• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DAN INTERPRETASI DATA 46

4.3 Temuan dan Interpretasi Data

4.3.2. Metode Pemberdayaan yang Berbasis Santri di Pesantren Hidayatullah

Metode pendidikan di pondok pesantren memadukan penguasaan sumber ajaran Islam. Selain mengenal ranah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotor (prilaku) dalam pengajarannya, sejak dini pesantren mendasarkan diri pada tiga ranah utama, yaitu faqohah (kedalam pemahaman), thabiah (perangai, watak, karakter) dan kafaah (kecakapan operasional). Jika pendidikan adalah upaya perubahan maka yang harus berubah adalah tiga ranah itu.

Ranah-ranah yang dipaparkan di atas dapat ditemukan pada metode pemberdayaan santri di Pesantren Hidayatullah Medan. Dalam ranah faqohah

pesantren tidak sekedar memberikan ilmu pengetahuan (kognitif) tapi juga kedalaman pemahaman yang didasarkan pada idealisme Islam (tauhid). Ust. Ali Hermawan selaku Ketua Yayasan mengatakan bahwa pertama-tama santri akan dipahamkan tentang hakikat dirinya (ma’rifatun nafs), kemudian dari situlah landasan santri untuk berprilaku. Demi mewujudkan idealisme Islam (tauhid),

pesantren juga mewarnai materi-materi pada setiap mata pelajaran dengan pemahaman agama. Menurut Ust. Chairul Anam setiap mata pelajaran umum dikemas sedemikian rupa sehingga apapun materinya bisa membawa santri lebih mengenal Allah. Hal senada juga dikatakan pak Torang Rambe dari Kementrian Agama bahwa pesantren diberikan kebebasan untuk memasukkan muatan ke-Islaman dalam menyampaikan mata pelajaran umum asalkan tidak mengurangi silabus yang sudah disediakan Kemenang.

Dalam ranah thabiah (perangan. watak, karakter) atau disebut juga dimensi sikap (afektif), pesantren Hidayatullah menanamkan sikap kesadaran dan tanggung jawab yang dilaksanakan secara demokratis, bukan otoriter. Diantaranya adalah dengan dilakukannya kordinasi secara buttom up dan memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada santri terkait program pemberdayaan, sementrara kiai memposisikan diri sebagai mitra dan evaluator jika terjadi penyimpangan.

Dari sisi ranah kafaah (kecakapan operasional) Pesantren Hidayatullah Medan memiliki program-program agar santri memiliki keterampilan dalam beberapa bidang keahlian seperti pertukangan, ternak, pertanian, dan administrasi.

Untuk mewujudkan visinya yaitu mewujudkan miniatur masyarakat madani, para pimpinan pesantren Hidayatullah memiliki target berjangka sepuluh tahun. Dalam wataku sepuluh tahun mendatang akan menjadikan pondok pesantren Hidayatulah menjadi pondok yang mandiri. Top Manajer (kiai) harus menentukan arah jangka panjang, dalam soal kinerja atau prestasi lembaga melalui formulasi yang cermat implementasi yang tepat, dan evaluasi terus menerus dengan strategi yang telah ditetapkan.

Secara manajemen, kiai sudah memiliki target berjangka sepuluh tahun untuk mewujudkan pesantren yang mandiri secara sosial ekonomi. Secara konsep manajemen, seharunya target berjangka sepuluh tahun tersebut diformulasikan secara cermat dan diimplementasikan secara tepat.

