Twite 2005, Soejono et al. 2005). Metastasis merupakan masalah utama dari

menurunkan tingkat keberhasilan pengobatan. Metastasis yang semakin luas

menyebabkan penyakit tumor menjadi semakin sulit untuk diobati

(Soejono et al. 2005).

2. 3. 5. Mencit (Mus musculus L) C3H

Sejumlah pertanyaan sulit dijawab jika terkait dengan penyakit genetik manusia. Hal ini terjadi karena adanya peraturan etik dalam penggunaan manusia sebagai objek pengujian dalam penelitian. Oleh karena itu, para peneliti memfasilitasi dengan hewan model yang digunakan dalam penelitian (Solomon et al. 2005).

Mencit laboratorium Mus musculus merupakan hasil perkembangan

mamalia sebagai hewan percontohan yang terbaik untuk dipelajari. Para peneliti telah mengindentifikasi sejumlah gen yang mempengaruhi mencit. Sekuens genom mencit yang dipublikasikan pada tahun 2002, dinyatakan mengandung 27.000 hingga 30.000 gen. Jumlah gen tersebut sama dengan jumlah gen pengkode protein pada genom manusia. Hal ini menghasilkan kesimpulan bahwa

99% gen pada mencit telah mampu mewakili gen pada manusia (Solomon et al. 2005). Penelitian mengenai aktivitas antikanker dari ekstrak

cincau hijau P. oblongifolia Merr. telah dilakukan terhadap mencit

(Mus musculus L) galur C3H (Chalid 2003). Mencit C3H merupakan mencit laboratorium yang sejak lama telah digunakan pada penelitian kanker secara

in vivo, khususnya kanker payudara (mammary carcinoma) (Greene et al. 1944). Gambar mencit C3H disajikan dalam Gambar 5.

2. 3. 6. Kanker Payudara

Kanker payudara merupakan salah satu jenis penyakit kanker dengan penderita terbanyak di seluruh dunia (WHO 2009a). Jenis kanker yang paling banyak diderita oleh wanita adalah kanker payudara, serviks dan kolon. Pada tingkat kematian, jenis kanker yang paling mematikan adalah kanker payudara, paru-paru, kolon dan lambung. Berdasarkan pendataan pada tiap 100.000 wanita, kanker payudara merupakan jenis kanker yang jumlah kejadiannya lebih tinggi di negara-negara dengan pendapatan tinggi dibandingkan negara-negara dengan pendapatan menengah dan rendah (WHO 2009b).

Diet kaya lemak pada studi epidemiologis menunjukkan adanya kaitan erat dengan munculnya kanker usus dan kanker payudara. Sebuah studi yang

dilakukan oleh New York University Medical Center menunjukkan bahwa

wanita-wanita yang rajin makan daging merah ternyata berpeluang menderita kanker payudara dua kali lipat dibandingkan mereka yang hanya makan daging unggas dan ikan. Hal ini tentu tidak berarti harus berpantang mengonsumsi daging sapi. Konsumsi daging sapi harus dijaga frekuensinya agar tidak terlalu sering dilakukan (Khomsan 2004).

2. 3. 7. Pencegahan Kanker

Pada dasarnya, kanker merupakan penyakit yang dapat dicegah. WCRF dan AICR (1997) menyatakan bahwa kejadian sebagian besar berbagai jenis kanker pada manusia ditentukan oleh faktor-faktor eksternal. Pencegahan kanker sangat mungkin dilakukan karena ada faktor-faktor yang dapat dicegah. Akan tetapi, penentuan ambang batas senyawa yang menjadi xenobiotik masih kontroversial. Hal ini terjadi karena sebagian besar pakar toksikologi beranggapan bahwa ambang batas senyawa kokarsinogenik sulit untuk ditentukan.

Usaha pencegahan dapat dilakukan dengan memperbaiki konsumsi makan sehingga dapat memperoleh seluruh zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini mencakup sistem imun tubuh agar dapat berfungsi optimal atau tidak lalai. Usaha lain yang dapat dilakukan adalah mencegah masuknya senyawa-senyawa karsinogenik atau yang berpotensi sebagai karsinogenik ke dalam tubuh. Hal ini dapat dilakukan dengan mencegah polusi lingkungan dan makanan. Diet yang benar merupakan kunci keberhasilan kerja sistem imun, disamping ditunjang oleh

faktor psikologis (Zakaria 2001).

