• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2. Metode Montessori

Pada sub bab ini diuraikan teori mengenai sejarah metode Montessori, dan metode Montessori. Sejarah metode Montessori menjabarkan asal terciptanya metode Montessori. Metode Montessori membahas berbagai aspek yang berkaitan dengan metode Montessori.

a. Sejarah metode Montessori

Pembelajaran Montessori merupakan sebuah karya dari seorang dokter yaitu Dr. Maria Montessori. Maria Montessori adalah dokter sekaligus ahli pendidikan dari Italia. Ia lahir pada tahun 1870 dan meninggal pada tahun 1952 (Lillard, 1996:4). Montessori sempat tinggal di beberapa Negara seperti Itali, Spanyol, India, dan Netherland selama perang dunia berlangsung. Selama berpindah-pindah, Montessori mencoba memahami anak-anak dari berbagai kebudayaan. Hingga pada akhirnya Montessori berminat untuk membantu anak yang berkebutuhan khusus di daerah

(rumah anak-anak usia 3-6 tahun). Maria Montessori kemudian mengajukan program yang menginstitusionalisasikan anak-anak terbelakang mental yang lapar akan pengalaman. Beliau merasa bahwa anak-anak tersebut mampu diajarkan selayaknya anak-anak normal (Crain, 2007: 97).

Maria Montessori mengatakan bahwa dari lahir sampai usia enam tahun, anak mempunyai daya serap tinggi (absorbent mind). Pada periode ini anak mempunyai kemampuan yang tinggi untuk belajar dan beradaptasi dari lingkungan sekitarnya dengan sendirinya. Semua kemampuan anak tersebut dapat diaplikasikan dalam sekolah yaitu dalam pendidikan Montessori yang didirikan oleh Maria Montessori. Pendidikan Montessori yang baik ialah mereka yang dapat memaksimalkan pendidikan anak dengan mengenalkan bahan, alat dan kegiatan khusus yang dirancang untuk merangsang intelegensi anak. Mendorong anak untuk memusatkan perhatian ke suatu kegiatan tertentu akan membuat ia mencapai kemampuan optimumnya dalam lingkungan. Secara spontan kesenangan akan belajar akan terungkap sewaktu anak diberi kebebasan (dalam batasan tertentu) untuk menentukan keinginannya (Crain, 2007).

Pembelajaran Montessori juga merupakan belajar penemuan. Belajar penemuan tersebut dibantu dengan alat peraga yang didesain secara eksplisit dapat memberikan makna bagi anak-anak (Lillard, 2005: 328). Dapat disimpulkan bahwa metode Montessori adalah metode pembelajaran yang berpijak pada kebutuhan dan kebebasan anak dengan menerapkan belajar penemuan melalui alat peraga yang dapat mengembangkan panca indera.

b. Metode Montessori

Susanto (2013: 43) menyatakan bahwa metode pembelajaran adalah cara yang digunakan guru dalam mengorganisasikan kelas atau dalam menyajikan bahan pelajaran. Maria Montessori berusaha mengembangkan sebuah metode pendidikan

yang melawan pola-pola pendidikan konvensional. Maria Montessori

mengungkapkan bahwa metode pembelajaran yang Ia ciptakan adalah metode yang mengembangkan kebebasan berkarakter dengan cara yang mengagumkan dan luar biasa (Montessori, 2002:33). Maria Montessori mengajarkan anak-anak mengenai kebenaran yang mendasar tentang tata bahasa, matematika, biologi, dll. Anak-anak dapat belajar dengan baik melalui nomenclature dan hasil pekerjaan mereka sangat terstruktur. Montessori menjelaskan bahwa dalam pembelajarannya, anak mampu belajar dengan terstruktur, berfokus pada suatu proyek tertentu, dan anak memiliki kebebasan untuk menentukan kapan mereka belajar dan hal apa yang ingin mereka pelajari. Montessori mengungkapkan 8 prinsip pendidikan yaitu, konsep gerak (motorik) dan kognitif, kontrol indera, berfokus pada ketertarikan siswa, pemberian penghargaan ekstrinsik, pengacakan secara kolaboratif, belajar dengan hal konkret, Interaksi anak dengan orang dewasa, dan lingkungan (Lillard, 2005: 29).

