• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat Fisik dan Jenis Tanah

Sifat Fisik Tanah

Dalam penelitian ini contoh tanah utuh yang diperoleh di lapangan (Gambar 15) telah dianalisis di laboratorium untuk mengetahui sifat fisik tanahnya, yaitu meliputi bobot isi, permeabilitas, dan nilai pF. Sifat-sifat ini diperlukan untuk analisis pendugaan nilai debit dan volume puncak di DAS Ciambulawung. Pendugaan tersebut perlu mengetahui kemampuan tanah dalam menampung air dan menentukan kondisi hidrologi di suatu wilayah. Pada penelitian ini sifat fisika tanah merupakan variabel yang digunakan untuk menentukan koefisien aliran permukaan dan simpanan air tersedia di dalam tanah pada saat dilakukan pendugaan terhadap besarnya nilai debit dan volume puncak aliran permukaan. Hasil dari analisis sifat fisika tanah yang telah dilakukan disajikan pada Tabel 10 dan 11 dan pada Gambar 16.

Tabel 10. Nilai Bobot Isi Tanah di DAS Ciambulawung.

Track* ID* BD_Atas (g/cm³) BD_Bawah (g/cm³)

A 1 0,76 0,80 5 0,72 0,88 6 0,81 0,91 B 1 0,81 0,95 2 0,99 0,94 3 0,75 1,09 5 0,83 0,99 C 1 0,80 1,06 3 0,71 0,66 4 0,78 0,80 5 0,92 0,93 D 1 0,76 0,80 3 0,82 0,96 5 0,75 0,91

*Lokasi contoh tanah disajikan pada gambar 18

Tabel 11. Nilai Permeabilitas Tanah di DAS Ciambulawung. Track* Permeabilitas Atas (cm/jam) Permeabilitas Bawah (cm/jam) Rata-rata Permeabilitas Atas Rata-rata Permeabilitas Bawah A 6,6 5,5 0,6 3,7 B 0,7 0,8 2,6 3,3 5,6 2,4 7,1 10,0 4,6 7,0 C 1,6 2,1 4,7 5,4 11.9 11,3 15.5 15,1 1,7 2,1 D 13,4 15,8 10,6 8,6 6,6 5,5 3,4 7,5 5,4 3,4 5,1 5,5

0 1 2 3 4 5 0.00 20.00 40.00 60.00 pF Nilai pF Tanah Titik A Titik B Titik C Titik D 0 1 2 3 4 5 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 pF Nilai pF tanah Titik A Titik B Titik C Titik D (a) (b)

Tabel 10 menggambarkan bahwa sifat fisika tanah di DAS Ciambulawung memiliki bobot isi yang rendah (0,66-1,09 g/cm³). Angka ini masih di bawah dari nilai rata-rata tanah di lapang menurut Murtilaksono dan Wahjunie (2003) yaitu sebesar 1,3 g/cm³, kecuali tanah organik dan andisol. Selain itu antara lapisan tanah atas dan lapisan tanah bawah di DAS Ciambulawung ini juga memiliki karakteristik yang berbeda, yakni pada lapisan tanah atas memiliki bobot isi yang lebih rendah daripada lapisan tanah bawah. Hal ini menunjukkan bahwa pada lapisan tanah atas memiliki struktur remah dengan ruang pori total yang lebih besar dibandingkan dengan lapisan tanah bawah. Hal ini disebabkan bahan organik yang berasal dari sisa serasah ranting dan daun kering banyak terdekomposisi pada lapisan tanah atas yang merupakan hasil dari aktivitas dari mikroorganisme yang ada. Hasilnya air dapat terinfiltrasi dengan baik saat air jatuh di permukaan dan kemudian masuk ke lapisan atas.

