PENGARUH PERSEPSI TENTANG TUGAS DAN DESAIN ORGANISASI KESEHATAN TERHADAP KINERJA PETUGAS DALAM
PENANGGULANGAN KEJADIAN LUAR BIASA PENYAKIT RABIES DI KOTA MEDAN TAHUN 2011
TESIS
Oleh
ERNI RISVAYANTI 097032034 / IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASAYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH PERSEPSI TENTANG TUGAS DAN DESAIN ORGANISASI KESEHATAN TERHADAP KINERJA PETUGAS DALAM
PENANGGULANGAN KEJADIAN LUAR BIASA PENYAKIT RABIES DI KOTA MEDAN TAHUN 2011
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
OLEH
ERNI RISVAYANTI 097032034 / IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : PENGARUH PERSEPSI TENTANG TUGAS DAN DESAIN ORGANISASI KESEHATAN TERHADAP KINERJA PETUGAS DALAM PENANGGULANGAN KEJADIAN LUAR BIASA PENYAKIT RABIES DI KOTA MEDAN TAHUN 2011
Nama Mahasiswa : Erni Risvayanti Nomor Induk Mahasiswa : 097032034
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Menyetujui Komisi Pembimbing :
( Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe M.Si )
Ketua Anggota ( drh. Rasmaliah, M.Kes )
Ketua Program Studi Dekan
( Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si ) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji Pada Tanggal :
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, M.Si Anggota : drh. Rasmaliah, M.Kes
Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si dr. Heldy BZ, M.P.H
PERNYATAAN
PENGARUH PERSEPSI TENTANG TUGAS DAN DESAIN ORGANISASI KESEHATAN TERHADAP KINERJA PETUGAS DALAM
PENANGGULANGAN KEJADIAN LUAR BIASA PENYAKIT RABIES DI KOTA MEDAN TAHUN 2011
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, September 2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Allah SWT, Rabb seluruh alam
semesta dan dengan izin-Nya pula saya dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
“Pengaruh Persepsi tentang Tugas dan Desain Organisasi Kesehatan terhadap Kinerja Petugas dalam Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Rabies di Kota Medan Tahun 2011” ini.
Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan
pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi
dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
Dalam penulisan tesis ini, saya mendapat bantuan, dorongan, dan bimbingan
dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih
dan penghargaan kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H. M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU
yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan pada Program
Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si sebagai Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
seluruh jajarannya yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama saya
mengikuti pendidikan.
4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara yang telah banyak memberi waktu, pikiran, serta tenaga dalam membimbing
dan mengarahkan saya selama penyusunan tesis ini dengan penuh kesabaran.
5. Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, M.Si selaku ketua pembimbing yang telah banyak
memberi waktu, pikiran, serta tenaga dalam membimbing dan mengarahkan saya
selama penyusunan tesis ini dengan penuh kesabaran.
6. drh. Rasmaliah, M.Kes selaku anggota pembimbing yang telah banyak memberi
waktu, pikiran, serta tenaga dalam membimbing dan mengarahkan saya selama
penyusunan tesis ini dengan penuh kesabaran.
7. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si dan dr. Heldy BZ, M.P.H selaku komisi penguji
yang telah banyak memberi waktu, pikiran, serta tenaga dalam membimbing dan
mengarahkan saya selama penyusunan tesis ini dengan penuh kesabaran.
8. Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan dan seluruh rekan-rekan kerja yang telah
memotivasi saya selama mengikuti pendidikan.
9. Suamiku tercinta dan tersayang H. Muhammad Irwan, S.T dan anakku tersayang
Shafwanzikri yang selalu setia memberikan motivasi dan dukungan baik dari segi
moril maupun materil, serta Ibunda Hj. Nismar, Kakak Hj. Erna Risvayani, S.E,
M.Si dan Abangku DR. Suheldi, S.E, M.Si, dan juga keponakan-keponakanku
10. Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Angkatan 2009 yang telah membantu saya selama pendidikan dan
proses penyusunan tesis serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu
persatu yang telah membantu penulis selama penyusunan tesis ini.
Saya menyadari bahwa penulisan ini mempunyai kekurangan. Untuk itu, saya
menerima kritik dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. Untuk semua saran dan
kritik yang disampaikan untuk perbaikan tesis ini saya ucapkan terima kasih.
Akhirnya, saya mohon maaf yang setulusnya kepada semua pihak jika
ditemui kekurangan dan kekhilafan selama saya mengikuti pendidikan dan penelitian
berlangsung. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa yang membalas semua kebaikan yang
diberikan kepada saya dengan berlipat-lipat ganda. Semoga tesis ini bermanfaat bagi
kita semua.
Medan, September 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Erni Risvayanti, dilahirkan di Binjai pada tanggal
19 Agustus 1972, beragama Islam dengan alamat di Jalan Meranti No. 90 Binjai
Kecamatan Binjai Utara.
Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di SD Taman Siswa Binjai
tahun 1979–1985, tahun 1985– 1988 Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1
Binjai, tahun 1988 – 1991 Sekolah Madrasah Aliyah Negeri 1 Medan, tahun 1991 –
2002 Fakultas Kedokteran (FK) UISU Medan, kemudian tahun 2009 tercatat sebagai
mahasiswa pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi
Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU. Sejak
tahun 2006 tepatnya bulan April 2006, memulai karier sebagai pegawai Negeri Sipil
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan... ... 9
1.3. Tujuan Penelitian ... 10
1.4. Hipotesis ... 10
1.5. Manfaat Penelitian ... 10
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12
2.1. Kinerja ... 11
2.1.1. Definisi ... 12
2.1.2. Pengukuran Kinerja ... 13
2.2. Persepsi ... 15
2.2.1. Definisi ... 15
2.2.2. Pembentukan Persepsi dan Faktor-faktor Memengaruhi ... 16
2.2.3. Bentuk–bentuk Persepsi ... 19
2.2.4. Persepsi tentang Tugas ... 20
2.3.Desain Organisasi ... 22
2.3.1. Definisi ... 22
2.3.2. Dasar-dasar Pembentukan Desain Organisasi ... 23
2.3.3. Bentuk Desain Organisasi ... 24
2.3.4. Tugas Pokok dan Fungsi Petugas Surveilance Pada Seksi Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit ... 25
2.4. Penyakit Rabies ... 27
2.4.1. Definisi ... 27
2.4.2. Penyebab Rabies ... 28
2.4.3. Cara Penularan Rabies ... 29
2.4.4. Masa Inkubasi Rabies ... 30
2.4.5. Gejala Rabies ... 30
2.4.6. Sejarah Rabies di Indonesia ... 32
2.5. Landasan Kerjasama ... 33
2.7. Pokok-pokok Kegiatan Sektor Kesehatan ... 38
2.7.1. Pencegahan Rabies Setelah Gigitan Hewan Penular Rabies . 38 2.7.2. Pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies ... 38
2.8. Landasan Teori ... 39
2.9. Kerangka Konsep ... 42
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 43
3.1. Jenis Penelitian ... 43
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 43
3.3. Populasi dan Sampel ... 43
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 44
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 47
3.5.1. Variabel Independen ... 47
3.5.2. Variabel Dependen ... 48
3.6. Metode Pengukuran ... 49
3.6.1. Variabel Independen ... 50
3.6.1.1. Persepsi Tentang Tugas ... 50
3.6.1.2. Desain Organisasi... 50
3.6.2. Variabel Dependen ... 50
3.7. Metode Analisis Data ... 51
BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 52
4.1. Gambaran Lokasi Penelitian ... 52
4.2. Analisis Univariat ... 53
4.2.1. Karakteristik Responden ... 53
4.2.2. Persepsi Tentang Tugas Petugas Surveilance ... 54
4.2.3. Desain Organisasi Dinas Kesehatan Kota Medan ... 55
4.2.4. Desain Organisasi Dinas Kesehatan Kota Medan ... 58
4.2.5. Frekuensi Kinerja Petugas Surveilance Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2011 ... 61
4.3. Analisis Bivariat ... 63
4.4. Analisis Multivariat ... 65
BAB 5 PEMBAHASAN ... 67
5.1. Kinerja ... 67
5.2. Persepsi Tentang Tugas ... 68
5.2.1. Pengaruh Pemenuhan Standar Tugas terhadap kinerja Petugas Surveilance Dinas Kesehatan Kota Medan ... 68
5.2.2. Pengaruh Rentang Kendali Terhadap Kinerja ... 69
5.2.3. Pengaruh Formaliasasi Terhadap Kinerja Staf Petugas Surveilance Dinas Kesehatan Kota ... 70
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 76
6.1. Kesimpulan ... 76
6.2. Saran ... 76
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilias Kuesioner Persepsi Tentang Tugas .. 46
3.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Desain Organisasi ... 46
3.3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Kinerja ... 47
4.1 Distribusi Karakteristik Petugas Surveilance Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2011 ... 54
4.2. Distribusi Frekuensi Persepsi tentang Tugas Petugas Surveilance Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2011 ... 55
4.3. Distribusi Jawaban Tentang Jumlah Pekerjaan Petugas Surveilance
Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2011 ... 56
4.4. Distribusi Jawaban Tentang Pemenuhan Standar Tugas Petugas
Surveilance Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2011 ... 57 4.5. Distribusi Frekuensi Desain Organisasi Kota Medan Dinas Kesehatan
Kota Medan Tahun 2011 ... 58
4.6. Distribusi Jawaban Tentang Departementalisasi Petugas Surveilance
Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2011 ... 59
4.7. Distribusi Jawaban Tentang Formalisasi Surveilance Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2011 ... 60
4.8. Distribusi Jawaban Tentang Rentang Kendali Petugas Surveilance
Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2011 ... 60
4.9. Distribusi Frekuensi Kinerja Petugas Surveilance Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2011 ... 61
4.11. Hubungan Persepsi Tentang Tugas terhadap Kinerja Petugas
Surveilance Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2011 ... 64 4.12. Hubungan Desain Organisasi terhadap Kinerja Petugas Surveilance
Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2011 ... 65
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 82
2. Hasil Pengolahan Data ... 89
3. Master Data ... 100
4. Surat Permohonan Izin Penelitian ... 103
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit rabies atau anjing gila adalah suatu penyakit yang sangat ditakuti
dan dapat menimbulkan kematian. Penyakit ini ditularkan dari hewan yang sudah
terkena virus rabies kepada manusia yang disebut dengan zoonosis. Penyakit rabies ini bersifat akut dan dapat menularkan dengan secara cepat kepada satu penderita
dengan penderita lain melalui saliva (air liur) penderita yang sudah terkena virus rabies.
Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies dan penularannya kepada
manusia dapat terjadi melalui gigitan hewan penular rabies (HPR) terutama anjing,
kucing dan kera. Timbulnya penyakit ini pada manusia dapat dicegah dengan
pemberian vaksinasi anti rabies (VAR) dan serum anti rabies (SAR) setelah digigit
hewan yang menderita rabies (Soeharsono, 2002).
Menurut laporan WHO (2005), penyakit rabies dapat timbul akibat kelalaian
manusia “neglected disease” karena penyakit ini sebenarnya dapat dicegah sebelum muncul. Penyakit rabies tersebar di seluruh dunia dengan perkiraan 55.000 kematian
pertahun, hampir semuanya terjadi di negara berkembang. Jumlah yang terbanyak
dijumpai di Asia sebesar 31.000 jiwa (56%) dan Afrika 24.000 jiwa (44%).
Diperkirakan 30% – 50% proporsi dari kematian yang dilaporkan terjadi pada
Pengendalian Rabies (penyakit anjing gila) sebenarnya sampai saat ini masih
merupakan permasalahan dari beberapa penyakit yang terpenting karena penyakit
tersebut tersebar luas di 18 propinsi, dengan jumlah kasus gigitan yang cukup tinggi.
Diperkirakan sejak tahun 2008 di Indonesia terdapat 16.000 kasus gigitan, serta
belum diketemukan obat/cara pengobatan untuk penderita rabies sehingga selalu
diakhiri dengan kematian pada hampir semua penderita rabies baik manusia maupun
hewan. Kasus rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Esser pada tahun
1884 pada seekor kerbau, kemudian oleh Penning tahun 1889 pada seekor anjing dan
oleh Eilerls de Zhaan tahun 1889 pada manusia. Semua kasus ini terjadi di Propinsi
Jawa Barat dan setelah itu rabies terus menyebar ke daerah Indonesia lainnya (Elvira,
2009).
Berdasarkan laporan WHO (2005a), South East Asia Regional Office
(SEARO) mempunyai beban kerja yang besar karena sekitar 25.000 kematian terjadi
pada manusia setiap tahun akibat rabies dengan jumlah terbesar terdapat di India
yaitu sekitar 19.000 jiwa dan Banglades sekitar 2000 jiwa. Myanmar, Nepal,
Indonesia, Srilanka dan Thailand, melaporkan sedikitnya terjadi 100 kematian
manusia akibat rabies setiap tahun. Berdasarkan laporan OIE (Organization International des Epizooties), di negara berkembang penyakit rabies merupakan urutan nomor 2 (dua) yang paling ditakuti wisatawan mancanegara setelah penyakit
malaria ( Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat, 2007).
Penanggulangan penyakit rabies di Sumatera Utara sebenarnya sudah sejak
yang terjadi. Perhatian ini ditunjukkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara dengan nomor: 443.34/1880/K/1992 yang
berisi tentang koordinasi/ keterpaduan agar lebih berdaya guna secara optimal dalam
penanggulangan penyakit rabies di Sumatera Utara, perlu adanya penyegaran dan
pemantapan Tim Koordinasi Pencegahan Penanggulangan Penyakit Rabies dengan
melaksanakan reorganisasi di dalam wadah tim koordinasi lintas sektor.
Penanggulanganpenyakit rabies belum maksimal di Medan tidak terlepas dari
individu yang bekerja di dalam suatu organisasi. Bentuk tanggungjawab pada uraian
tugas untuk mencapai daerah yang bebas rabies, belum dapat diwujudkan oleh
karena beberapa faktor seperti faktor yang ada di dalam diri individu (pengetahuan,
sikap, persepsi, motivasi dan beberapa hal lainnya) maupun yang ada di luar diri
individu itu sendiri (desain organisasi, uraian tugas, komitmen organisasi dan
lainnya). Hal inilah yang secara keseluruhan akan menjadi faktor yang memengaruhi
tercapainya pembangunan kesehatan khususnya bebas penyakit rabies. Berdasarkan
hal tersebut maka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan tersebut akan dapat
terwujud jika dilaksanakan secara baik oleh sumber daya manusia yang memiliki
kinerja yang optimal dalam suatu tatanan struktur organisasi yang baik.
Menurut Makmuri (2004) dalam menjalankan pekerjaannya, petugas akan
mendapatkan kinerja yang baik jika memiliki persepsi yang baik tentang tugas yang
diberikan padanya disamping faktor penting lainnya. Petugas dalam berpendapat
sangat dipengaruhi oleh pengetahuan tentang kerja yang dilakukan dan sikap terhadap
Menurut Green (1980), untuk membentuk persepsi seorang individu untuk
berperilaku positif pada yang dikerjakannya dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor pokok
yaitu: faktor predisposisi (predisposising factors), faktor mendorong (reinforcing factors) dan faktor yang mendukung (enabling factors). Pada faktor predisposisi (predisposising) petugas bekerja dipengaruhi oleh faktor yang ada di dalam diri individu (pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi dan beberapa hal lainnya) maupun
yang ada di luar diri individu itu sendiri (desain organisasi, uraian tugas, komitmen
organisasi dan lainnya).
Menurut Simatupang (2008), sebagai pelaksana pelayanan kesehatan petugas
kesehatan juga dapat berperan sebagai provider dan konselor. Adapun menurut
Herawati (2006) petugas kesehatan dapat berperan menjadi komunikator, motivator,
fasilitator dan konsultan. Menurut Makmuri (2004), dalam sebuah organisasi,
pelaksanaan kerja terdiri dari dua macam dimensi desain, yaitu dimensi struktural dan
dimensi kontekstual. Dalam mengevaluasi sebuah organisasi, kedua macam dimensi
desain dalam organisasi itu harus diteliti, karena keduanya saling bergantung satu
dengan yang lainnya. Desain organisasi juga diharapkan dapat melihat pada sisi
persepsi petugas terhadap tugasnya agar seseorang cocok atau tidak bekerja di
perusahaan tersebut.
Penelitian Asmulian (2007), menyebutkan bahwa ketidakcocokan seseorang
akan lingkungan tempat bekerja akan membuat seseorang tidak nyaman dan dapat
mengalami stres kerja. Disamping itu spesifikasi kerja sesuai bidang dan sifat kerja
kesehatan dalam upaya menunjukkan kinerja organisasi dituangkan dalam beberapa
program, baik program yang bertujuan untuk upaya preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitatif. Namun demikian saat ini pemerintah lebih berfokus pada bentuk upaya preventif. Salah satu bentuk program preventif yang sekarang ini sedang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan adalah program upaya penanggulangan
kejadian luar biasa penyakit rabies.
