• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

SUHRAWARD´ AL-MAQT®L:

G. METODE FILSAFAT ILLUMINASI

Sejumlah ahli menyatakan secara umum tentang metode aliran filsafat ini. Seyyed Hossein Nasr misalnya, menyatakan bahwa secara metodologis, aliran ini hendak mengharmonisasikan spiritualitas dan filsafat.437 Karena itulah, filsafat ini dikenal sebagai filsafat sebagai hasil perkawinan antara latihan intelektual teoritik melalui filsafat dan pemurnian hati melalui Sufisme.438 Sementara menurut Muthahhari, secara metodologis, aliran ini hanya bertumpu kepada argumentasi rasional, demonstrasi rasional, serta berjuang secara keras melawan hawa nafsu dan menyucikan jiwa. Metode ini bertujuan untuk menyingkap hakikat. Seseorang tidak akan pernah mampu menyingkap hakikat, apabila ia hanya menggunakan argumentasi dan demonstrasi rasional semata, tanpa memfungsikan intuisi dan akalnya secara sintesis.439 Demikian pula Hasyimsyah Nasution, menyatakan bahwa secara metodologis, Suhraward³ hendak menggabungkan cara nalar dengan cara intuisi, dan menjadikan keduanya saling melengkapi.440 Kemudian, Amroeni Drajat menyatakan bahwa secara metodologis, filsafat ini hendak mencoba menggabungkan dua metode mencari kebenaran, yakni metode diskursif filosofis dan metode ©awq mistis, menjadi satu metode komprehensif.441

437Seyyed Hossein Nasr, “Syih±b al-D³n Suhraward³ Maqt-l”, dalam M. M. Sharif (ed.), M. M, (ed.), A History of Muslim Philosophy, Vol. 1-2, (Delhi: Adam Publisher & Distributors, 2001), h. 373. Bandingkan Ibrahim Madkour, Filsafat Islam: Metode dan

Penerapan, bagian 1 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), h. 59-61; M. Saeed Shaikh, A Dictionary of Muslim Philosophy (New Delhi: Adam Publisher & Distributors, 2006), h.

54-55.

438Nasr, Intelektual Islam, h. 69.

439Muthahhari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, h. 326.

440Hasyimsyah, Filsafat Islam, h 154.

441Amroeni Drajat, Suhraward³: Kritik Falsaf±h Peripatetik. (Yogyakarta: LKiS, 2005).

Sarjana lain, semisal Hossein Ziai menyatakan bahwa Suhraward³ hendak mengkombinasikan filsafat diskursif dengan filsafat intuitif.442 Ia secara rinci menjelaskan metode mencapai pengetahuan perspektif filsafat Iluminasi. Bahwa pengetahuan hakiki bisa diraih oleh seorang filsuf, ketika filsuf tersebut menjalani empat tahap perolehan ilmu pengetahuan, yakni sebagai berikut443:

1. Pada tahap pertama, bahwa seseorang filsuf harus melakukan sejumlah persiapan awal. Ia harus meninggalkan kenikmatan dunia agar ia bisa mudah menerima pengalaman. Ia harus melakukan sejumlah hal seperti beru©lah selama empat puluh hari penuh, tidak makan daging dan mempersiapkan diri menerima ilham dan wahyu. 2. Pada tahap kedua, filsuf tersebut memasuki tahap Iluminasi, yakni

ketika ia mencapai visi melihat cahaya Ilahi. Cahaya Ilahi ini akan memasuki wujudnya. Dari cahaya ini, ia memperoleh ilmu hakiki, sebuah ilmu dasar bagi ilmu-ilmu sejati.

3. Pada tahap ketiga, filsuf tersebut telah memperoleh pengetahuan tak terbatas, yakni pengetahuan Iluminasionis. Lalu ia mengkonstruksi ilmu tersebut dengan menggunakan filsafat diskursif. Pengalaman dari tahap kedua diuji secara demonstrasi. Pengalaman itu diuji dengan demonstrasi Aristotelian.

4. Pada tahap akhir, yakni tahap keempat, adalah tahap dokumentasi. Filsuf ini mulai menuliskan hasil konstruksi atas pengalaman secara diskursif itu. Jadi, pengalaman visioner itu akan ditulis oleh filsuf

442Hossein Ziai, Suhraward³ dan Filsafat Iluminasi: Pencerahan Ilmu Pengetahuan terj. Afif Muhammad dan Munir. (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), h. 38.

