• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan tertua di Indonesia

rangkaian kata yang terdiri dari “pondok” dan “pesantren”. Kata pondok (kamar, gubuk, kamar kecil) yang dipakai dalam bahasa Indonesia dengan menekankan kesederhanaan bangunannya. “funduk” yang berarti ruang tempat tidur, wisma atau hotel sederhana. Karena pondok (tradisional umumnya) memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya.

Nurcholis Majid (Dalam Yasmadi, 2005: 63) menjelaskan tentang asal kata “santri” yang terdiri dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru ini pergi menetap.

Dhofier (dalam Yasmadi, 2005: 63) megatakan bahwa pesantren adalah sistem pendidikan Islam tradisional yang terdiri dari lima elemen pokok yaitu: kiai, santri, masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren dan membedakan pendidikan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan dalam bentuk lain.

Hal senada mengenai ketradisionalan pesantren disampaikan oleh Sadjoko, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, umumnya dengan cara non klasikal (weton, sorogan, dan lain-lain) di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa arab oleh ulama-ulama arab abad pertengahan, dan biasanya santri tinggal di asrama. (Isnaini :6)

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, pesantren memiliki ciri “tradisional” yang di dalamnya ada kultur unik dan khas pesantren. Pengertian “tradisional “ dalam batasan ini menunjuk bahwa lembaga ini hidup sejak ratusan tahun (sekitar 500 tahun) yang lalu telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian umat Islam di Indonesia yang merupakan golongan mayoritas bangsa Indonesia. Telah mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan hidup umat, bukan “tradisional‘ dalam arti tetap tanpa mengalami penyesuaian.

Sedangkan secara terminologi Dawam Rahardjo memberikan pengertian pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam, itulah identitas pesantren pada awal perkembangannya. Sekarang setelah terjadi banyak perubahan di masyarakat, sebagai akibat pengaruhnya, definisi di atas tidak lagi memadai, walaupun pada intinya nanti pesantren tetap berada pada fungsinya

yang asli, yang selalu dipelihara di tengah-tengah perubahan yang deras. Bahkan karena menyadari arus perubahan yang kerap kali tak terkendali itulah, pihak luar justru melihat keunikannya sebagai wilayah sosial yang mengandung kekuatan resistensi terhadap dampak modernisasi. (Isnaini: 39)

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam khas Indonesia yang tumbuh berkembang sejak masa-masa awal kedatangan agama Islam ke Indonesia. Asal-usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren untuk pertama kalinya berdiri pada zaman Wali Songo, tepatnya pada masa Syekh Maulana Malik Ibrahim. Sejalan dengan berkembangnya agama Islam di Indonesia, pesantren mengalami perkembangan yang sangat pesat, khususnya pada masa kejayaan kerajaan Islam di Jawa dan Madura. Pada masa penjajahan, pesantren tetap berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam yang mendidik kaum pribumi, meskipun mendapat tantangan dari pemerintah kolonial melalui berbagai kebijakannya karena dianggap sebagai sekolah liar. Pasca proklamasi kemerdekaan, pesantren semakin berkembang bukan hanya di pelosok-pelosok desa, tetapi juga di kota-kota besar.

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk kearifan lokal Indonesia. Ia merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi para pecinta ilmu dan peneliti yang berupaya mengurai anatominya dari berbagai dimensi. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat berakar di negeri ini, pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa. Pesantren tidak hanya melahirkan tokoh-tokoh nasional yang paling berpengaruh di negeri ini tetapi juga diakui telah berhasil membentuk watak tersendiri, di mana bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam selama ini dikenal sebagai bangsa yang akomodatif dan penuh tenggang rasa.

Menurut Zamakhsary Dhofier, dalam bukunya “Tradition and Change in Indonesian Islamic Education,” mengatakan penilaian tentang keberhasilan pesantren sebagai pendidikan alternatif salah satunya terletak pada kemampuannya menyumbangkan pembangunan mental spiritual melalui pemberian ruang yang cukup untuk emotionalization of religious feeling yang diekspresikan secara intelektual.