Pencegahan kejadian kanker juga dapat dilakukan dengan memperbaiki sistem detoksifikasi melalui perbaikan sistem enzim konyugasi. Dalam hal ini, keberadaan antioksidan sangat penting karena mampu mengikat senyawa-senyawa karsinogenik dengan cara mendonorkan elektronnya sehingga senyawa-senyawa tersebut menjadi tidak berbahaya. Disamping itu juga perlu diketahui bahwa tidak semua sel termutasi dapat secara otomatis menjadi kanker, karena harus melalui tahapan yang sulit untuk hidup dan berkembang sebagai kanker. Sel yang termutasi secara alami akan melakukan program bunuh diri (apoptosis). Apoptosis diatur oleh sepotong gen dalam sel yang menyebabkan seluruh DNA sel menjadi hancur. Proses apoptosis dapat optimal jika ditunjang oleh konsumsi bahan pangan yang mengandung komponen bioaktif (Zakaria 2001,

Sukardiman et al. 2005). Jika sistem detoksifikasi tidak mampu mengeliminasi

senyawa-senyawa tersebut, maka dapat mengakibatkan mutasi pada sel (Balentine dan Robinson 1998). Hal ini disebabkan oleh sifat sel kanker yang tidak seperti sel-sel normal. Sel-sel kanker gagal mengalami proliferasi dan diferensiasi secara normal. Sel-sel kanker berkembang dari mutasi yang terjadi selama proses diferensiasi (Twite 2005).

2. 4. Enzim Kaspase dan Kanker 2. 4. 1. Apoptosis

Apoptosis atau kematian sel terprogram merupakan proses normal untuk menyingkirkan sel-sel rusak. Proses kematian sel dengan ciri-ciri penggumpalan DNA, kondensasi dan fragmentasi inti sel yang mengakibatkan sel difagositosis tanpa induksi respon inflamasi. Mekanisme ini juga terjadi dalam usaha mengeliminasi sel kanker (Baratawidjaja 2006).

Bcl-2 merupakan gen yang pertama kali terkait dengan apoptosis, dan gen tersebut berperan dalam tumorigenesis. Jika Bcl-2 terekspresi dalam jumlah berlebih pada beberapa jenis kanker, maka dapat menyebabkan sel kanker mampu bertahan dalam penghambatan apoptosis secara langsung. Sebaliknya, gen Bax atau Bak yang termutasi dan diteliti pada kanker tertentu, jika terdapat gangguan terhadap gen tersebut maka akan menyebabkan tumorigenesis pada mencit (Gewies 2003).

2. 4. 2. Kelompok Enzim Kaspase

Kaspase, merupakan enzim sistein protease yang berperan utama dalam jaringan sinyal apoptosis dan enzim tersebut teraktivasi dalam sebagian besar peristiwa kematian sel secara apoptotik. Istilah ’kaspase’ merupakan singkatan dari cystein-dependent aspartate-specific proteases

Sejauh ini, terdapat tujuh jenis kaspase yang telah teridentifikasi pada

Drosophila dan 14 jenis ditemukan pada mamalia, yang mana untuk kaspase-11 dan kaspase-12 hanya ditemukan pada mencit. Berdasarkan penamaannya,

kaspase-1 merupakan ICE (Interleukin-1β-Converting Enzyme), yaitu sebagai

kaspase pertama pada mamalia yang digambarkan sebagai homolog Ced-3

(Gewies 2003). Ced-3 merupakan gen kematian sel Caenorhabditis elegans

(Fan et al. 2005). Kaspase-1 sebagaimana kaspase-4, kaspase-5, kaspase -11 dan kaspase -12, berperan utama dalam aktivasi proteolitik sitokin proinflamasi seperti pro-IL-1β dan pro-IL-18. Peran enzim-enzim kaspase tersebut dalam apoptosis masih dipertanyakan. Kaspase-3, kaspase-9, kaspase-8 dan ditambah kaspase-2, kaspase-6, kaspase-7 dan kaspase-10 telah diketahui berperan penting dalam mesin sinyal apoptosis (Gewies 2003).

