• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi dan waktu

Lokasi penelitian berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciambulawung yang secara administratif terletak di Desa Hegarmanah, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. DAS Ciambulawung mempunyai luas sekitar 554,73 Ha, dan secara geografis terletak antara 6º18'-7º00' Lintang Selatan dan 105º25'-106º30' Bujur Timur.

Selain di lapangan, penelitian ini juga dilakukan di laboratorium, yaitu di Laboratorium Fisika Tanah, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBPPSDLP), Kementrian Pertanian di Bogor, untuk analisis sifat fisik tanah. Sedangkan untuk analisis data spasial dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial (PJIS), Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (DITSL), Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pengukuran curah hujan di lapangan dilakukan selama satu tahun dari Januari 2011 hingga Desember 2011. Kerja lapang dilakukan dua kali, yaitu pada musim penghujan dari tanggal 6 hingga 11 Februari 2011 dan pada musim kemarau dari tanggal 26 hingga 30 Juli 2011. Analisis contoh tanah dilakukan dari tanggal 13 hingga 27 Maret 2011, sedangkan analisis dari keseluruhan data dilakukan pada bulan Desember 2011 hingga Februari 2012.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer yang digunakan adalah data tanah yang diambil di lapangan, dan data curah hujan tahun 2011. Adapun data sekunder yang dipergunakan diambil dari berbagai sumber seperti citra SRTM, citra dari GoogleEarth tahun 2010, citra ALOS-AVNIR, peta geologi digital (skala 1:100.000) dariPusat Penelitian dan Penggembangan Geologi tahun 1998.

Alat yang digunakan di lapangan antara lain adalah GPS, kompas, peta kerja (hasil interpretasi), ring sample, current meter, cangkul, cutter, balok kayu, bor belgi, plastik, label, dan alat tulis serta alat penangkar hujan sederhana. Perangkat yang digunakan untuk pengolahan data spasial adalah seperangkat komputer dengan software pengolah citra dan GIS (Global Mapper v.12., dan ArcGIS 9.3).

Metode

Pelaksanaan penelitian ini dibagi menjadi lima tahap, yaitu : persiapan, pengolahan data, survei lapang, analisis data, dan penulisan laporan. Pada Tahap persiapan dilakukan studi pustaka tentang daerah penelitian dan literatur yang berkaitan dengan topik penelitian. Selain itu juga dilakukan pengumpulan data sekunder seperti peta topografi, peta penggunaan lahan, peta geologi, dan data lain yang menunjang penelitian ini.

Dilanjutkan dengan tahap pengolahan data yang terdiri dari pengolahan data spasial dan tabular. Pengolahan data spasial mencakup proses pembuatan peta DAS Ciambulawung dan interpretasi citra yang menghasilkan peta-peta tentatif seperti bentuklahan, kemiringan lereng, penggunaan lahan dan rencana titik lokasi pengambilan contoh tanah. Untuk klasifikasi bentuklahan mengacu pada metode Van Zuidam (1985), sedangkan interpretasi bentuklahan dilakukan secara visual di atas citra dan digitasi secara on screen melalui citra SRTM. Untuk interpretasi bentuklahan ini dibantu dengan informasi-informasi geologis dan topografis. Metode yang digunakan untuk interpretasi penutupan/penggunaan lahan juga secara visual dan digitasi juga secara on screen dari citra GoogleEarth tahun 2010 dengan menggunakan software GIS. Peta kemiringan lereng dihasilkan dari pengolahan data SRTM menjadi peta kontur dengan software Global Mapper v.12. Dengan software ArcGIS v.12 data kontur selanjutnya diklasifikasi menjadi 6 kelas kemiringan lereng yang mengacu pada sistem klasifikasi USDA seperti yang digunakan oleh Van Zuidam (1985) untuk analisis terrain. Semua data ini dipersiapkan untuk kerja lapangan.

Pengolahan data tabular mencakup perhitungan untuk menentukan nilai koefisien limpasan (C) dan bilangan kurva limpasan (CN) yang digunakan untuk pendugaan nilai debit dan volume puncak aliran permukaan. Metode klasifikasi C dan CN akan mengacu pada metode Schwab et al. (1981) dan SCS (1972) dalam Arsyad (2006), adapun data yang diperlukan meliputi data penggunaan lahan dan sifat fisik tanah (lihat Tabel Lampiran 3 dan 4).

