• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN A Lokasi Penelitian

Dalam dokumen ISRAEL DARI OCCUPIED PALESTINIAN TERRITO (Halaman 43-81)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN DALAM PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

II. METODE PENELITIAN A Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar khususnya di Kantor Kepolisian Resort Kota Besar Makassar, Kantor Kejaksaan Negeri Makassar, Kantor Pengadilan Negeri Makassar, Kantor Badan Narkotika Nasional Kota Makassar, Kantor Badan Narkotika Nasional Propinsi Sulawesi Selatan, dan Kantor Badan Narkotika Nasional Baddoka. Penentuan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan bahwa di instansi-instansi tersebut tersedia data yang diperlukan sebagai bahan analisis, data tersebut diperoleh dengan mengumpulkan dokumen-dokumen perkara anak sebagai korban dalam penyalahgunaan narkotika.

B. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normative (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011,14) yaitu dengan mengkaji aturan-aturan hukum, teori-teori hukum dan bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Selain jenis penelitian hukum normatif, penelitian ini juga menggunakan jenis penelitian hukum empiris, yaitu mengkaji kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan peneitian.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan perundang-undangan /

statue approach (Peter Mahmud Marzuki, 2010:96). Dalam konteks ini, ketentuan-ketentuan yang akan ditelaah dan dikaji adalah beberapa instrumen hukum nasional yang berkaitan dengan perkara anak korban penyalahguna narkotika di Indonesia. Selain menggunakan statue approach, digunakan

146 Fakultas Hukum - UNISAN

juga pendekatan konseptual / conceptual approach (Peter Mahmud Marzuki, 2010:137). Adapun yang dimaksud pendekatan konseptual, adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum khususnya pada lapangan hukum pidana. Pandangan-pandangan, doktrin-doktrin yang akan digunakan dalam penelitian ini, memiliki keterkaitan erat dengan perkara anak korban penyalahguna narkotika di Indonesia.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan penelitian lapangan (field researich), yakni mencari bahan-bahan putusan perkara anak yang terkait dengan penyalahgunaan narkotika di lapangan penelitian (Kantor Kepolisian Resort Kota Besar Makassar, Kantor Kejaksaan Negeri Makassar, Kantor Pengadilan Negeri Makassar, Kantor Badan Narkotika Nasional Kota Makassar, Kantor Badan Narkotika Nasional Propinsi Sulawesi Selatan, dan Kantor Badan Narkotika Nasional Baddoka). Selain penelitian lapangan, maka digunakan juga penelitian kepustakaan (Gorys Keraf, 2004:187), yakni mempelajari dan mengkaji buku-buku, jurnal- jurnal ilmiah dan media elektronik (browsing internet). Selain itu, dalam mengumpulkan data penelitian yang dibutuhkan, dilakukannya juga wawancara, yaitu metode atau teknik pengumpulan data yang didapatkan secara langsung dari nara sumber yang berkompeten terkait dengan permasalahan yang penulis kaji.

D. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder:

1. Data primer adalah hasil wawancara dengan pihak-pihak terkait, dan sejumlah data perkara anak yang berkaitan dengan narkotika yang diperoleh langsung dari Kantor Kepolisian Resort Kota Besar Makassar, Kantor Kejaksaan Negeri Makassar, Kantor Pengadilan Negeri Makassar, Kantor Badan Narkotika Nasional Kota Makassar, Kantor Badan Narkotika Nasional Propinsi Sulawesi Selatan, dan Kantor Badan Narkotika Nasional Baddoka.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari beberapa literatur baik itu berupa buku-buku, jurnal-jurnal ilmiah dan artikel-artikel yang dimuat di media elektronik (online).

E. Analisis Data

Sesuai dengan permasalahan yang ingin dijawab dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder dianalisis secara kualitatif, selanjutnya dideskripsikan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum terhadap Anak sebagai Korban dalam Penyalahgunaan Narkotika.

