• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Penyakit Rabies

Rabies telah dikenal sejak zaman dahulu dan dinilai sangat penting sehingga dicatat pada salah satu prasasti yang dibuat pada zaman kekuasaan raja Hammurabi (2300 SM). Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit infeksi akut (bersifat zoonosis) pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies dan ditularkan melalui gigitan hewan penular terutama anjing, kucing dan kera. Penyakit ini selalu

diakhiri dengan kematian pada hewan dan manusia bila telah menunjukkan gejala klinis (Depkes, 2000).

Rabies merupakan zoonosis yang penting karena anjing selalu dekat kepada manusia sebagai hewan peliharaan. Penyakit ini hampir selalu menimbulkan kematian dan kerugian ekonomi yang besar (Soejoedono, 2004). Menurut Hubbert (2006) rabies atau dikenal juga dengan istilah penyakit anjing gila adalah penyakit infeksi yang bersifat akut pada susunan saraf. Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus, bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat. Hewan berdarah panas dan manusia. Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case Fatality Rate) 100%. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan disebarkan melalui luka gigitan atau jilatan.

Pengertian dari Penyakit anjing gila atau yang dikenal dengan penyakit Rabies merupakan penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit anjing gila ini mempunyai sifat zoonotik yaitu penyakit yang dapat ditularkan dari hewan pada manusia. Penyakit kepada manusia melalui gigitan (Depkes, 2009).

2.4.2. Penyebab Rabies

Penyebab rabies adalah virus famili Rhabdoviridae yang termasuk dalam golongan ordo Mononegavirales, genus Lyssavirus (Greek lyssa : rabies). Lyssavirus

virus (LBV); 3. Mokola virus (MOKV); 4. Duvenhage virus (DUVV); 5. European bat lyssavirus 1 (EBLV-1); 6. European bat lyssavirus 2 (EBLV-2); dan 7.

Australianbat lyssavirus (ABLV) (WHO, 2005 b).

Virus rabies ini berbentuk seperti peluru (bahasa Yunani : rhabdo= bentuk batang ), dengan ukuran panjang sekitar 180 x 10-7 mm dan lebar 65 x 10-7 mm di bawah mikroskop elektron. Pada lapisan permukaan virus ini terdapat envelope yang tersusun atas 50% lemak dan 50% protein tergolong RNA. Virus ini sensitif dengan pelarut lemak (larutan sabun, eter, kloroform, aseton), etanol 45-70% dan preparat iodine (Meslin, 1994). Virus rabies dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas, dan pada hampir semua kejadian infeksinya akan berakhir dengan kematian (Fenner,1995).

2.4.3. Cara Penularan Rabies

Air liur hewan positif rabies yang mengandung virus menularkan virus melalui gigitan atau cakaran. Sekitar 70 % anjing yang tertular rabies mengandung virus di dalam salivanya. Meskipun jarang, infeksi juga dapat terjadi lewat kulit yang lecet atau conjuntiva yang kontak lewat saliva. Pada gua kelelawar yang mengandung virus rabies dalam jumlah sangat tinggi, penyebaran melalui udara pernah dilaporkan terjadi. Penularan rabies melalui transplantasi organ (cornea) dari orang yang meninggal karena penyakit sistem saraf pusat yang tidak terdiagnosa sebelumnya kemungkinan dapat menularkan rabies kepada penerima organ tadi (Chin, 2000).

2.4.4. Masa Inkubasi Rabies

Masa inkubasi sangat tergantung dari tingkat keparahan luka, lokasi luka yang erat kaitannya dengan kepadatan jaringan saraf di lokasi luka dan jarak luka dari otak. Masa inkubasi rabies bervariasi sekitar 10 hari sampai 6 bulan. Biasanya berlangsung antara 3-8 minggu. Masa inkubasi akan semakin pendek jika gigitan semakin dekat dengan kepala. Gigitan di daerah kepala mempunyai masa inkubasi sekitar antara 30 – 48 hari, sedangkan gigitan di daerah tangan 40-59 hari (Schnurrenberger, 1991). Masa inkubasi lebih pendek pada anak-anak, karena anak-anak umumnya terkena gigitan di daerah kepala dan leher (Bell, 1995).

