• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Yang Diserukan Dai Dalam Dakwah

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG DAI

E. Metode Yang Diserukan Dai Dalam Dakwah

Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan yaitu “meta” (melalui) dan

“hodos” (jalan, cara).38 Dengan demikian kita dapat artikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Sumber yang lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa jerman methodica artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata metodhos artinya jalan, yang dalam bahasa arab di sebut thāriq.39Apabila kita artikan secara bebas metode adalah cara yang telah di atur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai suatu maksud.

36Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h. 32-34.

37Wardi Bachtiar, Metodologi Peneliti Dakwah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 35-36.

38M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Askara, 1991) cet. 1, h. 61.

39H. Hasanuddin, Hukum Dakwah (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), Cet. 1, h. 35.

Sedangkan arti dakwah menurut pandangan beberapa ilmuwan adalah sebagai berikut:

1. Pendapat Bakhial Khaulā, dakwah adalah suatu proses menghidupkan peraturan-peraturan Islam dengan maksud memindahkan umat dari satu keadaan kepada keadaan lain.40

2. Pendapat Syekh Alī Mahfūdz untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan jelek agar mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.41 Pendapat ini juga selaras dengan pendapat al-Ghazalī42 bahwa amar ma‟rūf nahi munkar adalah inti gerakan dakwah dan penggerak dalam dinamika masyarakat Islam.

Dari pengertiaan di atas dapat di ambil bahwa, metode dakwah adalah cara-cara tertentu yang di lakukan oleh seorang dai (komunikator) kepada mad‟u untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang.43 Hal ini mengandung arti bahwa pendekatan dakwah harus bertumpu pada suatu pandangan human oriented menempatkan penghargaan yang mulia atas diri manusia.

Metode dakwah ialah cara dakwah yang teratur dan terprogram secara baik agar maksud mengajak melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam dengan baik dan sempurna. Al-Qur‟ān telah meletakkan dasar-dasar metode dakwah dalam sebuah ayat yang berbunyi:

40Ghazali Darussalam, Dinamika Ilmu Dakwah Islamiyah (Malaysia: Nur Niaga SDN.

BHD, 1996), Cet. 1, h. 5.

41Abdul Kadīr Sayid Abd. Raūf, Dirasah Fī al-Dakwah al-Islamiyah (Kairo: Dar El-Tiba‟ah al-Mahmadiyah, 1987), Cet. 1, h. 10.

42Beliau adalah seorang ulama besar, pemikir muslim zaman klasik, hidup sampai awal abad ke-12, pendapatnya dituangkan dalam kitabnya yang sangat terkenal yaitu Ihya Ulūmuddīn.

43Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), Cet. 1, h. 43.



dan berdiskusilah dengan mereka menurut cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan lebih mengetahui siapa orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl {16}:125).

Ayat tersebut memberikan gambaran tentang tata cara berdakwah dengan memperhatikan tiga hal yaitu :

1. Hikmah )ةمكحنا(

Metode dakwah yang pertama adalah dengan hikmah. Kata tersebut sesuai dengan penggalan dari Q. S an-Nahl, {16}:125.

... ةمكحلاب كبر ليبس ىلا عدأ

Awal mula kata مكحنا berarti mencegah kezaliman.44 Kata tersebut juga dapat berarti mencegah untuk kemaslahatan, maka ئيشناب مكحنا berarti menetapkan suatu perkara untuk kemaslahatan umat.

Kata ةمكحنا menurut para etimolog mengandung arti yang banyak sekali, yaitu dapat berarti keadilan, kesabaran dan ketabahan, kenabian. Hikmah adalah sesuatu yang dapat mencegah seseorang dari kerusakan dan kehancuran, setiap perkataan yang sesuai dengan kebenaran, meletakkan sesuatu pada tempatnya, kebenaran perkara, dan mengetahui perkara-perkaranya yang paling utama dengan yang paling utama.45

Dari arti yang di sampaikan oleh para etimolog tersebut, menurut Muhammad Husain Fadhlullāh, yang paling sesuai berarti meletakkan sesuatu

44Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:

Balai Pustaka, 1990), h. 581-582.

