• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

SUHRAWARD´ AL-MAQT®L:

H. SUMBER-SUMBER AJARAN FILSAFAT ILLUMINASI

I. ONTOLOGI FILSAFAT ILLUMINASI

Penelitian terhadap segala bentuk pemikiran Suhraward³ akan sukses dilaksanakan jika dipahami dahulu tentang ontologinya. Sebab, ontologi ini mempengaruhi semua konsepsinya, baik tentang teologi, kosmologi, maupun antropologi. Penelitian terhadap konsepsi Suhraward³ tentang manusia, meniscayakan penelitian tentang ontologinya. Sebab konsep Suhraward³ tentang manusia dipengaruhi pula oleh konsep ontologi. Berikut ini akan dikenalkan konsep ontologi filsafat Iluminasi.

Seperti telah diungkap sebelumnya, inti filsafat iluminasi adalah ilmu tentang cahaya, baik ilmu tentang sifat maupun cara pembiasan cahaya.485 Dengan kata lain, filsafat ini didasari oleh metafisika cahaya.486

483Suhraward³, ¦ikmat al-Isyr±q, h. 11.

484 Suhraward³, ¦ikmat al-Isyr±q, h. 220-230.

485Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 130; Hasyimsyah, Filsafat Islam, h 146.

Jika demikian, ontologi filsafat Iluminasi pun didasarkan kepada ilmu cahaya, sebab ontologi adalah objek kajian metafisika umum.487 Jadi, ontologi filsafat Iluminasi adalah ontologi cahaya.

Ontologi Suhraward³ memiliki tiga pembahasan utama, yakni masalah cahaya, kegelapan, dan barzakh.488 Pemahaman terhadap ketiga hal ini sangat diperlukan agar pemikiran Suhraward³ bisa dipahami secara benar. Konsep metafisika Suhraward³ dibangun atas ketiga komponen ini. Karena itu, pemikiran Suhraward³ tentang teologi, kosmologi dan antropologi sebagai pembahasan utama metafisika khusus, bisa dipahami secara benar, jika persoalan ontologi filsafat Iluminasi, mencakup cahaya, kegelapan dan barzakh, telah dipahami secara baik.

Menurut Suhraward³, secara umum segala sesuatu dibagi menjadi dua, yakni cahaya dan kegelapan. Ia berkata “sesuatu dibagi menjadi dua, yakni benda yang merupakan cahaya dan sinar yang intrinsik dalam esensi dirinya, dan benda yang esensinya bukan terdiri dari cahaya dan sinar”.489 Benda non cahaya dan non-sinar adalah kegelapan dan barzakh.490 Jadi, segala sesuatu dibagi menjadi tiga, yakni cahaya, kegelapan, dan barzakh.

Suhraward³ memulai pembahasan tentang konsep cahaya dengan menentukan definisi dari cahaya. Menurut Suhraward³, cahaya tidak memerlukan sebuah definisi. Definisi diberikan terhadap sesuatu agar sesuatu itu menjadi jelas. Seseorang akan menjelaskan sesuatu yang tidak jelas dengan definisi.491 Sementara, cahaya tidak perlu diberikan sebuah definisi karena cahaya sudah sangat begitu jelas. Dialah pembuat sesuatu menjadi jelas. Tidak ada sesuatu pun lebih jelas dari pada cahaya. Karena

487Nur Ahmad Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat Umum (Medan: IAIN Press, 2001), h. 20.

488Amroeni, Suhraward³, h 233.

489Suhraward³, ¦ikmat al-Isyr±q, h 107.

490Ibid, h 107-109.

itulah, cahaya tidak memerlukan definisi sebagai penjelas cahaya. Ini seperti dikatakan Suhraward³ sendiri bahwa “bahwa cahaya tidak membutuhkan definisi...jika terdapat sesuatu yang eksistensinya tidak membutuhkan membutuhnya definisi dan penjelasan, itulah esensi yang tampak (jelas). Karena tidak ada sesuatu pun yang lebih jelas dari pada cahaya, maka tidak ada sesuatu pun yang lebih swamandiri dari definisi selain cahaya”.492 Ringkasnya, cahaya sudah sangat jelas sekali sehingga ia tidak perlu diberi definisi sebagai penjelas.

