• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Metode Pencegahan Penyebaran dan Eliminasi Agen Penyebab

Metode awal untuk mencegah penyebaran rabies dan eliminasi agen penyebab secara alamiah, adalah dengan cara sedapat mungkin menghindari gigitan, baik dari anjing peliharaan apalagi gigitan anjing liar atau yang diliarkan. Pendekatan ini terutama harus diterapkan pada anak-anak dan remaja yang berpotensi mendapat serangan gigitan. Mengurangi atau meniadakan tempat-tempat pembuangan sampah

yang berpotensi untuk berkumpul dan bertemunya anjing, sekaligus akan mengurangi atau meniadakan kesempatan kontak antar anjing.

Sasaran pemberantasan penyakit rabies ditujukan terhadap anjing atau hewan penular rabies (HPR) yang tidak diketahui status vaksinasinya, baik anjing peliharaan maupun anjing liar. Berdasarkan laporan penelitian tentang Analisis Epidemiologi

Data Surveillance Rabies di Indonesia oleh Padri dkk (1986), diketahui adanya korelasi antara jumlah penduduk, jenis kelamin dan golongan umur, orang yang mendapat vaksin anti rabies, total gigitan, populasi anjing, jumlah anjing menggigit, jumlah spesimen diperiksa, jumlah spesimen yang positif dan jumlah hewan yang divaksinasi dengan prevalensi rabies.

Pada suatu daerah atau pulau yang bebas rabies kemungkinan hewan terjangkit rabies bisa saja terjadi, karena masuknya anjing atau hewan penular rabies (HPR) dari daerah tertular. Untuk melindungi daerah yang bebas rabies, tindakan pengawasan lalu lintas anjing dan hewan penular rabies yang masuk dari luar secara ketat harus dilakukan dengan konsisten.

Luas daerah rawan bergantung kepada faktor-faktor seperti jumlah dan spesies hewan tertular dan hewan kontak, lokasi geografis, lalu lintas anjing dan HPR lainnya yang diketahui maupun yang tidak terawasi. Arus lalu lintas yang tidak terawasi adalah aspek kritis bagi pengendalian rabies di daerah. Dalam skala praktis di lapangan, daerah (desa, kecamatan, kabupaten) yang bersinggungan/berbatasan dengan daerah tertular/wabah dianggap sebagai daerah rawan.

Setiap anjing dan HPR yang menggigit harus dianggap sebagai hewan tertular atau tersangka rabies. Tindakan observasi selama 10-14 hari harus diterapkan. Apabila hasil observasi negatif, pemusnahan paska observasi dapat dilaksanakan berdasarkan kondisi-kondisi tertentu seperti atas permintaan pemilik atau kondisi anjing sudah tidak layak untuk dipelihara lebih lanjut. Semua anjing dan HPR lain yang berada di wilayah administratif daerah yang terjadi wabah dinyatakan sebagai hewan tertular rabies sah dijadikan sasaran eliminasi. Hewan yang masuk dari luar ke dalam daerah wabah, terutama yang masuk secara ilegal dapat pula menjadi target pemusnahan. Pemusnahan dilakukan terutama terhadap anjing, kucing dan kera yang mempunyai potensi sangat besar dalam menularkan dan menyebarkan rabies (Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Utara, 2006).

Hewan-hewan yang kontak dengan penderita rabies bisa saja menimbulkan masalah yang lebih besar daripada hewan tertular. Tanda-tanda klinis dari hewan tertular dapat terlihat setelah beberapa jam, beberapa hari, satu minggu atau paling lama dua minggu (Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Utara, 2006b). Keunikan rabies adalah masa inkubasi penyakit ini cukup lama, dari beberapa minggu sampai beberapa bulan. Sehingga, seseorang bisa saja membawa anjing yang diperkirakan sehat sementara sudah terdapat virus rabies dalam tubuhnya dari daerah tertular.

