• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Protein Kedelai

Protein adalah struktur makromolekul yang terdiri atas asam-asam amino yang saling berhubungan melalui ikatan peptida. Protein kedelai terdapat dalam jaringan kotiledon biji kedelai. Pada tingkat subseluler, protein kedelai terdistribusi di dalam bagian-bagian sel yang disebut protein tubuh dan di sekitar sitoplasma. Sekitar 90% protein kedelai adalah globulin yang terdapat sebagai protein cadangan, sisanya merupakan enzim-enzim intraseluler (lipoksigenase, amilase) hemaglutinin, protein inhibitor dan lipoprotein membran (Kinsella dalam Sutanto, 1998).

Gambar 2.1 Sruktur Kimia Asam Amino Protein Kedelai (Sutanto, 1998)

+ H3N

C H C O

O

R

(rantai samping) Hidrogen α Gugus karboksil Karbon α Gugus Amin α

Sifat fungsional protein adalah sifat fisik dan kimia yang memungkinkan protein menyumbang karakteristik yang diinginkan pada makanan. Sifat-sifat fungsional protein yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok utama, yaitu (1) sifat hidrasi (berhubungan dengan interaksi protein-air) seperti daya ikat air, kebasahan, swelling, daya lekat, kekentalan, kelarutan; (2) sifat yang berhubungan dengan interaksi protein-protein seperti pembentukan gel, dan (3) sifat-sifat permukaan seperti emulsifikasi (Cheftel et al., 1985 dalam Sutanto, 1998). Sifat fungsional protein ini dipengaruhi oleh faktor intrinstik, faktor lingkungan, dan perlakuan selama proses.

Protein kedelai menjadi pilihan yang baik sebagai bahan baku film plastik karena polimer asam amino ini berisi 20 asam amino yang pada rantai samping, rantai akhir, atau rantai utamanya dapat menampung gugus fungsi. Gugus fungsi seperti amida, hidroksil, dan karboksil dapat berinteraksi dengan berbagai bahan pemlastis.

2.3 Limbah Industri Tahu

Industri tahu pada umumnya dibagi menjadi dua bentuk limbah, yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat ini berupa kotoran hasil pembersihan kedelai (batu, tanah, kedelai, dan benda padat lain yang menempel pada kedelai) dan sisa saringan bubur kedelai yang disebut dengan ampas tahu.

Ampas tahu merupakan hasil ikutan dari proses pembuatan tahu. Limbah padat industri tahu meliputi ampas tahu yang diperoleh dari hasil pemisahan bubur kedelai. Ampas tahu masih mengandung protein yang cukup tinggi sehingga masih

bisa dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak dan ikan. Akan tetapi kandungan air ampas tahu yang masih tinggi merupakan penghambat sebagai pakan ternak. Salah satu sifat dari ampas tahu ini adalah mudah tengik (basi dan tidak tahan lama) dan menimbulkan bau busuk kalau tidak cepat dikelola. Pengeringan merupakan salah satu jalan untuk mengatasinya. Pengeringan juga mengakibatkan berkurangnya asam lemak bebas dan ketengikan sehingga memperpanjang umur simpan (Kaswinarni, 2007).

Ampas tahu yang terbentuk besarannya berkisar antara 25-35% dari produk tahu yang dihasilkan. Oleh karena itu untuk menghasilkan ampas tahu tidak terlepas dari proses pembuatan tahu (Subowo, 2001).

Dasar pembuatan tahu adalah melarutkan protein yang terkandung dalam kedelai dengan menggunakan air sebagai pelarutnya. Setelah protein tersebut larut, diendapkan kembali dengan penambahan bahan pengendap sampai terbentuk gumpalan-gumpalan protein yang akan menjadi tahu. Salah satu cara pembuatan tahu ialah dengan menyaring bubur kedelai sebelum dimasak, sehingga cairan tahu sudah terpisah dari ampasnya (Kastyanto, 1994).

Diagram alir proses pembuatan tahu secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.2 di bawah ini.

Komposisi limbah kedelai mengandung protein 35% bahkan pada varietas unggul kadar proteinnya dapat mencapai 40-43%. Dibandingkan dengan beras, jagung, tepung singkong, kacang hijau, daging, ikan segar, dan telur ayam, kedelai mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi, hampir menyamai kadar protein susu skim kering (Radiaty, 1992).

Kandungan nilai gizi yang masih terdapat dalam 100 gram ampas tahu secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini.

Tabel 2.2 Kandungan Nilai Gizi Ampas Tahu

Unsur Satuan Nilai

Kalori kal 414 Protein g 26,6 Lemak g 18,3 Karbohidrat g 41,3 Kalsium mg 19 Fosfor mg 29 Besi mg 4,0 Vit. B mg 0,20 Air ml 9,0 (Sumber: Kaswinarni, 2007 ) 2.4 Bioplastik

Bioplastik adalah suatu bentuk plastik yang berasal atau bersumber dari tumbuhan, misalnya berasal dari minyak rami, minyak kacang kedelai, atau pati. Plastik ini mempunyai sifat biodegradable (Wikipedia, 2006). Menurut Pranamuda (2009), bioplastik adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir berupa air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke

lingkungan tanpa meninggalkan sisa yang beracun.