45Muhammad Husain Fadhlullāh, Ushlub al-Da‟wah Fī Al-Qur‟ān, di terjemahkan oleh Ahmad Qasim, Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur‟ān (Jakarta: Lentera Basritama, 1997), h. 40.

pada tempatnya, atau kebenaran. Dari sini di temukan bahwa sifat al-hikmah merupakan perpaduan dari unsur-unsur pengetahuan, latihan, dan pengalaman. Orang yang di bekali dengan pengetahuan, latihan, dan pengalaman sebagai orang yang bijaksana. Sebab, dengan pengalaman, ilmu atau keahlian, dan latihan, seseorang dapat terbantu untuk mengeluarkan pendapat yang benar dan memfokuskan langkah-langkah dan perbuatannya tidak menyimpang dan tidak goyah dan meletakkan pada proporsi yang tepat.46

Senada dengan Prof. DR. Toha Yahya Umar, MA, mengartikan hikmah yaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan berpikir, berusaha menyusun dan mengatur dengan cara yang sesuai keadaan zaman dengan tidak bertentangan dengan larangan Allah.47

Sayyid Qutb menjelaskan, ada tiga faktor yang harus diperhatikan agar dakwah dengan metode hikmah bisa terwujud :

a. Kondisi dan situasi mad‟u (obyek dakwah).

b. Kadar materi dakwah yang di sampaikan tidak memberatkan mad‟u.

c. Penyampaian materi dakwah harus variatif sesuai dengan kondisi yang di hadapi.48

Dalam hal ini Hamka menjelaskan bahwa hikmah ialah kebijaksanaan, kebijaksanaan timbul dari budi pekerti yang halus dan bersopan santun.

46Muhammad Husain Fadhlullāh, Ushlub al-Da‟wah Fi Al-Qur‟ān, di terjemahkan oleh Ahmad Qasim, Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur‟ān (Jakarta: Lentera Basritama, 1997), h. 42.

47Hasanuddin, Hukum Dakwa, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 35.

48Ali Mustafa Yaqub, Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka firdaus, 2000), Cet. 2, h. 122

Orang yang menyampaikan suatu dakwah dengan budi pekerti yang kasar tidak akan berhasil. Seorang dai hendaklah berusaha dengan segala kebijaksanaan yang ada padanya, sehingga dapat membuka perhatian orang yang di dakwahinya, akhirnya segala fikiran yang tertutup menjadi terbuka.49

Jadi hikmah adalah meletakkan suatu pada tempatnya, atau pada kebenaran dengan bijaksana, „alim, sabar, tabah, dan adil, serta budi pekerti yang halus dan sopan santun.50

2. Mau‟izhah Hasanah )ةنسحنا ةظعومنا (

Kata ةنسحنا ةظعومنا merupakan kelanjutan dari QS. An-Nahl, {16}:125. Kata ةظعومنا berasal dari kata ظعو berakar kata dari huruf Waw, „Ain, Zha yang berarti menakut-nakuti.51 Kata ظعونا berarti melarang yang berhubungan dengan hal yang menakutkan. Al-Khalīl berpendapat bahwa kata tersebut kemudian berarti mengingatkan pada kebaikan dengan hati yang lemah lembut.

Selanjutnya kata ةنسحنا berakar kata dari huruf Ha‟, Sin,dan Nun lawan kata dari حبقنا berarti sesuatu yang tidak sesuai dengan pandangan mata dan perbuatan-perbuatan maupun hal ihwal yang tidak sesuai dengan hati nurani.52 Dengan demikian kata ةنسحنا berarti segala sesuatu yang sesuai dengan pandangan mata,

49Hamka, Prinsip dan Kebijkasanaan Dakwah dalam Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. 56.

50Perlu di sampaikan bahwa berdakwah ini waktu sekarang dan yang akan datang harus mengikuti perkembangan ilmi dan pengetahuan teknologi, yaitu menggunakan berbagai strategi dan media teknologi yang beragam, misalnya media televisi, surat kabar, majalah, internet, fascimile, dan SMS. Pelaksanaan dakwah dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan mampu memberikan manfaat yang cukup strategis bagi keberlangsungan dakwah. Dan hal ini menunjukkan salah satu dakwah yang bijaksana, yang selalu mengikuti zaman. Journal Budiharjo, Konsep Dakwah Dalam Islam (Salatiga: STAIN Salatiga) h. 104.

51Ahmad bin Faris Zakariyā, Mu‟jam Maqayis Lughah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), Juz. VI, h. 126.

52Ahmad bin Faris Zakariya, Mu‟jam Maqayis Lughah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), Juz. II, h.

58.

dan perbuatan-perbuatan maupun hal ihwal yang sesuai dengan hati nurani.

Dalam kamus al-Munawwir di artikan dengan bagus, baik, cantik, elok, dan indah.53 Sebab dengan kata-kata tersebut sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan serta sesuai dengan pandangan mata dan hati nurani.