Dalam prespektif sosiologis, lembaga pendidikan pesantren dapat dilihat sebagai salah satu agen sosialisasi. Sosialisasi mengacu pada proses belajar seorang individu yang akan mengubah dari seseorang yang tidak tahu tentang diri dan lingkungannya menjadi lebih tahu dan memahami. Sosialisasi merupakan proses di mana seseorang menghayati norma-norma kelompoknya, sehingga timbullah diri yang unik, karena pada awal kehidupan tidak ditemukan apa yang disebut dengan diri. Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua, yaitu sosialisasi primer (di dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (di dalam masyarakat).

Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal. Dalam istilah Berger dan Luckmann, dikenal dengan

resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami pencabutan identitas diri yang lama.

Institusi dikatakan total, ketika institusi ini membatasi ruang gerak orang-orang di dalamnya pada tiap kesempatan. Mereka tidak bisa melepaskan diri, menghasilkan dan mereproduksi kenormalan didalam institusi sesungguhnya

abnormal itu hanya nampak dari luar (Deleuze, 1988). Seperti itulah, institusitotal sebagai organisasi yang mengatur keseluruhan kehidupan anggotanya. Ciri-ciri institusi total menurut Goffman (1961) antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi, barak militer, institusi pendidikan kedinasan, penjara, pusatrehabilitasi (termasuk di dalamnya rumah sakit jiwa), biara, institusi pemerintah,dan lainnya.

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki kriteria institusi total yang dikatakan oleh Goffman terutama pesatren yang masih menerapkan sistem tradisional. Menurut Goffman tampilan institusi total dapat dideskripsikan ke dalam beberapa tingkatan, yaitu: pertama, semua aspek-aspek kehidupan dilakukan di tempat yang sama dan dalam pengawasan tunggal yang

sama. Kedua, masing-masing anggota melakukan aktivitas yang sama dan cenderung memiliki pemikiran yang sama. Ketiga, seluruh rangkaian kehidupan sehari-hari terjadwal secara ketat, dalam keseluruhan urutan yang diawasi oleh sistem/organisasi dan pengawas formal. Keempat, berbagai aktivitas dipaksa dan diarahkan bersama-sama ke dalam rencana tunggal untuk memenuhi tujuan pimpinan institusi. Secara umum pondok pesantren memiliki tampilan yang sesuai dengan institusi total di atas.

Pesantren juga sebagai simpul budaya, sebagai contoh, di Jawa ada seni Robana dengan berzanji dengan berbahasa Arab yang akrab dengan warga pesantren. Iringan musiknya lebih dekat ke lenggam Jawa dengan iringan lenggam Jawa yang mengacu kekerajaan Demak dan Timur Tengah. Di kampung sekitar pesantren juga berkembang Laras Madya yang berisi syair-syair nasehat dan tuntunan budi pekerti Rosulullah dalam bahsa Jawa dengan oringan musik yang lebih dekat dengan lenggam Jawa. Di lingkaran yang lebih luar lagi adalah Rodad, berisi kisah-kisah heroik dari sejarah Islam yang dimainkan para pemuda dengan pakaian warna-warni dengan peluit sebagai alat pemberi aba-aba.

Dalam pesantren juga terdapat istilah religio feodalism atau feodalisme berbaju keagamaan, karena adanya perilaku menghormat kepada kiai sebagai pemegang otoritas di lingkaran itu. Penghormatan itu juga sampai pada keluarganya. Penghormatan itu sebenarnya sebagai bentuk kepercayaan dan mandat agar kiai dan keluarganya tetap teguh dalam mengemban amanah sebagai moderator dinamika nilali-nilai kultural disekelilingnya. Dengan demikian, tudingan akan adanya religio feodalism merupakan penilaian dari luar yang kurang teliti atas mandat masyarakat kepada kiai pesantren sebagai pemuka pendapat.