Tindakan karantina untuk memudahkan observasi, baik untuk hewan-hewan yang kontak dengan penderita rabies maupun anjing atau HPR lain yang menggigit, merupakan prosedur yang harus ditempuh sampai diperoleh kepastian bahwa hewan tersebut bebas rabies. Pada dasarnya hewan-hewan yang kontak dengan penderita

rabies maupun anjing yang menggigit sama sekali tidak boleh dibunuh sebelum hasil observasi dikeluarkan. Dengan pola inilah rabies menyebar dari satu propinsi ke propinsi lain (Soedarsono, 2003).

Kasus rabies dipastikan maka suatu langkah yang cepat harus dilakukan untuk menetapkan daerah tertular (DT) dan daerah rawan (DR) yang mengelilingi DT, dengan merujuk dan mempedomani secara ketat ketentuanketentuan yang berlaku secara nasional. Keberadaan DT berlaku hanya sampai dinyatakan bahwa anjing liar di daerah tertular sudah dimusnahkan, daerah tersebut kemudian didesinfeksi dan HPR peliharaan lainnya di DT divaksinasi. Tidak ada lalu lintas HPR dan hewan yang tidak di vaksinasi masuk maupun keluar DT. Setelah kasus rabies dapat dihilangkan dari DT dan hewan-hewan peka lainnya telah divaksinasi, maka DT bisa diturunkan menjadi DR dan hewan yang ada di DT tersebut tetap berada di bawah pengawasan dan kontrol yang ketat petugas Dinas Peternakan setempat.

Anjing yang menggigit di daerah wabah dianggap telah tertular sehingga harus ditangkap dan dibunuh. Khususnya kalau anjing itu anjing, liar atau diliarkan. Kepala atau otak langsung dikirim ke laboratorium untuk menegakkan diagnosa. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi jiwa manusia dan sekaligus mengurangi korban. Apabila anjing tersebut ada pemiliknya perlu dilihat catatan atau informasi mengenai vaksinasinya. Tindakan terhadap hewan berpemilik yang telah divaksin apabila menggigit/mencakar dan terhadap hewan berpemilik yang kontak dengan hewan tertular rabies adalah: Isolasi dan observasi selama 14 hari, jika dalam masa observasi tetap hidup dibebaskan tetapi jika hewan tidak, maka anjing tersebut harus

dimusnahkan. Jika dalam masa observasi anjing mati, otaknya harus dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa rabies.

Tindakan terhadap hewan berpemilik yang tidak divaksin apabila menggigit/mencakar adalah isolasi dan observasi selama 14 hari. Jika dalam masa

observasi anjing/kucing tetap hidup dibebaskan, Jika dalam masa observasi

anjing/kucing mati maka otaknya harus dikirim ke laboratorium untuk meneguhkan

diagnosa rabies.

Tindakan terhadap hewan yang tidak ada pemiliknya apabila menggigit/mencakar adalah anjing dibunuh dan spesimen otak dikirim ke laboratorium untuk meneguhkan diagnosa rabies. (Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Utara, 2006b). Bertitik tolak dari langkah operasional pelaksanaan pembebasan rabies menurut Departemen Peternakan R.I (2006), salah satu kegiatan yang dilakukan adalah penertiban dan pengawasan pemeliharaan anjing dengan menetapkan beberapa ketentuan, yaitu :

1. Setiap anjing berpemilik harus divaksinasi.

2. Bagi anjing berpemilik yang tidak divaksinasi dilakukan eliminasi. 3. Anjing dipelihara di halaman dan tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran. 4. Bila rumah tidak berpagar rapat, anjing harus diikat dengan rantai yang

panjangnya tidak lebih dari 2 m.

5. Anjing yang sudah divaksinasi diberi tanda.

6. Apabila hendak dibawa keluar halaman, anjing harus diikat dengan rantai/tali dan moncongnya di berangus.

7. Pemilik anjing wajib mendaftarkan anjingnya pada ketua RT dan wajib melakukan vaksinasi rabies terhadap anjingnya secara teratur setiap tahun

Dokumen terkait