. Hal ini karena kaspase memiliki aktivitas katalitik yang ditentukan oleh residu sistein yang di dalamnya terdapat situs aktif pentapeptida yang sangat awet, yaitu QACRG. Kaspase melepaskan substratnya secara spesifik setelah residu Asp (aspartat) (Gewies 2003).

Kaspase disintesis di dalam sel dalam bentuk zimogen inaktif, yang disebut prokaspase. Prokaspase ini memiliki gugus N-terminus. Selama aktivasinya, prokaspase secara proteolitik diproses menjadi subunit besar dan kecil. Heterotetramer yang terdiri dari dua subunit kecil dan dua subunit besar selanjutnya akan membentuk kaspase yang aktif. Kaspase proapoptosis dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kaspase inisiator dan kaspase eksekusioner (efektor). Kaspase inisiator meliputi prokaspase-2, prokaspase-8, prokaspase-9 dan prokaspase-10. Kaspase eksekusioner meliputi prokaspase-3, prokaspase-6 dan prokaspase-7 (Gewies 2003).

Gambar 6 menjelaskan rangkaian aktivasi kaspase dengan DISC yang berasal dari jalur apoptosis ekstrinsik. Pada saat proses ligasi dengan ligannya,

trimer reseptor kematian merekrut molekul adaptor melalui DD (death domains, jangkauan kematian) pada sitoplasma. Adaptor tersebut juga memiliki DED yang merekrut prokaspase-8, menuju DISC. Prokaspase-8 diaktivasi dengan pelepasan otoproteolitik sehingga membentuk kaspase-8 aktif yang memiliki heterotetramer dengan dua subunit kecil dan dua subunit besar. Kaspase-8 selanjutnya akan mengaktivasi kaspase eksekusioner untuk melakukan eksekusi dalam apoptosis (Gewies 2003).

Gambar 6 Jalur apoptosis ekstrinsik (Gewies 2003)

Gambar 7 menjelaskan jalur apoptosis instrinsik yang diatur di mitokondria. Jalur tersebut meliputi prokaspase-9 yang diaktivasi oleh bagian mitokondria proapoptotik, yaitu apoptosom. Apoptosom merupakan kompleks protein sitosol sinyal kematian yang dibentuk pada saat pelepasan sitokrom-c dari mitokondria. Dalam hal ini, proses dimerisasi molekul prokaspase-9 pada rangkaian Apaf-1 akan mengaktivasi prokaspase-9 menjadi kaspase-9. Jika satu kaspase insiator telah teraktivasi, maka selanjutnya akan mengaktivasi kaspase eksekusioner secara proteolitik, yaitu untuk prokaspase-3, prokaspase-6 dan prokaspase-7. Ketiga prokaspase tersebut selanjutnya akan melepaskan substrat protein yang spesifik, termasuk prokaspase itu sendiri, sehingga menghasilkan

Aktivasi Reseptor kematian Ligan Adaptor aktif Membran sel

mediasi dan amplifikasi sinyal kematian. Pada akhirnya, eksekusi kematian sel dengan rangkaian morfologis dan biokimia akan terjadi (Gewies 2003).

Gambar 7 Jalur apoptosis intrinsik (Gewies 2003) 2. 4. 3. Enzim Kaspase-3

Kaspase-3 merupakan target biokimia dalam aplikasi sistem pemisahan enzim apoptosis. Kaspase-3 adalah salah satu jenis kaspase efektor yang berperan dalam aktivasi proteolitik selama apoptosis. Sasaran morfologis kaspase-3 terhadap apoptosis adalah perubahan ukuran inti sel. Sel yang sehat memiliki inti sel yang besar, sedangkan inti sel pada proses awal apoptosis telah menyusut (piknosis) sebelum pada akhirnya terfragmentasi. Salah satu jenis senyawa pemicu apoptosis pada suatu populasi sel secara eksperimental adalah staurosporin, yang dapat meracuni sel. Staurosporin merupakan salah satu jenis alkaloid alami (Foitzik et al. 2009).