Dilihat dari perkembangannya, perkembangan pondok pesantren saat ini dapat dibagi menjadi empat kelompok. Pertama, pesantren yang tetap konsisten seperti pesantren zaman dulu, disebut ”salafi”. Kedua, pesantren yang memadukan sistem lama dengan sistem pendidikan sekolah, disebut pesantren “modern”. Ketiga, pesantren yang sebenarnya hanya sekolah biasa tetapi siswanya diasramakan 24 jam. Keempat, pesantren yang tidak mengajarkan ilmu

agama, karena semangat keagamaan sudah dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan kehidupan sehari-hari di asrama. Namun, apapun bentuknya, dinamika pesantren selalu dilandasi oleh interaksi sosial, interaksi keagamaan, dan interaksi edukatif khas, baik internal maupun eksternal (Miftahul. 2010: 25). Sementara, Ditjen Pendis Departemen Agama membagi pesantren ke dalam tiga kategori, pertama Salafiyah (tradisional), kedua, pesantren Ashriyah (modern), dan ketiga, pesantren kombinasi (perpaduan antara tradisional dan modern).

Pesantren sebagai suatu lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, sekaligus lembaga budaya yang bercorak tradisional masih banyak dijumpai di Indonesia. Namun dalam perkembangan lembaga pesantren saat ini tidak hanya mengajarkan kitab klasik dan agama, akan tetapi pesantren mengajarkan ilmu umum dan keterampilan. Bahkan di Pondok Pesantren Hidayatullah Medan tidak terdapat pembelajaran kitab-kitab kuning klasik, namun ciri khas pesantren lainnya masih melekat. Dalam pengkategorian oleh Departemen Agama pun Pesantren Hidayatullah Medan digolongkan ke dalam Pesantren Modern.

Dalam Ensiklopedi Islam ciri-ciri pesantren dibedakan menjadi dua macam yaitu ciri khusus dan ciri umum. Ciri khususnya yaitu: (1) hubungan yang akrab antara santri dan kiai, (2) kepatuhan dan ketaatan santri kepada kiai, (3) kehidupan mandiri dan sederhana para santri, (4) semangat gotong-royong dalam suasana penuh persaudaraan, dan (5) kehidupan disiplin dan tirakat para santri.

Agar dapat melaksanakan tugas pendidikan dengan baik, biasanya sebuah pesantren memiliki sarana fisik yang minimal terdiri dari sarana dasar, yaitu masjid atau langgar sebagai pusat kegiatan, rumah tempat tinggal kiai dan keluarganya, pondok tempat tinggal para santri, dan ruang belajar.

Sedangkan ciri umumnya yaitu pesantren memiliki lima elemen pokok yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan berada pada suatu kompleks tersendiri. Lima elemen itu adalah sebagai berikut.

(1) Pondok. Dalam tradisi pesantren, pondok merupakan asrama tempat para santri tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan kiai. Pada umumnya kompleks pesantren dikelilingi pagar sebagai pembatas yang memisahkannya dengan masyarakat umum di sekelilingnya. Tetapi ada pula pesantren yang tidak berbatas.

Bangunan pondok pada tiap pesantren berbeda-beda, baik kualitas maupun kelengkapannya. Ada pesantren yang didirikan atas biaya kiainya, kegotong-royongan para santri, sumbangan warga masyarakat, atau sumbangan pemerintah. Namun dalam tradisi pesantren ada kesamaan yang umum yaitu kiai yang memimpin pesantren biasanya memiliki kewenangan dan kekuasaan mutlak atas pembangunan dan pengelolaan pondok.

Setiap pesantren memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam membangun pondok yang sangat diperlukan para santrinya, karena kebanyakan mereka datang dari tempat jauh untuk menggali ilmu dari kiai dan menetap di sana dalam waktu yang lama. Jika dalam sebuah pesantren terdapat santri laki-laki dan perempuan, pondok kediaman mereka dipisahkan. Ada pondok khusus bagi laki-laki dan ada pondok khusus bagi perempuan. Tempatnya dibuat berjauhan dan biasanya kedua kelompok ini dipisahkan oleh rumah keluarga kiai, masjid, atau oleh ruang belajar.

(2) Masjid. Dalam struktur pesantren, masjid merupakan unsur dasar yang harus dimiliki pesantren karena merupakan tempat utama yang ideal untuk mendidik dan melatih para santri, khususnya dalam mengerjakan tata cara ibadah. Pengajaran kitab Islam klasik, dan kegiatan kemasyarakatan. Masjid pesantren biasanya dibangun dekat rumah kediaman kiai dan berada di tengah kompleks pesantren.

