• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekologi Bentanglahan

Studi ekologi bentanglahan merupakan studi yang menekankan suatu interaksi antara pola spasial dan proses-proses ekologi sebagai bentuk sebab- akibat dari keragaman spasial dalam berbagai skala. Pendekatan yang digunakan dalam studi ini pada intinya adalah menggabungkan antara pendekatan spasial geografi dengan pendekatan fungsional ekologi (Turner et al., 2001). Menurut Pickett and Cadenasso (1995) ekologi bentanglahan merupakan studi yang mendalami tentang efek timbal-balik dari suatu pola spasial dalam proses-proses ekologi, sehingga studi ini mendorong suatu pengembangan teori dan model keterkaitan spasial, termasuk pengumpulan data baru tentang pola spasial dan dinamikanya yang jarang dilakukan dalam studi-studi ekologi.

Sinaga et al., (1994) mengemukakan bahwa konsep ekologi bentanglahan melibatkan sistem sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dalam suatu wilayah sehingga membentuk suatu sistem sumberdaya wilayah. Interaksi dari kedua sistem tersebut salah satunya menghasilkan suatu tipe penggunaan lahan tertentu (land utilization type). Dalam hal ini, kajian ekologi bentanglahan sangat bermanfaat untuk kajian hidrologi terutama dalam kaitannya dengan proses perjalanan air, baik dalam bentuk air tanah maupun aliran permukaan, dan dapat menggambarkan sebagian dari rangkaian siklus hidrologi (hydrological cycle).

Kelas Kemampuan Lahan

Kemampuan lahan (land capability) adalah salah satu bagian dari potensi sumberdaya lahan yang menggambarkan kemampuan dari suatu lahan untuk mendukung suatu penggunaan atau kegiatan tertentu di atas lahan tersebut (Hidiya, 2011). Dengan demikian kemampuan lahan dapat dipilah menjadi beberapa kelas sesuai dengan potensinya. Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), mengemukakan bahwa klasifikasi kemampuan lahan sistem USDA sebenarnya sangat praktis untuk digunakan di Indonesia karena sangat sederhana, hanya memerlukan data tentang sifat-sifat fisik/morfologi tanah dan lahan yang dapat diamati di lapangan, tanpa memerlukan data tentang sifat-sifat kimia tanah yang harus dianalisis di laboratorium. Klasifikasi utama didasarkan pada satuan peta

tanah, tetapi sifat fisik lainnya seperti kemiringan lereng, banjir dan iklim juga diperhitungkan. Konsep utama yang dipergunakan adalah ada tidaknya faktor penghambat yaitu sifat- sifat lahan yang membatasi penggunaan lahan. Faktor penghambat atau pembatas dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang bersifat permanen dan yang bersifat sementara. Pembatas permanen adalah faktor pembatas yang sulit diperbaiki seperti kedalaman tanah, iklim dan sebagainya. Pembatas sementara adalah faktor pembatas yang dapat diperbaiki dalam pengelolaan lahan seperti kandungan unsur hara, kemasaman dan sebagainya.

Menurut Klingbiel dan Montgomery (1973) dalam Arsyad (2006), pengelompokkan kelas kemampuan lahan terbagi kedalam 8 kelas yang di tandai dengan huruf romawi, yaitu dari I sampai VIII. Angka ini menggambarkan adanya ancaman kerusakan atau hambatan yang semakin meningkat berturut-turut dari kelas I sampai dengan kelas VIII. Dengan pengelolaan yang baik, lahan pada kelas I sampai dengan kelas IV mampu menghasilkan atau sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk lahan pertanian pada umumnya (tanaman semusim dan tahunan), padang rumput (untuk makanan ternak), dan hutan, sedangkan lahan pada kelas V sampai dengan kelas VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian atau dapat diusahakan namun diperlukan biaya yang sangat tinggi untuk pengelolaannya. Berikut diuraikan secara ringkas karakteristik pada setiap kelas kemampuan lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007):

Kelas I

Lahan kelas I sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah khusus. Lahan mempunyai lereng datar, solum tanahnya dalam, tekstur tanah agak halus atau sedang, drainase baik, mudah diolah, dan responsif terhadap pemupukan. Lahan kelas ini tidak mempunyai penghambat atau ancaman kerusakan, sehingga dapat digarap untuk usaha tani tanaman semusim dengan aman. Tindakan pemupukan dan usaha-usaha pemeliharaan struktur tanah yang baik diperlukan guna menjaga kesuburan dan mempertinggi produktivitas.

