• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Analisis Dialel Ketahanan Cabai terhadap Penyakit Antraknosa, Hawar Phytophthora, dan Layu Bakteri

1. Metode Hayman Interaksi gen

Adanya interaksi gen non alelik yang terlibat dalam ketahanan dapat dilihat dari nilai b. Nilai b yang tidak nyata menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi gen non alelik dalam mengendalikan ketahanan terhadap antraknosa. Sebaliknya, interaksi non alelik berperan sangat nyata dalam mempengaruhi ketahanan suatu genotipe terhadap hawar phytophthora (Tabel 31). Hartana (1992) menyatakan bahwa interaksi non alelik (intergenik) adalah interaksi yang melibatkan dua atau lebih gen dari lokus yang berbeda dan menentukan suatu fenotipe.

Tabel 31 Pendugaan parameter genetik ketahanan cabai terhadap antraknosa (C. acutatum) isolat PYK04 dan hawar phytophthora

Antraknosa Hawar phytophthora Interaksi gen non alelik (b(Wr,Vr)) 0.90tn 0.26** Ragam pengaruh aditif (D) 1233.92** 91.77tn Ragam pengaruh dominan (H

1) 617.48** 602.20** Distribusi gen di dalam tetua (H2) 416.53* 527.28** Rata-rata peragam pengaruh aditif

dan non aditif

(F) 810.87** 169.97tn

Simpangan rata-rata F1 dari rata-rata tetua

(h2) 90.97tn 1637.84** Ragam pengaruh lingkungan (E)

12.26 34.42 Tingkat dominansi ((H1/D)1/2)

0.71 2.56

Proporsi gen dengan pengaruh positif dan negatif dalam tetua

(H2/4H1) 0.17 0.22 Proporsi gen dominan terhadap gen

resesif

(Kd/Kr) 2.73 2.13

Jumlah gen pengendali karakter (h2/H2) 0.22 3.11 Arah dominansi (r (Wr+Vr<Yr)) 0.91 0.96 Heritabilitas arti luas (h2 bs) 0.97 0.79 Heritabilitas arti sempit (h2 ns) 0.73 0.00

Pengaruh ragam aditif (D) dan dominan (H1)

Pengaruh ragam aditif (D) sangat nyata mengendalikan ketahanan terhadap antraknosa dengan nilai sebesar 1233.92. Pengaruh dominan (H1) juga berperan dalam menentukan ketahanan namun nilainya (H1=617.48**) lebih kecil dibandingkan ragam aditifnya. Artinya ketahanan terhadap antraknosa lebih dipengaruhi oleh ragam gen aditif dibandingkan dominan (Tabel 31).

Ketahanan terhadap hawar phytophtora tidak nyata dipengaruhi oleh ragam aditif tapi sangat nyata dipengaruhi oleh ragam dominan. Hal ini menjelaskan bahwa ragam dominanlah yang berperan dalam mengendalikan ketahanan terhadap hawar phytophthora (Tabel 31).

Distribusi gen di dalam tetua

Distribusi gen tidak menyebar merata pada tetua yang digunakan dan ini ditunjukkan oleh nilai H2 yang berbeda nyata pada ketahanan terhadap antraknosa dan sangat nyata pada ketahanan terhadap hawar phytophthora. Besarnya nilai H1 dibandingkan H2 pada kedua jenis ketananan penyakit mengindikasikan bahwa lebih banyak terdapat gen-gen positif dibandingkan gen negatif (Tabel 31).

Simpangan rata-rata F1 dari tetua

Simpangan rata-rata F1 terhadap tetua dilihat dari nilai h2. Nilai h2 untuk ketahanan terhadap antraknosa tidak berbeda nyata antara F1 dan tetua. Hal ini menunjukkan bahwa F1 dan tetua memiliki ketahanan yang sama. Namun, rata-rata F1 pada ketahanan terhadap hawar phytophthora sangat berbeda nyata dengan tetuanya (Tabel 31 ).

