• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III.............................................................................................................. 51

D. Metode Analisis Data

Pengujian terhadap hipotesis pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis Vector Error Correction Model (VECM) dikarenakan keunggulannya dibandingkan dengan model regresi berganda biasa. Dimana model VECM dapat melihat pengaruh dari jangka panjang maupun jangka pendek dari antar variabel (Sekaran, 2006). Kemudian peneliti menggunakan program Microsoft Excel dan Eviews 10 sebagai alat analisisnya. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini supaya dapat diintepretasikan dan mudah dipahami adalah:

1. Analisis Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif adalah teknik statistik yang memberikan informasi hanya mengenai data yang dimiliki dan tidak bermaksud

untuk menguji hipotesis dan kemudian menarik inferensi yang digeneralisasikan untuk data yang lebih besar atau populasi (Bungin, 2008). Suatu data dapat dideskripsikan melalui mean, median, modus, standar deviasi, maksimum, minimum, sum, skewness, dan kurtosis.

Berikut ini merupakan penjelasan dari beberapa perhitungan pokok dalam statistic deskriptif (Wahyu, 2011):

a) Mean (rata-rata) diperoleh dengan menjumlahkan seluruh data dan membaginya dengan cacah data.

b) Median diperoleh dari nilai tengah yang disusun dari nilai terkecil ke nilai terbesar.

c) Standar deviasi adalah ukuran disperse atau penyebaran data.

d) Maksimum adalah nilai yang paling besar dari data.

e) Minimum adalah nilai yang paling kecil dari data.

2. Analisis VAR/VECM

Model Vector Autoregression (VAR) diperkenalkan pertama kali oleh Christopher Sims pada tahun 1980. Berdasarkan bentuknya, metode VAR yang sering digunakan adalah unrestricted VAR, restricted VAR, dan structural VAR. Unrestricted VAR sendiri memiliki dua bentuk, yaitu VAR in level dan VAR in difference. VAR in level digunakan jika data telah stasioner pada tingkat level, sedangkan VAR in difference digunakan jika data tidak stasioner pada tingkat level tetapi stasioner pada diferensiasi dan tidak memiliki hubungan

kointegrasi (Juanda & Junaidi, 2012). Apabila terdapat kointegrasi, maka model yang digunakan adalah model Vector Error Correction Model (VECM) (Rasyidin, 2016). Model VECM merupakan model yang terintriksi (restricted VAR) karena kointegrasi yang menunjukkan adanya hubungan jangka Panjang antar variabel didalam sistem VAR.

sementara itu structural VAR merupakan bentuk VAR yang terestriksi, namun restriksinya berdasarkan hubungan teoritis yang kuat antar variabel-variabel yang digunakan dalam sistem VAR (Juanda & Junaidi, 2012).

Analisis VAR mensyaratkan beberapa pengujian antara lain: Uji Stasioneritas Unit Root, Uji Optimum Lag, Uji Stabilitas Model VAR, Uji Kausalitas, Uji Kointegrasi, Model VECM (Jangka Panjang dan Jangka Pendek), Analisis Impuls Response Function (IRF), dan Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD).

a. Uji Stationeritas (Unit Roots)

Permasalahan stasioneritas data time series yaitu mengenai stasioneritas. Data time series dikatakan stasioner jika rata-rata, varian serta kovarian pada setiap lag adalah tetap sama pada setiap waktu.

Terdapat beberapa metode dalam uji stasioneritas. Metode yang banyak digunakan oleh ahli ekonometrika untuk menguji masalah stasioner data adalah dengan menggunakan uji akar atau unit root test (Widarjono, 2013). Uji unit roots dikenalkan oleh David Dickey dan Wayne Fuller

atau juga dikenal dengan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) (Puspitasari et al., 2015).