Anak sebagai korban dalam penyalahgunaan narkotika adalah objek yang paling rentan terhadap peredaran narkotika, karena anak dianggap belum dapat mengoptimalkan pemikiran- pemikirannya yang berorientasi ke masa depan, sehingga dalam mengambil sikap dan tindakan yang

Fakultas Hukum – UNISAN 147 kadang berujung pada perbuatan pidana (atau yang lazim selama ini diistilahkan sebagai anak nakal). Sebagai seseorang yang dianggap belum dapat mengoptimalkan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi ke masa depan, maka ketika anak melakukan sesuatu yang dianggap salah oleh hukum (utamanya yang terkait dengan masalah narkotika), sesungguhnya anak tersebut tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya, karena tentunya banyak faktor yang menyebabkan sehingga anak tersebut dapat terjerumus menjadi anak nakal di dalam permasalahan narkotika.

Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 mengatur tentang penggolongan tindak pidana narkotika, yang tentunya penggolongan ini berlaku bagi semua orang (baik yang dianggap telah dewasa maupun yang masih tergolong usia anak). Tindak pidana narkotika digolongkan menjadi 7 (tujuh), yakni :

(1) Menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan untuk dimiliki, atau untuk persediaan, atau untuk persediaan atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman (atau secara sederhana disebut sebagai penyalahguna);

(2) Memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika golongan II dan III (juga dapat disebut sebagai penyalahguna);

(3) Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika golongan I, II, dan III (produsen narkotika);

(4) Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan I, II , dan II (kurir narkotika);

(5) Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara jual beli, atau menukar narkotika golongan I, II, dan III (pengedar narkotika);

(6) Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I, II, dan III untuk digunakan orang lain (juga dapat disebut sebagai pengedar);

(7) Menggunakan narkotika golongan I, II, dan III (dapat disebut penyalahguna narkotika, korban penyalahguna narkotika, atau bahkan pecandu jika menggunakan narkotika secara konstan dan sifatnya ketergantungan).

Dari ketujuh penggolongan tindak pidana narkotika yang diatur oleh Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009, jika dikaitkan dengan pelaku anak atau terkait dengan masalah anak nakal, maka secara objektif (sepanjang penelusuran penulis terhadap berita dan informasi di media massa dan media elektronik) anak nakal tersebut hanya masuk pada 4 golongan saja, yakni :

1. Anak sebagai korban dalam penyalahgunaan narkotika;

2. Anak sebagai korban dalam penyalahgunaan narkotika yang menjadi pelaku penyalahgunaan narkotika;

3. Anak sebagai korban dalam penyalahgunaan narkotika yang menjadi pecandu narkotika; dan

4. Anak sebagai pengedar narkotika.

Hal ini tentunya dapat terjadi karena seperti yang penulis kemukakan di awal bahwa anak dianggap belum dapat mengoptimalkan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi ke masa depan,

148 Fakultas Hukum - UNISAN

sehingga dalam mengambil sikap dan tindakan yang kadangkala berujung pada perbuatan pidana. Namun, sulit rasanya jika anak juga masuk pada kategori kurir narkotika ataupun produsen narkotika, walaupun di masa-masa mendatang seiring dengan perkembangan zaman hal tersebut dimungkinkan saja terjadi.

Pengaturan diversi terdapat di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mulai berlaku pada tanggal 30 Juli 2014 lalu. Berdasarkan undang-undang tersebut, diatur bahwa tidak semua perkara anak dapat diupayakan diversi, dan terdapat beberapa persyaratan agar perkara anak tersebut dapat diupayakan diversi, persyaratan-persyaratan tersebut adalah pelakunya masih berumur anak (8 hingga 18 tahun), ancaman pidana di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Berikut penulis akan uraikan satu-persatu mengenai persyaratan perkara anak untuk diupayakan diversi.