Pada Tahap survei lapang selain dilakukan cek lapangan terhadap hasil interpretasi (peta bentuklahan, peta penggunaan lahan, peta lereng) juga dilakukan pengambilan data primer berupa contoh tanah dan curah hujan yang berasal dari 5

stasiun/penangkar hujan yang tersebar di sekitar kampung Lebak Picung (Gambar 7). Metoda pengambilan contoh tanah dilakukan secara toposkuen, yaitu melalui transek dari lereng puncak ke lereng kaki dan transek ini dipilih berdasarkan keragaman bentuklahan, topografi, penggunaan lahan, dan formasi geologi. Untuk klasifikasi jenis tanah dilakukan dengan melihat kondisi morfologi tanah (lapisan, tekstur, struktur, warna, pH,dan lainnya) yang mengacu pada klasifikasi Soil Taksonomy USDA.

Gambar 7. Salah satu contoh alat penakar hujan sederhana yang digunakan di lapangan

Tahap analisis data mencakup pekerjaan yang dapat menghasilkan informasi baru, antara lain: (1) pembuatan peta satuan lahan (land unit) yang dihasilkan dari analisis bentuklahan dan kemiringan lereng, (2) analisis curah hujan yang dilakukan untuk mengetahui intensitas hujan, dan (3)analisis sifat fisik tanah (Tabel 1). Dari data dan informasi yang dihasilkan selanjutnya dapat dilakukan analisis lanjutan untuk mendapatkan nilai pendugaan debit dan volume puncak aliran permukaan dan juga kecocokan penggunaan lahan.

Tabel 1. Metode dan Alat untuk Analisis Sifat Fisik Tanah. No Sifat Fisik

Tanah Metode Alat

1. Permeabilitas Dalam Keadaaan Jenuh (De Dooth)

Permeameter

2. Nilai pF Ricard dan Fireman (1943) Pressure Plate Apparatus dan Pressure membrane Apparatus 3. Bobot Isi Ring contoh (core) Ring sampel dan oven

Untuk analisis curah hujan digunakan data primer yang diperoleh dari alat penakar hujan sederhana yang dipasang di daerah penelitian, tersebar di lima titik yang berjauhan, dan pada lahan terbuka yang tidak terganggu oleh kanopi. Volume air hujan yang tertampung dari setiap harinya dianalisis untuk mengetahui besaran curah hujan dan intensitas curah hujan di wilayah setempat. Metode yang digunakan dalam analisis ini yaitu metode aritmatik dan metode Mononobe (Sosrodarsono dan Takeda, 1978).

₂₄

= �

R = Curah hujan harian, 24 jam (cm) V = Volume air hujan harian(cm³)

L = Luas penampang penamgkar hujan (cm)

=

₂₄

24

24

2/3

r = Intensitas curah hujan rata-rata selama waktu tiba dari banjir (mm/jam)

t = Lama curah hujan atau waktu tiba dari banjir (jam) Metode Kirpich (1940) dalam Arsyad (2000) :

t = 0,0195 L0,77S - 0,385

t = Lama curah hujan atau waktu tiba dari banjir (jam) L = Panjang aliran (meter)

S = Lereng daerah aliran (meter per meter)

Pendugaan nilai debit dan volume puncak/banjir aliran permukan sangat ditentukan oleh beberapa variabel seperti yang telah disebutkan di atas, antara lain penggunaan lahan, sifat fisika tanah, dan curah hujan. Untuk penilaiannya dapat digunakan beberapa metode, antara lain: metode empiris, metode rasionil, hidrograf satuan dan grafik distribusi, metode statistik dan metode kemungkinan.

Metode rasionil merupakan rumus yang paling banyak digunakan untuk kajian pendugaan debit sungai-sungai dengan daerah pengaliran yang luas, maupun untuk perencanaan drainase dengan daerah pengaliran yang relatif

sempit. Oleh karena itu pada penelitian ini akan digunakan juga metode tersebut dengan rumusan seperti berikut (Sosrodarsono dan Takeda, 1978) :

q = 0,277 C r A

q = Debit maksimum (m³/s)

C = Koefisien pengaliran/limpasan,

r = Intensitas curah hujan rata-rata selama waktu tiba dari banjir (mm/jam)

A = Daerah pengaliran (km²).