(3) Pengajaran kitab klasik. Dalam tradisi pesantren, pengajaran kitab Islam klasik lazimnya memakai metode berikut. (a) metode sorogan. Metode

sorogan adalah bentuk belajar mengajar dengan cara kiai hanya menghadapi seorang santri atau sekelompok kecil santri yang masih dalam tingkat dasar. Tata caranya adalah seorang santri menyodorkan sebuah kitab di hadapan kiai, kemudian kiai membacakan beberapa bagian dari kitab itu, lalu murid mengulangi bacaannya di bawah tuntunan kiai sampai santri benar-benar dapat membacanya dengan baik. Santri yang telah menguasai materi pelajarannya akan ditambahkan materi baru, sedangkan yang belum harus mengulanginya lagi. (b) Metode

wetonan dan bandongan. Metode wetonan dan bandongan adalah metode mengajar dengan sistem ceramah. Kiai membaca kitab di hadapan kelompok santri tingkat lanjut dalam jumlah besar pada waktu-waktu tertentu, seperti

sesudah shalat berjamaah Subuh atau Isya. Di daerah Jawa Barat metode ini dikenal dengan istilah bandongan. Dalam metode ini kiai biasanya membacakan, menerjemahkan, lalu menjelaskan kalimat yang sulit dari suatu kitab, dan para santri menyimak bacaan kiai sambil membuat catatan penjelasan di pinggiran kitabnya. Di daerah luar Jawa metode ini disebut halaqah (Ar.), yakni murid mengelilingi guru yang membahas kitab. (c) Metode Musyawarah. Metode musyawarah adalah sistem belajar dalam bentuk seminar untuk membahas setiap masalah yang berhubungan dengan santri di tingkat tinggi. Metode ini menekankan keaktifan pada pihak santri, yaitu santri harus aktif mempelajari dan mengkaji sendiri buku yang telah ditentukan kiainya. Kiai hanya menyerahkan dan memberi bimbingan seperlunya.

(4) Santri. Jumlah santri dalam sebuah pondok pesantren biasanya dijadikan tolok ukur atas maju mundurnya suatu pesantren. Semakin banyak santrinya, pesantren dinilai semakin maju. Santri ada dua macam, yaitu santri

mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah santri yang selama menuntut ilmu tinggal dalam pondok yang disediakan pesantren. Adapun santri kalong adalah santri yang tinggal di luar kompleks pesantren, baik di rumah sendiri maupun di rumah penduduk di sekitar lokasi pesantren.

(5) Kiai. Secara kebahasaan, kiai antara lain berarti “orang yang dipandang alim (pandai) di bidang agama Islam” atau” orang yang memiliki ilmu gaib”. Dalam masyarakat Jawa, kiai sebagai orang yang dianggap menguasai ilmu agama Islam biasanya mengelola dan mengasuh pondok pesantren. Kiai merupakan pilar utama sebuah pesantren, dan kepemimpinannya atas pesantren sangat menentukan, sehingga hidup matinya pesantren banyak ditentukan oleh faktor kiainya.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, pesantren telah memainkan peranan yang besar dalam usaha memperkuat iman, meningkatkan ketakwaan dan membina akhlak mulia, mengembangkan swadaya masyarakat Indonesia, dan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan informal dan formal yang diselenggarakannya. Secara informal lembaga pesantren di Indonesia telah berfungsi sebagai lingkungan komunitas yang membentuk watak dan kepribadian santri. Pesantren juga telah melaksanakan pendidikan keterampilan melalui kursus

untuk membekali dan membantu kemandirian para santri dalam kehidupan masa depannya sebagai muslim yang juga dai dan pembina masyarakatnya.

Secara keseluruhan, pesantren selalu dijadikan contoh dan panutan oleh masyarakat dalam segala hal yang dilakukan atau dianjurkan untuk dilaksanakan masyarakat. Keberadaan pesantren di Indonesia telah berperan menjadi potensi yang sangat besar dalam pengembangan masyarakat, terutama masyarakat muslim lapisan menengah ke bawah. Sebagai contohnya adalah Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak dan Pesantren Modern IMMIM.