Obsesi kami sebagai pengelola, menjadikan pondok pesantren ini sebagai pondok yang mandiri, makanya orientasi ke depan kami sudah membuka lahan agro bisnis ada menanam sawit di lahan yang dikasih jamaah, ada juga lahan 20 hektare di Padang Sidempuan mau ditanami karet. Jadi Insha Alloh 10 tahun mendatang pesantren sudah mandiri (Wawancara dengan Ust Hermawan, 18 Februari 2013)

Program pemberdayaan pesantren itu merupakan kreativitas dari pesantren itu sendiri atau bisa juga merupakan hasil kerjasama antara pesantren dengan institusi. Contohnya jika ada pesantren yang ingin mengembangkan agro bisnis maka langsung berkordinasi dengan Kementerian Pertanian, dan jika ada

Kementerian Koperasi dan UMKM. Kementrian agama yang bertanggung jawab terhadap lembaga pendidikan pesantren tidak berperan dalam program yang bersifat pemberdayaan berbasis santri. Kementerian Agama hanya memberikan izin dan legalitas untuk pondok pesantrennya dan memberikan panduan silabus kurikulum yang mengacu kapada SKB 3 Menteri untuk madrasahnya.

Tidak ada, kalau masalah pertanian, peternakan itu bukan dari kita, itu dari pesantren sendiri. Kadang mereka kerjasama langsung dengan dinas terkait mislnya Kementrian Pertanian. (Wawancara dengan Abdul Rajak, 14 Mei 2013)

Pesanren Hidayatullah Medan memiliki kreativitas tersendiri dalam melaksanakan program pemberdayaan berbasiskan santri, metode yang dijalankannya sebagian diadopsi dari Hidayatullah Pusat, dan sebagian lain khas hanya ada di Hidayatullah Medan. Agar pemberdayaan berbasis santri dapat berjalan sesuai harapan maka pesantren melakukan metode-metode berikut:

1. Dewan Santri Sebagai Penggerak Program

Dewan Santri merupakan organisasi santri intra pesantren, sejenis dengan OSIS di sekolah-sekolah umum, namun Dewan Santri lebih besar cakupannya karena mengatur santri selama 24 jam, pada jam sekolah dan di luar jam sekolah. Dewan Santri putera dan Dewan Santri Puteri terpisah kordinasinya dan kepengurusannya karena memang tidak ada interaksi apapun antara santri putera dan santri puteri. Dewan Santri dibentuk oleh pesantren dengan tujuan pendidikan organisatoris santri sekaligus untuk membantu meringankan pekerjaan para ustadz, Jumlah ustadz yang terbatas dan kesibukannya menyebabkan peran ustadz tidak bisa sepenuhnya membina santri. Sesuai dengan prinsip pemberdayaan ustadz berperan sebagai fasilitator.

Dewan santri merupakan wadah pemberdayaan dalam sisi organisatorisnya. dewan santri harus mengetahui prinsip manajemen yaitu planning, organizing, actuating, dan controlling. (Wawancara Ust Ali Hermawan)

(planning), perorganisasian (organizing), pelaksanaan kebijakan (actuating) dan fungsi pengawasan (controlling). Dewan Santri dapat mengurangi keterlibatan para ustadz dalam program pemberdayaan, di mana para santri dari kelas 1 MTs sampai kelas 2 MA semester 1 berada di bawah manajemen Dewan Santri.

Huda (2003: 107) menjelaskan bahwa organisasi merupakan salah satu hal yang sangat diperhatikan oleh pesantren. Setiap santri di pondok diberi kesempatan untuk berorganisasi karena organisasi itu dapat membentuk jiwa kepemimpinan dan kedewasaan santri. Dewan Santri juga harus menjadi pengayom adik-adiknya.

Saat ini saya menjabat sebagai ketua umum Dewan Santri. Tugas Dewan Santri itu untuk mengayomi adik-adiknya, nanti kan Dewan Santri itu ada bagian bagiannya, kalau ada perintah dari pembimbing itu ke saya, dari saya ke kawan-kawan, habis dari kawan-kawan itu langsung ke adik-adik. (Wawancara dengan Farhan Fadlullah, 24 Februari 2013)