Kelas II

Lahan pada kelas ini memiliki sedikit faktor pembatas berupa salah satu atau kombinasi dari faktor-faktor berikut, yaitu lereng yang landai (3-8%), kepekaan erosi atau ancaman erosi sedang, atau telah mengalami erosi sedang, kedalaman efektif agak dalam (90 cm), struktur tanah dan daya olah kurang baik dengan tekstur agak kasar sampai halus, salinitas ringan sampai sedang atau terdapat garam natrium yang mudah dihilangkan akan tetapi besar kemungkinan timbul kembali, kadang-kadang terkena banjir yang merusak, kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase tetapi tetap ada sebagai pembatas yang sedang tingkatannya, keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaannya. Lahan pada kelas ini sesuai untuk penggunaan tanaman semusim, tanaman rumput, padang pengembalaan, hutan produksi, hutan lindung dan cagar alam.

Kelas III

Lahan pada kelas ini mempunyai lebih banyak faktor pembatas daripada lahan kelas II. Apabila digunakan untuk usaha pertanian maka akan memerlukan tindakan konservasi serius yang umumnya akan lebih sulit baik dalam pelaksanaannya maupun pemeliharaannya. Kondisi lahan pada kelas ini miring (15-25%), sangat peka terhadap erosi, solum dangkal, berdrainase buruk, permeabilitas lambat, kapasitas menahan air rendah, kesuburan tanah rendah dan tidak mudah diperbaiki. Apabila lahan ini diusahakan maka akan membutuhkan tindakan pengawetan khusus seperti perbaikan drainase, sistem penanaman dalam jalur atau pergiliran dengan tanaman penutup tanah, pembuatan teras, disamping tindakan-tindakan untuk meningkatkan kesuburan tanah seperti penambahan bahan organik, pupuk dan sebagainya.

Kelas IV

Lahan pada kelas ini mempunyai penghambat yang berat yang membatasi pilihan tanaman yang dapat diusahakan, atau memerlukan pengelolaan yang sangat berhati-hati atau kedua-duanya. Penggunaan lahan kelas IV sangat terbatas karena salah satu atau kombinasi dari penghambat seperti lereng yang miring atau berbukit (25-35%), kepekaan erosi besar, erosi yang telah terjadi berat, solum dangkal, daya menahan air rendah, sering tergenang banjir yang menimbulkan

kerusakan berat pada tanaman, drainase terhambat dan masih sering tergenang meskipun telah dibuat saluran drainase.

Kelas V

Lahan pada kelas ini mempunyai sedikit atau tanpa bahaya erosi, tetapi mempunyai penghambat lain yang praktis sukar dihilangkan, sehingga dapat membatasi penggunaaan lahan. Akibatnya, lahan ini hanya cocok untuk tanaman rumput ternak secara permanen atau di hutankan. lahan pada kelas ini datar, akan tetapi mempunyai salah satu kombinasi dari sifat-sifat pembatas seperti drainase yang sangat buruk atau terhambat, sering kebanjiran, berbatu-batu dan penghambat iklim cukup besar. Sebagai contoh tanah kelas ini adalah tanah di lembah-lembah yang sering kebanjiran sehingga tanaman tidak dapat berproduksi secara normal, tanah datar dengan musim tumbuh yang pendek, tanah datar yang berbatu, daerah yang tergenang yang tidak cocok untuk tanaman pertanian tetapi cocok untuk rumput atau pohon-pohonan. Tanah dalam lahan kelas V ini tidak sesuai untuk tanaman semusim, tetapi lebih susuai untuk ditanami dengan vegetasi permanen seperti tanaman untuk makanan ternak atau di hutankan. Kelas VI

Lahan pada kelas ini mempunyai lereng yang terjal dengan kemiringan 30- 40% sehingga sangat sensitif terhadap erosi, sangat berbatu-batu atau berpasir dan mengandung banyak kerikil, tanahnya sangat dangkal atau telah mengalami erosi berat. Tanah pada kelas VI ini tidak dapat digunakan untuk usaha tani tanaman semusim, namun lebih sesuai untuk vegetasi permanen seperti padang rumput atau makanan ternak atau dijadikan hutan produksi. Jika digunakan untuk padang rumput, sebaiknya pengembalaan tidak merusak rumput penutup tanah. Sedangkan jika digunakan untuk hutan, maka penebangan kayu harus selektif dan mengikuti kaidah-kaidah konservasi tanah dan air.