443Lihat Hossein Ziai, “Syih±b al-D³n Suhraward³: Founder of the Illuminationist School”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leamen (ed.), History of Islamic Philosophy (London-NY: Routledge, 2003), h. 449-451. Bandingkan dengan uraian Mehdi Amin Razavi “The Significance of Suhrawardi’s Persia Sufi Writings in the Philosophy of Ilumination”, dalam Leonard Lewishon (ed.), The Heritage of Sufism: Classical Persian Sufism from It’s

tersebut. Pendeknya, filsafat Iluminasi diturunkan dalam bentuk tulisan.

Dalam kitab ¦ikmat al-Isyr±q, Suhraward³ telah menjelaskan metode perolehan ilmu hakiki perspektif filsafat Iluminasi. Menurut analisis peneliti, ilmu hakiki bisa diraih oleh seseorang, ketika ia menjalani sejumlah tahap perolehan ilmu pengetahuan, yakni sebagai berikut:

Pertama. Seseorang harus menguasai filsafat diskursif secara sempurna sampai ia bisa menjadi filsuf diskursif. Suhraward³ menyatakan “jangan menguji karya ini kecuali oleh ahlinya, yaitu orang-orang yang telah meneladani metode kaum Peripatetik”.444 Suhraward³ sendiri, sebelum menulis kitab ¦ikmat al-Isyr±q, telah menulis sejumlah kitab filsafat bercorak Peripatetis. Artinya kitab ini ditulis dengan metode filsafat Peripatetik, yakni kitab Talw³¥±t, kitab Muq±wwam±t, dan kitab Masy±ri’ wa al-Mu¯±rah±t.445 Suhraward³ menyatakan bahwa filsafat diskursif harus dipelajari dahulu oleh seorang kandidat teosof Iluminasionis, bahkan ia merekomendasikan karya-karya Peripatetisnya untuk dipelajari. Ini seperti perkataan Suhraward³ “formula-formula berfikir yang terkenal akan kami buat seringkas mungkin, dengan sejumlah ilustrasi singkat namun padat. Kami berharap ini cukup memadai untuk dimengerti pembaca yang cerdas dan pelajar pemula filsafat Iluminasi. Sementara yang ingin mengetahui secara detail pengetahuan yang merupakan formula awal (logika filsafat diskursif) bagi filsafat ini (filsafat Iluminasi), hendaknya merujuk kepada karya-karya lain yang lebih terperinci”.446 Demikianlah, filsafat diskursif harus

444Suhraward³, ¦ikmat al-Isyr±q, dalam Henry Corbin (ed.), Majmu’ah Mu¡annafat

Syaikh Isyraq. Jilid 2 (Teheran: Anjuman Syahansyahiy Falsafah Iran, 1394 H), h. 279. 445Ibid, h. 10-11.

dipahami lebih dahulu, sehingga orang tersebut bisa menjadi filsuf diskursif sempurna.

Kedua. Filsuf diskursif tersebut harus mulai melatih diri secara spiritual dan melakukan kontemplasi.447 Filsuf tersebut mesti melakukan sejumlah praktik-praktik esketik dan mistik seperti dikatakan Suhraward³ “hendaknya ia berkhalwat selama empat puluh hari, meninggalkan makanan berdaging, menyedikitkan makan, dan merenungkan cahaya Allah Swt dan apa yang diperintahkan oleh pemegang amanat wahyu [Nabi Mu¥ammad Saw)”.448 Ia menambahkan “[filsuf tersebut harus] mendekatkan diri kepada Allah Swt, terjaga di malam hari, bersikap pasrah...memperhalus rahasia batin, ikhlas menghadapi Cahaya Maha Cahaya...membiasakan jiwa mengingat-Nya...melantunkan bacaan atas mushaf-mushaf sebagaimana diwahyukan [kepada Nabi Mu¥ammad Saw] dan segera kembali kepada Zat pemegang segala urusan, kesemuanya adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang”.449 Jadi, filsuf diskursif tersebut harus melakukan semua praktik asketik dan mistik tersebut, sehingga nantinya ia bisa memasuki tahap Iluminasi.

Ketiga. Filsuf diskursif tersebut memasuki tahap Iluminasi, yakni ketika ia memperoleh pancaran cahaya (n-r sani¥) dari N-r al-Anw±r. Cahaya ini memberikan sang filsuf pengetahuan sejati. Suhraward³ berkata “[jika telah dilakukan semua itu] barangkali kelak akan muncul seberkas sinar dari alam jabar-t (alam cahaya), dan ia pun akan melihat alam malak-t (alam mi£al)”.450 Maksudnya, jiwa sang filsuf akan memperoleh iluminasi dari cahaya tertinggi (yakni n-r

447Ibid, h. 155-156. 448Ibid, h. 279. 449Ibid, h. 256-257. 450Ibid, h. 156-156.