Pada tahun sebelumnya Dewan Santri belum memiliki struktur yang formal dikarenakan khawatir semua tanggung jawab dibebankan kepada ketuanya saja. Akan tetapi, dalam kepengurusan periode tahun 2013 Dewan Santri sudah memiliki struktur yang formal dengan Farhan Fadlullah Sebagai ketua umumnya kemudian ada bidang-bidang kerjanya yaitu: Bidang Keamanan, Bidang Kemasjidan, Bidang Pendidikan, dan Bidang Kesehatan seperti dijelaskan oleh informan di bawah ini:

Nanti kan ada Bagian Keamanannya, bagaimana mengkondisikan pesantren itu tertib, bagaimana ke masjidnya cepat, tidak ada yang keluar malam, tidak ada yang keluar tanpa izin. Jadi semuanya ada tahapannya, misalnya saya mau izin, nanti ke sini dan ke sini. Jadi aman dia, tau kita. Kalau orang tuanya nelpon nati, kok anak saya pulang, kan tinggal jawab, “oh sudah izin”.

Ada Bagian Kesehatan, kalau ada yang sakit dibawa ke Rumah Sakit Bina Kasih. Ada Bagian Pendidikan itu untuk wilayah sekolah, untuk mengatur adik-adiknya, jadi kalau ada yang tidak teratur nanti orang itu yang menindak, bagaimana keadaan kelas itu harus nyaman untuk belajar. Termasuk untuk muhadorohnya, latihan pidatonya itu sama bagian pendidikan. Total Dewan santri itu ada 20 orang, itu semuanya kelas 2 Aliyah. (Wawancara Farhan Fadlullah, 24 Februari 2013)

Dewan Santri puteri juga memiliki bidang-bidang kerja masing-masing walaupun Dewan Santri puteri baru menginjak kepengurusan periode yang kedua.

Ada ketuanya ada bidang-bidangnya, ada bidang kebersihan, kemamanan, kesehatan, kehumasan, yang menyambut tamu, logistik, ibadah. Tapi yang paling menonjol kali ibadahnya sama kesehatannya, dan kebersihannya. (Wawancara dengan Kuswah, 10 Maret 2013)

Informan lain mengatakan bahwa tugas utama Dewan Santri adalah membina santri saat berada di luar jam sekolah:

Tugas Dewan Santri itu mengatur kegiatan yang diluar jam sekolah, lalu membangun kreativitas santri. Misalnya kreativitas seni, di sini ada grup seninya SATO (Santri at the Opera), jadi itu akan ditampilkan ketika ada event-event. Terus kreativitas di bidang olahraga, bola, voli, takraw, badminton, bela diri, termasuk outbond. Juga kebersihan dan keamanan ini tugas Dewan Santri semua. Kebersihan itu sehari 3 kali, habis subuh semua dibagi oleh Dewan Santri, misalnya bagian lapangan kelas berapa yang mungut sampah, terus bagian Aliyah, dan bagian payungan sana. Terus memobilisasi pelaksanaan ibadah dan belajar mandiri. Termasuk juga membuat mading santri di sekolah dan asrama. (Wawancara dengan Ust Chairul Anam, 25 Febrari 2013)

Dewan Santri memiliki sistem pertanggungjawaban kepada penangung jawab di kalangan ustadz sesuai dengan bidangnya secara linear. seperti yang dipaparkan informan di bawah:

Dewan santri itu bertanggung jawabnya bagian diniyah dan kemasjidan itu ke Kepala Asrama, Pak Sihombing. Yang bagian kreativitas seni itu tanggung jawabnya ke Pembina OSIS, bagian kreativitas olah raga, tanggung jawabnya ke Pak Sugiono. (Wawancara dengan Ust Chairul Anam, 25 Februari 2013)

Terkait dengan pergantian pengurus Dewan Santri, menurut Huda (2003: 107) Setiap tahun diadakan serah terima amanat dari kakak kelas kepada adik kelas. “Padat tumbuh hilang berganti sebelum patah sudah diganti sebelum hilang sudah tumbuh lagi”. Pribahasa di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya regenerasi yang ada di pondok.