Kelas VII

Lahan pada kelas ini mempunyai kemiringan lereng yang sangat curam (45-65%) dan memiliki solum tanah yang sangat dangkal serta telah mengalami erosi yang sangat berat. Lahan pada kelas VII ini tidak cocok untuk budidaya pertanian. Jika dipergunakan untuk padang rumput atau hutan produksi harus

dilakukan dengan usaha pencegahan erosi yang berat. Lahan pada kelas VII jika mempunyai solum yang dalam dan tidak peka erosi, maka apabila dipergunakan untuk tanaman pertanian harus dibuatkan teras bangku yang ditunjang dengan cara-cara vegetatif untuk konservasi tanah serta tindakan pemupukan.

Kelas VIII

Lahan pada kelas ini mempunyai lereng yang sangat curam (>65%), permukaannya sangat berbatu karena tertutup oleh batuan lepas atau batuan singkapan atau tanah pasir di pantai. Lahan pada kelas ini tidak sesuai untuk produksi pertanian dan harus dibiarkan dalam keadaan alami atau di bawah vegetasi alam. Lahan ini dapat digunakan untuk daerah rekreasi cagar alam atau hutan lindung. Penghambat yang tidak dapat diperbaiki lagi dari lahan ini adalah salah satu atau lebih dari sifat-sifat berikut erosi atau bahaya erosi sangat berat , iklim sangat buruk, tanah selalu tergenang, berbatu-batu, kapasitas menahan air sangat rendah, salinitasnya atau kandungannya sangat tinggi dan sangat terjal

Bentuklahan

Menurut Tjahjono et al. (2001) bentuklahan-bentuklahan (landforms) yang ada dimuka bumi terjadi melalui suatu proses geomorfik, yaitu semua perubahan, baik fisik maupun kimia yang mempengaruhi perubahan bentuk permukaan bumi. Salah satu faktor penyebabnya adalah adanya tenaga geomorfik, yaitu semua media alami yang mampu memantapkan dan mengangkut bahan di permukaan bumi, seperti air mengalir, air tanah, gletser, angin, dan gerakan air lainnya (gelombang laut, pasang surut dan tsunami) (Wiradisastra et al., 2002). Di dalam geomorfologi, kajian terhadap bentuklahan meliputi beberapa aspek utama, yaitu (Verstappen, 1983):

a. Aspek Morfologi : mencakup morfografi, yang medeskripsikan kenampakan fisik bentuklahan, seperti dataran, bukit, kipas alluvial, dan morfometri yang mendeskripsikan unsur ukuran, seperti lereng (kemiringan, bentuk, panjang, arah) atau elevasi.

b. Aspek Morfogenesis : terkait dengan asal usul pembentukan bentuklahan dan perkembangannya sehingga menghasilkan konfigurasi permukaan bumi yang berbeda-beda.

c. Aspek Morfokronologi : merupakan tahapan proses pembentukan bentuklahan dalam ruang dan waktu di permukaan bumi melalui proses-proses geomorfologis sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan urutan umur bentuklahan.

d. Aspek Litologi : terkait dengan asal usul batuan-batuan induk penyusun bentuklahan dan perkembangannya termasuk struktur batuannya.

Berdasarkan klasifikasi yang dikemukaan oleh Van Zuidam (1985), bentuk muka bumi dapat diklasifikasikan menjadi 9 satuan bentuklahan utama (geomorfologi) antara lain bentuklahan-bentuklahan asal proses: struktural, denudasional, vulkanik, fluvial, marin, pelarutan, aeolin (angin), glasial, dan organik (termasuk artifiasial/campurtangan manusia).

Sifat Fisik Tanah

Permeabilitas

Pergerakan air di dalam tanah merupakan aspek penting dalam hubungannya dengan bidang pertanian. Beberapa proses penting, seperti masuknya air ke dalam tanah, pergerakan air ke zona perakaran, keluarnya air lebih, aliran permukaan dan evaporasi, sangat dipengaruhi oleh kemampuan tanah untuk melewatkan air. Parameter atau ukuran yang dapat menggambarkan kemampuan tanah dalam melewatkan air disebut sebagai permeabilitas (Kurnia et al., 2006).

Permeabilitas secara kuantitatif diartikan sebagai kecepatan bergeraknya suatu cairan pada suatu media berpori dalam keadaan jenuh. Jadi permeabilitas menggambarkan kemampuan air bergerak di dalam tanah pada keadaan jenuh. Dalam hal ini sebagai cairan adalah air, dan sebagai media berpori adalah tanah (Brata et al., 1980).

