• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berbagai metode telah dikembangkan untuk melakukan ekstraksi dan pemekatan karotenoid dari minyak sawit antara lain: metode penyabunan, metode adsorpsi, metode urea, proses ekstraksi menggunakan pelarut selektif dan distilasi molekular, transesterifikasi diikuti dengan pemisahan dan distilasi molekuler serta teknik fluida superkritik (Masni, 2004).

Menurut Gross (1991), belum terdapat metode standar untuk ekstraksi karotenoid, namun untuk mendapatkan hasil ekstraksi yang optimal sebaiknya digunakan bahan yang segar, tidak rusak dan contoh yang digunakan harus terwakili. Ekstraksi dilakukan secepat mungkin untuk mencegah terjadinya kerusakan akibat oksidasi.

1. Metode Penyabunan

Proses penyabunan diawali dengan melarutkan minyak sawit kasar dengan KOH dalam metanol. Prinsip dari metode ini adalah memisahkan senyawa karotenoid yang merupakan senyawa yang tidak tersabunkan dengan senyawa-senyawa yang dapat disabunkan. Pemisahan selanjutnya adalah dengan melarutkan karotenoid tersebut dengan menggunakan pelarut organik, akan tetapi bahan yang tersabunkan tidak ikut terlarut (Parker, 1992).

Lemak kasar yang direaksikan dengan basa mengakibatkan lemak, lilin, senyawa lipid, dan asam lemak bebas didalamnya akan membentuk sabun. Persenyawaan sabun ini akan terdispersi dalam lapisan air, hasil lainnya yaitu gliserol, fosfat alkohol dan amina terlarut dalam air, sedangkan golongan sterol, pigmen, hidrokarbon bersifat tidak larut dalam air (Ketaren, 1986).

Rahayu (1996) menggunakan metode penyabunan untuk mendapatkan konsentrat karotenoid dengan tingkat pemekatan 22 kali dari minyak sawit kasar. Sedangkan Sanjaya (1996) dengan skala yang digandakan dapat memekatkan karotenoid sebesar 54.31 kali dari kadar karotenoid minyak sawit kasar. Tingkat pemekatan yaitu kelipatan nilai konsentrasi produk akhir dibandingkan dengan konsentrasi produk awal. Sehingga semakin

pekat produk yang diperoleh semakin tinggi konsentrasinya dan semakin besar kelipatan konsentrasinya dibandingkan konsentrasi awal.

2. Metode Ekstraksi Pelarut

Metode ekstraksi pelarut merupakan salah satu metode ekstraksi yang cukup sederhana untuk mengekstrak karotenoid dari minyak sawit dibanding metode lain yang bisa digunakan, antara lain metode distilasi molekuler dan ekstraksi dengan metode fluida superkritis (Masni, 2004). Metode ekstraksi pelarut pertama kali diperkenalkan oleh Freeman (1940), dan pada awalnya metode ini didasarkan pada derajat ketidakjenuhan suatu campuran digliserida (diasilgliserol), namun kemudian dikembangkan untuk memperoleh komponen minor dari minyak seperti β-karoten (Choo et al., 1989; Ooi et al., 1994).

Proses pemisahan pada metode ekstraksi pelarut tergantung pada penggunaan jenis pelarut yang dapat memisahkan fraksi yang diinginkan. Pelarut yang umum digunakan adalah, heksana, metanol, etanol, asetonitril dan furfural. Food and Drug Administration (FDA, 1987) memberikan batasan jumlah sisa pelarut yang masih diperkenankan dalam bahan makanan (Tabel 3).

Tabel 3. Residu pelarut organik yang diijinkan dalam makanana Jenis Pelarut Residu (ppm) Aseton Etilen klorida Etanol Heksana Isopropil alkohol Metilen diklorida Metanol 30 30 30 25 50 30 50 a

Metode ekstraksi pelarut telah banyak digunakan oleh beberapa peneliti terdahulu untuk mengekstrak karotenoid, antara lain Taungbodithan (1998) menggunakan metode ini untuk mengekstrak karotenoid dari buah dan sayuran, yaitu tomat, wortel dan daun bayam; Kurilich et al. (1999) mengekstrak karotenoid dari Brassica oleraceae; Lessin, Catigani dan Schwartz (1997) mengekstrak karotenoid dari buah dan sayuran segar antara lain brokoli, cantaloupe, wortel, jeruk, peach, bayam, ubi jalar dan tomat; Konings dan Roomans (1997) menggunakan metode ekstraksi pelarut untuk mengekstrak karotenoid dari buah dan sayuran. Ittah et al. (1993) mengekstrak karotenoid dari cabe merah, paprika dan oleoresin.

Burdick dan Fletcher (1985) mengekstrak pigmen karotenoid dengan menggunakan campuran heksana-aseton-metanol (80:10:10 v/v/v). Schwartz dan Patroni (1985) mengekstrak jaringan tanaman dengan menggunakan campuran aseton-heksana (1:9 v/v), kemudian Ittah et al. (1993) mengekstraksi pigmen karotenoid dari paprica (Capsicum annum L) dengan menggunakan aseton. Masni (2004) yang menggunakan pelarut campuran heksana-aseton (10:1 v/v) berhasil mengekstrak karotenoid dari limbah serat sawit dengan konsentrasi 1283 µg/g. Hasanah (2006) dapat meningkatkan konsentrasi karotenoid minyak sawit kasar dari 498 µg/g menjadi 744 µg/g melalui fraksinasi menggunakan pelarut isopropanol (6:1 v/b minyak sawit kasar).