Metode untuk menentukan volume puncak aliran permukaan yang dipergunakan, antara lain : Metode hujan-infiltrasi dan Metode dinas konservasi (SCS). Untuk penelitian ini akan digunakan metode SCS dengan formulasi seperti berikut (Arsyad, 2006) :

� =

− ��

Retensi aktual (F), dengan memperhitungkan abstraksi awal (Ia) adalah : F= (P-Ia)-Q

Sehingga dengan mensubtitusikan kedua persamaan tersebut, diperoleh persamaan sebagai berikut :

= ( − ��)² ( − ��) +

Nilai Ia dapat diduga dengan baik dengan menggunakan persamaan: Ia = 0.2 S

Sehingga diperoleh rumus :

= ( −0,2 )² + 0,8

Q = Volume aliran permukaan (mm) P = Curah hujan (mm)

S=(25400/CN) - 254

S = Volume simpanan yang tersedia untuk menahan air (mm) CN = Bilangan Kurva (Curve Number) Aliran Permukaan Untuk penilaian kecocokan penggunaan lahan (fitness) akan digunakan metode analisis dari Hidiya (2011), dimana kecocokan yang dimaksud disini bukan hanya dinilai dari aspek kecocokan secara fisik terhadap kemampuan lahan untuk mendukung penggunaan lahan yang ada di atasnya, tetapi juga cocok terhadap aspek fungsi atau manfaat penggunaan lahan serta kepatutan atau estetikanya. Kecocokan penggunaan lahan ini didapat dari hasil overlay antara peta kemampuan lahan dengan peta penggunaan lahan DAS Ciambulawung tahun 2010 yang dilengkapi dengan parameter fungsi atau manfaat serta kepatutan penggunaan lahan (Tabel 2). Klasifikasi kelas kemampuan lahan akan mengacu pada metode yang dikembangkan USDA seperti yang diacu oleh Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), dan penilaiannya dilakukan melalui satuan pemetaan, yaitu satuan lahan. Formulasi penilaian kecocokan penggunaan lahan disajikan pada Tabel 3.

Suatu penggunaan lahan dikatakan cocok apabila dipandang dari aspek kemampuan lahan tidak mempunyai kendala, memiliki fungsi atau manfaat yang baik untuk lingkungan, dan memiliki kepatutan yang baik dalam arti mempunyai dampak positif atau setidaknya mempunyai dampak negatif yang tidak besar di waktu sekarang dan mendatang (nilai = 3). Jika dikatakan agak cocok maka ada salah satu kendala dari ketiga aspek tersebut (nilai = 2), kurang cocok jika ada dua aspek yang menjadi kendala (nilai = 1), dan dikatakan tidak cocok apabila semua aspek menjadi kendala (nilai = 0).

Tabel 2. Dasar Penilaian (skor) Fungsi atau Manfaat, Kepatutan atau Estetika dan Kemampuan Lahan dari Setiap Penggunaan Lahan (Hidiya, 2011).

Keterangan :1 = baik ; 0 = kurang/tidak baik Penggunaan

Lahan Fungsi/Manfaat Kepatutan/Estetika

Kelas Kemampuan Lahan I II III IV V VI VII VIII

Hutan Konservasi tanah, air, udara (penyedia oksigen), biologi

Penghias lanskap pada perbukitan/pegunungan

(penyejuk jiwa) 1 1 1 1 1 1 1 1

Kebun Campuran

Konservasi tanah, air, udara dan penghasilan

Penghias lanskap dataran/perbukitan, tidak merusak kualitas lahan

1 1 1 1 1 1 1 0

Semak Belukar

Konservasi tanah, air, udara dan penghasilan

Penghias lanskap dataran/perbukitan, tidak merusak kualitas lahan

1 1 1 1 1 1 1 0 Tanah

Terbuka

Pangan dan penghasilan Lahan dataran/perbukitan dapat dimanfaatkan sebagai alternatif sarana olahraga (Lapangan sepak bola)

1 1 1 1 1 1 0 0

Permukiman Perlindungan, kesehatan, pemerintahan, ekonomi

Pada lahan yang aman dari bahaya bencana 1 1 1 1 1 0 0 0

Sawah Pangan dan penghasilan Penghias lanskap dataran/perbukitan, aman dari bahaya bencana

Tabel 3. Formulasi Penilaian Kecocokan Penggunaan Lahan (Hidiya, 2011).