Prinsip yang pertama ialah konsep gerak (motorik) dan kognitif berhubungan begitu erat karena gerak dapat berpengaruh pada proses berpikir dan belajar. Konsep ini menjadi alasan alat peraga Montessori dibuat berdasarkan pada gerak motorik anak. Alat-alat peraga Montessori sengaja dibuat untuk membantu siswa mengeksplorasi inderanya. Prinsip yang kedua yaitu kontrol indera dalam kehidupan

dapat mendukung siswa untuk belajar menjadi baik. Panca indera manusia berfungsi menerima informasi baru dari lingkungan sekitarnya, maka panca indera sangat penting bagi perkembangan siswa. Prinsip ketiga berfokus pada ketertarikan siswa. Montessori beranggapan bahwa siswa akan dapat belajar lebih baik jika mereka tertarik dengan apa yang sedang mereka pelajari. Prinsip yang keempat, pemberian penghargaan ekstrinsik untuk sebuah kegiatan, misalkan uang untuk membaca ataupun nilai tinggi untuk sebuah tes yang diberikan, merupakan motivasi yang berdampak negatif untuk mendorong aktivitas tersebut. Penghargaan-penghargaan tadi membuat siswa senang, namun jika yang terjadi adalah kebalikkannya maka siswa akan kecewa. Kekecewaan yang siswa rasakan akan dapat mempengaruhi motivasi belajarnya. Prinsip pembelajaran Montessori yang kelima adalah pengacakan secara kolaboratif dapat membuat keadaan sangat kondusif untuk belajar. Keadaan kelas Montessori memiliki siswa dengan umur bervariasi sehingga dapat terjadi pembelajaran secara tentor sebaya. Prinsip ke-enam adalah belajar dengan hal konkret akan lebih bermakna bagi siswa daripada belajar dengan konsep abstrak. Hal konkret akan membantu siswa, khususnya pada tahap usia anak-anak untuk memahami pengetahuan dan informasi baru yang siswa dapatkan dari lingkungan sekitar. Interaksi anak dengan orang dewasa menjadi prinsip ketujuh pembelajaran Montessori. Bentuk-bentuk interaksi khusus orang dewasa akan terasosiasi oleh anak dan dapat dilihat pada output anak. Interaksi yang terjalin tersebut dapat membentuk output siswa, maka interaksi harus dijalin dengan sebaik mungkin. Prinsip pembelajaran Montessori yang kedelapan adalah lingkungan. Lingkungan di sekitar

siswa sangat bermanfaat. Lingkungan yang telah dikondisikan sesuai dengan kebutuhan siswa akan mendorong siswa untuk belajar dengan mandiri.

Tujuan pokok yang hendak dicapai dalam pembelajaran Montessori adalah membuat anak-anak mandiri dan melakukan segala sesuatu sendiri. Pendekatan

Montessori tidak pernah ditemukan hukuman. Pembelajaran Montessori

memfasilitasi anak belajar dengan menggunakan alat peraga. Alat peraga yang didesain disebut alat peraga didaktis yang didalamnya memiliki unsur pengendali kesalahan atau alat peraga tersebut sudah mampu menjawab letak kesalahan anak. Montessori mengatakan “manusia itu berhasil bukan karena sudah diajarkan oleh gurunya, tetapi karena mereka mengalami sendiri dan melakukannya sendiri,

pengalaman adalah guru terbaik”. Pendekatan Montessori menyebutkan guru dengan

sebutan direktris karena fungsi guru lebih sebagai pengarah, fasilitator dan observatori. Pembelajaran menggunakan alat peraga atau media belajar yang memiliki pengendali kesalahan lebih menarik bagi siswa dan lebih membuat siswa mampu berkonsentrasi sehingga dapat memahami materi yang diajarkan (Magini: 2013: 43).

Dokumen terkait