Tingkat Dominansi

Menurut Hayman nilai (H1/D)1/2 yang lebih dari 1 menunjukkan adanya overdominansi sedangkan jika nilainya 0-1 menunjukkan adanya dominansi parsial. Pada Tabel 31 terlihat bahwa nilai (H1/D)1/2 pada ketahanan terhadap antraknosa menunjukkan terjadinya dominansi parsial dengan nilai sebesar 0.71 dan ketahanan terhadap hawar phytophthora melibatkan adanya peran over dominansi dengan nilai sebesar 2.56.

Proporsi gen dominan terhadap gen resesif

Nilai Kd/Kr menunjukkan banyaknya gen-gen dominan dalam tetua. Jika nilai Kd/Kr > 1maka gen dominan yang lebih banyak dalam tetua dan sebaliknya jika Kd/Kr <1 maka gen-gen resesif lebih banyak dalam tetua. Tabel 31 terlihat bahwa nilai Kd/K pada ketahanan terhadap antraknosa dan hawar phytophthora

masing-masing adalah 2.73 dan 2.13 yang artinya lebih banyak gen dominan dalam tetua yang digunakan.

Jumlah kelompok gen pengendali

Jumlah kelompok gen pengendali dapat dilihat pada nilai h2/H2. Ketahanan terhadap antraknosa dikendalikan oleh minimal oleh satu kelompok gen dan ini sejalan dengan penelitian Syukur (2007). Ketahanan terhadap hawar phytophthora

dikendalikan minimal oleh 4 kelompok gen (Tabel 31).

Hubungan antara peragam (Wr) dan ragam (Vr) pada populasi yang digunakan dapat dijadikan petunjuk untuk menentukan arah dominansi karakter yang diuji. Selain itu, dapat juga menunjukkan urutan dominansi dari tetua yang digunakan.

Berdasarkan Gambar 11 terlihat bahwa IPBC2 dan IPBC14 berhimpit dan lebih dekat posisinya ke arah titik pusat. Hal ini menunjukkan bahwa kedua tetua tersebut memiliki gen dominan lebih banyak. Sebaliknya, IPBC15 sebagai tetua tahan memiliki sedikit banyak gen resesif dan tercermin dari posisinya yang jauh dari titik pusat. Urutan dominansi tetua adalah IPBC2 (17.51), IPBC14 (12.89), IPBC10 (65.62), IPBC9 (170.94), IPC20 (273.07), dan IPBC15 (947.71).

Gambar 11 Hubungan varians (Vr) dan peragam (Wr) pada populasi F1 silang dialel pada ketahanannya terhadap antraknosa.

Genotipe IPBC15 merupakan genotipe yang memiliki gen dominan yang paling banyak diantara tetua lainnya pada ketahanan terhadap hawar phytophthora. Urutan dominansi tetua yang digunakan adalah IPBC15 (13.32), IPBC14 (84.71), IPBC20 (106.73), IPBC2 (214.25), IPBC10 (216.31), dan IPBC9 (271.16). Genotipe IPBC9 merupakan tetua tahan yang memiliki gen resesif paling banyak yang ditunjukkan oleh letaknya paling jauh dari titik pusat (Gambar 12).

Wri Yr IPBC9 IPBC15 IPBC2 Wr = 174.95 + 0.90Vr IPBC10 IPBC14 IPBC20

Gambar 12 Hubungan varians (Vr) dan peragam (Wr) pada populasi F1 silang dialel pada ketahannya terhadap hawar phytophthora.

Heritabilitas arti luas adalah proporsi ragam genetik terhadap ragam fenotipenya (Makmur 1992). Ketahanan terhadap antraknosa dipengaruhi oleh ragam aditif dan dominan dan penjumlahan keduanya menghasilkan ragam genetik (Tabel 31). Besarnya ragam aditif dan ragam dominan memperbesar ragam genetik. Oleh karena itu, heritabilitas arti luasnya menjadi lebih tinggi (0.97). Ragam aditif yang besar juga menyebabkan heritabilitas arti sempit ketahanan terhadap antraknosa tergolong tinggi, yaitu 0.73. Hal ini juag menandakan bahwa ketahanan ini dapat diwariskan.