Hal itu sejalan dengan yang terjadi di Pesantren Hidayatullah Medan, Dewan Santri diganti setiap tahun. Yang menjadi Dewan Santri adalah kelas 2 MA sejak awal semester 2 hingga kelas 3 MA akhir semester 1. Kebijakan ini diambil karena kelas 3 MA difokuskan untuk persiapan Ujian Nasional pada satu

semester terakhir. Selama satu semenster sebelum lulus, kelas 3 MA turut membimbing Dewan Santri dalam Menjalankan tugasnya.

Kelas 3 Aliyah itu mungkin sudah seperti pemimpinnya di sini. Ada Dewan Santri, pemimpinnya itu lah kelas 3. Dewan Santrinya kelas 2 sampai kelas 3 semester pertama, kan kelas 3-nya persiapan UAN. (Wawancara dengan Milza, 24 Februari 2013)

Informan lainnya mengatakan sebagai berikut:

Kemarin baru kita lantik Dewan Santri, semua tugas pengkaryaan pesantren itu sudah menjadi tugas Dewan Santri, kita tinggal manggil ketuanya saja. (Wawancara dengan Ust Mukhtasim, 25 Februari 2013)

Dapat disimpulkan bahwa pembentukan Dewan Santri merupakan upaya pendelegasian wewenang dan pembagian tugas mulai dari tingkat manajemen yang melimputi planning, organizing, actuating, dan evaliating. Berjalannya pengkaryaan santri tidak lepas dari manajemen Dewan Santri. Memberikan pendidikan organisatoris termasuk ke dalam ranah peningkatan kafaah atau psikomotor yang secara praktis dapat melakukan fungsi manajemen seperti yang dibutuhkan oleh masyarakat dan secara idealis dapat melakukan misi dakwah yang tepat ala Rosulullah. Menurut Ust. Ali Hermawan dakwah akan mudah diterima jika dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan organisatoris.

2. Wadah Apresiasi Potensi Santri (WAPOSI)

Pesanteren Hidayatullah melakukan pembagian kerja berdasarkan minat dan bakat. Pesantren Hidayatullah memiliki Wadah Apresiasi Potensi Santri (WAPOSI). Menurut Halim (2005: 227) perlu dikembangkan WAPOSI, wadah semacam ini, mungkin sudah ada di beberapa pondok pesantren, tinggal bagaimana mengaturnya supaya produktif. Perlu juga ditambahkan, penggalian potensi diri santri-murid ini merambah pada potensi-potensi, semisal politisi, advokasi, jurnalistik, dan seterusnya. Karenanya, untuk ke depan wajah pondok pesantren menjadi semakin kaya ragam dan warna.

Pesantren Hidayatullah memetakan santri ke dalam 3 kelompok berikut: a. Tafakur fiddin: diproyeksikan menjadi tokoh spiritual

c. Kelompok profesional: orientasinya bekerja

Berikut penjelansan dari informan:

Jadi mereka kita salurkan sesuai bakatnya masing-masing, tidak harus semuanya menjadi da’i dalam artian penceramah. Mereka ada juga yang menjadi da’i agro-preneur seperti yang mengelola kebun pepaya di sana. Bakat mereka terakomodir, sehingga mereka tidak dibebani harus pintar bahasa arab semuanya, tapi sesuai bakatnya. (Wawancara dengan Ust Ali Hermawan, 18 Februari 2013).

Menurut Durkheim (dalam Maliki, 2008: 95) pembagian kerja tidak bisa dielakkan. Saat ini sedang menuju masyarakat dengan solidaritas organik sehingga diperlukan pembagian kerja. Namun, menurut Durkheim spesialisasi dan pembagian kerja yang ketat bisa menyebabkan individu tereduksi dan terisolasi, bahkan rasa tidak berguna lagi (meaningless). Pendapat lain mengatakan bahwa pesantren mengalami perkembangan dari dalam salah satunya karena keanekaragaman pendidikan, sesuai dengan pilihan, minat dan bakat santri. Inilah kelebihan sistem pesantren yang dipandang perlu untuk dikembangkan lebih kreatif.