Penanggulangan kejadian luar biasa (KLB)rabies merupakan salah satu upaya
preventif yang berperan dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat gigitan anjing yang sampai saat ini masih belum dapat dituntaskan. Pelaksanaan
program ini merupakan program yang melibatkan multi sektoral baik oleh seluruh
unit pelayanan kesehatan (UPK) seperti Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan
Swasta, Instansi dan Organisasi lain yang turut mendukung program ini, di samping
juga peran serta masyarakat secara paripurna dan terpadu (Depkes RI, 2001).
Dinas Kesehatan Kota Medan merupakan organisasi yang berada digaris
depan dan bertanggung jawab langsung terhadap penurunan angka kejadian yang luar
biasa akibat penyakit rabies yang diderita masyarakat. Dalam upaya penanggulangan
penyakit rabies suatu pengelolaan tata kerja dan dan pengorganisasian dengan tujuan
pencapaian lebih efisien dan efektif. Dalam mencapai tujuan yang efektif dan efisien
penanggulangan penyakit rabies, desain dan struktur organisasi Kesehatan Kota
Medan telah membuat satu formasi di dalam struktur organisasinya. Bidang ini
merupakan salah satu bagian dari struktur organsasi yang ada di Dinas Kesehatan
hewan penular rabies (HPR) serta memberikan suntikan Vaksinasi Anti Rabies (VAR) kepada pasien yang terkena gigitan HPR. Bidang ini juga berperan mengawasi proses,
memilih dan mengelola aspek struktural dan mengendalikan kegiatan yang perlu
dilakukan untuk mencapai tujuan bersama, pengambilan keputusan atau manajemen
keputusan dan mengendalikan perilaku para petugas surveilance (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2010).
Menurut Jones (2008), desain dan struktur organisasi tidak hanya menyajikan
fungsi keputusan manajemen dengan menyediakan informasi untuk mengurangi
kondisi ketidakpastian (uncertainty environment). Desain dan struktur organisasi juga merupakan pembuat keputusan untuk meningkatkan berbagai alternatif pilihan
tindakan dengan kualitas informasi yang lebih baik. Desain sistem organisasi
merupakan bagian dari sistem pengendalian organisasi yang perlu mendapat
perhatian, sehingga dapat memberikan kontribusi positif dalam mendukung
keberhasilan tujuan organisasi yaitu untuk menurunkan angka kasus rabies di
Sumatera Utara yang semakin tinggi.
Kasus gigitan hewan penular rabies di Sumatera Utara meningkat secara
signifikan. Rincian jumlah kasus rabies tahun 2009 di Sumatera Utara sebagai
berikut: Kabupaten Simalungun ditemukan 1 kasus, Tapanuli Utara 1 kasus,
Humbang Hasundutan 3 kasus, Dairi 1 kasus dan Batubara 1 kasus. Sementara itu
pada tahun 2010 kasus rabies dilaporkan oleh 9 kabupaten/kota yaitu: Asahan 2
kasus, Tapanuli Utara 1 kasus, Samosir 3 kasus, Tapanuli Tengah 1 kasus, Nias 5
Sitoli sebanyak 17 kasus. Data hingga akhir Februari tahun 2009, ditemukan 108
kasus gigitan anjing dengan 5 penderita positif rabies dan akhirnya meninggal dunia.
Kasus rabies yang ada di Kota Medan sampai pada tahun 2008 ditemukan
bahwa penderita gigitan yang meyebabkan rabies berjumlah 486 kasus dengan
pembagian 270 orang laki-laki dan 216 orang perempuan. Dari kelompok umur yang
terkena ditemukan kasus 195 orang pada kelompok umur 15-45 tahun, 167 orang
pada kelompok umur 5-14 tahun, sebanyak 54 orang pada kelompok umur 0-4 tahun
dan sebanyak 70 orang pada kelompok umur > 45 tahun. Jumlah kasus yang
terbanyak ada di wilayah kecamatan Medan Helvetia dengan jumlah kasus 80 orang
disusul dengan kecamatan Medan Amplas dengan jumlah kasus 35 orang (Dinas
Kesehatan Medan, 2010).
Kasus rabies di Sumatera Utara pada tahun 2010 mengalami peningkatan
dimana jumlah kasus rabies pada tahun 2009 sebanyak 486 meningkat menjadi 1.102
kasus pada tahun 2010 dan jumlah kasus rabies yang paling tinggi dari seluruh
kecamatan yang ada di Kota Medan adalah kecamatan Medan Helvetia yaitu
sebanyak 80 kasus (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2010).
Sementara angka penyakit rabies juga cukup tinggi di daerah Kabupaten Deli
Serdang yaitu mencapai jumlah sebanyak 201 orang. Angka ini cukup tinggi
disebabkan oleh karena daerah ini merupakan daerah perbatasan antara Kota Medan
dengan kabupaten lainnya sehingga kecenderungan untuk meningkatnya kasus cukup
Kasus rabies di Sumatera Utara pada tahun 2010 mengalami peningkatan
jumlah kasus dimana jumlah kasus rabies pada tahun 2009 sebanyak 486 meningkat
menjadi 1.102 kasus pada tahun 2010 dan jumlah kasus rabies yang paling tinggi
dari seluruh kecamatan yang ada di Kota Medan adalah kecamatan Medan Helvetia
yaitu sebanyak 80 kasus (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2010).
Hasil survei pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di kecamatan Medan
Helvetia yang merupakan kecamatan dengan kasus HPR tertinggi, pada bulan Juni
2010 ditemukan hasil 80 kasus. Angka ini meningkat 100 % dibandingkan dengan
angka pada tahun 2008 yang hanya 40 kasus. Dalam upaya penanganan dan
penanggulangan rabies Dinas Kesehatan Kota Medan telah melakukan koordinasi
lintas sektoral dan lintas program dengan Dinas Peternakan dan Pertanian Kota
Medan.
Upaya penanggulangan penyakit rabies tersebut belum menunjukkan
pencapaian kinerja yang maksimal. Hal ini diprediksi peneliti dikarenakan belum
maksimalnya kerjasama lintas sektoral dan lintas program antara Dinas Kesehatan
Kota Medan dengan Dinas Peternakan dan Pertanian Kota Medan. Ini dilihat dari
kinerja individu yang belum baik dan masih kurangnya disiplin petugas
masing-masing instansi di dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan padanya seperti
belum dilaksanakannya standard operating procedure (SOP) yang ada, selain itu beberapa petugas juga jarang datang dan melakukan evaluasi terhadap implementasi
tugas yang telah dilaksanakannya. Laporan rutin secara berkala yang seharusnya
baik. Menurut beberapa petugas tidak adanya pemantauan yang dilakukan oleh atasan
pada petugas yang ada di bagian ini membuat petugas merasa kurang
bertanggungjawab pada tugas yang diembannya.
Berbagai upaya penanggulangan kasus luar biasa rabies ternyata tidak
sesederhana yang dibayangkan, kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan
vaksinasi pada binatang piaraannya. Kondisi ini diperburuk lagi dengan belum
dilaksanakannya evaluasi dan monitoring berkala dari instansi terkait yang
menanganinya.
Berdasarkan uraian pada permasalahan di atas maka peneliti tertarik untuk
menganalisis lebih dalam tentang penatalaksanaan dan penanggulangan wabah
penyakit rabies dengan melihat persepsi tentang tugas dan desain organisasi terhadap
kinerja petugas dalam upaya penanggulangan penyakit rabies di Kota Medan.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas dapat dirumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut “Bagaimana pengaruh persepsi tentang tugas
(karakteristik pekerjaan, jumlah pekerjaan, pemenuhan standar tugas) dan desain
organisasi kesehatan (departementalisasi, rentang kendali, formalisasi) terhadap
kinerja petugas dalam penanggulangan kejadian luar biasa penyakit rabies di Kota
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah, untuk menganalisis pengaruh persepsi
tentang tugas (karakteristik pekerjaan, jumlah pekerjaan, pemenuhan standar tugas)
dan desain organisasi kesehatan (departementalisasi, rentang kendali, formalisasi)
terhadap kinerja petugas dalam penanggulangan kejadian luar biasa penyakit rabies di
Kota Medan tahun 2011
1.4. Hipotesis
Ada pengaruh persepsi tentang tugas (karakteristik pekerjaan, jumlah
pekerjaan, pemenuhan standar tugas) dan desain organisasi kesehatan
(departementalisasi, rentang kendali, formalisasi) terhadap kinerja petugas dalam
penanggulangan kejadian luar biasa penyakit rabies di Kota Medan tahun 2011.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Dinas Kesehatan
Sebagai informasi untuk mengambil kebijakan penatalaksanaan dan
pengendalian wabah penyakit rabies dalam program pencegahan penyakit
rabies. Selanjutnya dapat meningkatkan surveilance terpadu dengan Dinas
Peternakan dan Pertanian dalam penanganan kasus tersangka maupun
penderita rabies.