Berdasarkan nilai permeabilitasnya yang diperoleh (Tabel 11), tersirat bahwa tanah-tanah di DAS Ciambulawung memiliki karakteristik yang berbeda antara lapisan tanah atas dan lapisan tanah bawah. Nilai permeabilitas pada lapisan tanah atas lebih tinggi daripada lapisan tanah bawah. Hal ini terkait dengan bobot isi yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tanah pada lapisan atas memiliki jumlah ruang pori yang lebih banyak, sehingga memudahkan perjalanan air di dalam lapisan tanah atas. Akan tetapi, jika mengacu pada klasifikasi Uhland dan O’neal tahun 1951 (Brata et al., 1980) secara umum tanah-tanah di DAS Ciambulawung tergolong mempunyai nilai pergerakan air dari kecepatan sedang hingga agak cepat pada keadaan jenuh.

Bentuk kurva pF mempunyai slope yang miring seperti yang terlihat pada Gambar 16. Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum kemampuan tanah di DAS Ciambulawung untuk mengabsorpsikan air cukup tinggi. Pada Gambar 16.b (nilai pF pada lapisan tanah bawah) menunjukkan bahwa slope yang terbentuk secara umum tampak miring namun juga lebih landai dibandingkan dengan nilai pF pada lapisan tanah atas (Gambar 16.a). Hal ini disebabkan kandungan liat pada lapisan tanah bawah lebih banyak daripada lapisan tanah atas.

Selain itu pada beberapa contoh tanah yang dianalisis menunjukkan adanya nilai permeabilitas yang relatif berbeda jauh dari yang lainnya, sebagai

contoh adalah antara Titik A6 dan C4 (Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa tanah-tanah tersebut memiliki karakteristik sifat yang berbeda, baik morfologi maupun sifat fisika tanahnya.

Jenis Tanah

Hasil pengamatan dan analisis tanah di lapangan (Tabel Lampiran 1) menunjukkan bahwa jenis tanah yang terbentuk di wilayah Lebak Picung cenderung homogen. Berdasarkan klasifikasi soil taksonomy (Gambar Lampiran 8), didapatkan jenis tanah di DAS Ciambulawung tergolong yang berumur lanjut yakni termasuk jenis tanah Inceptisol dan Ultisol dengan suborder masing-masing Udepts dan Udults, sedangkan pada tanah sawah yang digenangi air memiliki karakteristik suborder Aquepts. Terbentuknya tanah-tanah tersebut sebagian besar berasal dari bahan induk tuff vulkanik yang dilanjutkan dengan adanya proses erosi dan sedimentasi. Tanah-tanah lanjut seperti ini umumnya memiliki karakteristik kandungan liat yang cukup tinggi, sehingga kemampuan untuk meloloskan air rendah. Akan tetapi pada kondisi saat ini dimana penggunaan lahan di DAS Ciambulawung yang sebagian besar masih berupa hutan, menjadikan tanah mampu untuk menahan atau memperlambat laju aliran permukaan yang dihasilkan. Di samping itu bahan organik yang berasal dari serasah daun dan ranting serta perakaran dari vegetasi berkayu sangat membantu membuat struktur tanah menjadi lebih gembur. Hal ini sejalan dengan pada sifat fisika yang telah dibahas sebelumnya, yakni terjadi perbedaan karakteristik antara lapisan tanah atas dengan lapisan tanah bawahnya.

Curah Hujan di DAS Ciambulawung

Curah hujan di DAS Ciambulawung sangat menentukan jumlah air yang tersedia, baik debit sungai maupun simpanan air yang berada di dalam tanah. Penelitian ini menggunakan data curah hujan yang diukur langsung di lapangan dengan menggunakan 5 buah alat penagkar hujan sederhana. Volume air hujan yang tertampung dalam alat tersebut (Tabel Lampiran 6) kemudian diolah menjadi data curah hujan rata-rata bulanan selama tahun 2011.

Adapun metode untuk menentukan intensitas hujan akan digunakan rumus Mononobe (Sosrodarsono dan Takeda, 1978) seperti diuraikan pada Bab Metode

Penelitian. Nilai Curah hujan dan intensitas hujan DAS Ciambulawung berdasarkan data yang diperoleh di lapangan disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Nilai Curah Hujan dan Intensitas CH tahun 2011.