Interaksi non alelik dan ragam dominan berpengaruh sangat nyata dalam mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap hawar phytophthora sehingga ragam genetik merupakan penjumlahan interaksi non alelik dan ragam dominan. Keduanya menyebabkan tingginya heritabilitas arti luas. Ragam aditif yang tidak nyata mengindikasikan bahwa sangat kecil sekali bahkan tidak ada peran ragam aditif dalam menentukan ketahanan suatu genotipe. Hal inilah yang menyebabkan nilai heritabilitas arti sempit menjadi nol (Tabel 31).

2. Metode Griffing

a. Ketahanan terhadap antraknosa

Analisis terhadap ragam DGU, DGK dan resiprokalnya disajikan pada Tabel 32. Ragam DGU dan DGK sangat berpengaruh nyata dalam menentukan ketahanan terhadap antraknosa. Bari et al. (1974) menyatakan bahwa ragam DGU disusun oleh ragam aditif. Welsh (1981) menambahkan bahwa DGK merupakan hasil dari gen dominan dan epistasis (non aditif).

-50 0 50 100 150 200 0 50 100 150 200 250 300

Wri Yr Dugaan Wr Tetua IPBC15 IPBC14 IPBC20 IPBC2 IPBC1 0 IPBC9 Wr = 0.26Vr – 29.99

Tabel 32 Analisis ragam DGU, DGK, dan resiprokal pada kejadian penyakit antraknosa

Sumber keragaman db Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah

DGU 5 8600.38 1720.08 **

DGK 15 3223.61 214.91**

Resiprokal 15 609.05 40.60tn

Galat 70 2000.90 28.58

Tidak terdapat efek maternal yang mempengaruhi respon ketahanan terhadap antraknosa. Hal ini menunjukkan bahwa gen pengendali ketahanan terhadap antraknosa berada dalam inti.

Suatu persilangan yang baik dapat dilihat dari nilai rata-rata, DGU, dan DGKnya, makin tinggi nilai ketiga komponen tersebut maka semakin bagus persilangan tersebut. Namun, untuk menilai ketahanan suatu genotipe melalui kejadian penyakitnya maka nilai DGU dipilih yang memiliki nilai paling kecil. Hal ini dikarenakan perhitungan DGU berdasarkan karakter kejadian penyakit (KP) yang menggunakan persentase buah yang terserang penyakit terhadap buah yang diamati untuk setiap genotipenya, semakin besar persentase KP suatu genotipe maka semakin rentan genotipe tersebut dan sebaliknya, semakin kecil persentase KP maka genotipe tersebut semakin tahan terhadap antraknosa.

Genotipe IPBC15 adalah satu-satunya genotipe yang memiliki nilai DGU negatif, yaitu -6.96 (Tabel 33). Walaupun nilai DGUnya negatif namun rata-rata KP nya sebesar 10% sehingga genotipe ini tergolong tahan. Kelima tetua lainnya memiliki DGU yang positif dan memiliki rata-rata persentase KP > 20% sehingga semuanya tergolong genotipe rentan. Nilai DGU merupakan manifestasi keberadaan ragam aditif yang mengendalikan ketahanan terhadap antraknosa.

Nilai DGK merupakan representasi keberadaan ragam dominan. Pada semua hasil persilangan nilai DGKnya bervariasi yang mulai dari yang bernilai negatif, nol, dan positif (Tabel 33). Selain memperhatikan nilai DGK, rata-rata KP merupakan faktor penting dalam merekomendasikan suatu persilangan. Nilai rata-rata KP sangat bergantung dari KP genotipe yang digunakan sebagai tetua. Jika KP genotipe yang tinggi (rentan) disilangkan KP genotipe yang tinggi (rentan) juga maka hasil persilangannya cenderung memiliki rata-rata yang cukup tinggi dan tergolong kelompok tanaman rentan, misalnya pada persilangan IPBC2xIPBC9.