2. 4. 4. Perbedaan Apoptosis dengan Nekrosis

Apoptosis dan nekrosis merupakan proses kematian sel. Apoptosis adalah kematian sel per sel, sedangkan nekrosis melibatkan sekelompok sel. Membran sel yang mengalami apoptosis akan mengalami penonjolan-penonjolan ke luar tanpa disertai hilangnya integritas membran. Hal ini berbeda dengan sel yang mengalami nekrosis. Hal ini karena sel tersebut mengalami kehilangan integritas

Aktivasi Kaspase melalui Jalur Mitokondria

Stimulus apoptotik Pelepasan sitokrom-c Pembentukan apoptosom Aktivasi Kaspase-3

Aktivasi dan Pembentukan Apoptosom

Dimer aktif Kaspase-3 Pro-kaspase-9

membran. Sel yang mengalami apoptosis akan menciut dan akan membentuk badan apoptosis. Sel yang mengalami nekrosis akan terlihat bengkak dan kemudian mengalami lisis. Sel yang mengalami apoptosis lisosomnya utuh, sedangkan sel yang mengalami nekrosis terjadi kebocoran lisosom. Pengamatan dengan mikroskop akan memperlihatkan bahwa kromatin sel yang mengalami apoptosis bertambah kompak dan membentuk massa padat yang seragam. Sel yang mengalami nekrosis, kromatinnya bergerombol dan terjadi agregasi. Pada pemeriksaan histologis, tidak terlihat adanya sel-sel radang di sekitar sel yang mengalami apoptosis. Pada nekrosis, terlihat respon peradangan yang nyata di sekitar sel-sel yang tersebut. Sel yang mengalami apoptosis biasanya akan dimakan oleh sel yang berdekatan atau berbatasan langsung dengannya dan beberapa makrofag. Sel yang mengalami nekrosis akan dimakan oleh makrofag. Apoptosis terjadi secara biokimia sebagai respon dari dalam sel, yang mungkin merupakan proses yang fisiologis. Nekrosis terjadi karena trauma nonfisiologis (Twite 2005). Perbedaan apoptosis dan nekrosis disajikan pada Gambar 8 (Gewies 2003).

Gambar 8 Perbedaan proses apoptosis dan nekrosis pada sel (Gewies 2003)

2. 5. Protein Penanda Vaskularisasi CD31

Sel-sel dasar pada sistem imun meliputi limfosit, APC (antigen-presenting cells) dan sel efektor. Limfosit terdiri atas dua kelas, yaitu sel T dan sel B. Sel T

Sel hidup

Apoptosis

(sel menyusut, kromatin memekat)

Sel menguncup Sel yang mengalami apoptosis terfagositosis, tanpa inflamasi Nekrosis

(sel membengkak) Sel menjadi bocor

Sel dan inti sel mengalami lisis,

menyebabkan inflamasi

dan B ini memperlihatkan adanya molekul pada membran yang disebut molekul CD (cluster of differentiation). Molekul CD berperan untuk membantu fungsi sel imun. Molekul ini berperan dalam menyajikan penegasan fungsi dari bagian

suatu sel limfosit karena adanya proses yang normal ataupun abnormal

(Sommer 2005).

CD (cluster of differentiation) merupakan molekul permukaan sel yang diekspresikan pada berbagai jenis sel sistem imun yang ditunjukkan dengan penomoran CD (Baratawidjaja 2006). CD merupakan molekul tambahan pada membran. Molekul tersebut dihasilkan oleh sel T dan B. Molekul ini membantu fungsi sel imun. Molekul ini berperan dalam menyajikan penegasan secara fungsional dari bagian suatu sel limfosit karena adanya proses yang normal ataupun abnormal (Sommer 2005).

CD31 merupakan salah satu jenis CD, yang berperan sebagai molekul adhesi sel serta mediator interaksi, baik antara leukosit dan endotelial maupun endotelial dan endotelial (Baratawidjaja 2006). CD31 merupakan molekul adhesi sel yang diekspresikan pada trombosit (platelet) dan pertemuan antarsel endotelial

(Biorbyt 2010). CD31 disebut juga PECAM-1 (platelet-endothelial cell adhesion

molecule 1). CD31 diekspresikan secara luas pada sel endotelial dan sel

hematopoietik (Pascual et al. 2001). CD31 terwarnai pada sel endotelial pada

pembuluh darah dalam dan tepi kulit, pembuluh limfatik serta semua luka atau tumor yang terkait dengan darah dan pembuluh darah (Reis et al. 2005). Gambar CD31 pada limfosit disajikan pada Gambar 9.