Dalam ontologi cahaya, Suhraward³ membagi cahaya menjadi dua. Pertama. Cahaya Abstrak atau cahaya murni (al-anw±r al-mujarrad). Cahaya Abstrak ini diartikan sebagai cahaya yang tidak pernah menjadi atribut bagi sesuatu selain dirinya. Misalnya intelek universal maupun intelek individual. Contoh lebih spesifik yaitu tuhan, malaikat-malaikat, jiwa-jiwa manusia, dan arketip-arketip. Kedua. Cahaya Aksidental (al-Anw±r al-‘²ri«). Cahaya ini diartikan sebagai cahaya yang memiliki bentuk dan mampu menjadi atribut bagi selain dirinya. Contohnya sinar matahari, sinar bintang-bintang, dan sinar benda-benda angkasa lain.493 Demikianlah dua macam jenis cahaya.

Cahaya Abstrak memiliki sejumlah karakter. Ia tidak bisa dilihat oleh panca indera manusia, karena ia non material. Ia adalah cahaya bagi dirinya sendiri (n-r li nafsih). Cahaya ini mengenali dirinya sendiri dan berdiri sendiri. Ia tidak mungkin mengenali dirinya sendiri dengan sifat-sifat eksternal. Dia pun menjadi cahaya dalam realitas dirinya dan untuk dirinya sendiri. Ia tidak menempati ruang dan waktu, serta tidak memiliki modalitas.494 Ia adalah cahaya kaya dibanding cahaya selain-nya.495

492Suhraward³, ¦ikmat al-Isyr±q, h. 106.

493Ibid, h. 107; Amroeni, Suhraward³, h. 226; Nasr, Tiga Madzhab Utama, h. 125;

Hasyim, Filsafat Islam, h. 148.

494Suhraward³, ¦ikmat al-Isyr±q, h. 110-111, 117.

lah cahaya paling murni karena ia tidak dicampuri oleh unsur kegelapan.496 Inilah ciri-ciri utama cahaya Abstrak.

Sementara itu, cahaya-cahaya Abstrak tidak memiliki perbedaan pada realitas. Sebab jika mereka berbeda pada realitas, maka akan muncul perbedaan pada realitas. Jadi, mereka memiliki realitas sama, yakni sama-sama sebagai cahaya. Namun demikian, ada perbedaan antara mereka. Perbedaan cahaya-cahaya Abstrak hanya terletak pada kadar kesempurnaan dan kekurangan mereka. Dengan kata lain, perbedaan mereka hanya pada kualitas cahaya mereka, sehingga kualitas cahaya mereka memiliki tingkatan-tingkatan.497 Jadi, antara cahaya-cahaya Abstrak memiliki persamaan dan perbedaan sekaligus.

Karakteristik dari cahaya Aksidental seperti berikut ini. Cahaya ini bisa dilihat oleh indra penglihatan manusia, sebab cahaya ini bersifat empiris. Cahaya ini bukan dalam dirinya sendiri tetapi untuk sesuatu yang lain. Eksistensinya diperuntukkan bagi esensi lain. Sebab itulah, ia menjadi cahaya bagi lainnya (n-r li gairih). Cahaya ini pun tidak mengenali dirinya sendiri. Ia tidak berdiri sendiri karena ia memiliki ketergantungan kepada selainnya. Ia bahkan membutuhkan substansi gelap, dan ia permanen dengan substansi gelap tersebut. Dia pun menjadi selalu butuh dan relatif.498 Cahaya ini pun menjadi cahaya lebih miskin dari pada cahaya Abstrak.499 Apalagi ia telah dicampuri unsur kegelapan.500 Kesemua ini menjadi ciri utama cahaya Aksidental.

Kegelapan dimaknai sebagai sesuatu yang esensinya tidak terdiri atas cahaya dan sinar. Gelap artinya tiada cahaya.501 Kegelapan dibagi

496Amroeni, Suhraward³, h. 232.

497Suhraward³, ¦ikmat al-Isyr±q, h. 119-120.

498Suhraward³, ¦ikmat al-Isyr±q, h. 107, 110-111, 117; Nasr, Tiga Madzhab Utama, h. 125.

499Ziai, Suhraward³ dan Filsafat Iluminasi, h. 153.

