• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DAN INTERPRETASI DATA 46

4.3 Temuan dan Interpretasi Data

4.3.1. Tipe Kelembagaan Pesantren Hidayatullah Medan

Jika mengacu pada ciri-ciri institusi total Goffman, terdapat beberpa catatan pada kondisi kelembagaan di Pesantren Hidayatullah Medan. Pertama, terdapat jenis santri mondok dan santri kalong. Hal ini menyebabkan desosialisasi dan

resosialisasi yang terdapat dalam konsep institusi total berjalan kurang sempurna karena santri kalong lebih intensif bersosialisasi dengan dunia luar saat berada di rumah, kemudian nilai-nilai yang mereka dapatkan di rumah dibawa ke pesantren dan mempengaruhi santri mondok.

Secara desain lingkungan pun tidak terdapat pagar antara lingkungan pesantren dengan masyarakat sekitar sehingga masih terjadi interaksi langsung antara masyarakat sekitar dengan santri mondok, meskipun ada aturan tertulis dan nilai tidak tertulis. Interaksi antara santri dengan masyarakat umum di antaranya adanya masyarakat luar yang berjualan setiap hari, contohnya Ibu Yatinem yang berjualan kue. Setelah berkeliling di kampung sekitar dia selalu mampir untuk berjualan di pesantren pada waktu istirahat dan pulang sekolah.

Bentuk interaksi lainnya adalah ketika santri diberikan tugas yang berkaitan dengan masyarakat misalnya gotong-royong kebersihan jalan, mengisi ceramah/khutbah, mengadakan mabit, dan mengelola desa binaan. Di sela-sela kegiatan resmi tersebut ada santri yang melakukan pelanggaran misalnya pergi ke warnet dan pacaran di lingkungan sekitar.

“Dampak negatifnya memang ada santri dibiarkan ke luar itu, misalnya pas ngarit itu yang pergi 10 orang yang kerja Cuma 6 orang sisanya turun di jalan mampir ke warnet. Itu makanya kita evaluasi terus

...Ada juga ketika santri mengelola desa binaan misalnya, nengok masyarakatnya merokok kan, gara-gara menghormati masyarakat situ akhirnya jadi ikut-ikutan merokok” (Wawancara dengan Ust. Ali Ibrahim Akbar pada 10 Maret 2013)

Kedua, terdapat perbedaan perlakuan dan kegiatan pada santri disesuaikan dengan jenjang kelasnya dari MTs hingga MA, minat dan bakat, lamanya tinggal di pesantren, dan tempat tinggalnya apakah mondok atau tidak. Sementara, dalam

konsep institusi total masing-masing anggota melakukan aktivitas yang sama dan cenderung memiliki pemikiran yang sama.

Periode penerimaan santri yang berbeda pun mempengaruhi program pesantren dan tingkat pemikiran santri, terdapat penerimaan di kelas 1 MTs, kelas 1 MA, dan terdapat kelonggaran untuk santri pindahan baik yang keluar dan yang masuk di tengah perjalanan pendidikan.

Ketiga, seluruh rangkaian kehidupan sehari-hari terjadwal secara ketat, dalam keseluruhan urutan yang diawasi oleh sistem/organisasi dan pengawas formal. Di Pesantren Hidayatullah Medan pengawasan dan sanksi dilakukan oleh Dewan Santri, hal ini sesuai dengan konsep institusi total. Tidak hanya itu, pemberian sanksi masih menganut sistem tradisional yaitu dipukul di depan umum oleh ketua Dewan Santri, padahal mayoritas pesantren medrn sudah mengganti bentuk sanksi dengan yang dianggap lebih mendidik seperti pemberian tugas hafalan ayat-ayat di yang diterapkan di Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ Cianjur. Setiap hari minggu ketua Desan Santri mengumpulkan santri di masjid untuk dievaluasi kesalahan-kesalahannya, kemudian santri-santri yang bersalah berbaris di depan dan dipukul. Menurut Farhan (ketua Dewan Santri) pukulan itu sakitnya hanya sebentar, tapi dampaknya untuk pendidikan itu sangat panjang.