2. 6. Pewarnaan Histopatologi

Pada umumnya, jaringan tidak dapat menahan warna setelah diproses, sehingga penambahan warna pada jaringan melalui proses pewarnaan dapat memudahkan dalam pengamatan komponen jaringan dengan mikroskop. Pemilihan warna yang tepat sangat membantu untuk identifikasi jaringan, komponen-komponennya serta diagnosis kondisi patologik. Pengetahuan tentang struktur, reaksi kimia dan pereaksi harus dimiliki dan dipahami dalam pengamatan jaringan (Panigoro et al. 2007).

2. 6. 1. Pewarnaan HE (hematoksilin-eosin)

Pada umumnya, pewarnaan jaringan menggunakan dua macam pereaksi. Hal ini untuk memudahkan dalam memahami perubahan patologik dengan

mewarnai organel sel dan organisme secara terpisah (Panigoro et al. 2007).

Metode HE merupakan metode pewarnaan yang paling sederhana dan banyak digunakan. Metode HE barangkali merupakan teknik pewarnaan dua warna yang digunakan dalam jumlah sedikit. Hal ini karena hampir semua tipe sel, komponen alum-hematein hanya mewarnai nukelus. Prosedur pewarnaan ini telah lebih sering digunakan daripada pewarnaan yang lain dalam pembelajaran histologi dan oleh para ahli patologi (Kiernan 1990). Pada pewarnaan HE, struktur selular dan perubahan patologik dapat diamati dengan mudah. Hal ini karena sitoplasma (organel) diwarnai oleh eosin menjadi merah muda. Inti sel diwarnai oleh hematoksilin menjadi ungu (Panigoro et al. 2007). Perbedaan warna ini penting dalam mempelajari anatomi dan patologi jaringan secara mikroskopis agar dapat dibedakan inti sel dengan sitoplasma dan struktur ekstraseluler (Kiernan 1990). 2. 6. 2. Pewarnaan IHK (imunohistokimia)

Imunohistokimia merupakan salah satu metode kuantitatif untuk mendeteksi reaksi antigen-antibodi sebagai manifestasi interaksi antigen-antibodi primer. Hal ini termasuk penggunaan antibodi berlabel fluoresen seperti imunofluoresensi, berlabel enzim seperti imunoperoksidase, berlabel penanda

elektron-dense seperti label imunoferitin, serta berlabel penanda radioaktif seperti otoradiografi (Bellanti 1993).

Istilah imunohistokimia lebih disukai sebagai teknik pemeriksaan imunologis pada potongan jaringan. Imunohistokimia telah digunakan secara

luas, dalam penelitian biologi serta diagnosis histopatologi dan mikrobiologi. Imunohistokimia sangat aplikatif dengan penggunaan cahaya, fluoresen dan mikroskop elektron. Pereaksi yang digunakan adalah antibodi poliklonal atau monoklonal. Penggunaan pereaksi antibodi dalam aplikasi imunohistokimia harus diujikan pada potongan jaringan. Beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dalam analisis dengan metode imunohistokimia adalah spesifitas, akurasi, presisi, sensitivitas dan efisiensi (Brandtzaeg et al. 1997).

Penambahan warna melalui proses pewarnaan dapat memudahkan dalam pengamatan komponen jaringan dengan mikroskop. Pemilihan warna yang tepat sangat membantu untuk identifikasi jaringan, komponen-komponennya serta diagnosis kondisi patologik. Pengetahuan tentang struktur, reaksi kimia dan

pereaksi harus dimiliki dan dipahami dalam pengamatan jaringan

(Panigoro et al. 2007).

Potongan jaringan yang berparaffin tidak dapat menyerap air karena

adanya infiltrasi paraffin ke dalam jaringan. Langkah pertama dalam pewarnaan histopatologik adalah pengeluaran paraffin dari potongan jaringan

berparaffin (deparaffinisasi) sehingga jaringan dapat menyerap pereaksi (hidrasi) (Panigoro et al. 2007).