Menurut Adam dan Clark (2009), bioplastik adalah polimer yang dapat berubah menjadi biomassa, H2O, CO2 dan atau CH4 melalui tahapan depolimerisasi dan mineralisasi. Depolimerisasi terjadi karena kerja enzim ekstraseluler (terdiri dari endoenzim dan eksoenzim). Endoenzim memutuskan ikatan internal pada rantai utama polimer secara acak, dan eksoenzim memutuskan unit monomer pada rantai utama secara berurutan. Bagian-bagian polimer yang terbentuk ini dipindahkan ke dalam sel dan mengalami mineralisasi. Proses mineralisasi membentuk CO2, CH4, N2

Berdasarkan bahan baku yang dipakai, bioplastik dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok dengan bahan baku petrokimia (non-renewable resources) dengan bahan aditif dari senyawa bio-aktif yang bersifat biodegradabel, dan kelompok kedua adalah dengan keseluruhan bahan baku dari sumber daya alam terbarukan (renewable resources) seperti dari bahan tanaman pati dan selulosa serta hewan seperti cangkang atau dari mikroorganisme yang dimanfaatkan untuk mengakumulasi plastik yang berasal dari sumber tertentu seperti lumpur aktif atau limbah cair yang kaya akan bahan- bahan organik sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme tersebut (Adam dan Clark, 2009).

, air, garam-garam, mineral, dan biomassa. Definisi polimer bioplastik dan hasil akhir yang terbentuk dapat beragam tergantung pada polimer, organisme, dan lingkungan.

Polimer bioplastik dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis (Evans, 2010) a.

, yaitu: Chemically synthesised polymers, misalnya polyglycolic acid, polylactic acid, poly (caprolactone), polyvinyl alcohol, polyethylene oxide. Jenis ini sangat rentan terhadap serangan enzim atau mikroba sehingga tidak dapat digunakan secara komersial untuk menggantikan plastik konvensional.

b.

c.

Starch-based bioplastic polymers. Pada jenis ini, pati (tepung halus dari singkong/kentang/ubi) ditambahkan sebagai bahan untuk produksi campuran plastik, misalnya starch-polyethylene. Tujuannya agar mikroba dalam tanah dapat mendegradasi pati dengan mudah sehingga dapat menguraikan plastik ini secara signifikan dalam waktu yang relatif cepat. Akan tetapi, beberapa jenis plastik lainnya dapat terdegradasi sebagian (tergantung kondisi tanah). Beberapa fragmen yang tertinggal setelah penghilangan pati tertinggal di lingkungan dalam waktu yang lama.

Polyhydroxyalkanoates (PHAs), yaitu polimer terdiri atas 2 sampai 6 hydroxy acids, yang diproduksi sebagai granula intraselular oleh banyak jenis bakteri. Ini sangat berpotensi sebagai plastik terbaharukan dan seratus persen bioplastik. Polimer ini dapat digunakan secara komersial untuk menggantikan penggunaan plastik konvensional.

Averous (2008) dalam Fibhumika (2009), mengelompokkan polimer bioplastik ke dalam dua kelompok dan empat keluarga berbeda. Kelompok utama adalah: (1) agro-polimer yang terdiri dari polisakarida, protein dan sebagainya; dan (2) biopoliester (bioplastik poliester) seperti poli asam laktat (PLA), polyhydroxyalkanoate (PHA), aromatik and alifatik kopoliester. Biopolimer yang tergolong agro-polimer adalah produk-produk biomassa yang diperoleh dari bahan-bahan pertanian.

Kelompok lain biopoliester yang diperoleh dari aplikasi bioteknologi, yaitu dengan sintesis monomer-monomer secara biologi disebut kelompok polilaktida.

Contoh polilaktida adalah poli asam laktat (PLA). Kelompok terakhir biopoliester yang lain juga ada yang diperoleh dengan sintesis secara konvensional dari monomer-monomernya. Kelompok ini terdiri dari polycaprolactones (PCL), polyesteramides (PEA), aliphatic co-polyesters dan aromatic co-polyesters.

Menurut laporan Pranamuda (2009) dalam penelitiannya, menyatakan bahwa saat ini polimer bioplastik yang telah diproduksi adalah kebanyakan dari polimer jenis poliester alifatik. Bioplastik yang sudah diproduksi skala industri, antara lain:

a. Poli (ε-kaprolakton) (PCL) : PCL adalah polimer hasil sintesa kimia menggunakan bahan baku minyak bumi. PCL mempunyai sifat biodegradabilitas yang tinggi, dapat dihidrolisa oleh enzim lipase dan esterase yang tersebar luas pada tanaman, hewan dan mikroorganisme. Namun titik lelehnya yang rendah, Tm = 60 0

b. Poli (ß-hidroksi butirat) (PHB) : PHB adalah poliester yang diproduksi sebagai cadangan makanan oleh mikroorganisme seperti Alcaligenes (Ralstonia) eutrophus, Bacillus megaterium dsb. PHB mempunyai titik leleh yang tinggi (Tm = 180

C, menyebabkan bidang aplikasi PCL menjadi terbatas (Awaliyyah RF, 2008; Pranamuda, 2009).

0

c. Poli (butilena suksinat) (PBS): PBS mempunyai titik leleh yang setara dengan plastik konvensional polietilen, yaitu Tm = 113

C), tetapi karena kristalinitasnya yang tinggi menyebabkan sifat mekanik dari PHB kurang baik (Ping, 2006).

0

d. Poli asam laktat (PLA) : PLA merupakan poliester yang dapat diproduksi menggunakan bahan baku sumber daya alam terbarui seperti pati dan selulosa melalui fermentasi asam laktat. PLA mempunyai titik leleh yang tinggi sekitar 175

0C, dan dapat dibuat menjadi lembaran film yang transparan (Kurniawan RA, 2010; Pranamuda, 2009).

Dokumen terkait