1. Pelakunya Adalah Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika

Anak sebagai korban dalam penyalahgunaan narkotika merupakan kategori yang paling mendominasi dalam perkara anak yang terkait dengan narkotika, hal ini diungkapkan oleh Bapak Nathan Lambe (Hakim Perkara Anak pada Pengadilan Negeri Makassar), ia menyatakan bahwa :

“Fakta-fakta yang terungkap di persidangan bahwa sesungguhnya perkara-perkara anak nakal yang terkait dengan narkotika sebagian besarnya anak tersebut hanyalah korban penyalahguna narkotika saja, walaupun dalam perkara-perkara tertentu ada saja ditemui anak tersebut sebagai penyalahguna narkotika maupun sebagai kurir narkotika”.

Senada dengan pernyataan tersebut, menurut Ibu Inspektur Satu (IPTU) Afryanti F (Kepolisian Resort Kota Besar Makassar), juga menyatakan bahwa :

“Sejumlah perkara anak nakal yang ditangani oleh Polrestabes Makassar khusus yang terkait dengan narkotika adalah sebagian besarnya anak tersebut hanyalah sebagai korban penyalahgunaan narkotika saja, hal ini terjadi karena anak biasanya ditawari narkotika oleh teman dan sifatnya hanya ikut-ikutan saja, jadi anak tidak atau belum memiliki kemampuan

atau pengalaman yang cukup untuk menjadi pengedar”.

Disini terlihat bahwa begitu rentannya anak sehingga banyak yang menjadi korban dalam hal tindak pidana narkotika, khususnya di wilayah hukum Kota Makassar. Dalam perkara anak nakal terkait dengan narkotika, maka tindak pidana narkotika ini sebenarnya adalah salah satu tindak pidana yang tergolong memiliki keunikan tersendiri, sama halnya dengan tindak pidana perjudian, maka tindak pidana narkotika ini selain pelakunya ditetapkan sebagai penyalahguna narkotika, secara serta- merta pelaku tersebut juga ditetapkan sebagai korban penyalahgunaan narkotika.

Tidak mengherankan jika tindak pidana narkotika dapat dirumuskan sebagai crime without victim, dimana para pelaku juga berperan sebagai korban. Menurut Tutty Alawiyah A.S. dalam Moh. Taufik Makarao dkk menyebut, tindak pidana atau kejahatan narkotika adalah merupakan salah satu bentuk kejahatan yang dikenal sebagai kejahatan tanpa korban (Victimless Crime). Selain narkotika, yang termasuk kejahatan tanpa korban adalah perjudian, minuman keras, pornograpi, dan prostitusi. Kejahatan tanpa korban biasanya bercirikan hubungan antara pelaku dan korban yang tidak kelihatan

Fakultas Hukum – UNISAN 149 akibatnya. Tidak ada sasaran korban, sebab semua pihak adalah terlibat dan termasuk dalam kejahatan tersebut. Ia menjadi pelaku dan korban sekaligus. Namun demikian, jika di kaji secara mendalam istilah kejahatan tanpa korban (Victimless Crime) ini sebetulnya tidak tepat, karena semua perbuatan yang masuk ruang lingkup kejahatan pasti mempunyai korban atau dampak baik langsung maupun tidak langsung, atau dalam bahasa agamanya perubahan-perubahan yang dilakukan ini lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. Oleh karena itu kejahatan ini lebih tepat disebut sebagai kejahatan yang disepakati (Moh. Taufik Makarao dkk, 2005:viii).

Sehingga hal tersebut menjadi sesuatu hal yang tidak mengherankan jika seorang anak rentan menjadi korban penyalahgunaan narkotika, bukan hanya anak yang dianggap belum cakap dalam bertindak, bahkan orang dewasapun yang dianggap cakap dalam bertindak tidak jarang menjadi sasaran korban peredaran narkotika sebagaimana yang banyak diberitakan di media.