Secara bahasa, mau‟izhah hasanah terdiri dari dua kata mau‟izhah dan hasanah. Kata mau‟izhah berasal dari kata wa‟adza - ya‟idzu – wa‟dzan – „idzatan yang berarti nasihat, bimbingan pendidikan dan peringatan.54 Sementara hasanah merupakan kebalikan dari sayyi‟ah yang artinya kebaikan lawannya kejelekkan.

Adapun pengertian secara istilah, ada beberapa pendapat antara lain :

a. Menurut Imam Abdullāh bin Ahmad al-Nasafī yang dikutip oleh H.

Hasanuddin adalah :

ْمُهُعَفْ نَ ي اَم ُدُصْقَ تَو اَهِب ْمُهُحِصًاَنُ ت َكَّنِا ْمِهْيَلَع ىَفْخَي َلا ىِتَّلا َيِهَو "ِةَنَسَحْلا ِةَظِعْوَمْلاَو"

ِناْرُقْلا اِب ْوَا اَهْ يِف

al-Mau‟idzah al-Hasanah” adalah (perkataan-perkataan) yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan Al-Qur‟ān.55

b. Menurut Abd. Hamīd al-Bilalī, al-Mau‟izhah al-Hasanah merupakan salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.56

Mau‟izhah Hasanah ialah menasihati seseorang dengan tujuan tercapainya suatu manfaat atau maslahat baginya atau cara berdakwah yang di senangi;

mendekatkan manusia kepadanya dan tidak menjerakan mereka, memudahkan

53Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Pondok Pesantrren al-Munawwir, 1984), h. 285.

54Lois Ma‟luf, Munjid Fī al-Lughah Wa A‟lam (Beitrut: Dār al-Fikr, 1986), h. 907 dan Ibnu Mandzur, Lisān al-„Arabī (Beirut: Dār Fikr, 1990), jilid. VI, h. 466.

55Hasanuddin, Hukum Dakwah (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 37..

56Abdul Hamid al-Bilalī, Fiqih al-Dakwah Fī Inkar al-Munkar (Kuwait: Dār al-Dakwah, 1989), h. 260.

dan tidak menyulitkan, sehingga dakwahnya dapat masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaaan dengan penuh kelembutan; tidak berupa larangan pada sesuatu yang tidak harus di larang; tidak menjelek-jelekkan atau membongkar kesalahan.

Mau‟izhah hasanah dapat di artikan sebagai ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan, pesan-pesan positif (wasiat) yang bisa di jadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkannya keselamatan dunia dan akhirat.

Dari beberapa definisi di atas, mau‟izhah hasanah tersebut bisa di klarifikasikan dalam beberapa bentuk :

a. Nasihat atau petuah57

b. Bimbingan, pengajaran (pendidikan)58 c. Kisah-kisah

d. Kabar gembira dan peringatan (al-Basyīr dan al-Nadzīr) e. Wasiat (pesan-pesan positif).

Jadi, kalau kita telusuri kesimpulan dari mau‟izhah hasanah akan mengandung arti kata-kata yang masuk kedalam Qalbu (hati) dengan penuh kasih sayang dan kedalam perasaan dengan penuh kelembutan, tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasihati

57Nasihat biasanya di lakukan oleh orang yang levelnya lebih tinggi kepada yang lebih rendah, baik tingkatan umur maupun pengaruh, misalnya nasihat orang tua kepada anaknya, perhatikan QS. Lukman {31}:13, yang artinya : “dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, yaitu memberikan mau‟izhah (nasihat) kepadanya: hai anakku, janganlah kamu memepersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukkan Allah adalah kedzaliman yang amat besar.

58Mau‟izhah hasanah dalam bentuk bimbingan, pendidikan dan pengajaran ini seringkali di gunakan dalam bentuk kelembagaan (institusi) formal dan non formal, misalnya: mau‟izhah Nabi kepada umatnya, guru kepada muridnya, kiyai kepada santrinya, mursyid kepada pengikutnya, dan lain sebagainya.

seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan Qalbu (hati) yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman.