Bulan CH Rata rata (mm) Intensitas rata-rata (mm/jam)

Januari 197,18 10,12 Februari 187,90 6,91 Maret 718,93 17,15 April 499,30 12,74 Mei 244,32 5,36 Juni 94,80 5,60 Juli 83,90 3,10 Agustus 15,01 3,33 September 66,59 7,14 Oktober 271,08 14,29 November 645,56 17,86 Desember 267,69 5,95 CH Rata-rata 3292,27 9,13

Berdasarkan volume air hujan yang tertampung dari setiap penangkar (Tabel Lampiran 6) dapat disimpulkan bahwa curah hujan yang terjadi di DAS Ciambulawung cenderung seragam, yakni hujan terjadi dalam waktu yang bersamaan di atas DAS Ciambulawung.

Pada Tabel 12 terlihat bahwa curah hujan di bulan basah (CH >100 mm), yakni Januari-April dan Oktober-Desember memiliki perbedaan nilai yang cukup signifikan (lebih tinggi) dibandingakan dengan nilai curah hujan pada bulan kering (CH <100 mm) yakni Juni-Agustus. Curah hujan paling tinggi terjadi pada bulan Maret dan curah hujan paling rendah terjadi pada bulan Agustus. Bulan Mei dan September merupakan bulan peralihan dari musim kering ke musim hujan (September) ataupun dari musim hujan ke musim kering (Mei). Oleh karena itu nilai curah hujan pada bulan Mei masih cenderung tinggi padahal pada bulan tersebut sudah masuk ke dalam musim kemarau. Begitu pula pada bulan September curah hujan yang terjadi cenderung rendah padahal bulan September sudah temasuk ke dalam musim hujan. Nilai curah hujan ini selanjutnya akan digunakan untuk menetapkan nilai pendugaan volume puncak aliran permukaan.

Sepeti halnya nilai curah hujan, menurut hasil perhitungan nilai intensitas hujan, terlihat bahwa nilai intensitas tertinggi terjadi pada bulan Maret sedangkan

nilai intensitas hujan terendah terjadi pada bulan Agustus. Nilai intensitas hujan ini selanjutnya akan digunakan untuk pendugaan debit puncak aliran permukaan.

Menurut Tukidi (2010) curah hujan di Indonesia bagian barat memiliki nilai yang cukup tinggi. Khususnya di Jawa Barat dan sekitarnya dimana curah hujan yang terjadi memiliki nilai rata-rata sebesar 2.000-3.000 per tahun. Jika dibandingkan dengan curah hujan di DAS Ciambulawung, dapat dikatakan bahwa wilayah penelitian memiliki curah hujan yang lebih tinggi, yakni mencapai 3.292,28 mm selama tahun 2011. Hal ini wajar terjadi karena DAS Ciambulawung terletak di daerah pegunungan, yaitu sekitar 680-1.188 mdpl. Dengan melihat keadaan tersebut, maka DAS Ciambulawung sesungguhnya memiliki potensi ketersediaan air yang cukup besar, baik sebagai air permukaan (debit dan volume sungai) maupun air tanah.

Debit dan Volume Puncak

Pendugaan nilai debit puncak dipengaruhi oleh beberapa variabel, antara lain adalah bentuklahan, curah hujan, penutupan/penggunaan lahan, jenis tanah dan sifat fisik tanah di wilayah tersebut. Bentuklahan sangat terkait dengan morfometrinya (lereng) dimana semakin curam lereng dari suatu bentuklahan maka laju aliran permukaan (run off) akan semakin cepat. Akan tetapi faktor lereng dikategorikan sebagai faktor yang relatif permanen karena perubahannya sangat lama atau cenderung tetap. Tanah juga merupakan bagian dari bentuklahan karena tanah merupakan bagian paling luar (permukaan) bentuklahan yang kontak langsung dengan atmosfir dan mengalami proses pelapukan (weathering). Sifat fisik tanah ditentukan oleh bahan induk atau litologi penyusun bentuklahan beserta proses-proses geomorfik yang berlangsung di permukaan, termasuk organisme, flora-fauna, dan aktivitas manusia yang menghasilkan beragam bentuk penutupan/penggunaan lahan pada suatu bentanglahan. Faktor atmosfir banyak memberikan sumbangan terhadap proses pelapukan, antara lain adanya variasi suhu, kelembapan, dan curah hujan pada setiap waktu atau musim.