Di Pesantren Hidayatullah terdapat pembagian kerja salah satunya dengan adanya “tugas khusus”. Contoh tugas khusus diberikan kepada petugas masak sebanyak tiga orang santri dan petugas kantor sebanyak dua orang santri. Santri yang mendapatkan tugas khusus tidak dibebani tugas lainnya seperti piket 24 jam dan kerja nukang. Salah satu santri yang mendapatkan tugas khusus adalah Nazrin, dia mendapatkan tugas khusus yaitu merapikan kantor bersama satu orang rekannya. Tugas khusus itu menjadi tanggung jawabnya sampai dia tamat dari Pesantren Hidayatullah. Dia membersihkan kantor setiap hari, biasanya dilaksanakan pada pagi dan malam hari. Adapun yang dibersihkan yaitu lantai, meja, piring-piring dan buku-buku. Menurut Nazrin tugasnya lebih ringan dibandingkan dengan tugas piket yang dilakukan oleh santri lainnya.

Gak berat kali, lebih ringan lah kalau dibandingkan sama yang piket, lebih enak yang tugas khusus. Mendapat tugas khusus ini diajak sama orang yang duluan kerja di situ, mungkin dilihatnya aku agak bisa gitu kan, pertamanya

sih gak mau. Perasaan berat kali kan. Pas sudah dirasakan enak juga. (Wawancara dengan Nazrin, 24 Maret 2013).

Pemberian tugas khusus menyebabkan santri hanya melakukan hal yang itu-itu saja selama menjadi santri sehingga ia tidak memiliki pengalaman dalam bidang lainnya. Inilah yang oleh Durkheim dikatakan dapat menyebabkan individu tereduksi dan terisolasi, bahkan rasa tidak berguna lagi (meaningless).

Secara pragmatis pemberian tugas khusus adalah untuk memudahkan manajemen. Farhan Fadlullah selaku ketua Dewan Santri mengatakan bahwa tugas khusus memasak diberikan kepada tiga orang karena memasak itu sulit dan beresiko, memasak berhubungan dengan peralatan-peralatan seperti gas yang mudah meledak.

Ada pula santri yang tidak mendapat tugas khusus:

Saya gak pernah ditunjuk piket dapur, memang harus orang-orang tertentu itu. Harus sabar orangnya, nanti datang ade-ade itu “apa ini nasinya gak enak?” udah susah-susah bagun subuh kan malah dibilang begitu. (Wawancara dengan Farhan Fadlullah, 24 Februari 2013)

Selain itu, santri diberikan kebebasan untuk mengelola usaha sendiri selama mereka nyantri seperti menanam tanaman milik sendiri dan memelihara ternak milik sendiri. Manik adalah seorang santri yang memiliki tanaman pisang di Polonia, dia meminta izin kepada ustadz untuk menanami lahan kosong milik pesantren. Manik pun sudah beberapa kali menjual hasil tanamannya ke pasar dan keuntungannya digunakan untuk biaya hidup dia.

Kalau pisang itu punya aku sendiri, itu di depan gedung kantor pojok sana. Bisa nanam situ karena waktu itu kosong di situ tanahnya kan, bisa minta izin sama pak Ustadz untuk nanam, diizinin kemudian digarap tanahnya. (Wawancara dengan Manik, 17 Februari 2013)

“Sering nyumbang sayur juga ini bang” kata teman Manik lainnya menimpali. Artinya Manik juga memiliki tanaman sayuran dan hasilnya biasa disumbangkan ke Pesantren. Contoh lainnya adalah santri puteri kelas 3 Aliyah yang menam sayur-mayur atas idenya sendiri.