Pengujian ADF ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Eviews, dengan membandingkan t statistik dengan nilai t MacKinnon Critical Value. Jika nilai t statistik lebih besar daripada nilai t MacKinnon Critical Value, maka data tersebut stasioner karena tidak mengandung unit root (Septindo et al., 2016). Namun sebaliknya, jika nilai t statistik lebih kecil daripada nilai t MacKinnon Critical Value, maka data tersebut tidak stasioner pada derajat level. Sehingga harus dilakukan diferensiasi data untuk memperoleh data yang stasioner pada derajat yang sama di tingkat first difference. Dapat juga melihat nilai probabilitas hasil uji ADF. Jika nilai probabilitas lebih besar dari tingkat level (1%, 5%, 10%) maka berarti data tersebut tidak stasioner dan juga sebaliknya. Dalam metode VAR, jika terdapat satu variabel yang tidak stasioner pada tingkat level, maka secara keseluruhan data yang digunakan adalah data first difference (Shochrul et al., 2011).

b. Uji Panjang Lag Optimal

Penentuan lag optimal adalah salah satu permasalahan yang terjadi dalam uji stasioneritas. Permasalahan yang dapat muncul adalah apabila panjang lag-nya yang terlalu kecil akan membuat model tersebut tidak dapat digunakan karena hal tersebut kurang mampu menjelaskan hubungannya. Sebaliknya, jika panjang lag yang digunakan terlalu

besar, maka derajat bebasnya (degree of freedom) akan menjadi lebih besar juga sehingga tidak akan efisien lagi dalam menjelaskan (Shochrul et al., 2011).

Penentuan lag optimal dapat menggunakan beberapa kriteria, seperti Akaike Information Criteria (AIC), Schwartz Information Criteria (SIC), Hannan Quinn (HQ), Likehood Ratio (LR), dan Final Prediction Error (FPE). Dimana tanda asterisk (*) mengindikasikan lag order yang ditentukan oleh masing-masing kriteria dalam penentuan panjangnya lag tersebut (Gujarati, 2007). Lag yang optimal dapat dilihat melalui banyaknya tanda asterik (*) pada setiap kriteria, lag yang mempunyai tanda asterisk paling banyak mengindikasikan lag yang paling cocok untuk penelitian ini (Jamal et al., 2018).

c. Uji Stabilitas VAR

Sebelum melakukan analisis lebih lanjut, harus dilakukan uji stabilitas VAR terlebih dahulu untuk melihat apakah model yang digunakan stabil atau tidak (Puspitasari et al., 2015). Dalam menguji stabilitas model VAR yang disusun dapat digunakan AR Roots Table.

Stabilitas model VAR dapat dilihat pada nilai modulus yang dimiliki oleh setiap variabel. Apabila nilai modulus berada pada radius

< 1 maka model VAR dikatakan stabil. Sebaliknya, jika nilai modulus

> 1 maka model VAR dikatakan tidak stabil. Jika nilai modulus yang paling besar kurang dari satu dan berada pada titik optimal, maka

komposisi tadi sudah berada pada posisi optimal dan model VAR sudah stabil kemudian selanjutnya bisa dilanjutkan dengan uji kausalitas dan uji kointegrasi.

d. Uji Kausalitas Granger

Uji kausalitas adalah pengujian yang dilakukan untuk menentukan hubungan sebab akibat antara variabel dalam sistem VAR (Juanda &

Junaidi, 2012). Uji kausalitas dimaksudkan untuk mengetahui bahwa dari dua variabel yang berhubungan, maka variabel mana yang menyebabkan variabel lain berubah. Hubungan sebab akibat tersebut dapat diuji dengan menggunakan uji kausalitas Granger (Granger Causality Test). Dasar dari teori pengujian kausalitas Granger ini adalah bahwa suatu variabel (misalkan X) dikatakan menyebabkan variabel lain (misalkan Y) jika Y saat ini dapat diprediksi dengan lebih baik dengan menggunakan seluruh informasi masa lalu atau nilai-nilai masa lalu dalam variabel X (Juanda & Junaidi, 2012).

Dalam uji kausalitas terdapat 3 (tiga) kemungkinan arah hubungan kausalitas yang dapat terjadi, yaitu X menyebabkan Y, Y menyebabkan X atau hubungan timbal balik (dua arah) apabila X menyebabkan Y pada saat yang bersamaan Y menyebabkan X. Salah satu kesimpulam tersebut dapat diambil jika hipotesis null kondisi tersebut diatas ditolak, yakni apabila nilai F statistic > F tabel, atau dapat dilihat dari nilai probabilitas. Apabila nilai probabilitas < 0.05, maka terjadi kausalitas,

sebaliknya apabila nilai probabilitas > 0.05, maka tidak terjadi kausalitas.