Curah hujan dalam hidrologi dinyatakan berbanding lurus dengan nilai debit, karena curah hujan mempengaruhi volume air yang tertampung di dalam DAS sebelum sampai ke sungai (outlet). Dalam hal ini penutupan/penggunaan

lahan merupakan faktor yang banyak berpengaruh terhadap air yang tertampung di dalam DAS sebelum masuk ke dalam sungai. Perbedaan tipe penutupan/penggunaan lahan yang ada di dalam DAS akan memberikan dampak yang berbeda terhadap besarnya volume air yang masuk ke dalam sungai. Dalam kajian hidrologi, faktor penutupan/penggunaan lahan menentukan besarnya nilai koefisien aliran permukaan (C) dan Curve Number (CN) untuk pendugaan debit dan volume puncak aliran permukaan.

Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk menetapkan nilai C dan CN mengacu pada klasifikasi yang dikembangkan oleh Schwab et al. (1981) dalam Arsyad (2001). Dalam metode ini penetapan nilai-nilai tersebut didasarkan atas pengelompokan jenis penggunaan lahan tertentu dan kondisi hidrologi (keadaan tanah terhadap drainase air) di suatu wilayah. Secara rinci penetapan ini disajikan pada Lampiran (Tabel 4 dan Tabel 5). Penetapan kondisi hidrologi ditentukan dengan memperhatikan karakteristik tanah di DAS Ciambulawung, salah satunya adalah dari faktor sifat fisik tanah. Setelah dikelompokkan penggunaan lahannya, nilai C dan CN di konversi terhadap luas wilayah DAS Ciambulawung, dalam hal ini digunakan metode pembobotan (Tabel Lampiran 7).

Tabel 13 berikut merupakan hasil dari perhitungan nilai pendugaan debit dan volume puncak aliran permukaan yang dihitung berdasarkan nilai curah hujan tahun 2011 yang diukur di lapangan.

Tabel 13. Pendugaan Volume Puncak (Q=mm) dari Curah Hujan Rata-Rata/bulan dan Debit Puncak (q=L/detik) (Tahun 2011).

No. Bulan Q(Volume puncak_mm) q(Debit puncak_L/detik)

1 Januari* 82,14 622,38 2 Februari* 77,10 424,68 3 Maret* 528,57 1.054,38 4 April* 348,41 783,46 5 Mei* 304,87 329,49 6 Juni** 17,85 344,14 7 Juli** 12,83 190,37 8 Agustus** 2,03 205,02 9 September** 6,22 439,33 10 Oktober* 87,67 878,65 11 Nopember* 486,97 1.098,31 12 Desember* 115,67 366,10

Berdasarkan tabel tersebut di atas terlihat bahwa pada bulan basah (musim hujan) besarnya debit maksimum terjadi di bulan Maret sebesar 1.054,38 L/detik, yang dapat dikatakan sebagai debit puncak atau bajir, sedangkan debit minimum yang dihasilkan hanya sebesar 205,02 L/detik yang terjadi pada bulan Agustus. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat curah hujan maupun intensitas curah hujan terjadi di bulan Maret tersebut, sehingga jumlah air terbesar yang tertampung di dalam DAS Ciambulawung adalah pada bulan itu dibandingkan dengan bulan- bulan lainnya, khususnya pada bulan basah.

