• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

3.4. Metode Analisis 1. Distributed Lag Model

Untuk menguji pengaruh PDRB riil tahun t, PDRB riil tahun t-1, suku bunga, dan jumlah penduduk terhadap konsumsi masyarakat di Sumatera Utara digunakan analisis Distributed Lag. Pada analisis regresi data time series, model regresi tidak hanya mencakup nilai sekarang dari variabel tersebut, tetapi juga dapat mencakup nilai sebelumnya atau lagged (Manurung, et.al, 2005). Pengaruh suatu variabel bebas atau penjelas dapat menyebar meliputi sejumlah periode waktu. Secara umum model Distributed Lag dirumuskan pada persamaan:

Y = á0 + â1Xt + â2Xt-1 + â3Xt-2 +….+ âiXt-n + µ………….(xvi)

Koefisien â1 adalah angka pengganda jangka pendek atau short-run multiplier karena menjelaskan perubahan nilai sekarang Y akibat perubahan nilai sekarang X. Jika perubahan X sama dengan perubahan sebelumnya maka (â1 + â2) adalah perubahan nilai rata-rata Y satu periode berikutnya atau disebut angka pengganda antara atau interim or intermediate multiplier. Sesudah periode K, penjumlahan â0 +

â1+…+ âi = â disebut angka pengganda jangka panjang atau long-run multiplier. Penggunaan model Distributed Lag pada penelitian ini karena perilaku konsumsi masyarakat dalam merespon perubahan pendapatan. Kenaikan pendapatan tidak serta merta dihabiskan pada periode itu untuk konsumsi, namun juga pada periode berikutnya. Kenaikan pendapatan dilihat apakah permanen atau sementara. Masyarakat umumnya belajar dari pengalaman mengkonsumsi periode sebelumnya karena perubahan harga dan pendapatan tersebut belum tentu permanen atau sementara.

3.4.2. Uji Stationary

Model penelitian ini merupakan model yang menganalisa data deret waktu (time series). Data deret waktu umumnya tidak stationer dan diperoleh melalui proses random walk. Persamaan regresi yang menggunakan peubah-peubah yang non stasioner akan mengarah kepada hasil yang palsu (spurious). Dalam mengembangkan model deret waktu perlu dibuktikan apakah proses stokastik yang menghasilkan data tersebut dapat diasumsikan tidak bervariasi karena waktu, jika proses stokastik tetap dari waktu ke waktu, yang berarti prosesnya stationary, maka dapat disusun suatu

model dengan persamaan yang menghasilkan koefisien tetap yang dapat diduga dari data waktu yang lalu.

Uji akar unit dapat dipandang sebagai uji stasioneritas, karena pada intinya uji tersebut untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari model otoregresi yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Langkah awal yang harus dilakukan pengujian ini adalah menaksir model otoregresi dari masing-masing variabel yang akan digunakan dalam penelitian dengan OLS. Ada beberapa prosedur untuk melakukan uji akar-akar unit namun yang banyak digunakan adalah uji Dickey- Fuller (DF) dan uji Philips Peron. Uji ADF adalah uji yang dikembangkan oleh Dickey Fuller untuk menyempurnakan uji DF yang sudah ada sebelumnya. Dalam prakteknya uji ADF inilah yang seringkali digunakan untuk mendeteksi apakah data stasioner atau tidak. Adapun formulasi uji ADF adalah sebagai berikut:

DYt= ao + a1 + Ó= k I 1b1 B1DYt ………….. ………..(xvii) DYt= co + c1T + C2 BYt + Ó=k I 1 d1B1DYt………… (xviii) Notasi :

DYt = Yt – Yt-1 BYt = Yt-1 T = trend waktu

Yt = Variabel yang diamati pada waktu t

K = Besarnya waktu kelambanan yang dihitung dengan rumus K = N1/3 dengan N adalah jumlah sampel.