Jika disilangkan genotipe dengan KP yang kecil (tahan) dengan genotipe dengan KP yang besar (rentan) maka hasil silangannya memiliki rata-rata KP yang lebih rendah dibanding tetuanya yang rentan, misalnya pada persilangan IPBC15xIPBC20 (Tabel 33).

Tabel 33 Nilai rata-rata, DGU, dan DGK serta kriteria ketahanan cabai terhadap antraknosa

Genotipe

Rata-rata DGU Kriteria Genotipe

Rata-rata DGU Kriteria IPBC2 98.33 10.44 Rentan IPBC14 100.00 10.11 Rentan IPBC9 96.83 6.99 Rentan IPBC15 10.00 -6.96 Tahan IPBC10 86.67 4.21 Rentan IPBC20 83.33 1.60 Rentan

DGK DGK

IPBC2xIPBC9 96.67 -1.62 Rentan IPBC14xIPBC2 100.00 -0.88 Rentan IPBC2xIPBC10 95.00 -6.87 Rentan IPBC14xIPBC9 100.00 0.00 Rentan IPBC2xIPBC14 98.25 -6.10 Rentan IPBC14xIPBC10 88.33 0.00 Rentan IPBC2xIPBC15 94.91 17.75 Rentan IPBC14xIPBC15 90.93 16.79 Rentan IPBC2xIPBC20 96.58 3.92 Rentan IPBC14xIPBC20 96.58 1.61 Rentan IPBC9xIPBC2 100.00 -1.67 Rentan IPBC15xIPBC2 88.33 3.29 Rentan IPBC9xIPBC10 95.00 5.26 Rentan IPBC15xIPBC9 75.00 -5.92 Rentan IPBC9xIPBC14 100.00 0.24 Rentan IPBC15xIPBC10 70.55 1.39 Rentan IPBC9xIPBC15 63.16 0.67 Rentan IPBC15xIPBC14 90.00 0.46 Rentan IPBC9xIPBC20 83.33 -6.88 Rentan IPBC15xIPBC20 37.05 -10.33 Rentan IPBC10xIPBC2 83.33 5.83 Rentan IPBC20xIPBC2 90.00 3.29 Rentan IPBC10xIPBC9 96.67 -0.83 Rentan IPBC20xIPBC9 70.71 6.31 Rentan IPBC10xIPBC14 88.33 -7.51 Rentan IPBC20xIPBC10 86.67 -5.00 Rentan IPBC10xIPBC15 73.33 7.45 Rentan IPBC20xIPBC14 85.00 5.79 Rentan IPBC10xIPBC20 76.67 1.67 Rentan IPBC20xIPBC15 57.94 -10.44 Rentan

b. Ketahanan terhadap hawar Phytophthora

Berdasarkan informasi pada Tabel 31, ketahanan terhadap hawar

phytopthora dipengaruhi oleh ragam dominan dan interaksi non alelik. Keberadaan interaksi non alelik menekan besarnya pengaruh ragam aditif sehingga nilainya sangat kecil dan tidak berpengaruh nyata dalam menentukan ketahanan terhadap hawar phytopthora. Ragam dominan direpresentasikan oleh ragam DGK.

Ragam DGU tidak berpengaruh pada respon ketahanan terhadap

P. capsici, namun sebaliknya, ragam DGK sangat berpengaruh. Hal ini mengindikasikan bahwa ragam aditif tidak berperan atau perannya sangat kecil dalam menentukan respon ketahanan. Ragam DGK yang merupakan representasi dari ragam dominan sangat nyata mempengaruhi ketahanan terhadap penyakit

hawar phytophthora (Tabel 34). Tidak dapat diketahui ada atau tidaknya pengaruh maternal karena populasi yang digunakan adalah half diallel.