Antigen unmasking merupakan salah satu teknik sebagai bagian dari metode pewarnaan IHK. Teknik ini dilakukan karena berawal dari terjadinya penutupan antigen sebagai efek dari fiksasi kimia, pemrosesan dan interaksi media

embedding. Pada mulanya, hal ini menjadi suatu masalah serius dalam metode IHK. Selanjutnya, beberapa metode dikembangkan untuk dapat membuka (unmasking) atau memperoleh kembali antigen seutuhnya sebagai target dalam

metode IHK. Teknik pengembalian antigen (antigen retrieval techniques) atau

pembukaan antigen (antigen unmasking) secara signifikan mampu meningkatkan

sensitivitas dalam deteksi epitop dengan metode IHK. Antigen unmasking juga

bermanfaat untuk metode lain yang menggunakan sistem deteksi dengan pelabelan histokimia, antara lain flow cyotmetry, hibridisasi in situ, uji TUNEL (terminal deoxynucleotidyl transferase-mediated nick labelling) serta histokimia asam nukelat (D’Amico et al. 2008).

Selanjutnya, pemahaman karakteristik warna pada pewarnaan (staining)

histologi sangat diperlukan untuk menghasilkan spesimen histologi

yang baik. Langkah penting lain dalam metode imunohistokimia yang termasuk

ke dalam bagian pewarnaan (staining) adalah dehidrasi, penjernihan dan

penutupan jaringan pada gelas objek (mounting) (Panigoro et al. 2007, Cell Signaling Technology 2007). Dehidrasi merupakan proses penarikan air dari

spesimen histologik yang telah diwarnai. Pada proses dehidrasi, peran air pada jaringan digantikan oleh alkohol dengan beberapa konsentrasi yang diurutkan dari konsentrasi rendah hingga tinggi. Dehidrasi merupakan langkah yang harus dilakukan. Proses dehidrasi dilanjutkan dengan proses penjernihan, yaitu mencelupkan gelas objek ke dalam xylol (Panigoro et al. 2007). Spesimen yang telah dijernihkan sangat mudah terdegradasi oleh oksigen dan kelembaban jika dibiarkan terbuka dan menyulitkan dalam pengamatan mikroskop karena debu yang menempel pada spesimen. Spesimen juga dapat mengalami kerusakan yang

disebabkan oleh bakteri dan jamur. Kerusakan spesimen dapat dicegah

dengan cara menyimpan spesimen secara permanen, yaitu dengan proses

penutupan jaringan pada gelas objek (mounting) (Panigoro et al. 2007,

3. 1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret 2009 sampai dengan

Oktober 2010. Tempat pelaksanaan penelitian untuk uji fitokimia adalah Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pengujian aktivitas antioksidan dengan metode penangkapan radikal bebas DPPH adalah Laboratorium Kimia Pangan, SEAFAST Centre, Institut Pertanian Bogor.

Pembuatan pakan mencit C3H dilaksanakan di Pilot Plant SEAFAST Centre,

Institut Pertanian Bogor.

Pengujian aktivitas antitumor dari bubuk daun cincau hijau

P. oblongifolia Merr. secara in vivo, pengolahan jaringan tumor mencit C3H dan pewarnaan HE dilakukan di Laboratorium Patologi Eksperimental, Departemen Patologi Anatomik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Deteksi keberadaan CD31 dan enzim kaspase-3 dari jaringan tumor payudara mencit C3H dengan pewarnaan IHK (imunohistokimia) dilakukan di Laboratorium Riset Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

3. 2. Bahan

Bahan baku yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah daun

tanaman cincau hijau P. oblongifolia Merr.. Peralatan dan perangkat yang

dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas peralatan untuk preparasi bahan baku, uji fitokimia, uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH, uji in vivo, pewarnaan HE dan IHK.