Hal yang sama terjadi pada volume puncak, dimana pada bulan Maret volume yang dihasilkan mencapai angka sebesar 582,57 mm, sedangkan volume minimum hanya sebesar 2,03 mm (Agustus). Tabel 13 ini sesungguhnya juga dapat menunjukkan keterkaitan antara jumlah curah hujan yang terjadi terhadap jumlah air yang tertampung di dalam DAS pada kondisi penggunaan lahan tahun 2011.

Pendugaan nilai debit puncak dan volume puncak sesungguhnya dapat diterapkan juga terhadap kondisi penutupan/penggunaan lahan versi TNGHS. Dengan asumsi kondisi curah hujan yang sama (tahun 2011) maka angka-angka debit puncak dan volume puncak yang diperoleh seperti yang tersaji pada Tabel 14. Dengan membandingkan Tabel 13 dengan Tabel 14 maka akan dilihat bahwa tipe penggunaan lahan berpengaruh besar terhadap nilai debit dan volume puncak aliran permukaan (run off).

Berdasarkan Tabel 12, 13, dan 14, maka terlihat bahwa nilai debit dan volume puncak aliran permukaan pada penggunaan lahan aktual menjadi paling besar dibandingkan dengan debit dan volume puncak aliran permukaan versi TNGHS yang terjadi di bulan Maret. Hal ini dikarenakan pada penggunaan lahan aktual memiliki luas penggunaan lahan hutan lebih sempit di antara keduanya. Seperti diketahui bahwa hutan memiliki kemampuan dalam menahan air paling tinggi dan membantu menyerap jumlah air kedalam tanah paling banyak dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya seperti semak belukar, kebun campuran, sawah tanah terbuka, dan permukiman. Karakteristik atau kemampuan hutan ini dapat ditunjukkan dengan besarnya volume aliran permukaan (nilai koefisien dan bilangan kurva) yang dihasilkan paling kecil daripada penggunaan

lahan lainnya. Nilai koefisien aliran permukaan ini akan dibahas lebih rinci pada bab selanjutnya, yakni pemodelan.

Selain menduga nilai debit dan volume pucak aliran permukaan, penelitian ini juga melakukan pengukuran debit di lapangan. Hal ini dilakukan untuk menganalisis keterkaitan antara nilai pendugaan dengan nilai terukur sesaat di lapangan.

Tabel 14. Pendugaan Vol.puncak (Q=mm) dari ch rata-rata/bulan dan Debit puncak (q=L/detik) Sungai Ciambulawung Berdasarkan Peta Tata Guna Hutan TNGHS Tahun 2003.

No. Bulan Q(Volume puncak_mm) q(Debit puncak_L/detik)

1 Januari* 66,27 311,19 2 Februari* 61,77 212,34 3 Maret* 493,28 527,19 4 April* 317,61 391,73 5 Mei* 276,29 164,75 6 Juni** 11,43 172,07 7 Juli** 7,62 95,19 8 Agustus** 3,74 102,51 9 September** 2,95 219,66 10 Oktober* 71,46 439,33 11 Nopember* 452,53 549,16 12 Desember* 96,67 183,05

Tabel 15 menunjukkan debit sungai aktual pada Titik A saat musim hujan (Februari) sebesar 242,71 L/detik sedangkan pada saat musim kemarau (Juli) menjadi 36.1 L/detik. Titik A (Gambar 17) terletak pada saluran yang menuju atau masuk ke PLTMH untuk mengoperasikan turbin. Besarnya debit sungai pada musim penghujan tersebut sangat mencukupi untuk dapat memutar turbin PLTMH, karena menurut Sugardana et al. (2005) dalam Tjahjono et al. (2011) debit minimal untuk dapat mengoperasikan PLTMH (10 KVA) adalah sebesar 127,4 L/detik. Namun demikian untuk musim kemarau debit sungai yang ada tidak mencukupi. Hal ini sesuai dengan kondisi yang ditemukan pada saat survei di lapangan (bulan Juli), dimana aliran listrik di Kampung Lebak Picung terlihat padam. Menurut warga kejadian ini berlangsung selama empat bulan. Kejadian ini tampak memprihatinkan bagi warga setempat, sehingga yang perlu dicarikan adalah pemecahannya agar arus listrik dapat mengalir sepanjang tahun.