3. Metode Adsorpsi

Metode adsorpsi merupakan metode yang banyak diteliti, terutama untuk mendapatkan karoten dari bahan pemucat (bleaching agent). Prinsip dari metode ini adalah penjerapan (adsorpsi) komponen minor oleh adsorben dan menarik kembali (desorpsi) komponen tersebut menggunakan pelarut. Naibaho (1983), telah mengekstrak karoten dari tanah pemucat komersil dengan beberapa tahap yaitu pelunakan tanah pemucat dan penyabunan. Dengan cara ini konsentrasi karoten yang didapatkan mencapai 40% dari konsentrasi awal.

Pemisahan karotenoid dari minyak sawit kasar dengan menggunakan adsorben resin sintetis (Diaion HP-20) telah dilaporkan oleh Baharin et al. (1998). Cara ini menghasilkan tingkat perolehan kembali (recovery) karotenoid yang beragam dari 40 – 65%, tergantung pada kondisi kolom kromatografi. Selanjutnya Desai dan Dubash (1994) juga melaporkan bahwa, dengan menggunakan adsorben campuran bentonit dan alumina (4 : 1) dalam bentuk gel untuk menjerap karoten dari CPO, didapatkan tingkat perolehan kembali sebesar 79%. Lessin et al. (1997) menggunakan polimer sintetis untuk menjerap karoten dari beberapa jenis buah segar dan yang telah diproses dan Sahidin et al. (2001) menggunakan adsorben campuran magnesium oksida dan aluminium oksida (1:1) untuk memurnikan β-karoten yang diekstraksi dari CPO dan didapatkan tingkat perolehan kembali sebesar 82.41%.

Masni (2004) melaporkan bahwa konsentrasi karotenoid dari produk konsentrat setelah proses pemisahan dengan menggunakan bahan penjerap abu sekam padi enam kali lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi karotenoid ekstrak asalnya dengan tingkat perolehan kembali sebesar 86%. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi karotenoid dari pekatan yang diperoleh dengan menggunakan bahan penjerap silika gel dan alumina. Hasanah (2006) memperoleh konsentrat karotenoid dari minyak sawit kasar menggunakan kolom kromatografi dengan tingkat pemekatan 15 kali dan perolehan karotenoid sebesar 49%. Perolehan karotenoid adalah persentase total karotenoid produk akhir dibandingkan total karotenoid produk awal.

4. Metode Distilasi Molekuler

Prinsip dari metode distilasi molekuler adalah pemisahan komponen dari suatu campuran dengan cara penguapan, yaitu dengan cara mengubah bagian yang sama dari keadaan cair menjadi bentuk uap, dengan syarat kemudahan menguap (volatilitas) dari komponen yang akan dipisahkan berbeda satu dengan yang lainnya. Berbeda dengan distilasi biasa, distilasi molekuler tidak hanya menggunakan panas, tetapi juga menggunakan

kondisi vakum untuk memisahkan suatu komponen dalam suatu campuran. Tekanan yang digunakan dalam metode ini berkisar antara 0.01-0.001 mmHg. Pada distilasi molekuler, jarak antara permukaan penguapan (lapisan cairan yang terbentuk secara mekanis) dengan permukaan kondensasi hanya beberapa cm, sehingga molekul-molekul mempunyai energi yang cukup untuk dapat terpisah dari campuran senyawa ke permukaan kondensasi tanpa bertabrakan dengan molekul lainnya (Ooi et al., 1994).

Dibandingkan dengan metode distilasi vakum, hasil yang diperoleh dengan distilasi molekuler jauh lebih besar. Hal ini disebabkan karena kontak terhadap panas pada waktu distilasi molekuler lebih singkat dibandingkan distilasi vakum. Dari beberapa penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa metode distilasi molekuler melalui jalur metil ester cukup efektif dilakukan untuk mendapatkan ekstrak karotenoid dengan kemurnian dan hasil yang tinggi (Masni, 2004). Ooi et al. (1994) berhasil mendapatkan konsentrat karotenoid dengan kemurnian 75% menggunakan metode distilasi molekuler 2 tahap dan perlakuan metanolisis pada bahan bakunya.

5. Metode Ekstraksi dengan Fluida Superkritik

Teknik ekstraksi dengan fluida superkritik merupakan suatu teknik pemisahan yang memanfaatkan daya pelarut dari fluida superkritik pada suhu dan tekanan di sekitar titik kritik. Cara ini sangat efektif terutama untuk mengisolasi senyawa dengan bobot molekul sedang dengan kepolaran rendah. Dengan pemisahan pada suhu rendah, maka sangat berguna untuk mengekstraksi senyawa yang tidak tahan terhadap pemanasan (Sulaswatty, 1998).

Muchtadi (1992) melaporkan bahwa pada proses ekstraksi minyak sawit dengan fluida superkritik, pada suhu 40oC, dengan tekanan 3000-3500 psi selama 4 jam, terjadi penurunan total karotenoid yang lebih kecil bila dibandingkan dengan ekstraksi konvensional. Total karotenoid pada proses tersebut menurun sekitar 26.8%. Sulaswatty (1998) berhasil melakukan pemekatan karotenoid dari fase ester metil minyak sawit menggunakan

teknik fluida superkritik hingga 39 kali tingkat pemekatan dengan rendemen karotenoid sebesar 42%.

Dibandingkan dengan pelarut lain, fluida superkritik mempunyai densitas dan viskositas yang rendah serta difusitas yang tinggi, sehingga memungkinkan untuk ekstraksi dan pemisahan yang cepat. Daya pelarut dari fluida superkritik cukup tinggi terhadap senyawa padat, cair atau gas dan ini dapat diubah dengan memvariasikan tekanan dan suhu. Selanjutnya fluida dapat dipisahkan dari ekstrak dan residu karena perbedaan volatilitas yang cukup tinggi (Sulaswatty, 1998).

Dokumen terkait