Bobot Isi

Menurut Murtilaksono dan Wahjunie (2003), sifat fisika tanah ini (bobot isi) bersifat tidak nyata atau sifat bukan sesungguhnya. Adapun yang dimaksud dengan bobot isi tanah adalah bobot kering suatu unit volume tanah dalam keadaan utuh, dinyatakan dalam gram per sentimeter kubik. Unit volume terdiri dari volume yang terisi bahan padat dan volume ruangan di antaranya. Bobot isi bersifat tidak stabil karena dipengaruhi oleh volume total tanah yang berubah- ubah tergantung volume pori yang ada, sehingga nilainya dapat berubah dengan gangguan seperti pengolahan dan pemadatan. Bobot isi dalam kajian hidrologi bermanfaat untuk mengetahui kemapuan tanah dalam mempengaruhi pergerakan air dan udara.

Penetapan pF Tanah

Konsep gaya retensi air dalam tanah mempunyai kegunaan dalam hubungannya dengan penyerapan air oleh tanaman dan teknik irigasi. Energi yang diperlukan oleh tanah untuk mengabsorbsikan air dapat dinyatakan dalam satuan daya hisap atau tegangan, yaitu dalam bentuk cm-kolom-air. Adapun cara yang lebih umum digunakan adalah bar atau atmosfir standar. Selain itu energi tersebut juga dapat dinyatakan dalam pF yaitu nilai logaritma dari tinggi kolom air tersebut.

Penyerapan air oleh tanaman atau tanah sangat dipenaruhi dari keadaan status air tanah berdasarkan tegangan pengikatnya, seperti kapasitas lapang, titik layu permanen, dan koefisien higroskopik. Pada status tersebut, tanaman atau tanah memerlukan energi yang berbeda-beda dalam menyerap air. Oleh sebab itu, penetapan kadar air tanah pada tegangan atau pF tertentu mempunyai kegunaan praktis untuk kajian hidrologi (Brata et al., 1980).

Curah Hujan dan Intensitas Curah Hujan

Menurut Latikan (2002), Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Satuan curah hujan selalu dinyatakan dalam satuan millimeter atau inchi namun untuk di Indonesia satuan curah hujan yang digunakan adalah dalam satuan millimeter (mm). Curah hujan dinyatakan sebesar 1 (satu) milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air

setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter. Arsyad (2006) menambahkan bahwa curah hujan sesungguhnya menggambarkan besarnya volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu

Intensitas hujan adalah banyaknya curah hujan per satuan waktu. Apabila dikatakan bahwa hujan mempunyai intensitas yang besar berarti hujan yang terjadi sangat lebat. Kondisi ini sangat berbahaya karena dapat berdampak menimbulkan banjir, longsor dan efek negatif lain terhadap tanaman.

Tanaman atau tanaman pertanian sangat memerlukan air hujan, sehingga hujan merupakan faktor penentu serta faktor pembatas bagi kegiatan pertanian secara umum. Oleh karena itu klasifikasi iklim untuk wilayah Indonesia (atau Asia Tenggara pada umumnya) seluruhnya dikembangkan dengan menggunakan curah hujan sebagai kriteria utama (Latikan, 2002).

Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) atau dalam bahasa inggris disebut watershed atau drainage basin adalah satuan keruangan dari suatu sistem aliran yang terdiri atas sungai utama dan percabangan anak-anak sungainya yang membentuk suatu jaring-jaring pengaliran (Tjahjono et al., 2001). Dengan demikian gambaran suatu DAS adalah suatu area yang dibatasi oleh igir-igir atau punggung bukit tertinggi beserta sejumlah lembah sebagai penerima, penyimpan, dan penyalur air hujan yang jatuh di atas area tersebut menuju ke satu titik sungai sebagai outlet yang mengalirkan air sungai tersebut ke luar DAS (Wanggai, 2006). Gambaran ini memperlihatkan bahwa jumlah air yang ada di dalam suatu DAS sesungguhnya tergantung pada besarnya curah hujan yang jatuh ke dalam DAS dan faktor-faktor biofisik dan aktivitas sosial-budaya masyarakat yang ada di dalam DAS tersebut.

Debit Sungai

Salah satu cara untuk mengetahui jumlah air yang mengalir di suatu DAS adalah melalui debit air sungai. Debit adalah jumlah volume air yang mengalir per satuan waktu. Debit sungai diformulasikan sebagai berikut (Sosrodarsono dan Takeda, 1978) :

Q = V . A

Dokumen terkait