Tabel 15. Pengukuran Debit Aktual DAS Ciambulawung Tahun 2010.

Titik* Debit Hujan (L/s) Debit Musim Kemarau (L/detik)

A 242,71 36,1 B 153,60 28,54 C 39,45 16,20 D 66,15 15,96 E 26,03 4,55 F 39,30 13,05 G 118,23 51,38 H 51,10 35,21 I 112,38 49,25

Berdasarkan kondisi aktual bentanglahan di DAS Ciambulawung dan hasil analisis pendugaan debit dan volume puncak sungai yang telah dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa keberlanjutan PLTMH ke depan masih dapat beroperasi. Namun demikian jika melihat hasil perhitungan debit aktual yang diukur di lapangan pada musim kemarau 2011 terbukti bahwa PLTMH tidak dapat berfungsi dalam beberapa waktu. Tentunya data debit yang didapatkan ini hanya data sesaat tahun 2011, sehingga masih diperlukan data yang lebih banyak lagi untuk dapat menyimpulkan dengan lebih baik.

Berkaitan dengan masalah debit untuk PLTMH ini, kiranya ada hal lain yang perlu diperhatikan pula, yaitu pemakaian aliran sungai Ciambulawung di atas lokasi PLTMH. Berdasarkan informasi warga Lebak Picung dan pengamatan lapang, pemanfaatan aliran sungai di atas lokasi PLTMH ternyata tidak hanya untuk memutar turbin PLTMH saja atau mengairi sawah di kampung Lebak Picung, namun juga untuk mengairi sawah-sawah di kampung lain, seperti Kampung Karang Ropong melalui suatu outlet yang berada di atas lokasi turbin PLTMH. Kampung Karang Ropong terletak agak jauh dari Kampung Lebak Picung, berjarak sekitar 1 jam jika ditempuh dengan jalan kaki. Berdasarkan hasil pengukuran debit di lapangan didapatkan bahwa besarnya debit yang keluar dari sungai Ciambulawung dan masuk ke saluran irigasi sebesar 51,10 L/detik pada musim hujan dan 35,21 L/detik pada musim kemarau (titik “H” pada Tabel 14). Dan besarnya debit sisa yang masih mengalir di dalam sungai Ciambulawung (titik I) adalah sebesar 112,38 L/detik saat musim hujan dan 49,25 L/detik saat musim kemarau. Apabila debit yang keluar (mengalir ke saluran irigasi) ditutup dan dialirkan ke sungai menuju PLTMH maka akumulasi antara titik G, H dan I sebenarnya menghasilkan debit yang mencukupi, yaitu 135, 84 L/detik atau di atas debit minimum yang dibutuhkan untuk untuk memutar turbin.

Berkaitan dengan perhitungan tersebut, sesungguhnya PLTMH masih bisa beroperasi di musim kemarau jika ada perbaikan sistem pembagian pemakaian air dengan Desa Karang Ropong, artinya kesepakatan ini bertujuan untuk dapat mengatur pemakaian aliran sungai Ciambulawung sehingga kedua warga kampung tersebut dapat memanfaatkan sungai Ciambulawung dengan optimal. Selain itu diperlukan pula perbaikan teknik pembendungan air yang lebih baik, karena kondisi bendungan yang ada sekarang ini masih sangat sederhana seperti

yang ditampilkan pada Gambar 18, sehingga masih banyak air yang lolos ke luar bendunga.