e. Uji Kointegrasi Johansen

Uji Uji kointegrasi dilakukan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner pada tingkat level namun stasioner pada tingkat first difference memiliki kointegrasi atau tidak (Septindo et al., 2016). Jika semua data sudah stasioner pada pembedaan pertama (first difference) maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji kointegrasi Johansen. Uji kointegrasi perlu dilakukan untuk mengetahui apakah data mempunyai hubungan jangka panjang (terkointegrasi). Uji kointegrasi dari Johansen didasarkan atas model VAR(p) dari sekumpulan peubah yang tidak stasioner. Uji ini lebih menekankan dalam proses pengujian kointegrasi dimana selanjutnya dilakukan tahap reparametriasi dari model VAR menjadi Vector Error Correction Model (VECM). Jika tidak ada kointegrasi maka VAR yang terbentuk adalah VAR dengan data diferensiasi (VAR in difference).

Apabila terdapat kointegrasi maka model VAR yang terbentuk adalah Vector Error Correction Model (VECM) yang bersifat model terestriksi.

Hubungan kointegrasi dapat dilihat dengan cara membandingkan nilai trace statistic lebih besar daripada nilai kritis 0.05, maka data terkointegrasi. Selain itu juga dapat dilihat dari nilai

probabilitasnya, jika nilai probabilitasnya lebih kecil dari 0.05 maka variabel tersebut terintegrasi (Jamal et al., 2018). Pengujian hubungan kointegrasi dilakukan dengan menggunakan lag optimal sesuai dengan pengujian sebelumnya.

f. Pemodelan VECM

Vector Error Correction Model (VECM) adalah bentuk VAR yang terestriksi. Restriksi diberikan karena data tidak stasioner namun terkointegrasi. VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. Dengan demikian dalam VECM terdapat speed of adjustment dari jangka pendek ke jangka Panjang (Beik & Fatmawati, 2014).

Dari hasil estimasi model VECM kemudian dapat dilihat Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) suatu variabel terhadap variabel lainnya atau terhadap dirinya sendiri IRF maupun FEVD. Dari kedua analisis tersebut akan dapat dianalisis respon dari masing-masing variabel terhadap kejutan yang diberikan oleh suatu variabel lainnya, dan seberapa besar kostribusi dari suatu variabel kepada dekomposisi varian variabel lainnya.

g. Analisis Impulse Response Function (IRF)

Model VAR dapat digunakan untuk melihat dampak perubahan satu variabel terhadap variabel lainnya secara dinamis. Caranya adalah dengan memberikan shock pada salah satu variabel endogen.

Guncangan yang diberikan biasanya sebesar satu standar deviasi dari variabel tersebut (disebut innovations). Penelusuran pengaruh shock yang dialami oleh suatu variabel terhadap nilai semua variabel pada saat ini maupun pada beberapa periode mendatang disebut teknik Impulse Response Function (IRF) (Juanda & Junaidi, 2012).

Impulse Response Function (IRF) adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan respon suatu variabel endogen terhadap suatu shock tertentu. Impulse Response Function merupakan hasil estimasi VAR yang dapat digambarkan dengan grafik (graph) atau tabel, dengan cara melihat graph atau tabel IRF kita dapat melihat seberapa besar respon dari variabel terhadap shock sebesar satu standar deviasi (S.D) dari variabel-variabel di dalam model (Widarjono, 2007).

h. Analisis Forecast Error Variance Decompotion (FEVD)

Analisis FEVD bertujuan untuk memprediksi kontribusi persentase variance dari setiap variabel karena adanya perubahan variabel tertentu dalam sistem VAR (Juanda & Junaidi, 2012). Forecast Error Variance Decomposition berupa tabel yang dapat memberikan gambaran varian dari sebuah variabel akibat adanya shock dari variabel lainnya maupun dari dirinya sendiri. Dengan melihat variabel yang bersifat exogen (menjelaskan) akan dapat diketahui apakah shock dari masing-masing variabel sangat penting dalam membentuk varian dari variabel tersebut serta variabel lainnya dengan kata lain analisis FEVD

bermanfaat untuk mengetahui kejutan dari variabel mana yang paling mempengaruhi perubahan dari suatu variabel. Analisis FEVD juga sering disebut sebagai Cholesky Decomposition yang bertujuan untuk memisahkan dampak masing-masing error secara individual terhadap respon yang diterima suatu variabel.

Dokumen terkait