sani¥451), sehingga ia akan mampu melihat alam cahaya. Sinar cahaya (al-n-r al-sani¥) dari alam tertinggi ini adalah pengetahuan, dan cahaya ini membawa pengetahuan sejati itu menuju jiwa suci sang filsuf.452 Sang filsuf akan memperoleh beraneka macam iluminasi cahaya.453 Karena ia memperoleh iluminasi cahaya dari alam cahaya, sehingga ia mendapatkan pengetahuan, sang filsuf pun akan memperoleh sejumlah keutamaan seperti maqam kun, yakni kemampuan mewujudkan ide-ide otonom (mu£ul qayyimah)454 pengetahuan tentang hal-hal gaib,455 kemampuan melihat alam cahaya,456 ketundukan alam semesta,457 dan segala jiwa kepadanya.458 Demikianlah, sang filsuf memperoleh iluminasi dari alam cahaya, sehingga ia memperoleh pengetahuan dan keutamaan. Keempat. Filsuf diskursif tersebut mengkonstruksi pengetahuan perolehan dari cahaya Ilahi tersebut dengan menggunakan analisis diskursif. Pengetahuan itu diuji oleh sang filsuf secara demonstrasi. Ia berkata “ilmu-ilmu hakiki (al-‘ul­m al-haqiqiyah) tidak bisa dielakkan lagi (harus dibuktikan) dengan menggunakan demonstrasi, yakni silogisme yang disusun dari premis-premis meyakinkan [tidak diragukan kebenarannya]”.459 Sistem pembuktian Posterior Analytics Aristoteles harus dijadikan sebagai sistem pembuktian bagi ilmu-ilmu hakiki itu.460 Demikianlah, sang filsuf mesti membuktikan pengalaman intuitifnya secara akliah, agar pengalaman itu bisa diketahui dan dipahami oleh orang lain, kendati orang-orang itu sama sekali tidak merasakan pengalaman intuitif itu.

451Ibid, h. 137-138. 452Ibid, h. 252. 453Ibid, h. 252-253. 454Ibid, h. 242-243. 455Ibid, h. 240-241. 456Ibid, h. 155-156, 162-165. 457Ibid, h. 252. 458Ibid, h. 257. 459Ibid, h. 45-46.

Terakhir, yakni tahap kelima. Filsuf tersebut mendokumentasikan hasil konstruksi tersebut secara tulisan. Jadi, filsuf tersebut memindahkan pengetahuan sejati itu setelah pengetahuan itu diuji secara demonstrasi Aristotelian, dari pikirannya ke bahasa tulisan. Suhraward³ sendiri telah melakukan hal ini. Setelah ia melewati masa khalwat dan kontemplasi, ia memperoleh pengalaman intuitif, lalu ia menguji pengalaman itu secara diskursif, lantas menuliskannya, sehingga jadilah kitab ¦ikmat al-Isyr±q.461 Tak ada bukti dari pernyataan Suhraward³ tentang kemestian tahap keempat ini, karena tahap ini, mendukung pernyataan Ziai, hanya merupakan unsur-unsur filsafat Iluminasi yang harus diakses dari karya-karya Suhraward³.462 Kendati begitu, Suhraward³ telah melakukan tahap keempat ini.

Dalam tahap keempat ini, seorang filsuf akan sangat merasa kesulitan menuliskan pengalaman intuitifnya tersebut. Suhraward³ sendiri merasa kesulitan menuliskan pengalaman intuitifnya tersebut dalam bentuk tulisan. Ia berkata “...ketahuilah betapa banyak usulan kalian agar saya menuliskan kitab ¦ikmat al-Isyr±q ini...betapa pun terdapat kesukaran tersendiri yang tidak kalian ketahui. Padahal kalian...terus mendesak saya untuk mengarang suatu karya, yang di dalamnya saya menyebut pelbagai pengalaman yang saya peroleh dengan intuisi saya selama masa-masa khalwat dan kontemplasi”.463 Demikianlah, Suhraward³ telah mengisyaratkan seorang filsuf diskursif menuliskan pengalaman intuitifnya dalam bentuk tulisan, seperti yang telah dilakukannya.

Kelima tahapan ini sebenarnya hasil pengembangan dari tahapan-tahapan hasil penelitian Hossein Ziai. Penelitian Ziai tentang epistemologi Iluminasi Suhraward³ agaknya memiliki sedikit

461Suhraward³, ¦ikmat al-Isyr±q, h. 9-10.

462Ziai, Suhraward³ dan Filsafat Iluminasi, h. 37.

kekurangan, sehingga penambahan atas hasil penelitian itu perlu dilakukan. Demikianlah metode filsafat Iluminasi, yakni pembahasan tentang epistemologi Illuminasionis.