2. Pemerintah Daerah.
Sebagai informasi untuk mengaktifkan kembali tim koordinasi pemberantasan
3. Masyarakat
Meningkatkan motivasi kepada masyarakat tentang upaya pencegahan dan
penanggulangan kasus gigitan hewan penular rabies terutama di lokasi
endemis rabies, dilaksanakan secara terkoordinasi dengan instansi terkait.
4. Ilmu Pengetahuan
Menjadi bahan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan dalam upaya
pemberantasan dan penanggulangan rabies melalui penyebaran informasi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kinerja
Kinerja pada dasarnya adalah yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh
seorang petugas dalam melaksanakan tugasnya. Untuk mengetahui kinerja petugas
dilakukan penilaian kinerja. Namun demikian penilaian kinerja harus dilakukan
dengan tujuan memotivasi kinerja petugas sehingga menciptakan rasa puas,
menciptakan budaya yang tinggi, tanggungjawab dan meningkatkan keterkaitan
petugas dalam organisasi.
2.1.1. Definisi
Beberapa pendapat pakar tentang kinerja :
1. Kinerja merupakan suatu kesuksesan di dalam melaksanakan suatu pekerjaan.
Kinerja sendiri dalam pekerjaan yang sesungguhnya tergantung kepada
kombinasi antara kemampuan dan iklim kerja yang mendukungnya (Prihadi,
2004).
2. Permana (2005), menyebutkan kinerja adalah penampilan hasil karya personel
baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat
merupakan penampilan individu atau kelompok kerja personel, penampilan
hasil karya maupun struktur, tetapi juga pada keseluruhan jajaran personel
3. Mahsun (2006) menyatakan kinerja adalah gambaran mengenai tingkat
pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau program dalam mewujudkan
sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang tertuang dalam strategi planning
suatu organisasi.
4. Ilyas (2001), kinerja adalah penampilan hasil karya personel dalam suatu
oganisasi. Simon (1993), menyebutkan kinerja adalah hasil kerja yang dicapai
oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing, dalam rangka upaya
mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum
dan sesuai dengan moral dan etika.
2.1.2. Pengukuran Kinerja
Menurut Ilyas (2001), pengukuran kinerja merupakan suatu metode untuk
menilai kemajuan yang telah dicapai dibandingkan dengan tujuan yang telah
ditetapkan yang dilakukan secara periodik. Menurutnya penilaian kinerja pada
dasarnya mempunyai dua tujuan utama yaitu penilaian kemampuan personel dan
pengembangan personel yang secara spesifik bertujuan untuk mengenali sumber daya
manusia yang memerlukan pembinaan, menentukan kriteria tingkat pemberian
kompensasi dan memperbaiki kualitas pelaksanaan pekerjaan.
Pada organisasi pelayanan kesehatan, sangatlah penting untuk memiliki
instrumen penilaian kinerja yang efektif bagi tenaga kerja profesional. Proses evaluasi
kinerja bagi profesional menjadi bagian terpenting dalam upaya manajemen untuk
meningkatkan kinerja organisasi yang efektif.
Yuli (2005), menyebutkan penilaian prestasi kerja adalah proses penilaian
prestasi kerja petugas yang dilakukan oleh organisasi terhadap petugasnya secara
sistematis dan formal berdasarkan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya.
Menurut Darma (2005), bahwa pengukuran kinerja dapat dilihat dari
faktor-faktor tingkat kinerja staf meliputi: (1) mutu pekerjaan, (2) jumlah pekerjaan, (3)
efektifitas biaya dan inisiatif. Gibson (1996), menyatakan terdapat tiga kelompok
variabel yang memengaruhi kinerja dan perilaku yaitu: (1) variabel individu, yang
meliputi kemampuan dan keterampilan, fisik maupun mental, latar belakang,
pengalaman dan demografi, umur dan jenis kelamin, asal usul dan sebagainya.
Kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang memengaruhi kinerja
individu, sedangkan demografi mempunyai hubungan tidak langsung pada perilaku
dan kinerja, (2) variabel organisasi, yakni sumber daya, kepemimpinan, imbalan,
struktur dan desain pekerjaan, (3) variabel psikologis, yakni persepsi, sikap,
kepribadian, belajar, kepuasan kerja dan motivasi. Persepsi, sikap, kepribadian dan
belajar merupakan hal yang komplek, dan sulit diukur serta kesempatan tentang
pengertiannya sukar dicapai, karena seseorang individu masuk dan bergabung
ke dalam suatu organisasi kerja pada usia, etnis, latar belakang, budaya dan
2.2. Persepsi 2.2.1. Definisi
Persepsi dalam psikologi diartikan sebagai salah satu perangkat psikologis
yang menandai kemampuan seseorang untuk mengenal dan memaknakan sesuatu
objek yang ada di lingkungannya. Menurut Scheerer dalam Niven (2009), persepsi
adalah representasi phenomenal tentang objek distal sebagai hasil dari pengorganisasian dari objek distal itu sendiri, medium dan rangsangan proksimal. Dalam persepsi dibutuhkan adanya objek atau stimulus yang mengenai alat indera
dengan perantaraan syaraf sensorik, kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat kesadaran (proses psikologis). Selanjutnya, dalam otak terjadilah sesuatu proses
hingga individu itu dapat mengalami persepsi (proses
Persepsi merupakan suatu proses
psikologis) (Niven, 2009).
seseorang mengorganisasikan dalam
pikirannya, menafsirkannya, mengalami, dan mengelola pertanda atas segala sesuatu
yang terjadi di lingkungannya (Hammer dan Morgan dalam Ibrahim, 2003). Menurut
Abizar (2008), persepsi adalah suatu proses seseorang individu memilih,
mengevaluasi dan mengorganisasi stimulus dari lingkungannya. Persepsi juga
menentukan cara kita berperilaku terhadap suatu obyek atau permasalahan,
bagaimana segala sesuatu itu memengaruhi persepsi seseorang nantinya akan
memengaruhi perilaku yang dipilihnya.
Persepsi, menurut Jalaludin (2009), adalah pengalaman tentang objek,
peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi
petunjuk petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan
bermakna pada suatu situasi tertentu.
Atkinson dan Hilgard (2004), mengemukakan bahwa persepsi adalah proses
dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan.
Gibson dan Donely (1994), menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti
terhadap lingkungan oleh seorang individu. Dikarenakan persepsi bertautan dengan
cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka
persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Dalam hal ini persepsi
diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian obyektif
dengan bantuan indera.
Persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang
diterima seseorang sangat kompleks, stimulus masuk ke dalam otak, kemudian
diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian
dihasilkan persepsi (Atkinson dan Hilgard, 2004). Dalam hal ini, persepsi mencakup
penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat memengaruhi
perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku
2.2.2. Pembentukan Persepsi dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi
orang lain sesuai dengan keadaannya sendiri.
Proses pembentukan persepsi sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang
terjadi seleksi yang berinteraksi dengan" interpretation", begitu juga berinteraksi dengan "closure" . Proses seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang mana pesan yang
dianggap penting dan tidak penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedangkan
interpretasi berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna
terhadap informasi tersebut secara menyeluruh.
Menurut Asngari (2004), pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam
atau dahulu. memegang peranan yang penting. Bagaimana seseorang melakukan
persepsi serta bagaimana suatu rangsangan dipersepsi banyak faktor yang
memengaruhinya. Suatu stimulus yang sama bisa dipersepsi berbeda oleh orang lain
yang berbeda juga.