Keterangan : Nilai : 0 = tidak cocok (TC); 1 = kurang cocok (KC); 2 = agak cocok (AC); 3 = cocok (C) kl = Kemampuan Lahan; f/m = Fungsi atau Manfaat; k/e = Kepatutan atau Estetika

3 = Cocok; 2 = Agak Cocok; 1 = Kurang Cocok ; 0 = Tidak Cocok Kelas

Kemampuan Lahan

Kecocokan Penggunaan Lahan

Hutan Semak Belukar Kebun Campuran Tanah Terbuka Permukiman Sawah

kl f/m k/e Nilai kl f/m k/e Nilai Kl f/m k/e Nilai kl f/m k/e Nilai kl f/m k/e Nilai kl f/m k/e Nilai

Kelas I 1 0 0 1 1 0 1 2 1 0 1 2 1 1 1 3 1 1 1 3 1 1 1 3 Kelas II 1 0 0 1 1 0 1 2 1 0 1 2 1 1 1 3 1 1 1 3 1 1 1 3 Kelas III 1 0 1 2 1 1 1 3 1 1 1 3 1 1 1 3 1 1 0 2 1 0 1 2 Kelas IV 1 1 1 3 1 1 1 3 1 1 1 3 1 0 1 2 1 0 0 1 1 0 1 2 Kelas V 1 1 1 3 1 1 1 3 1 1 1 3 1 1 1 3 1 0 0 1 0 0 0 0 Kelas VI 1 1 1 3 1 0 1 2 1 0 1 2 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 Kelas VII 1 1 1 3 1 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Kelas VIII 1 1 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekologi bentanglahan di DAS Ciambulawung menggambarkan interaksi antara manusia dan berbagai komponen sumberdaya alam yang menghasilkan suatu kondisi kehidupan serta semberdaya wilayah, seperti tipe penggunaan lahan, aliran air permukaan, air tanah, dan sebagainya. Air merupakan sumberdaya alam penting yang dibutuhkan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Air hujan yang jatuh di dalam DAS mengalami berbagai proses sebelum dialirkan ke suatu outlet, dimana proses tersebut banyak dipengaruhi oleh kondisi bentanglahan yang dicerminkan dari bentuklahan-bentuklahan (landforms) yang menyusunnya beserta semua obyek alami dan buatan serta berbagai kegiatan manusia di atasnya. Dengan demikian besarnya jumlah air yang mengalir di sungai sebenarnya merupakan cerminan dari hasil interaksi berbagai komponen, seperti curah hujan, bentuklahan beserta aspek-aspeknya (lereng, tanah), dan penutupan atau penggunaan lahan di atasnya.

Bentuklahan (Landform) DAS Ciambulawung

Klasifikasi bentuklahan daerah penelitian dilakukan melalui citra SRTM yang dibantu dengan informasi geologis dan topografis. Interpretasi bentuklahan dilakukan secara visual di atas citra dimana digitasi dilakukan secara on screen. Seperti telah diuraikan pada Bab Kondisi Umum bahwa kondisi geomorfologi daerah penelitian lebih didominasi oleh morfologi pegunungan dan perbukitan yang tersusun oleh formasi geologi berumur Tersier (Miosen-Oligosen) sehingga telah mengalami proses denudasi lanjut.

Dari hasil interpretasi citra dan cek lapangan, didapatkan bahwa bentuklahan di daerah penelitian dapat dikelaskan menjadi 7 macam, yaitu Pegunungan Denudasional Vulkanik (DV1), Lereng Atas Pegunungan Denudasional Vulkanik (DV2), Perbukitan Denudasional Vulkanik (DV3), Punggung/Igir Perbukitan Denudasional Vulkanik (DV4), Lereng Kaki Perbukitan Denudasional Vulkanik (DV5), Lembah Sungai dan Teras Alluvial (F1), serta Dataran antar Bukit Berbatuan Sedimen (S1). Persebaran spasial dari masing- masing bentuklahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 8 sedangkan untuk luasan masing-masing disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Bentuklahan DAS Ciambulawung dan Luasannya.