Tabel 34 Analisis DGU dan DGK pada ketahanan terhadap P. capsici

Sumber keragaman db Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah

DGU 5 193.35 38.67tn

DGK 15 3484.66 232.31**

Galat 20 720.64 36.03

Keterangan: tn = tidak nyata; *= nyata pada taraf 5%; **= nyata pada taraf 1%

Kemampuan suatu genotipe bergabung dengan genotipe lainnya membentuk ketahanan yang lebih baik ditunjukkan nilai DGU yang kecil. Genotipe IPBC15 merupakan tetua yang tahan terhadap hawar phytophthora

dengan nilai DGU terkecil, yaitu -3.69 dan kejadian penyakitnya 10%. Genotipe IPBC9 merupakan genotipe dengan kejadian penyakit tertinggi dan dikelompokkan sebagai tanaman rentan (Tabel 35).

Tabel 35 Nilai DGU, DGK dan kriteria ketahanan terhadap hawar Phytophthora

Genotipe Rata-rata* DGU KP (%) Kriteria

IPBC15 17.85 -3.69 10 tahan

IPBC10 42.07 1.06 45 agak tahan

IPBC9 46.45 1.85 52.5 rentan

IPBC14 47.93 1.08 55 rentan

IPBC20 31.61 -1.71 27.5 agak tahan

IPB C2 36.07 1.40 35 agak tahan

Genotipe Rata-rata* DGK KP (%) Kriteria

IPBC15 x IPBC10 17.85 0.93 10 tahan

IPBC15 x IPBC9 9.53 -8.19 5 tahan

IPBC15 x IPBC20 12.92 -4.02 5 tahan

IPBC15 x IPNC14 12.92 -1.24 5 tahan

IPNC15 x IPBC2 18.43 1.17 10 tahan

IPBC10 x IPBC9 11.71 -10.76 7.5 tahan

IPBC10 x IPBC14 0.63 -21.06 0 tahan

IPBC10 x IPBC20 6.77 -12.13 2.5 tahan

IPBC10 x IPBC2 24.22 2.21 17.5 tahan

IPBC9 x IPBC14 6.77 -15.71 2.5 tahan

IPBC9 x IPBC20 17.85 -1.85 10 tahan

IPBC9 x IPBC2 12.92 -9.89 5 tahan

IPBC14 x IPBC2 13.60 -8.43 10 tahan

IPBC20 x IPBC2 6.77 -12.47 2.5 tahan

Semua persilangan memiliki nilai DGK dan rata-rata KP yang kecil. Tidak satupun persilangan yang tergolong rentan terhadap hawar phytophthora (Tabel 35). Sempitnya keragaman genetik pada tetua yang digunakan pada Tabel 22 maka semua hasil persilangan termasuk ke dalam kelompok genotipe tahan. Selain itu, respon ketahanan sangat dipengaruhi oleh ragam dominan dan interaksi non alelik.

Keberadaan interaksi non alelik yang mengendalikan ketahanan terhadap hawar phytopthora juga ditemukan oleh peneliti sebelumnya. Yunianti (2007) melaporkan bahwa ketahanan dikendalikan oleh 2 pasang gen duplikat resesif epistasis. Berdasarkan aksi gen tersebut maka model genetik ketahanan terhadap hawar phytophthora diduga sebagai berikut:

(1) AAbb x aaBB (2) AABB x aabb (3) aabb x aab rentan rentan tahan rentan rentan rentan

AaBb AaBb aabb (tahan) (tahan) (rentan)

Berdasarkan hal tersebut di atas maka memungkinkan terjadinya persilangan IPBC9 (rentan) dengan IPBC14 (rentan) menghasilkan turunan yang tahan terhadap hawar phytophthora (Tabel 35). Kehadiran gen duplikat resesif epistasis memodifikasi ekspresi gen seharusnya tahan menjadi rentan.