Ada beberapa karakteristik yang memengaruhi suatu persepsi seseorang yaitu:
(1) faktor ciri khas dari obyek stimulus, (2) faktor-faktor pribadi, (3) faktor pengaruh
kelompok dan, (4) faktor perbedaan latar belakang. Faktor dari obyek stimulus terdiri
dari: (1) nilai dari stimulus, (2) arti emosional orang yang bersangkutan,
(3) familiaritas dan, (4) intensitas yang berhubungan dengan derajat kesadaran
seseorang mengenai stimulus tersebut. Termasuk di dalam faktor pribadi yaitu ciri
Secara umum ada beberapa faktor yang memengaruhi persepsi yaitu :
1) Faktor-Faktor Fungsional
Faktor-faktor fungsional ini juga disebut sebagai faktor personal atau perseptor,
karena merupakan pengaruh-pengaruh di dalam individu yang mengadakan
persepsi seperti kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lainnya. Berarti
persepsi bersifat selektif secara fungsional sehingga obyek-obyek yang
mendapatkan tekanan dalam persepsi biasanya obyek-obyek yang memenuhi
tujuan individu yang melakukan persepsi.
Termasuk dalam faktor fungsional ini adalah pengaruh kebutuhan, kesiapan
mental, suasana emosional dan latar belakang sosial budaya. Jadi yang
menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimulus tetapi karakteristik orang
menentukan respons atau stimulus.
2) Faktor-Faktor Struktural
Faktor struktural merupakan pengaruh yang berasal dari sifat stimulus fisik dan
efek-efek yang ditimbulkan pada sistem syaraf individu. Prinsip yang bersifat
struktural yaitu apabila kita mempersepsikan sesuatu, maka kita akan
mempersepsikan sebagian suatu keseluruhan. Jika kita ingin memahami sutau
peristiwa, kita tidak dapat meneliti faktor-faktor yang terpisah, tetapi harus
mendorongnya dalam hubungan keseluruhan.
Sebagai contoh dalam memahami seseorang kita harus melihat masalah-masalah
yang dihadapinya, konteksnya maupun lingkungan sosial budayanya. Dalam
di terima tidak lengkap, akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten
dengan rangkaian stimulus yang kita persepsi. Oleh karena manusia selalu
memandang stimulus dalam konteksnya, maka manusia akan mencari struktur
pada rangkaian stimulus yang diperoleh dengan jalan mengelompokkan
berdasarkan kedekatan atau persamaan, sehingga dari prinsip ini berarti obyek
atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu
sama lain, cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama.
2.2.3. Bentuk-Bentuk Persepsi
Persepsi secara umum merupakan suatu tanggapan berdasarkan suatu
evaluasi yang ditujukan terhadap suatu obyek dan dinyatakan secara verbal,
sedangkan bentuk-bentuk persepsi merupakan pandangan yang berdasarkan
penilaian terhadap suatu obyek yang terjadi, kapan saja, dimana saja, jika stimulus
memengaruhinya. Persepsi yang meliputi proses kognitif mencakup proses penafsiran
obyek, tanda dan orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan.
Kemampuan manusia sangatlah terbatas, sehingga manusia tidak mampu
memproses seluruh stimulus yang ditangkapnya. Artinya meskipun sering disadari,
stimulus yang akan dipersepsi selalu dipilih suatu stimulus yang mempunyai
relevansi dan bermakna baginya. Dengan demikian dapat diketahui ada dua bentuk
1) Persepsi Positif
Persepsi positif yaitu persepsi atau pandangan terhadap suatu obyek dan menuju
pada suatu keadaan dimana subyek yang mempersepsikan cenderung menerima
obyek yang ditangkap karena sesuai dengan pribadinya.
2) Persepsi Negatif
Yaitu persepsi atau pandangan terhadap suatu obyek dan menunjuk pada keadaan
dimana subyek yang mempersepsi cenderung menolak obyek yang ditangkap
karena tidak sesuai dengan pribadinya.
2.2.4. Persepsi tentang Tugas
Persepsi tentang tugas menurut Robbins (2002), dapat dinilai petugas dari ciri
yang melekat di dalam organisasi tempatnya bekerja. Persepsi seseorang terhadap
suatu objek yang ada di di luar lingkungan dirinya dipengaruhi oleh karakteristik
yang ada pada diri individu itu sendiri. Karakteristik individu yang memengaruhi
kinerja meliputi: umur, jenis kelamin, pendidikan, lama kerja, penempatan kerja dan
lingkungan kerja (rekan kerja, atasan, organisasi, penghargaan dan imbalan).
Persepsi seseorang akan pekerjaannya dapat ditunjukkan seorang dari kinerja
yang dihasilkannya seperti : (1) tanggungjawab adalah kesanggupan seorang pegawai
dalam menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya
dan tepat pada waktunya serta berani memikul risiko atas keputusan yang diambilnya
atau tindakan yang dilakukannya (Murlis, 2004), (2) inisiatif adalah prakarsa atau
kemampuan seorang pegawai untuk mengambil keputusan, langkah-langkah atau
tanpa menunggu perintah dari atasan (Steers, 1998), (3) jumlah pekerjaan, variabel ini
berkembang berdasarkan kenyataan bahwa pekerjaan itu berbeda-beda satu sama lain
di mana beberapa di antaranya lebih menarik dan menantang dibanding lainnya.
Menurut Muchlas (2004), terdapat 3 domain yang memengaruhi seorang
berpersepsi terhadap tugas yang diembannya antara lain: (1) persyaratan tugas, model
karakteristik pekerjaan dan ciri persyaratan tugas itu, (2) mempertimbangkan jumlah
produk yang dihasilkan dalam waktu tertentu dibandingkan dengan hasil yang
seharusnya dicapai sesuai standar atau dibandingkan dengan hasil pekerjaan orang
lain, (3) penilaian jumlah pekerjaan dilakukan menggunakan indikator umpan balik
dari rekan, atasan, bawahan, orientasi waktu dan menghargai produk dengan imbalan
yang sewajarnya (Jain, 1990), (4) pemenuhan standar kerja.
Brocklesby, J. And Cummings yang dikutip dalam Eriyatno (1996),
menyebutkan pemenuhan standar kerja merupakan proses menghasilkan suatu
kegiatan yang berjalan sempurna, seluruh pekerjaan dilaksanakan secara rapi,
sempurna, dapat diterapkan dan akurat. Indikator yang dapat dipakai untuk menilai
pemenuhan standar kerja dapat dinilai dari mutu pekerjaan dengan cara selalu
menganalisis data, persiapan diri dalam bekerja, motivasi pengembangan diri, patuh
pada standar kerja yang ditetapkan, rapi, tertib, tidak menghindari umpan balik, puas
2.3. Desain Organisasi 2.3.1. Definisi
Menurut Jones (2008), desain organisasi adalah proses perkembangan
hubungan dan penciptaan struktur untuk mencapai tujuan organisasi. Desain
organisasi disebutkan juga merupakan gabungan dari beberapa komponen-komponen
yang yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda dalam melaksanakan serangkaian
pekerjaan yang harus diselesaikan dan dengan keseluruhan tujuan yang spesifik.
Masing-masing komponen ini memiliki bentuk dan penampilan yang berbeda, tetapi
setiap komponen organisasi memiliki tujuan dasar yang sama, setiap komponen harus
melaksanakan tugasnya sendiri tetapi juga harus bisa bekerja selaras dengan
komponen lainnya.
Menurut Galinsky (2008), desain organisasi adalah proses yang melibatkan
keputusan - keputusan, sementara pengorganisasian adalah sebagai proses penciptaan
struktur organisasi (Robbins, 2002). Struktur organisasi adalah pola tentang
hubungan antara berbagai komponen dan bagian organisasi. Menurut Ivancevich
(2004) desain organisasi sebagai proses penentuan keputusan untuk memilih
alternatif kerangka kerja jabatan, proyek pekerjaan, dan departemen. Dengan
demikian, keputusan atau tindakan-tindakan yang dipilih ini akan menghasilkan
2.3.2. Dasar-Dasar Pembentukan Desain Organisasi
Ada 8 (delapan) elemen yang perlu diperhatikan oleh para manajer ketika
akan mendesain organisasi. Kedelapan elemen tersebut meliputi (Handoko, 2007) :
1. Departementalisasi adalah dasar yang dipakai untuk mengelompokkan
pekerjaan secara bersama-sama
2. Rantai komando adalah garis wewenang yang tanpa putus yang membentang
dari puncak organisasi ke unit terbawah dan menjelaskan siapa yang
bertanggung jawab kepada siapa. Wewenang sendiri merupakan hak yang
melekat dalam sebuah posisi manajerial untuk memberikan perintah dan
untuk berharap bahwa perintahnya tersebut dipatuhi
3. Rentang kendali adalah jumlah bawahan yang dapat diarahkan oleh seorang
manajer secara efisien dan efektif
4. Sentralisasi-Desentralisasi. Sentralisasi adalah sejauh mana tingkat
pengambilan keputusan terkonsentrasi pada satu titik di dalam organisasi
5. Formalisasi adalah sejauh mana pekerjaan di dalam organisasi dilakukan.
6. Rentang kendali adalah besaran komponen yang dibuat di dalam sebuah
struktur berdasarkan tugas dan fungsinya.