3. Berdiskusi atau Tukar Fikiran dengan Cara Yang Baik يه ىتنااب ةنداجمنا( )نسحا

Berkenaan dengan bagian ketiga, yang berarti “Dan berdiskusilah atau debatlah mereka dengan cara terbaik.” Mujādalah adalah pintu kekuatan sesuatu dalam menguraikan yang ada di dalamnya, dan terulurnya permusuhan dan saling memberikan argumentasi.59 Al-Raghīb al-Ashfahānī menjelaskan bahwa maksud Mujādalah adalah perundingan atau percakapan dengan jalan berbantah-bantahan dan adu argumentasi untuk memenangkannya.60

Penjelasan arti tersebut menunjukkan bahwa metode tersebut seakan-akan adanya metode konfrontasi antara juru dakwah dengan reaksi sasaran dakwah terhadap dakwah yang di sampaikannya dan seakan-akan yang di dakwahi itu sebagai musuh atau lawan, namun jika di cermati dengan kata sesudahnya adalah kata نسحا berarti mengajak lawan yang di ajak berdiskusi atau berbantahan itu dengan segala sesuatu yang sesuai dengan pandangan mata dan sesuatu perbuatn-perbuatan maupun hal ihwal yang sesuai dengan hati nurani. Jadi ada dialogis yang terbaik, sehingga mengena pada pemandangan dan hati nurani yang di ajak bicara.

Dari segi etimologi lafazh mujādalah di ambil dati kata لذج yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang mengikuti wazan

59Ahmad bin Faris Zakariya, Mu‟jam Maqayis Lughah (Beirut: Dār al-Fikr, t.t), juz. II, h.

433.

60Al-Raghīb Al-Asfhānī, Mu‟jam Mufradat al-Fādh Al-Qur‟ān (Beirut: Dār al-Fikr, tth), h. 189.

Fa‟ala “jā dala” dapat bermakna berdebat, dan “mujādalah” artinya

“perdebatan”.61

Kata “Jadala” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang di sampaikan.62

Menurut Ali al-Jarisyah dalam kitabnya Adab al-Hiwār Wa al-Mudharah, mengartikan bahwa “al-jidāl” secara bahasa dapat bermakna pula “Datang untuk memilih kebenaran” dan apabila berbentuk isim “al-jadlu” maka berarti

“Pertentangan atau perseteruan yang tajam”,63 bahkan al-Jarisyah menambahkan bahwa lafazh “al-jadlu” musytaq dari lafadz “al-Qotlu” yang berarti sama-sama terjadi pertentangan, seperti halnya terjadinya perseteruan antara dua orang yang saling bertentangan sehingga saling melawan/menyerang dan salah satu menjadi kalah.

Dari segi terminologi terdapat beberapa pengertian al-Mujādalah (al-Hiwār) dari segi istilah. Al-Mujādalah (al-Hiwār) berarti upaya tukar pendapat yang di lakukan oleh dua belah pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan di antara keduanya.64 Sedangkan menurut DR. Sayyid Muhammad Thantawī ialah, suatu upaya yang bertujuan untuk

61Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir (Jakarta: Pustaka Progresif, 1997), Cet.

14, h. 175, hal ini juga dapat di lihat pada Kamus al-Bisri (Karangan KH. Adib Bisri dan KH.

Munawwir AF, (Jakarta: Pustaka Progresif, 2000), h. 67 dan ini berarti sama pula dengan lafazh al-Hiwār yang berarti jawaban, al-Muhāwaroh : Tanya jawab, perdebatan. Lebih jelas lihat Kamus al-Bisri, h. 140.

62M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Cet. 1, h. 553.

63Ali al-Jarisyah, Adab al-Hiwār Wa al-Mudharah (Al-Munawarah: Dār al-Wifa, 1989), Cet. 1, h. 19.

64World Assembly of Muslim Youth (WAMY), Fī Ushūl al-Hiwār, (Mesir: Maktabah Wahbah Cairo), di terjemahkan oleh Abdus Salam M. dan Muhil Dhafir, dengan judul terjemahan Etika Diskusi, (Jakarta: Era Inter Media, 2001), Cet. 2, h. 21

mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat.65

Metode diskusi dengan cara yang terbaik, harus memperhatikan hal-hal berikut :

a. Tidak merendahkan pihak lawan, sehingga ia merasa yakin bahwa tujuan diskusi itu bukanlah mencari kemenganan, melainkan menundukkannya agar ia sampai kepada kebenaran.

b. Tujuan diskusi hanyalah semata-mata menunjukkan kebenaran sesuai dengan ajaran Allah, bukan yang lain.

c. Tetap menghormati pihak lawan, sebab jiwa manusia tetap memiliki harga diri. Ia tidak boleh merasa kalah dalam diskusi, karenanya harus di upayakan agar ia tetap merasa di hargai dan di hormarti.66