Sebagian santri yang mau menanam gitu, itu ide santri. Nanti kalau misalnya ada hasilnya bisa dijual ke dapur umum. Hehehe, sebenarnya itu

rencana nanam lagi karena kami kan sibuk anu mau ujian. (Wawancara dengan Kuswah, 10 Maret 2012).

Dalam hal pemeliharaan hewan ternak, santri juga diberikan kebebasan selagi lahan yang dimiliki masih memungkinkan contohnya adalah ternak ayam dan bebek oleh santri yang bernama Kamisin, Kamisin sudah mendapat izin dari para ustadz untuk mengelola ternak pribadinya, ternak ini menurut Kamisin untuk menambah-nambah biaya mondok dan untuk ongkos pulang. Ternak yang dikelola Kamisin adalah beberapa ekor ayam dan bebek yang teretak di bawah pohon di lingkungan pesantren.

Dengan demikian, diketahui bahwa Pesantren Hidayatullah Medan mewadahi potensi santri sesuai dengan minat dan bakatnya caranya dengan pemberian tugas khusus kepada santri tertentu, pemetaan potensi santri, dan memberikan keleluasaan untuk menuangkan ide wirausaha di pesantren. Pesantren Hidayatullah Medan sebaiknya tidak melakukan pembagian tugas yang terlalu ketat karena dapat menyebabkan meaningless atau teralienasi hal tersebut merupakan ciri masyarakat organik sementara pesantren merupakan masyarakat dengan solidaritas mekanik.

3. Program Pengabdian Alumni

Program pengabdian alumni adalah salah satu metode agar kegiatan pengkaryaan bisa berjalan setelah penambahan jam belajar formal sampai dengan pukul 15.00 WIB, program ini sudah berjalan tiga tahun dan khusus hanya diterapkan di pesantren Hidayatullah Medan, tidak di jaringan Hidayatullah lainnya. Menurut informan, program ini adalah inisiatif dari pimpinan pesantren untuk mencapai visi misi pesantren.

Baru tiga tahun ya, kalau sebelumnya langsung kuliah ke Jakarta, ke Surabaya, sama ke Balikpapan. Tujuannya berdasarkan pengalaman yang lalu-lalu tidak semuanya meneruskan di Hidayatullah, ternyata sebagian besar waktu itu setelah dapat ijazah langsung pergi gitu aja, sementara kita ini kan membiayai full, jadi supaya imbang kita biayai mereka, mereka juga harus ngabdi sama kita kan, jadi itu seperti balas jasanya. Kalau keinginan kita seterusnya mereka itu tetap berada di bawah jaringan Hidayatullah. (Wawancara dengan Ust Chairul Anam, 25 Februari 2013)

Dari pemaparan di atas diketahui bahwa ide awal program pengabdian adalah landasan idealisme (tauhid) dari pesantren, agar santri tidak lepas dari Hidayatullah. Agar santri terus berada dalam jaringan Hidayatullah dan dapat berkontribusi untuk Hidayatullah di masa yang akan datang. Santri yang melakukan pengabdian dikenal juga dengan sebutan “santri kelas tujuh”, kelas tujuh ini adalah masa pembelajaran tambahan selama satu tahun untuk pendewasaan santri seperti dijelaskan informan di bawah:

Sisi pendewasaan agar mereka fokus pada tataran penghayatan, mereka itu kan akan terjun ke masyarakat, maka mereka harus diuji dulu. Tidak langsung kita lepas, sehingga saat kuliah mereka tidak menyia-nyiakannya karena mereka sudah tahu bagaimana hidup bermasyarakat. Setelah kuliah mereka biasanya langsung pulang ke sini. (Wawancara dengan Ust Ali Hermawan, 18 Februari 2013)

Dalam hal ini pesantren ingin menyempurnakan ranah thabiah (perangai, watak, karakter) atau dikenal juga dengan ranah afektif (sikap). Santri diharapkan mengalami pendewasaan melalui penghayatan selama satu tahun. Informan lain mengatakan hal berikut:

Pengabdian alumni satu tahun saja, nanti setelah satu tahun kita tanya lagi keinginannya. Tujuan pengabdian ini adalah supaya ada rasa tanggung jawab, kita bukan mau mengungkit apa yang sudah kita berikan, tapi ilmu itu agar bisa ditularkan ke adik-adiknya. (Wawancara dengan Ust Mukhtasim, 25 Februari 2013)

Dalam program pengabdian, santri ditempatkan sesuai dengan minat, bakat, dan kebutuhan SDM dari yayasan. Santri bisa ditugaskan khusus di satu tempat ataupun berpindah-pindah. Contohnya ada yang ditugaskan di Tanjung Morawa untuk yang bertugas di bangunan dan pendidikan. Berikut adalah pemaparan informan yang mengkuti program pengabdian berpindah-pindah:

Saya pengabdian sudah satu tahun tapi pindah-pindah. Pernah di Yayasan, di BMH pernah, di cabangnya pun pernah, di percut juga pernah. Kalau di Padang Sidempuan waktu itu merintis masih hutan di situ ya, membabat semua di situ karena masih ilalang semua, baru ada gubuk satu. Saya di sana dua bulan, mau buka pesantren baru. Di Percut itu ada masjid yang diserahkan ke yayasan karena masjid ini sudah gak ada lagi yang ngurus, kita yang ngajar ngaji anak-anaknya. Kalau di Tanjung Morawa kemaren itu cari rumput karena waktu itu ada juga ternaknya, cari rumputnya ke

Beringin pake mobil. Yang diternaknya kambing sama sapi. (Wawancara dengan Manik, 17 Februari 2013)

Pemaparan Informan yang mengikuti program pengabdian di satu tempat:

Tugas yang saya kerjakan di pengabdian ya paling nukang, ngajar, kalau ada panggilan khotib ya jadi khotib. Kalau ngajar saya dapat ngajar Aliyah malam Senin sama malam Sabtu, dua kali seminggu. Kalau yang di sini ada enam alumni yang pengabdian. Ini firman, itu Muhammad Zul Arifin, Waspada, Khoirussani, satu lagi tugas di Percut, tapi tinggalnya di sini juga. Saya baru belajar nanam jagung, yang dibelakang itu, yang di depan sana gak tumbuh, (Wawancara dengan Dinul Hak, 19 Februari 2013)

Program pengabdian alumni adalah salah satu metode pesantren agar santri dapat diberdayakan dengan maksimal. Ide awalnya adalah idealisme pesantren agar santri tidak lepas dari jaringan Hidayatullah sehingga di masa depan nanti lulusan dapat memberikan umpan balik (feedback) kepada Hidayatullah. Pengkaryaan pada saat santri masih MTs atau MA belum bisa dilakukan secara maksimal karena sebagian besar waktu digunakan untuk belajar materi pendidikan formal dan kediniyahan yang sudah terjadwal dengan ketat. Adapun tugas program pengabdian berangam disesuaikan dengan minat, bakat, dan kebutuhan SDM dari yayasan. Pada perkembangannya pengabdian santri juga menjadi tujuan pragmatis yaitu untuk pengembalian biaya-biaya yang sudah digunakan santri selama mondok.

4. Kurikulum Khas dalam Pendidikan Pemberdayaan

Menurut Huda (2003: 99), harus ada kurikulum yang seimbang antara trilogi keilmuan yang berlandaskan Islam, (1) Islamic Natural Sciences, (2) Islamic Social Sciences, (3) Religion Sciences. Diharapkan dengan kurikulum yang demikian, santri dapat menggabungkan antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Dan yang terpenting, dari kurikulum ini dapat ditanamkan kepada anak tentang esensi dari sebuah proses pembelajaran mengingat hal ini merupakan yang paling substantif bagi santri sebagai pelajar.

Secara umum pesantren terbagi ke dalam dua jenis yaitu salafiyah dan modern. Kedua jenis tersebut menggunakan kurikulum yang berbeda seperti