Bahan-bahan kimia untuk uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH adalah 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH), butylated hydroxytoluene (BHT) sebagai kontrol positif dan metanol pro analysis sebagai pelarut. Bahan-bahan untuk uji fitokimia adalah akuades, asam sulfat 2 N, pereaksi Mayer, Dragendorff dan Wagner, asam asetat anhidrida, kloroform, asam sulfat pekat, HCl 2 N, etanol

70%, FeCl3

Bahan untuk membuat pakan terdiri dari kasein, minyak jagung sebagai 5%, pereaksi molisch, pereaksi benedict, pereaksi biuret dan larutan ninhidrin.

sumber lemak, tepung maizena (alpha corn starch) merk Honing sebagai sumber

energi, CMC (carboxyl methyl cellulose) sebagai sumber selulosa, Bekamin 10

(Kimia Farma) yang pada tiap tabletnya mengandung vitamin A 1500 SI, tiamin 1 mg, riboflavin 0,5 mg, piridoksin 0,5 mg, niasin 10 mg, vitamin B 5 mg, asam folat 0,5 mg, vitamin B12 0,5 mg, vitamin C 25 mg, vitamin B5 dan vitamin D2

Tabel 3 Komposisi mineral untuk pakan mencit

150 SI. Komposisi mineral diperoleh dari Laboratorium Biokimia Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian IPB dengan komposisi yang disajikan dalam Tabel 3. Peralatan dalam pembuatan pakan meliputi wadah (baskom), spatula, kantong plastik, alat pencetak pelet dan drum dryer.

Jenis mineral Jumlah (dalam 100 g)

NaCl 139,30 KI 0,79 KH2PO4 389 MgSO4.7H2O 57,30 CaCO3 381,40 FeSO4. 7H2O 27 MnSO4. 7H2O 4,01 ZnSO4. 7H2O 0,55 CuSO4. 5H2O 0,48 CoCl2. 6H2O 0,02

Bahan untuk pengujian in vivo adalah mencit (Mus musculus L) C3H, baik donor maupun resipien. Mencit C3H berasal dari Laboratorium Patologi Eksperimental, Departemen Patologi Anatomik, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Bahan kimia yang digunakan untuk pengolahan jaringan adalah formalin, larutan Bouin, asam asetat glasial, paraffin, xylol, etanol 70% dan 60%,

larutan PBS (phosphate buffer saline), larutan NaCl fisiologis dan neofren.

Peralatan untuk pengolahan jaringan meliputi oven, cetakan antikarat, forsep, lemari pendingin serta gelas objek dan penutupnya.

Bahan yang digunakan untuk pewarnaan HE dan IHK adalah jaringan tumor payudara mencit C3H. Bahan khusus untuk pewarnaan HE meliputi pewarna hematoksilin dan eosin. Bahan khusus untuk pewarnaan IHK meliputi

antibodi primer anti-CD31 (rabbit antimouse) dari Biorbyt (nomor katalog

orb10315), antibodi primer antikaspase-3 (rabbit antimouse) dari Cell Signaling Technology (nomor katalog 9662), antibodi sekunder antirabbit IgG HRP-linked antibody (goat antirabbit) dari Cell Signaling Technology (nomor katalog 7074)

dan substrat DAB (diaminobenzidine). Peralatan untuk pewarnaan IHK meliputi gelas objek dan penutupnya, kotak plastik, tisu, batang kaca, alat penghitung waktu (timer), lemari pendingin dan lembar protokol IHK.

3. 3. Preparasi Sampel Daun Cincau Hijau P. oblongifolia Merr.

Pembuatan bubuk daun dan persiapan pakan untuk uji in vivo pada mencit

C3H dilakukan oleh tim penelitian cincau hijau yang terdiri dari Emma Rochima, Mutiara Prihatini, Nindira Aryudhani dan Rachmat Widyanto.

a) Pembuatan bubuk daun cincau hijau P. oblongifolia Merr.

Daun cincau hijau P. oblongifolia Merr. diperoleh dari daerah Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor Barat, Kotamadya Bogor. Pembuatan bubuk daun cincau

hijau P. oblongifolia Merr. diawali dengan pemilihan daun segar, kemudian

dicuci bersih dengan air. Selanjutnya, daun ditambah air dengan

perbandingan 1:3. Kemudian daun diremas-remas dengan air hingga hancur,

dibiarkan semalam agar menjadi gel, dikeringkan dengan drum dryer dan

dihancurkan kembali dengan blender, sehingga diperoleh bubuk daun cincau

hijau dengan ukuran partikel yang lebih kecil. Diagram alir pembuatan

Dokumen terkait