7. Struktur sederhana adalah sebuah struktur yang dicirikan dengan kadar
departementalisasi yang rendah, rentang kendali yang luas, wewenang yang
Pada organisasi formal struktur direncanakan dan merupakan usaha sengaja
untuk menetapkan pola hubungan antara berbagai komponen, sehingga dapat
mencapai sasaran secara efektif. Sedangkan pada organisasi informal, struktur
organisasi adalah aspek sistem yang tidak direncanakan dan timbul secara spontan
akibat interaksi peserta. Struktur organisasi-organisasi memberikan kerangka yang
menghubungkan wewenang karena struktur merupakan penetapan dan penghubung
antar posisi para anggota organisasi. Jika seseorang memiliki suatu wewenang, maka
dia harus dapat mempertanggungjawabkan wewenangnya tersebut (Jones, 2008).
2.3.3. Bentuk Desain Organisasi
Bentuk dari desain organisasi ini ditentukan oleh tingkat formalisasi yang
dilakukan, tingkat sentralisasi dalam organisasi, kualifikasi petugas span of control
yang ada serta komunikasi dan koordinasi yang ada dalam organisasi (Robbins,
2003). Bentuk desain organisasi terdiri dari:
a. Organic
Pada organisasi yang berbentuk organic, maka dalam organisasi ini terdapat tingkat formalisasi yang rendah, terdapat tingkat sentralisasi yang rendah, serta
diperlukan training dan pengalaman untuk melakukan tugas pekerjaan. Selain itu
b. Mostly Organic
Pada organisasi yang berbentuk mostly organic, formalisasi dan sentralisasi yang diterapkan berada di tingkat moderat. Selain itu diperlukan pengalaman kerja
yang banyak dalam organisasi ini. Terdapat span of control yang bersifat antara moderat sampai lebar serta lebih banyak komunikasi horisontal yang bersifat
verbal dalam organisasi tersebut.
c. Mechanistic
Pada organisasi yang berbentuk mechanistic, terdapat ciri-ciri yaitu: adanya tingkat formalisasi yang tinggi, tingkat sentralisasi yang tinggi, training atau
pengalaman kerja yang sedikit atau tidak terlalu penting, ada span ofcontrol yang lebar serta adanya komunikasi yang bersifat vertikal dan tertulis.
d. Mostly Mechanistic
Pada jenis organisasi ini, terdapat ciri-ciri yaitu: adanya formalisasi dan
sentralisasi pada tingkat moderat, adanya training-training yang bersifat formal atau wajib, span of control yang bersifat moderat serta terjadi komunikasi tertulis maupun verbal dalam organisasitersebut.
2.3.4. Tugas Pokok dan Fungsi Petugas Surveilance pada Seksi Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit
Tugas pokok dan fungsi surveilance petugas pengendalian pemberantasan penyakit berdasarkan SK. Menkes RI No. 1479/Menkes/SK/X/2003 tentang
1. Uraian Tugas dan Fungsi Petugas Surveilance pada Seksi Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Dinas Kesehatan Kota Medan
1.
Uraian tugas seksi pengendalian dan pemberantasan penyakit di Dinas Kesehatan
Kota Medan tahun 2010 terdiri dari :
2.
Penyiapan rencana, program dan kegiatan seksi pengendalian dan
pemberantasan penyakit.
3.
Penyusunan bahan petunjuk teknis lingkup pengendalian dan pemberantasan
penyakit.
4.
Penyiapan bahan dan data penyelenggaraan pengendalian surveilance epidemiologi, pengendalian penyakit menular langsung, pengendalian penyakit bersumber binatang, pengendalian penyakit tidak menular,
imunisasi, kesehatan mata dan penyelidikan kejadian luar biasa (KLB).
5.
Penyiapan bahan monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas.
2.
Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh kepala bidang sesuai dengan tugas
dan fungsinya.
Uraian Tugas dan Fungsi Petugas Surveilance 1.
di Puskesmas:
Pengumpulan dan pengolahan data
Unit surveilance Puskesmas mengumpulkan dan mengolah data Surveilance
Terpadu Penyakit (STP) Puskesmas harian bersumber dari register rawat jalan
dan register rawat inap di Puskesmas dan Pusksmas Pembantu, tidak termasuk
2. Analisis serta rekomendasi tindak lanjut
3.
Unit surveilance Puskesmas melaksanakan analisis bulanan terhadap penyakit potensial KLB di daerahnya dalam bentuk tabel menurut desa / kelurahan dan
grafik kecenderungan penyakit mingguan, kemudian menginformasikan
hasilnya kepada Kepala Puskesmas, sebagai pelaksanaan pemantauan wilayah
setempat (PWS) atau sistem kewaspaan dini penyakit peningkatan jumlah
penderita penyakit potensial KLB tertentu.
Umpan balik
4.
Unit surveilance Puskesmas mengirim umpan balik bulanan absensi laporan dan permintaan perbaikan data ke Puskesmas Pembantu di daerah kerjanya.
Laporan
Setiap minggu, Puskesmas mengirim data PWS penyakit potensial KLB ke
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagaimana formulir PWS KLB.
2.4. Penyakit Rabies 2.4.1. Definisi
Rabies telah dikenal sejak zaman dahulu dan dinilai sangat penting sehingga
dicatat pada salah satu prasasti yang dibuat pada zaman kekuasaan raja Hammurabi
(2300 SM). Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit infeksi akut (bersifat
zoonosis) pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies dan ditularkan
diakhiri dengan kematian pada hewan dan manusia bila telah menunjukkan gejala
klinis (Depkes, 2000).
Rabies merupakan zoonosis yang penting karena anjing selalu dekat kepada manusia sebagai hewan peliharaan. Penyakit ini hampir selalu menimbulkan
kematian dan kerugian ekonomi yang besar (Soejoedono, 2004). Menurut Hubbert
(2006) rabies atau dikenal juga dengan istilah penyakit anjing gila adalah penyakit
infeksi yang bersifat akut pada susunan saraf. Rabies (penyakit anjing gila) adalah
penyakit hewan yang disebabkan oleh virus, bersifat akut serta menyerang susunan
saraf pusat. Hewan berdarah panas dan manusia. Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dan menyebabkan kematian
pada manusia dengan CFR (Case Fatality Rate) 100%. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan disebarkan melalui luka gigitan atau
jilatan.
Pengertian dari Penyakit anjing gila atau yang dikenal dengan penyakit Rabies
merupakan penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus
rabies. Penyakit anjing gila ini mempunyai sifat zoonotik yaitu penyakit yang dapat ditularkan dari hewan pada manusia. Penyakit
kepada manusia melalui gigitan (Depkes, 2009).
2.4.2. Penyebab Rabies
Penyebab rabies adalah virus famili Rhabdoviridae yang termasuk dalam golongan ordo Mononegavirales, genus Lyssavirus (Greek lyssa : rabies). Lyssavirus
virus (LBV); 3. Mokola virus (MOKV); 4. Duvenhage virus (DUVV); 5. European bat lyssavirus 1 (EBLV-1); 6. European bat lyssavirus 2 (EBLV-2); dan 7.
Australianbat lyssavirus (ABLV) (WHO, 2005 b).
Virus rabies ini berbentuk seperti peluru (bahasa Yunani : rhabdo= bentuk
batang ), dengan ukuran panjang sekitar 180 x 10-7 mm dan lebar 65 x 10-7 mm di
bawah mikroskop elektron. Pada lapisan permukaan virus ini terdapat envelope yang tersusun atas 50% lemak dan 50% protein tergolong RNA. Virus ini sensitif dengan
pelarut lemak (larutan sabun, eter, kloroform, aseton), etanol 45-70% dan preparat iodine (Meslin, 1994). Virus rabies dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas, dan pada hampir semua kejadian infeksinya akan berakhir dengan kematian
(Fenner,1995).