2.4.5. Gejala Rabies

1. Hewan

Ada 2 (dua) bentuk rabies pada hewan terutama anjing, yakni dumb rabies (bentuk tenang) dan furious rabies (bentuk ganas/beringas). Hewan yang terjangkit rabies menunjukkan gejala umum dengan adanya kelainan pada tingkah laku. Anjing yang biasanya galak dapat tampak kehilangan sifat galak, sedangkan anjing yang semula sangat jinak cenderung bersembunyi (menyendiri) dan menjadi galak. Pada tipe rabies ganas, hewan tidak menuruti lagi perintah pemilik dan terlihat air liur yang keluar berlebihan. Hewan menjadi ganas, menyerang atau menggigit apa saja yang ditemui dan ekornya dilengkungkan ke bawah perut diantara dua paha. Terjadi kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari sejak timbul gejala atau paling lama 12 hari setelah penggigitan. Bentuk ganas/beringas lebih banyak

dijumpai pada anjing, kucing dan kuda dibanding sapi dan spesies hewan laboratorium (Fenner,1995).

Pada tipe rabies tenang, hewan bersembunyi ditempat gelap dan sejuk. Kejangkejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat. Kelumpuhan terjadi sehingga tidak mampu menelan. Mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan. Kematian terjadi dalam waktu singkat (Soeharsono 2002).

2. Manusia

Pada manusia untuk mengetahui tanda-tanda rabies, yang pertama harus diperhatikan adalah riwayat gigitan oleh hewan seperti anjing atau hewan penular rabies (HPR) lainnya. Berdasarkan diagnosa klinik gejala klinis rabies terbagi menjadi 4 stadium (Depkes, 2007a), yaitu :

a. Stadium Prodromal

Gejala-gejala awal berupa demam, mual, malaise dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.

b. Stadium Sensoris

Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka. Kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi berlebihan terhadap rangsangan sensorik.

c. Stadium Excitasi

Tonus otot-otot dan aktifitas simpatis jadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis,

hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi. Bersamaan dengan stadium

ialah adanya bermacam-macam fobi, yang sangat terkenal diantaranya ialah

hidrofobi.

Pada stadium ini dapat terjadi apnoe, sianosis, konvulsi dan takikardi. Tindak tanduk penderita menjadi maniakal. Gejala-gejala excitasi ini dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal.

d. Stadium Paralisis

Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium excitasi. Kadang kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala excitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang, yang memperlihatkan gejala paralysis otot-otot pernafasan.

2.4.6. Sejarah Rabies di Indonesia

Rabies merupakan penyakit zoonosis yang telah lama ada di Indonesia dan telah menyebar ke berbagai propinsi. Kejadian rabies pertama kali dilaporkan terjadi pada seekor kerbau oleh J.W. Esser (1884), kemudian dilaporkan oleh Penning yang terjadi pada seekor anjing di Jawa Barat (1889), dan kejadian rabies pada manusia dilaporkan pertama kali oleh Eilers de Zhaan pada tahun 1894 (Depkes, 2007a).

Setelah Perang Dunia ke-II kasus rabies di Indonesia ditemukan di Jawa Barat (1948), Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), DI Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta (1971). Soeharso (2002), menuliskan pada tahun 1972 ditemukan kasus pertama rabies di DKI Jakarta. Kasus pertama rabies di Bengkulu dan Kalimantan Timur (1974), Riau (1975) dan Kalimantan Tengah (1978). Penyakit

rabies kembali meluas ke Propinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1983 dan pada akhir tahun 1997, wabah rabies muncul di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Utara, 2006b).

Dokumen terkait