Yang di maksud dengan cara yang terbaik di sini adalah berdiskusi tanpa menekan dan menghina penentang, sehingga mereka memahami bahwa berdiskusi bukan ditunjukkan untuk mengalahkan mereka, tetapi untuk memberikan peringatan serta menemukan kebenaran. Al-Qur‟ān menggunakan lafazh al-mujādalah tidaklah menunjukkan harus terjadi debat (saling membantah).67 Biasanya, dalam perdebatan seringkali muncul perseteruan, meski hanya sebatas perseteruan lisan. Perdebatan senantiasa bermuara pada permusuhan yang di warnai oleh fanatisme terhadap pendapatnya masing-masing pihak dengan merendahkan pendapat pihak lain.

65Sayyid Muhammad Ṯantawī, Adab al-Khiwar Fī al-Islam, (Mesir: Dār al-Naḏah), di terjemahkan oleh Zuhaeri Misrawi dan Zamroni Kamal, (Jakarta: Azan, 2001), Cet. 1.

66Muhammad Said Ramadhan al-Būthī, Fiqh al-Sirah (Beirut: Dār al-Fikr, 1980), h. 95.

67Debat pada hakikatnya adalah saling adu argumentasi antar pribadi atau antar kelompok manusia, dengan tujuan mencapai kemenangan untuk satu pihak. Dalam debat, setiap pribadai atau kelompok mencoba menjatuhkan lawannya, supaya pihaknya berada pada posisi yang benar. Dori Wuwur Hendrikus, Retorika Terampil Berpidato, Berdiskusi, Beragumentasi, Bernegosiasi (Yogyakarta: Kanisius, 1991), h. 120.

Dari pengertian di atas dapatlah di ambil kesimpulan bahwa, al-Mujādalah merupakan tukar pendapat yang di lakukan oleh dua belah pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang di ajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Namun, dakwah dengan menggunakan metode diskusi ini menuntut adanya keahlian (profesionalisme) dari para dai. Mereka harus memiliki kemampuan keilmuan yang cukup, bukan hanya kemampuan berbicara yang tidak dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah

4. Kisah )صصق (

Kata صصق berasal dari fi‟il ّصق yang berakar dari huruf qaf, dan shad menunjukkan untuk mengikuti sesuatu atau mengikuti jejak sesuatu, selangkah demi selangkah, atau menyampaikan berita, menceriterakan sesuatu kepada seseorang.68 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kisah berarti cerita tentang kejadian (riwayat) dikehidupan seseorang.69

Apabila kisah ini di kaitkan dengan Al-Qur„ân, maka dapat di berikan pengertian bahwa kisah Al-Qur„ân adalah suatu cerita yang dapat di ikuti jejaknya yang menyampaikan kejadian umat-umat terdahulu, nabi-nabi atau Rasul, serta kejadian-kejadian lain yang benar terjadi di masa kini maupun yang akan datang.

Metode kisah berarti suatu metode dakwah dengan mengutarakan atau menyampaikan kisah atau cerita seseorang di masa lampau maupun kejadian yang akan datang dalam Al-Qur„ân.

68Chadijah Nasution, Bercerita Sebagai Metode Dakwah (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 6.

69Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:

Balai Pustaka, 1990), h. 443-444.

Metode kisah ini cukup penting, karena di dalam Al-Qur„ân sendiri banyak ayat-ayat yang berisi tentang kisah orang-orang dahulu. Sebagai contoh adalah dalam QS. Al-A‟rāf {7}:176-177.

Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Kami (Allah SWT) akan mengangkat orang Yahudi dan meninggikan dengan tanda-tanda kekuasaan Kami ke derajat yang sempurna, namun ia (orang Yahudi) itu tindakannya berlawanan dengan ketentuan Kami.70 Sehingga sulit bagi orang yang mendustakan agama itu akan menjadi tinggi derajatnya. Hal itu dikisahkan agar manusia mau berfikir dan tidak mengikuti orang-rang yang mendustakan agama, sebab akibatnya justru akan menganiaya diri sendiri.