Simbol Bentuklahan Luas Area

Ha %

DV1 Punggung/Igir Pegunungan Denudasional Vulkanik 124,16 22,38 DV 2 Lereng Atas Pegunungan Denudasional Vulkanik 139,68 25,18 DV 4 Punggung/Igir Perbukitan Denudasional Vulkanik 24,12 4,35

F1 Lembah Sungai & Teras Aluvial 2,27 0,41

DV 3 Perbukitan Denudasional Vulkanik 225,97 40,74 S1 Dataran antar Bukit Berbatuan Sedimen 1,95 0,35 DV 5 Lereng kaki perbukitan Denudasional Vulkanik 36,57 6,59

Luas Area Total 554,72 100

Dari Tabel 4 terlihat bahwa secara dominan bentuklahan di wilayah penelitian terbentuk oleh proses vulkanik dan berdasarkan geologinya tersusun dari batuan vulkanik tua. Hanya sebagian kecil bentuklahan yang dibentuk oleh proses deposisi, yakni berada di sekitar aliran sungai berupa lembah dan teras aluvial. Batuan sedimen Tersier (Formasi Anggota Napal) yang tersingkap di kampung Lebak Picung merupakan batuan yang paling tua di DAS Ciambulawung dan tampak sebagai batuan dasar (basement rock) dari formasi batuan vulkanik di atasnya pada saat aktivitas vulkanik masih berlangsung di wilayah ini.

Bentuklahan perbukitan dan pegunungan seperti DV3, DV2, dan DV1 berturut-turut merupakan bentuklahan yang paling dominan di daerah penelitian. Hal ini mencerminkan bahwa pergerakan aliran air di daerah penelitian yang berbukit dan bergunung tergolong dinamis, yaitu didorong oleh kondisi kemiringan lereng yang besar dan gravitasi. Bentuklahan dengan karakteristik lereng curam hingga sangat terjal seperti DV3, DV2, dan DV1 ini berpotensi menghasilkan kecepatan aliran yang tinggi dan juga kecepatan akumulasi sejumlah air hujan yang tertampung pada DAS dalam waktu yang singkat, terutama pada bentuklahan F1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masalah neraca air sesungguhnya merupakan hal penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan DAS Ciambulawung dan terutama keterkaitan antara bentuklahan dengan penutupan/penggunaan lahannya.

Gambar 8. Peta Bentuklahan DAS Ciambulawung

Penutupan/Penggunaan Lahan (Land Cover//Land Use) DAS Ciambulawung

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa penutupan lahan hutan mendominasi penggunaan lahan di daerah penelitian. Dari hasil pengamatan lapangan keberadaan hutan di wilayah ini masih terjaga dengan baik. Boleh jadi peraturan yang ada terkait dengan Taman Nasional membuat masyarakat Lebak Picung ikut menjaga wilayah TNGHS dan mempunyai kesadaran yang tinggi untuk tidak mengolah atau memanfaatkan lahan TNGHS tanpa ijin. Masyarakat lokal, khususnya warga Kampung Lebak Picung hanya memanfaatkan lahan yang telah ditetapkan sebagai hutan rakyat dan lahan-lahan yang telah digunakan oleh para leluhurnya. Akan tetapi ada yang melakukan penebangan hutan tanpa ijin dan membuka lahan hutan pada spot-spot tertentu untuk kepentingan tertentu. Namun demikian mereka yang melakukan tersebut bukanlah warga dari Lebak Picung, namun warga dari luar Desa. Gambar 9 berikut menggambarkan beberapa contoh dari kegiatan-kegiatan dimaksud di atas yang diperoleh saat survei di lapang.

(a) (b)

Gambar 9. (a) Penebangan Liar (X=650947:Y=9250920); (b) Pembukaan Hutan (X=650950:Y=9250510).

Peta penutupan/penggunaan lahan DAS Ciambulawung untuk penelitian ini dibuat melalui interpretasi citra secara visual dan dilakukan digitasi on screen pada citra GoogleEarth tahun 2010. Dari hasil digitasi, kemudian dilakukan validasi dengan kenyataan lapang. Hasil pemetaan yang dilakukan menghasilkan 6 jenis penutupan/penggunaan lahan, yaitu hutan, sawah, kebun campuran, tanah terbuka, semak-belukar, dan permukiman seperti yang terlihat pada Gambar 10 dan Tabel 5 untuk luasannya.

Tabel 5. Penggunaan Lahan DAS Ciambulawung dan Luasannya Tahun 2010.