C. Ketahanan terhadap layu bakteri

Ketahanan suatu genotipe ditentukan oleh kemampuannya bertahan hidup setelah terinfeksi patogen penyebab suatu penyakit. Rata-rata kejadian penyakit (KP) pada populasi half diallel disajikan pada Tabel 36. Populasi ini terdiri dari enam genotipe tetua dan 15 genotipe F1nya.

Tabel 36 Kriteria ketahanan populasi half diallel terhadap layu bakteri Genotipe KP (%) Kriteria Genotipe KP (%) Kriteria IPBC20 5.26 Tahan IPBC2xIPBC9 15.79 Tahan IPBC14 10.83 Tahan IPBC10xIPBC20 2.63 Tahan IPBC9 16.67 Tahan IPBC10xIPBC14 19.20 Tahan IPBC2 0.00 Tahan IPBC10xIPBC9 24.05 Agak Tahan IPBC10 15.34 Tahan IPBC10xIPBC2 4.17 Tahan IPBC15 38.75 Agak Tahan IPBC15xIPBC20 9.38 Tahan IPBC14xIPBC20 12.50 Tahan IPBC15xIPBC14 11.76 Tahan IPBC9xIPBC20 11.27 Tahan IPBC15xIPBC9 16.99 Tahan IPBC9xIPBC14 38.16 Agak Tahan IPBC15xIPBC2 5.90 Tahan IPBC2xIPBC20 20.88 Tahan IPBC15xIPBC10 22.62 Agak Tahan

IPBC2xIPBC14 14.29 Tahan

Genotipe yang digunakan sebagai tetua dalam membentuk populasi half diallel memberikan respon yang tidak beragam. Semua tetua yang digunakan menunjukkan respon tahan terhadap R. solanacearum penyebab layu bakteri kecuali IPBC15 yang memberikan respon agak tahan. Tetua yang digunakan memiliki keragaman genetik yang sempit seperti yang telah disajikan pada Tabel 18. Hal tersebut dapat menjelaskan mengapa semua hasil persilangannya memiliki respon ketahanan tahan dan agak tahan. Tetua yang digunakan tidak memiliki sumber gen rentan maka hasil persilangannya pun tidak ada yang rentan atau agak rentan.

Penelitian mengenai pewarisan ketahanan layu bakteri pada cabai telah dilaporkan oleh Yulianah (2007). Dalam laporannya dinyatakan bahwa ketahanan dikendalikan oleh tiga pasang gen mayor dengan aksi epistasis komplek (epistasis dominan dan resesif duplikat). Genotipe tahan akan muncul dengan dua model epistasis yaitu epistasis dominan dan resesif duplikat. Model pertama, yaitu epistasis dominan terjadi apabila adanya gen A dominan epistatik terhadap B, b, dan C, c. Model kedua, yaitu epistasis resesif duplikat apabila gen bb resesif epistatik terhadap A, a dan C, c serta gen cc resesif epistatik terhadap A, a dan B, b. Griffiths et al. (2000) menyatakan bahwa epistasis terjadi apabila sebual alel pada satu gen menutupi ekspresi alel-alel pada gen lain untuk memunculkan sebuah fenotipe.

Yulianah (2007) menduga model genetik ketahanan layu bakteri berdasarkan aksi gen epistasis dominan dan resesif duplikat dengan perbandingan 55 tahan : 9 rentan adalah sebagai berikut:

(1) Tanaman tahan jika memiliki model sebagai berikut: A-B-C-, A-B-cc, A-bbC-, A-bbcc, aaB-cc, aabbC-, aabbcc (2) Tanaman rentan jika memiliki model sebagai berikut:

aaBBCC, aaBBCc, aaBbCC, aaBbCc

Hal tersebut di atas dapat menjelaskan mengapa persilangan diantara tetua tahan dan agak tahan menghasilkan turunan yang juga tahan dan agak tahan. Selain itu, penggunaan tetua dengan keragaman yang sempit (Tabel 18) menyebabkan sifat ketahanan turunannya juga tidak beragam.

Dokumen terkait