500Amroeni, Suhraward³, h. 232.

menjadi dua. Pertama. Jauhar al-G±syiq, yaitu kegelapan murni dan/atau substansi gelap. Misalnya benda-benda alam. Substansi-substansi gelap terdiri atas sejumlah unsur kegelapan seperti bentuk dan ukuran-ukuran material.Ia pun tidak mengenali dirinya sendiri. Ia tidak pernah manifestan dalam dan bagi dirinya. Kedua. Al-Hai’ah al-§ulm±niyyah, yakni bentuk kegelapan. Ia menjadi bentuk bagi sesuatu yang lain. Ia misalnya warna dan bau.502 Demikian tentang kegelapan.

Sementara Barzakh memiliki sejumlah arti. Suhraward³ mengartikan barzakh sebagai tubuh503 dan kegelapan murni.504 Ia diartikan pula sebagai penghalang, sekat, pemisah,505 pembatas,506 pemisah dunia cahaya dengan dunia kegelapan, dan tubuh-tubuh.507 Terkadang ia dipahami sebagai unsur-unsur fisik dan objek-objek materil penerima cahaya dan kegelapan sekaligus.508 Dalam kitab ¦ikmat al-Isyr±q, terkadang Suhraward³ mengartikan barzakh sebagai pemisah, penghalang, pembatas, dan sekat antara cahaya dengan kegelapan, namun terkadang ia mengartikannya sebagai alam tubuh (fisik). Demikian sejumlah makna barzakh.

Barzakh diartikan pula sebagai objek-objek materil penerima cahaya dan kegelapan sekaligus.509 Suhraward³ menjelaskan bahwa jika barzakh memperoleh cahaya, maka ia akan menjadi terang. Jika ia tidak dikenai cahaya, maka ia tetap menjadi kegelapan, sebab ia adalah substansi gelap itu sendiri. Selain tetap menjadi gelap, ia bahkan bisa lenyap. Sebab itulah, sebagian barzakh akan kehilangan cahaya, sehingga

502Ibid, h. 107, 111, 117; Nasr, Tiga Madzhab Utama, h. 125; Ziai, Suhraward³ dan Filsafat Iluminasi, h. 153; Amroeni, Suhraward³, h. 232.

503Suhraward³, Hikmat al-Isyraq h. 107.

504Ibid, h. 108.

505Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, terj. M.S. Nasrullah dan Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 1996), h. 49.

506Ziai, Suhraward³ dan Filsafat Iluminasi, h. 153.

507Hasyim, Filsafat Islam, h. 146.

508Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 131-132.

ia menjadi kegelapan. Ia tidak membutuhkan obyek lain supaya ia menjadi gelap, sebab ia adalah substansi-substansi gelap itu sendiri. Sebagian barzakh pun memiliki cahaya tak pernah redup, misalnya matahari. Namun cahaya barzakh ini berasal dari sumber selain dirinya, sebab bentuk aslinya adalah gelap. Jadi, cahayanya berasal dari sumber lain.510

Barzakh tidak memiliki kekuatan mencipta sebagaimana cahaya-cahaya. Sebab itu, menurut Suhraward³, barzakh tidak bisa menciptakan barzakh lain (apalagi cahaya), karena ia tidak memiliki sifat mandiri. Karena itu pula, ia membutuhkan zat lain, selain substansi-substansi gelap, sebagai pencipta keberadaannya. Zat lain dimaksud adalah cahaya Abstrak.511 Jadi, barzakh tidak kuasa mencipta, karena kuasa ini hanya dimiliki oleh cahaya-cahaya Abstrak.

Dalam ontologi cahaya Suhraward³, barzakh dimaknai pula sebagai imaji kegelapan rasa butuh suatu cahaya Abstrak rendah terhadap cahaya Abstrak tinggi. Ia muncul dari sebuah cahaya Abstrak rendah, karena cahaya Abstrak ini telah menyaksikan kesempurnaan dan keagungan cahaya Abstrak tinggi, sehingga cahaya Abstrak rendah itu meyakini bahwa ia sangat membutuhkan sinaran cahaya Abstrak tinggi. Fenomena ini menciptakan bayangan gelap cahaya Abstrak rendah. Jadi, bayangan gelap ini, yakni barzakh, muncul karena imaji kegelapan rasa butuhnya.512 Demikian sebab kemunculan barzakh.