Simbol Penggunaan Lahan Luas

Ha % H Hutan 338,55 61,03 S Sawah 23,69 4,27 Kc Kebun Campuran 157,11 28,32 Tb Tanah Terbuka 2,20 0,40 Sb Semak Belukar 32,09 5,78 P Lahan Terbangun(Permukiman) 1,08 0,19 Luas Total 554,72 100

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa hutan merupakan penutupan/penggunaan lahan terluas, yaitu meliput 338,55 Ha atau 61.03% dari total luas DAS Ciambulawung. Penutupan/penggunaan lahan terluas kedua adalah kebun campuran, seluas 157,11 Ha (28.32%), sedangkan penutupan/penggunaan lahan yang lainnya relatif kecil, seperti lahan sawah yang hanya mencapai 23,69 Ha (4.27%) atau permukiman dengan luas total hanya 1,08 Ha (0.19%). Permukiman di sini adalah kampung Lebak Picung itu sendiri yang di dalamnya terdiri dari rumah-rumah penduduk termasuk fasilitas sosial seperti Sekolah Dasar, Masjid, MCK dan lumbung-lumbung padi.

Penutupan/penggunaan lahan dalam kaitannya dengan proses hidrologi di dalam DAS mempunyai peranan sangat penting, khususnya hutan, yaitu dapat berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap percikan curah hujan secara langsung hingga berfungsi menggemburkan tanah dan kemudian meresapkan air ke dalamnya. Dalam hidrologi perbedaan tipe penutupan/penggunaan lahan diketahui banyak berpengaruh terhadap besarnya nilai debit dan volume puncak aliran sungai. Pengaruh ini disebut sebagai koefisien runoff yang akan dijelaskan secara rinci pada Sub bab selanjutnya.

Selain peta penutupan/penggunaan lahan yang diperoleh dari hasil pada penelitian ini, dikenal pula ada Peta Tata Guna Hutan Konservasi (TGHK) untuk daerah penelitian. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 282/Kpts-II/1992 tentang Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) telah dihasilkan peta batas TNGH seluas 113.357 Ha, namun pada 10 Juni 2003 SK tersebut telah diperbarui melalui SK Menteri Kehutanan dengan Nomor 175/Kpts- II/2003 tentang perubahan status TNGH menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Berdasarkan keputusan ini, wilayah TNGHS menjadi

jauh lebih luas dan belum ditetapkan luas totalnya. Konsekuensi dari SK yang baru ini adalah bahwa kampung Lebak Picung yang semula berada di luar kawasan Taman Nasional, kini menjadi bagian (berada di dalam) dari Taman Nasional (Gambar 11 dan Gambar Lampiran 1). Meskipun demikian, dimungkinkan di waktu yang akan datang akan ada kebijakan dari pemerintah yang dapat memperjelas status kampung ini.

Tabel 6 berikut memperlihatkan bahwa luasan kawasan hutan yang berada di dalam DAS Ciambulawung mencapai hampir 97 % dari luas total DAS, dan selebihnya sekitar 3 % berupa Alokasi Penggunaan Lain (APL) atau lahan budidaya. Dalam hal ini APL terdiri dari kebun campuran (1,71 %) dan semak belukar (0,73%) namun tidak tergambar di dalam peta (Gambar 11) karena luasannya relatif kecil dan tersebar.

Tabel 6. Luas Kawasan Hutan dan Alokasi Penggunaan Lain (APL) di DAS Ciambulawung sesuai dengan ketetapan baru batas Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Tahun 2003.

TGHK Penggunaan Lahan Luas

Ha % Kawasan TNGHS Hutan 538,07 96,99 Alokasi Penggunaan Lain Sawah 2,64 0,55 Kebun Campuran 9,51 1,71 Tanah Terbuka 0 0 Semak Belukar 4,07 0,73 LahanTerbangun (Permukiman) 0 0 Luas Total 554,742 100

Berdasarkan luasan hutan yang baru tersebut, kiranya diperlukan kehati- hatian dalam mengambil kesimpulan, karena jika dibandingkan dengan luas hutan aktual dari hasil pemetaan, maka terdapat selisih luas yang cukup besar. Hal ini tentu tidak dapat dikatakan bahwa telah terjadi penyempitan luas hutan, karena peta batas TNGHS adalah peta yang direncanakan (terutama hutan) jadi tidak mencerminkan luas hutan yang sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan lapangan dan wawancara dengan penduduk, dimana didapatkan informasi bahwa penyempitan hutan tidak pernah terjadi di dalam DAS Ciambulawung karena memang tidak ada kegiatan konversi hutan oleh masyarakat maupun dari pihak TNGHS. Jadi luasan hutan yang tergambar di dalam peta tidak mencerminkan luas hutan yang sesungguhnya.