Keterangan: : Arah Arus Air Menuju Ke Saluran Turbin PLTMH

Gambar 18. Kondisi bendungan yang dipakai untuk PLTMH sebelum dimasukkan ke saluran menuju turbin

Solusi lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan debit sungai di musim kemarau antara lain adalah mengubah luasan tipe penggunaan lahan tertentu yang ada di dalam DAS Ciambulawung. Dalam hal ini kawasan hutan perlu diperluas. Maksud dari perluasan adalah untuk dapat menyimpan air lebih banyak atau mempunyai cadangan air yang lebih pasti mencukupi daripada yang ada sekarang (karena sesungguhnya cadangan yang ada masih bisa dimanfaatkan untuk operasi PLTMH di musim kemarau seperti diuraikan di atas). Perluasan cakupan hutan mungkin dapat menyesuaikan dengan rencana seperti yang tertuang di dalam peta TNGHS Tahun 2003, yakni luas hutan sebesar 538,07 Ha atau diperlukan tambahan perluasan sebesar 199,52 Ha jika dibandingkan dengan luas hutan dari penggunaan lahan aktual Tahun 2010. Meskipun disadari juga bahwa pelaksanaannya mungkin tidak mudah karena akan dapat menimbulkan konflik dengan masyarakat di sekitarnya.

Namun demikian sebelum melangkah lebih jauh untuk memikirkan solusi lain, yang perlu diketahui terlebih dahulu adalah mengetahui kualitas lingkungan DAS Ciambulawung itu sendiri melalui analisis kecocokan (fitness) pemanfaatan lahannya. Dengan demikian jika ditemukan wilayah-wilayah yang kurang atau tidak cocok antara pemanfaatan dengan kondisi lingkungan DAS, maka tahap perbaikan pemanfaatan lahan ini yang perlu diprioritaskan terlebih dahulu sebelum menginjak kepada langkah-langkah yang lain.

Kecocokan Penggunaan Lahan (Land Use Fitness)

Dalam penelitian ini kecocokan pemanfaatan lahan dikelaskan menjadi 4 kelas mengacu pada penelitian Hidiya (2011), yaitu cocok, agak cocok, kurang cocok, dan tidak cocok. Kecocokan ini didasarkan pada 3 variabel, yaitu kemampuan lahan, fungsi/manfaat penggunaan lahan, dan kepatutannya yang dinilai secara kualitatif. Seperti yang telah diuraikan pada Bab Metode Penelitian bahwa suatu penggunaan lahan dikatakan cocok apabila dipandang dari aspek kemampuan lahan tidak mempunyai kendala, mempunyai fungsi atau manfaat cukup baik untuk lingkungan, memiliki kepatutan keberadaan penggunaan lahan tersebut dan tidak mempunyai dampak negatif yang besar di waktu sekarang dan mendatang (nilai = 3). Dikatakan agak cocok jika ada salah satu kendala dari ketiga aspek tersebut (nilai = 2), kurang cocok jika ada dua aspek yang menjadi kendala (nilai = 1), dan dikatakan tidak cocok apabila semua aspek menjadi kendala (nilai = 0). Hasil analisis kecocokan penggunaan lahan aktual di DAS Ciambulawung disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 19, adapun kecocokan penggunaan lahan untuk versi TNGHS dicantumkan pada Tabel 17 dan Gambar 20

Tabel 16. Luas Tingkat Kecocokan Penggunaan Lahan DAS Ciambulawung Tahun 2010.

Kecocokan Ekologi Bentang Lahan Luas lahan Ha % Tidak Cocok 1,83 0,33 Kurang Cocok 14,41 2,60 Agak Cocok 163,39 29,46 Cocok 375,09 67,62 Total 554,72 100,00

Tabel 17. Luas Tingkat Kecocokan Penggunaan Lahan DAS Ciambulawung versi TNGHS

Kecocokan Ekologi Bentang Lahan Luas lahan Ha % Tidak Cocok 0,00 0,00 Kurang Cocok 44,90 8,09 Agak Cocok 155,18 27,97 Cocok 354,63 63,94 Total 554,72 100,00

Dokumen terkait