• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Metode Pembuatan Bioplastik

Kemampuan suatu bahan dasar dalam pembuatan film plastik dapat diterangkan melalui fenomena fase transisi gelas. Pada fase tertentu di antar fase cair dengan padat, massa dapat dicetak atau dibentuk menjadi suatu bentuk tertentu pada suhu dan kondisi lingkungan tertentu. Fase transisi gelas biasanya terjadi pada bahan polimer. Sedangkan suhu dimana fase transisi gelas terjadi disebut sebagai titik fase gelas (glassy point). Pada suhu tersebut bahan padat dapat dicetak menjadi suatu bentuk yang dikehendaki, misalnya bentuk lembaran tipis (film) kemasan.

Istilah plastik meliputi produk hasil proses polimerisasi baik yang sintesis maupun semisintesis. Plastik dapat dibentuk menjadi suatu objek, film, ataupun serat (Anonim, 2006). Menurut Allcock dan Lampe (1981), film plastik dapat dibuat melalui dua teknik dasar yang berbeda, yaitu solution casting atau molten polymer. Pada pembuatan film plastik dengan teknik solution casting, bahan polimer dilarutkan ke dalam pelarut yang cocok untuk menghasilkan larutan yang viskos. Larutan yang dihasilkan dituang pada suatu permukaan yang rata (cetakan) yang bersifat non-adesif dan pelarut dibiarkan menguap sampai habit. Film plastik yang sudah kering kemudian diangkat dari cetakannya. Teknik molten polymer dilakukan dengan cara pemanasan polimer sampai di atas titik lelehnya (Allcock dan Lampe, 1981).

pilihan yang cepat dan mudah untuk dilakukan pada skala laboratorium. Pemilihan jenis pelarut yang cocok dengan bahan polimer menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan.

Teknik solution casting dilakukan dengan membuat larutan polimer 20% (b/v) untuk menghasilkan larutan dengan viskositas yang sesuai. Pengadukan diperlukan untuk mempercepat kelarutan, misalnya pengadukan dengan strirrer (Allcock dan Lampe, 1981). Allcock dan Lampe (1981) menambahkan bahwa apabila larutan polimer perlu disaring sebelum proses casting, maka dapat dilakukan penyaringan vakum karena larutan terlalu viskos. Pada skala laboratorium, proses solution casting dapat dilakukan pada plat kaca atau cawan gelas.

2.6

Menurut Wu dan Bates (1972) dalam Sutanto (1998), mekanisme pembentukan film protein terjadi karena polimerisasi endotermik dan denaturasi protein akibat pemanasan yang diikuti dehidrasi permukaan. Mekanisme polimerisasi melibatkan molekul disulfida dan ikatan hidrofobik. Pemanasan menyebabkan struktur tiga dimensi protein antara sulfhidril dan rantai sisi hidrofobik sehingga rantai protein yang tidak melipat akan saling mendekat satu dengan yang lainnya dan saling berhubungan lewat ikatan disulfida dan hidrofobik (Fukushima dan Van Burren, 1970 dalam Sutanto, 1998).

Mekanisme Pembentukan Film

Menurut (Cheflet et al, 1985 dalam Sutanto, 1998) denaturasi protein adalah bentuk modifikasi konformasi protein yang tidak diikuti oleh pemutusan ikatan

peptida yang ada pada struktur primernya. Selama denaturasi rantai protein akan terbuka sehingga memungkinkan pembentukan jaringan matriks baru yang lebih kompak dan dapat berinteraksi dengan komponen lain. Pada saat larutan dipastikan telah homogen, poliester amida ditambahkan yang berfungsi untuk mengatasi sifat rapuh film. Dengan adanya penambahan poliester amida, maka gugus hidrogen dari poliester amida akan berikatan dengan gugus amida dari protein sehingga kekuatan intermolekuler antar rantai protein akan berkurang dan mobilitas polimer akan meningkat sehingga fleksibilitas akan meningkat pula (Sutanto, 1998).

Struktur film merupakan matriks protein yang dibentuk oleh interaksi-interaksi protein yang dikatalisis oleh panas dengan ikatan disulfida, hidrogen, dan hidrofobik sebagai kekuatan asosiasi dalam jaringan film (Famum et al, 1976 dalam Sutanto, 1998). Ikatan disulfida terbentuk melalui pertukaran ion disulfida dan reaksi oksidasi ion yang diindikasi oleh adanya panas. Ikatan ini akan membentuk struktur tiga dimensi. lkatan hidrogen berperan dalam peningkatan viskositas dan stabilisasi struktur gel, sedangkan ikatan hidrofobik berperan dalam pengerasan struktur gel dan stabilisasi.