Gambar 11. Peta Tata Guna Hutan Konservari TNGHS di DAS Ciambulawung Tahun 2003

Kemiringan Lereng (Slope steepness) DAS Ciambulawung

Kemiringan lereng dalam suatu wilayah merupakan faktor penting dalam kajian hidrologi. Hal ini menyangkut kondisi bidang luncur yang mempengaruhi kecepatan pergerakan air (hujan), baik di permukaan maupun di dalam tanah, dimana semakin curam suatu lereng akan menghasilkan potensi kecepatan pergerakan air di permukaan yang tinggi dan kurang memungkinkan air untuk meresap ke dalam tanah.

Peta Kemiringan Lereng yang dihasilkan dalam penelitian ini bersumber dari citra SRTM yang diolah menjadi Peta Kontur dengan software Global Mapper v.12. Dari peta kontur tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi 6 kelas yang mengacu pada sistem klasifikasi lereng USDA, seperti yang digunakan oleh Van Zuidam (1985) untuk analisis terrain. Hasil klasifikasi dan pemetaan yang dilakukan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 12 dan luasan dari masing- masing kelas lereng disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Kelas Kemiringan Lereng DAS Ciambulawung dan Luasannya.

Simbol Kemiringan Lereng (%) Luas

Ha %

Gs Datar sampai Landai (0-8) 25,38 4,58

Sl Agak Miring(8-15) 43,59 7,86

Mst Miring sampai Agak Curam (15-30) 174,73 31,50

St Curam (30-45) 207,69 37,44

Vst Sangat Curam (45-60) 77,13 13,90

Est Terjal (60-100) 26,20 4,72

Luas Total 554,72 100,00

Lereng pada kelas “curam” (30-45%) merupakan lereng yang paling dominan di DAS Ciambulawung, yakni meliput luasan sebesar 207,69 Ha atau 37,44% dari total luas wilayah penelitian. Kemudian lereng “miring sampai agak curam” yang mencapai luasan 31,50%, dan lereng “sangat curam” menempati luasan 13,90%. Untuk kemiringan-kemiringan lereng yang lainnya relatif kecil luasannya. Hal ini menandakan bahwa wilayah penelitian mempunyai topografi yang umumnya berbukit sampai bergunung, sehingga proses geomorfologis

denudasional menjadi dominan di wilayah ini. Kondisi ini menyebabkan air hujan yang jatuh di dalam DAS Ciambulawung menjadi dinamis akan mengalami pergerakan yang cepat sesuai dengan kondisi topografi melalui lereng-lereng yang curam dan pengaruh tutupan lahannya. Keadaan lereng yang demikian menjadikan proses erosi dan longsor merupakan dua proses yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan DAS, apalagi sebagian besar wilayahnya merupakan taman nasional yang berfungsi antara lain sebagai daerah pencadangan air.

Kemiringan lereng banyak menentukan besarnya daya dukung lingkungan, dan daya lingkungan tersebut merupakan hal penting dalam pengelolaan DAS. Dalam hal ini kemiringan lereng juga mempunyai peranan penting dalam memilah bentuklahan menjadi satuan-satuan lahan (land units) yang lebih rinci dan homogen. Satuan lahan sangat diperlukan untuk penilaian daya dukung lingkungan melalui kemampuan lahannya (land capability). Dalam penelitian ini penilaian kemampuan lahan DAS Ciambulawung akan dilakukan berbasis pada satuan lahan, dan hasilnya dapat digunakan untuk menilai kualitas lingkungan DAS Ciambulawung secara kualitatif melalui kecocokan penggunaan lahannya.

Satuan Lahan (Land Unit) dan Kemampuan Lahan (Land Capability) DAS Ciambulawung

Satuan lahan menggambarkan kondisi sebidang lahan yang mempunyai

Dokumen terkait