Manfaat paling utama dan pelajaran yang paling penting yang bisa di ambil dari kisah seperti itu adalah adanya peringatan tentang berlakunya hukum Allah dalam kehidupan sosial serta pengaruh baik dan buruk dalam kehidupan manusia. Kisah-kisah dalam Al-Qur‟ān merupakan petikan-petikan sejarah

70Ahmad Mustafa Al-Maraghī, Tafsīr al-Maraghī, (Mesir: Dār al-Fikr, 1972), juz. IX, h. 107.

sebagai pelajaran bagi umat manusia dan bagaimana mestinya kita menarik manfaat dari peristiwa-peristiwa sejarah.71

Di lihat dari segi mad‟u yang di hadapi, maka secara umum metode dakwah bisa di klarifikasikan kepada :

1. Metode individual, metode ini pada prakteknya di laksanakan secara individu dari pribadi ke pribadai (face to face), atau sering di sebut dengan cara personalapproach, yakni pendekatan secara pribadi. Meskipun seandainya mad‟u yang di hadapi berjumlah banyak, tetapi cara menghadapinya adalah salah satu.

2. Metode kelompok, kemungkinan mad‟u yang di hadapi merupakan kelompok yang banyak, dan cara menghadapinya dengan sekaligus.

Semua dakwah yang menggunakan media komunikasi massa, dapat di pastikan menggunakan metode ini, sebab pembaca koran, penonton televisi atau pendengar radio adalah umum, yang harus di hadapi oleh Dai secara umum pula.72

Sedangkan bila di lihat dari sifatnya, maka metode dakwah terbagi pada beberapa macam, antara lain :73

1. Metode Ceramah, yaitu penerangan secara lisan oleh dai kepada mad‟u, atau oleh komunikator kepada komunikan. Metode ini sangat tepat apabila komunikan (mad‟u) yang di hadapi merupakan kelompok yang berjumlah besar dan di perlukan menghadapinya secara

71Ahman bin al-Syirbashī, Tārīkh Tafsīr al-Qur‟ān, di terjemahkan oleh Pustaka Fordaus, Sejarah Tafsir Al-Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), h. 60.

72H.A Sumianto, Metode Dakwah (Bagi Suku Baduy di Banten), Diktat, Fakultas Ushuluddin (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1975), h. 3.

73Rubiyanah, dan Ade Masturi, Pengantar Ilmu Dakwah (Jakarta: Lembaga Penelitian, 2010), h. 96-100.

sekaligus. Kelemahan metode ini, yaitu sulit mengetahui sampai di mana dakwah yang di sampaikan itu dapat di pahami oleh masing-masing individu mad‟u. Sedangkan kesan yang ada pada pendengar, belum tentu serasi dengan pesan yang di sampaikan oleh pembicara, karena pendengar mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.

Menurut Prof. Dr. H. Husnul Aqib Suminto, kelemahan tersebut bisa di kurangi dengan cara sebagai berikut :

a. Mengusahakan agar dakwah yang di sampaikan itu menarik.

Dalam hal ini, dai perlu memerhatikan beberapa unsur menyangkut pemilihan bahan yang di sampaikan, sistematika penyusunan bahan tersebut, dan penyajiannya, termasuk bahasa serta variasinya.

b. Menggunakan alat bantu yang di perlukan, di samping menghindarkan hal-hal yang bisa menggangu berlangsungnya komunikasi.

2. Metode Tanya Jawab.74 Metode tanya jawab ini yang di maksudkan adalah suatu metode bentuk pertanyaan yang di sampaikan oleh umat

74Tanya jawab ialah proses dialog antara orang yang mencari informasi dengan orang yang memberikan informasi. Pemberi informasi adalah seorang ahli, yang menjadi spesialis dalam suatu bidang tertentu, atau yang dianggap mengenal dan mengetahui suatu masalah secara baik.

Penanya mengharapkan informasi yang luas atas apa yang di tanyakan. Dalam proses komunikasi ini, penanya mengemukakan pertanyaan sedemikian rupa, sehingga orang yang di tanya memberikan informasi atau jawaban. Jumlah orang yang bertanya bisa hanya satu orang atau lebih, bahkan tidak terbatas jumlahnya. Jawaban yang di berikan oleh informan (pemberi informasi), dapat hanya tertuju kepada satu orang, kepada sekelompok orang atau tertuju kepada semua orang.

Penanya mengharapkan informasi yang luas atas apa yang di tanyakan. Dalam proses komunikasi ini, penanya mengemukakan pertanyaan sedemikian rupa, sehingga orang yang di tanya memberikan informasi atau jawaban. Jumlah orang yang bertanya bisa hanya satu orang atau lebih, bahkan tidak terbatas jumlahnya. Jawaban yang di berikan oleh informan (pemberi informasi), dapat hanya tertuju kepada satu orang, kepada sekelompok orang atau tertuju kepada semua orang.

Dokumen terkait