Keempat, dalam konsep institusi total berbagai aktivitas dipaksa dan diarahkan bersama-sama ke dalam rencana tunggal untuk memenuhi tujuan pimpinan institusi. Pesantren Hidayatullah Medan memiliki rencana tunggal yang mengadopsi idealisme pendiri pertama Hidayatullah yaitu mentransformasikan idealisme Islam, ingin menjadikan pondok sebagai miniatur masyarakat madani. Namun dalam mencapai tujuan tersebut pimpinan pesantren menggunakan kepemimpinan demokratis dan sistem pengambilan kebijakan yang buttom up

sehingga diharapkan apa yang dilakukan oleh santri adalah atas kesadarannya, bukan karena paksaan.

Pondok Pesantren Hidayatullah juga bukan merupakan institusi yang terlalu total karena adanya negosiasi dan kedekatan antara santri, dewan santri, dan kiai atau ustadz serta terdapat interaksi antara masyarakat sekitar dengan santri. Santri tetap diberikan keleluasaan untuk berpendapat dan pesantren memfasilitasi santri

sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing untuk mengembangkan diri dan wawasannya.

Pesantren Hidayatullah Medan memiliki satu orang kiai sentral yaitu Ust. Chairul Anam yang merupakan salah satu perintis pesantren. Figur Ust. Chairul Anam sangat dihormati, menurut Ust. Ali Ibrahim Akbar (wawancara 10 Maret 2013), Ust. Chairul Anam merupakan orang yang serba bisa, beliaulah yang paling banyak mengajarkan mulai dari arsitektur bangunan, kitab-kitab, dan pengetahuan umum serta memiliki kemampuan fundrising yang melebihi ustadz-ustadz lainnya. Bahkan para santri menjuluki Ust. Chairul Anam sebegai “Bos Besar” pesantren itu. Perilaku menghormati kiai seperti di atas di sebut oleh sebagian pihak sebagai religion peodalism atau feodalisme berbaju keagamaan.

Ust. Cairul Anam tidak menerapkan sistem kepemimpinan yang otoriter begitupun juga ustadz-ustadz lainnya, beliau adalah orang yang dekat dengan santri. Terbukti meskipun beliau sebagai pimpinan pesantren, namun di sela-sela waktu kosong ikut bersama-sama dengan santri dalam berbagai kegiatan misalnya bersih-bersih dan membuat bangunan. Dalam berbagai program, pihak pesantren selalu melibatkan santri untuk berkordinasi terlebih dahulu seperti kutipan wawancara berikut:

Itu nanti diadakan rapat bulanan, disitu diadakan evaluasi sama membahas apa kegiatan berikutnya. itu rapatnya sama ustadz Sihombing. (Wawancara dengan Farhan Fadlullah, 24 Februari 2013)

Kiai, sebagai agen perubah, menurut pandangan Geertz, hanya berperan sebagai makelar budaya (cultural brooker) ; pengaruh kiai hanya terletak pada pelaksanaan fungsi makelar, secara politis kiai yang tidak mempunyai pengalaman dan keahlian tak mampu memimpin dengan baik hubungan masyarakat-bangsa yang modern. Tesis tersebut telah digugat oleh banyak hasil penelitian, diantaranya Hirokoshi (1976) menyatakan bahwa kiai telah berperan sebagai pengambil keputusan, menggerakkan orang desa untuk mendukung keputusan masyarakat. Kiai berperan dalam perubahan sosial dengan keunggulan kreativitasnya, yaitu “adaptasi kreatif” dalam perubahan sosial. (Muchsin, 2009: 9).

Di Pesantren Hidayatullah, para kiai mampu menggerakkan masyarakat sekitar khususnya dalam bidang pendidikan dan kebudayaan seperti dalam pemaparan masyarakat sekitar berikut ini:

“Tanah ini dulu kan Baitul Maal, setelah itu datang lah Pak Khuluk nyari tempat untuk pesantren katanya. Entah bagaimana ceritanya jumpalah dengan yang punya Baitul Maal ini, namanya dulu itu pak Yabea. Dibangunlah pesantren di sini, masyarakat di sini gotong-royong semuanya. Saya dulu juga bantu-bantu kerja di sana” (Wawancara dengan Burhanudin 11 Mei 2013).

4.3.2. Metode Pemberdayaan yang Berbasis Santri Di Pesantren