2.7 Gliserol

Billmeyer (1994) dalam Sutanto (1998) menambahkan bahwa jika suatu polimer semikristalin mendapat tambahan

Menurut Hammer (1978) dalam Sutanto (1998), bahan pemlastis adalah bahan kimia yang dapat digunakan untuk mengurangi kekakuan resin termoplastik. Prinsip kerja bahan pemlastis adalah dengan membentuk interaksi molekuler rantai polimer untuk meningkatkan kecepatan respon viskoelastis pada polimer. Hal ini akan meningkatkan mobilitas molekuler rantai polimer dan akibatnya dapat menurunkan substransisi kaca (Tg).

bahan pemlastis maka akan terjadi penurunan titik lebur (Tm) dan derajat bahan pemlastis akan lebih banyak berinteraksi dengan fase amorf dan sangat sedikit yang berinteraksi dengan fase kristalin. Efektivitas penambahan bahan pemlastis dapat dilihat melalui beberapa parameter semi empiris, seperti penurunan suhu transisi kaca dan titik leleh, karakteristik mekanik, serta kondisi molekuler.

Menurut Syarief (1989), untuk memperbaiki sifat plastik maka ditambahkan berbagai jenis tambahan atau aditif. Bahan tambahan ini sengaja ditambahkan dan berupa komponen bukan plastik yang diantaranya berfungsi sebagai bahan pemlastis, penstabil pangan, pewama, penyerap UV, dan lain-lain. Bahan itu dapat berupa senyawa organik maupun anorganik yang biasanya mempunyai berat molekul rendah.

Bahan pemlastis merupakan bahan tambahan yang diberikan pada waktu proses untuk meningkatkan beberapa sifat dari polimer, misalnya ketahanan terhadap panas atau minyak dan polimer yang dihasilkan lebih halus dan luwes. Bahan

pemlastis adalah bahan non-volatil dengan titik didih tinggi yang apabila ditambahkan ke dalam bahan lain akan merubah sifat fisik dan atau sifat mekanik dari bahan tersebut (Krochta, et.a1, 1994). Bahan pemlastis ditambahkan untuk mengurangi gaya intermolekul antar partikel penyusun pati yang menyebabkan terbentuknya tekstur edible film yang mudah patah (getas). Bahan pemlastis juga meningkatkan gaya intermolekuler dan meningkatkan mobilitas ikatan polimer sehingga memperbaiki fleksibilitas dan extensibilitas film.

Sedangkan bahan pemlastis yang umum digunakan dalam pembuatan plastik bioplastik adalah gliserol karena ketersediaan gliserol melimpah di alam dan sifatnya yang tidak merusak alam. Gliserol atau biasa disebut gliserin merupakan suatu larutan kental tidak berwama dan mempunyai rasa yang manis. Jika direaksikan dengan air dan alkohol menyebabkan rasa dingin pada kulit. Gliserol dapat dihasilkan dari minyak sawit (CPO, BPO, dan RPDPO), minyak inti sawit (PKO), dan minyak kelapa (CNO). Dalam pengolahan minyak (trigliserida) selain menghasilkan gliserol juga akan menghasilkan asam lemak yang juga dapat diolah menjadi beberapa macam produk seperti asam laurat, asam kaprat, dan asam stearat (Guerrero, dkk., 2010).

Gliserol merupakan suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas tiga atom karbon. Jadi, tiap atom karbon mempunyai gugus -OH. Gliserol merupakan suatu molekul bidrofilik yang relative kecil dan mudah di sisipkan diantara rantai protein dan membentuk ikatan hidrogen dengan gugus dan protein gluten. Hal ini berakibat pada penurunan interaksi langsung dan kedekatan antara rantai protein. Selain itu, laju transmisi uap air yang melewati film gluten yang dilaporkan meningkatkan

seiring dengan peningkatan kadar gliserol dalam film akibat dari penurunan kerapatan jenis protein (Gontard, 2009).

Gliserol efektif digunakan sebagai bahan pemlastis pada film hidrofilik, seperti pektin, pati, gel dan modifikasi pati, maupun pembuatan edible film berbasis protein (Juliyarsi et al, 2011).

Gambar 2.3 Rumus Struktur Gliserol

Dokumen terkait