2.4.3. Cara Penularan Rabies
Air liur hewan positif rabies yang mengandung virus menularkan virus
melalui gigitan atau cakaran. Sekitar 70 % anjing yang tertular rabies mengandung
virus di dalam salivanya. Meskipun jarang, infeksi juga dapat terjadi lewat kulit yang lecet atau conjuntiva yang kontak lewat saliva. Pada gua kelelawar yang mengandung virus rabies dalam jumlah sangat tinggi, penyebaran melalui udara pernah dilaporkan
terjadi. Penularan rabies melalui transplantasi organ (cornea) dari orang yang meninggal karena penyakit sistem saraf pusat yang tidak terdiagnosa sebelumnya
2.4.4. Masa Inkubasi Rabies
Masa inkubasi sangat tergantung dari tingkat keparahan luka, lokasi luka yang
erat kaitannya dengan kepadatan jaringan saraf di lokasi luka dan jarak luka dari otak.
Masa inkubasi rabies bervariasi sekitar 10 hari sampai 6 bulan. Biasanya berlangsung
antara 3-8 minggu. Masa inkubasi akan semakin pendek jika gigitan semakin dekat
dengan kepala. Gigitan di daerah kepala mempunyai masa inkubasi sekitar antara 30 – 48 hari, sedangkan gigitan di daerah tangan 40-59 hari (Schnurrenberger, 1991).
Masa inkubasi lebih pendek pada anak-anak, karena anak-anak umumnya terkena
gigitan di daerah kepala dan leher (Bell, 1995).
2.4.5. Gejala Rabies
1. Hewan
Ada 2 (dua) bentuk rabies pada hewan terutama anjing, yakni dumb rabies (bentuk tenang) dan furious rabies (bentuk ganas/beringas). Hewan yang terjangkit rabies menunjukkan gejala umum dengan adanya kelainan pada tingkah laku. Anjing
yang biasanya galak dapat tampak kehilangan sifat galak, sedangkan anjing yang
semula sangat jinak cenderung bersembunyi (menyendiri) dan menjadi galak. Pada
tipe rabies ganas, hewan tidak menuruti lagi perintah pemilik dan terlihat air liur yang
keluar berlebihan. Hewan menjadi ganas, menyerang atau menggigit apa saja yang
ditemui dan ekornya dilengkungkan ke bawah perut diantara dua paha. Terjadi
kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari sejak timbul gejala
dijumpai pada anjing, kucing dan kuda dibanding sapi dan spesies hewan
laboratorium (Fenner,1995).
Pada tipe rabies tenang, hewan bersembunyi ditempat gelap dan sejuk.
Kejangkejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat. Kelumpuhan terjadi
sehingga tidak mampu menelan. Mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan.
Kematian terjadi dalam waktu singkat (Soeharsono 2002).
2. Manusia
Pada manusia untuk mengetahui tanda-tanda rabies, yang pertama harus
diperhatikan adalah riwayat gigitan oleh hewan seperti anjing atau hewan penular
rabies (HPR) lainnya. Berdasarkan diagnosa klinik gejala klinis rabies terbagi
menjadi 4 stadium (Depkes, 2007a), yaitu :
a. Stadium Prodromal
Gejala-gejala awal berupa demam, mual, malaise dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.
b. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka.
Kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi berlebihan terhadap
rangsangan sensorik. c. Stadium Excitasi
Tonus otot-otot dan aktifitas simpatis jadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis,
hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi. Bersamaan dengan stadium
ialah adanya bermacam-macam fobi, yang sangat terkenal diantaranya ialah
hidrofobi.
Pada stadium ini dapat terjadi apnoe, sianosis, konvulsi dan takikardi. Tindak tanduk penderita menjadi maniakal. Gejala-gejala excitasi ini dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal.
d. Stadium Paralisis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium excitasi. Kadang kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala excitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang, yang memperlihatkan gejala paralysis otot-otot pernafasan.
2.4.6. Sejarah Rabies di Indonesia
Rabies merupakan penyakit zoonosis yang telah lama ada di Indonesia dan telah menyebar ke berbagai propinsi. Kejadian rabies pertama kali dilaporkan terjadi
pada seekor kerbau oleh J.W. Esser (1884), kemudian dilaporkan oleh Penning yang
terjadi pada seekor anjing di Jawa Barat (1889), dan kejadian rabies pada manusia
dilaporkan pertama kali oleh Eilers de Zhaan pada tahun 1894 (Depkes, 2007a).
Setelah Perang Dunia ke-II kasus rabies di Indonesia ditemukan di Jawa Barat
(1948), Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956),
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), DI Aceh
(1970), Jambi dan Yogyakarta (1971). Soeharso (2002), menuliskan pada tahun 1972
ditemukan kasus pertama rabies di DKI Jakarta. Kasus pertama rabies di Bengkulu
rabies kembali meluas ke Propinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1983 dan pada
akhir tahun 1997, wabah rabies muncul di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara
Timur (Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Utara, 2006b).
2.5. Landasan Kerjasama
Program pembebasan rabies merupakan Kesepakatan Nasional dan
merupakan kerjasama kegiatan 3 (tiga) Departemen, yaitu Departemen Pertanian
(Direktorat Jenderal Peternakan), Departemen Dalam Negeri (Direktorat Jenderal
Pembinaan Umum dan Otonomi Daerah) dan Departemen Kesehatan (Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman)
dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Nomor: 279A/Men.Kes/SK/VIII/
1978,
Nomor: 522/Kpts/Um/8/78 dan Nomor: 143 Tahun 1978 yang dikeluarkan
tanggal 15 Agustus 1978. Program ini dimulai pada Pelita V (1989 - 1993) di Pulau
Jawa dan Kalimantan dan kemudian pada Pelita VI (1994-1998) diperluas ke semua
pulau tertular yaitu Pulau Sumatera dan Sulawesi.
2.6. Metode Pencegahan Penyebaran dan Eliminasi Agen Penyebab
Metode awal untuk mencegah penyebaran rabies dan eliminasi agen penyebab
secara alamiah, adalah dengan cara sedapat mungkin menghindari gigitan, baik dari
anjing peliharaan apalagi gigitan anjing liar atau yang diliarkan. Pendekatan ini
terutama harus diterapkan pada anak-anak dan remaja yang berpotensi mendapat
yang berpotensi untuk berkumpul dan bertemunya anjing, sekaligus akan mengurangi
atau meniadakan kesempatan kontak antar anjing.
Sasaran pemberantasan penyakit rabies ditujukan terhadap anjing atau hewan
penular rabies (HPR) yang tidak diketahui status vaksinasinya, baik anjing peliharaan
maupun anjing liar. Berdasarkan laporan penelitian tentang Analisis Epidemiologi
Data Surveillance Rabies di Indonesia oleh Padri dkk (1986), diketahui adanya korelasi antara jumlah penduduk, jenis kelamin dan golongan umur, orang yang
mendapat vaksin anti rabies, total gigitan, populasi anjing, jumlah anjing menggigit,
jumlah spesimen diperiksa, jumlah spesimen yang positif dan jumlah hewan yang
divaksinasi dengan prevalensi rabies.
Pada suatu daerah atau pulau yang bebas rabies kemungkinan hewan
terjangkit rabies bisa saja terjadi, karena masuknya anjing atau hewan penular rabies
(HPR) dari daerah tertular. Untuk melindungi daerah yang bebas rabies, tindakan
pengawasan lalu lintas anjing dan hewan penular rabies yang masuk dari luar secara
ketat harus dilakukan dengan konsisten.
Luas daerah rawan bergantung kepada faktor-faktor seperti jumlah dan spesies
hewan tertular dan hewan kontak, lokasi geografis, lalu lintas anjing dan HPR lainnya
yang diketahui maupun yang tidak terawasi. Arus lalu lintas yang tidak terawasi
adalah aspek kritis bagi pengendalian rabies di daerah. Dalam skala praktis di
lapangan, daerah (desa, kecamatan, kabupaten) yang bersinggungan/berbatasan
Setiap anjing dan HPR yang menggigit harus dianggap sebagai hewan tertular
atau tersangka rabies. Tindakan observasi selama 10-14 hari harus diterapkan.
Apabila hasil observasi negatif, pemusnahan paska observasi dapat dilaksanakan
berdasarkan kondisi-kondisi tertentu seperti atas permintaan pemilik atau kondisi
anjing sudah tidak layak untuk dipelihara lebih lanjut. Semua anjing dan HPR lain
yang berada di wilayah administratif daerah yang terjadi wabah dinyatakan sebagai
hewan tertular rabies sah dijadikan sasaran eliminasi. Hewan yang masuk dari luar ke
dalam daerah wabah, terutama yang masuk secara ilegal dapat pula menjadi target
pemusnahan. Pemusnahan dilakukan terutama terhadap anjing, kucing dan kera yang
mempunyai potensi sangat besar dalam menularkan dan menyebarkan rabies (Dinas
Peternakan Propinsi Sumatera Utara, 2006).