Langkah selanjutnya adalah membandingkan nilai ADF tabel dengan nilai ADF statistik. Nilai ADF ditunjukkan oleh nilai t pada koefisien regresi DYt pada persamaan (1) dan (2). Bila data yang diamati pada uji akar unit ternyata tidak stationer, maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji derajat integrasi. Uji ini dilakukan untuk mengetahui pada derajat integrasi berapa data yang diamati stationer. Uji derajat integrasi ini mirip dengan uji akar unit. Untuk melakukan uji tersebut juga dilakukan penaksiran model otoregresi dengan OLS.

D2Yt =b0 + b1 BDYt + Ó= kI 1 f1B1D2Yt……… (xix) D2Yt = d0 + d1T + d2BDYt + Ó= k I 1h1B1D2Yt…… (xx) Di mana D2Yt = DYt – DYt-1, BDYt = DYt-1

Prosedur untuk menentukan apakah data stasioner atau tidak dengan cara membandingkan antara nilai ADF dengan nilai kritis distribusi statistic Mackinon. Jika nilai absolut statistik ADF lebih besar dari nilai kritisnya, maka data yang diamati menunjukkan stasioner dan jika sebaliknya nilai absolut statistik ADF lebih kecil dari nilai kritisnya maka data tidak stasioner. Hal yang krusial dalam uji ADF adalah menentukan panjangnya kelambanan. Selain uji ADF dalam penelitian ini juga menggunakan uji Philips Peron untuk menentukan akar unit dan derajat integrasi. Uji PP memasukkan unsur autokorelasi di dalam residual dengan memasukkan variabel independen berupa kelambanan diferensi. Philips Peron membuat uji akar unit dengan menggunakan metode statistik non parametrik dalam menjelaskan kelambanan diferensi sebagaimana uji ADF. Adapun uji akar unit dari Philips Peron sebagai berikut:

DYt = ã Yt-1 + et………. (xxi) DYt = ao + ãYt-1 + et ………….(xxii) DYt = ao + a2T + ã Yt-1 + et…. (xxiii) Keterangan:

T adalah trend waktu Statistik distributif t tidak mengikuti statistik distribusi normal tetapi mengikuti distribusi PP, sedangkan nilai kritisnya digunakan nilai kritis yang dikemukakan oleh Mackinon. Sebagaimana uji ADF, kita juga harus menentukan apakah tanpa konstanta dan trend. Berbeda dengan uji ADF dalam menentukan panjangnya lag uji PP menggunakan truncation lag q dari Newey-West (Widarjono, 2005).

3.4.3. Multikolinearitas

Pada persamaan regresi berganda diasumsikan variabel-variabel bebas dalam persamaan tersebut tidak saling berkorelasi. Apabila ada dua variable independent berkorelasi secara signifikan dalam rangkaian sampel tertentu, kapan saja satu variable independent itu berubah, maka variabel independen yang lain cenderung berubah juga, ini akan menyulitkan membedakan pengaruh dari satu variabel independen dengan pengaruh variabel independen lain terhadap variabel dependen (Sarwoko, 2005).

Salah satu untuk mendeteksi multikolinieritas adalah dengan menguji koefisien korelasi (r) antarvariabel independen. Sebagai rule of thumb, jika koefisien korelasi cukup tinggi katakanlah di atas 0,85 maka diduga ada multikolinieritas dalam

model. Sebaliknya jika koefisien korelasi relatif rendah (0,85) maka diduga model tidak mengandung unsur multikolinieritas (Widarjono, 2005).

Tanpa adanya perbaikan multikolinieritas tetap menghasilkan estimator yang BLUE karena masalah estimator yang BLUE tidak memerlukan asumsi tidak adanya korelasi antarvariabel independen. Multikolinieritas hanya menyebabkan kita kesulitan memperoleh estimator dengan standard error yang kecil (Widarjono, 2005).

Dokumen terkait