Hewan-hewan yang kontak dengan penderita rabies bisa saja menimbulkan
masalah yang lebih besar daripada hewan tertular. Tanda-tanda klinis dari hewan
tertular dapat terlihat setelah beberapa jam, beberapa hari, satu minggu atau paling
lama dua minggu (Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Utara, 2006b). Keunikan
rabies adalah masa inkubasi penyakit ini cukup lama, dari beberapa minggu sampai
beberapa bulan. Sehingga, seseorang bisa saja membawa anjing yang diperkirakan
sehat sementara sudah terdapat virus rabies dalam tubuhnya dari daerah tertular.
Tindakan karantina untuk memudahkan observasi, baik untuk hewan-hewan
yang kontak dengan penderita rabies maupun anjing atau HPR lain yang menggigit,
merupakan prosedur yang harus ditempuh sampai diperoleh kepastian bahwa hewan
rabies maupun anjing yang menggigit sama sekali tidak boleh dibunuh sebelum hasil
observasi dikeluarkan. Dengan pola inilah rabies menyebar dari satu propinsi ke
propinsi lain (Soedarsono, 2003).
Kasus rabies dipastikan maka suatu langkah yang cepat harus dilakukan untuk
menetapkan daerah tertular (DT) dan daerah rawan (DR) yang mengelilingi DT,
dengan merujuk dan mempedomani secara ketat ketentuanketentuan yang berlaku
secara nasional. Keberadaan DT berlaku hanya sampai dinyatakan bahwa anjing liar
di daerah tertular sudah dimusnahkan, daerah tersebut kemudian didesinfeksi dan
HPR peliharaan lainnya di DT divaksinasi. Tidak ada lalu lintas HPR dan hewan
yang tidak di vaksinasi masuk maupun keluar DT. Setelah kasus rabies dapat
dihilangkan dari DT dan hewan-hewan peka lainnya telah divaksinasi, maka DT bisa
diturunkan menjadi DR dan hewan yang ada di DT tersebut tetap berada di bawah
pengawasan dan kontrol yang ketat petugas Dinas Peternakan setempat.
Anjing yang menggigit di daerah wabah dianggap telah tertular sehingga
harus ditangkap dan dibunuh. Khususnya kalau anjing itu anjing, liar atau diliarkan.
Kepala atau otak langsung dikirim ke laboratorium untuk menegakkan diagnosa. Hal
ini dimaksudkan untuk melindungi jiwa manusia dan sekaligus mengurangi korban.
Apabila anjing tersebut ada pemiliknya perlu dilihat catatan atau informasi mengenai
vaksinasinya. Tindakan terhadap hewan berpemilik yang telah divaksin apabila
menggigit/mencakar dan terhadap hewan berpemilik yang kontak dengan hewan
tertular rabies adalah: Isolasi dan observasi selama 14 hari, jika dalam masa observasi
dimusnahkan. Jika dalam masa observasi anjing mati, otaknya harus dikirim ke
laboratorium untuk peneguhan diagnosa rabies.
Tindakan terhadap hewan berpemilik yang tidak divaksin apabila
menggigit/mencakar adalah isolasi dan observasi selama 14 hari. Jika dalam masa
observasi anjing/kucing tetap hidup dibebaskan, Jika dalam masa observasi
anjing/kucing mati maka otaknya harus dikirim ke laboratorium untuk meneguhkan
diagnosa rabies.
Tindakan terhadap hewan yang tidak ada pemiliknya apabila
menggigit/mencakar adalah anjing dibunuh dan spesimen otak dikirim ke laboratorium untuk meneguhkan diagnosa rabies. (Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Utara, 2006b). Bertitik tolak dari langkah operasional pelaksanaan
pembebasan rabies menurut Departemen Peternakan R.I (2006), salah satu kegiatan
yang dilakukan adalah penertiban dan pengawasan pemeliharaan anjing dengan
menetapkan beberapa ketentuan, yaitu :
1. Setiap anjing berpemilik harus divaksinasi.
2. Bagi anjing berpemilik yang tidak divaksinasi dilakukan eliminasi.
3. Anjing dipelihara di halaman dan tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran.
4. Bila rumah tidak berpagar rapat, anjing harus diikat dengan rantai yang
panjangnya tidak lebih dari 2 m.
5. Anjing yang sudah divaksinasi diberi tanda.
6. Apabila hendak dibawa keluar halaman, anjing harus diikat dengan rantai/tali
7. Pemilik anjing wajib mendaftarkan anjingnya pada ketua RT dan wajib
melakukan vaksinasi rabies terhadap anjingnya secara teratur setiap tahun
2.7. Pokok-pokok Kegiatan Sektor Kesehatan
2.7.1. Pencegahan Rabies setelah Gigitan Hewan Penular Rabies
Setiap ada kasus gigitan hewan penular rabies harus ditangani dengan cepat
dan sesegera mungkin. Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang masuk pada
luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air
(sebaiknya air mengalir) dengan sabun atau detergen selama 10-15 menit, kemudian
diberi antiseptik (alkohol 70%, betadine, jodium).
Pencucian luka menurut keterangan penderita sudah dilakukan namun di
Puskesmas Pembantu/Puskesmas/Rumah Sakit harus dilakukan kembali pencucian
luka seperti di atas. Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan
situasi yang tidak terlalu erat dan tidak menghalangi pendarahan dan drainase. Bila memang perlu sekali untuk dijahit dengan alasan kosmetik dan dukungan jaringan.
Jahitan dilakukan setelah pemberian Serum Anti Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikkan di sekitar luka. Disamping itu harus dipertimbangkan pula perlu
tidaknya pemberian serum/vaksin anti tetanus, anti biotik untuk mencegah infeksi dan
pemberian analgetik (Depkes, 2007a).
2.7.2. Pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies
Pemberian vaksin anti rabies (VAR) disertai serum anti rabies (SAR) harus
bentuk paparan (kontak/jilatan/gigitan), lokasi kejadian (di daerah bebas / tertular /
terancam), apakah di dahului tindakan provokatif/tidak), apakah hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies, hewan yang menggigit (hilang/lari/dibunuh),
hewan yang menggigit mati (tetapi masih diragukan menderita rabies), penderita
pernah mendapat vaksin anti rabies (kapan) dan hewan yang menggigit pernah
mendapat VAR (kapan).
Pada luka gigitan sebaiknya dilakukan identifikasi luka dengan resiko tinggi ;
jilatan / luka pada mukosa, luka di atas daerah bahu (muka, kepala, leher), luka pada jari tangan, kaki, genitalia, luka yang lebar/ dalam dan banyak (multiple). Terhadap luka resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Pada luka resiko rendah yaitu jilatan
pada kulit luka, lecet akibat garukan atau luka kecil di sekitar tangan, badan dan kaki,
hanya diberikan VAR saja. Apabila terjadi kontak (dengan air liur hewan tersangka
rabies/hewan rabies atau penderita rabies), tetapi tidak ada luka, kontak tak langsung,
tidak ada kontak, maka tidak perlu diberikan pengobatan VAR maupun SAR
(Depkes, 2007a).
2.8. Landasan Teori
Gibson (1996), menyatakan terdapat tiga kelompok variabel yang
memengaruhi kinerja dan perilaku yaitu: (1) variabel individu, yang meliputi
kemampuan dan keterampilan, fisik maupun mental, latar belakang, pengalaman dan
demografi, umur dan jenis kelamin, asal usul dan sebagainya. Kemampuan dan
demografi mempunyai hubungan tidak langsung pada perilaku dan kinerja, (2)
variabel organisasi, yakni sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain
pekerjaan, (3) variabel psikologis, yakni persepsi, sikap, kepribadian, belajar,
kepuasan kerja dan motivasi.
Kinerja merupakan suatu kesuksesan di dalam melaksanakan suatu pekerjaan.
Kinerja sendiri dalam pekerjaan yang sesungguhnya tergantung kepada kombinasi
antara kemampuan dan iklim kerja yang mendukungnya (Prihadi, 2004).
Menurut Muchlas (2004), terdapat 3 domain yang memengaruhi seorang
berpersepsi terhadap tugas yang diembannya antara lain: (1) persyaratan tugas, model
karakteristik pekerjaan dan ciri persyaratan tugas itu, (2) mempertimbangkan jumlah
produk yang dihasilkan dalam waktu tertentu di