Anak yang menjadi korban dalam penyalagunaan narkotika adalah seorang anak yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika, Pasal 127 ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 juncto Undang- Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Menurut Graham Blaine yang juga seorang psikiater, sebab-sebab penyalahgunaan narkotika adalah sebagai berikut (Hari Sasangka, 2003:6) :

1. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya dan mempunyai resiko;

2. Untuk menantang suatu otoritas terhadap orangtua, guru, hukum atau instansi berwenang; 
 3. Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual; 


4. Untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman-pengalaman emosional;

5. Untuk berusaha agar dapat menemukan arti hidup;

6. Untuk mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, karena kurang kesibukan;

7. Untuk menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan yang disebabkan oleh problema yang tidak bisa diatasi dan jalan pikiran yang buntu, terutama bagi mereka yang mempunyai kepribadian yang tidak harmonis;

8. Untuk mengikuti kemauan kawan dan untuk memupuk solidaritas dengan kawan-kawan; 9. Karena didorong rasa ingin tahu (curiosty) dan karena iseng (just for kicks). 


Kesembilan penyebab penyalahgunaan narkotika menurut Graham Blaine yang telah disebutkan di atas tidak saja berlaku bagi orang dewasa, namun beberapa penyebab penyalahgunaan narkotika tersebut juga dialami oleh anak-anak, khususnya pada penyebab kesembilan, yakni karena didorong rasa ingin tahu (curiosty) atau hanya sekedar iseng (just for kicks). 


Lebih jauh Soedjono Dirdjosisworo mengungkapkan penyebab penggunaan narkotika secara tidak legal yang dilakukan oleh para
remaja dan usia anak dapatlah dikelompokkan tiga keinginan yaitu (Soedjono Dirdjosisworo, 1982:70-71) :

1. Mereka yang ingin mengalami (the experience seekers) yaitu ingin memperoleh pengalaman baru dan sensasi dari akibat pemakaian narkotika;

150 Fakultas Hukum - UNISAN

2. Mereka yang bermaksud menjauhi atau mengelakkan realita hidup (the oblivion seekers) yaitu mereka yang menganggap keadaan terbius sebagai 
tempat pelarian terindah dan ternyaman; 


3. Mereka yang ingin merubah kepribadiannya (personality change) yaitu mereka yang beranggapan menggunakan narkotika dapat merubah kepribadian, seperti menjadi tidak kaku dalam pergaulan. 


Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Bapak Nathan Lambe (Hakim Perkara Anak pada Pengadilan Negeri Makassar), ia menyatakan bahwa :

“Umumnya perkara-perkara narkotika yang pelakunya adalah anak, dalam persidangan terungkap bahwa anak sangat rentan menjadi korban penyalahguna narkotika, hal ini disebabkan karena anak tersebut dibujuk oleh temannya untuk menggunakan narkotika tersebut, selain agar dapat menjadi anak gaul, juga kepribadiannya menjadi tidak kaku dalam pergaulan, hal ini diungkapkan secara alamiah oleh anak di hadapan persidangan”.

Ibu Patryani (Kantor Kejaksaan Negeri Makassar) juga mengungkapkan bahwa :

“Sejumlah perkara narkotika yang ditangani oleh pihak Kejaksaan Negeri Makassar khususnya

anak sebagai pelaku, pada umumnya diperoleh keterangan dari anak tersebut bahwa ia awalnya hanyalah coba-coba karena ditawari narkotika oleh teman sepermainannya”.

Berangkat dari pernyataan-pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya ungkapan dari Graham Blaine dan Soedjono Dirdjosisworo tentang sebab-sebab penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja dan usia anak masih relevan hingga saat ini. Dampak negatif yang kemudian muncul dari anak sebagai korban dalam penyalahgunaan narkotika jika tidak segera tertangani, maka anak tersebut dapat menjadi pelaku penyalahgunaan narkotika, anak sebagai korban dalam penyalahgunaan narkotika yang menjadi pecandu narkotika, dan anak sebagai pengedar narkotika. Berikut ulasannya :

a. Anak Sebagai Korban dalam Penyalahgunaan Narkotika yang Menjadi Pelaku Penyalahgunaan Narkotika.

Anak sebagai korban dalam penyalahgunaan narkotika yang menjadi pelaku penyalahgunaan narkotika sangat erat kaitannya dengan ulasan yang penulis telah paparkan sebelumnya. Bahwa, tindak pidana narkotika ini selain pelakunya ditetapkan sebagai penyalahguna narkotika, secara serta-merta pelaku tersebut juga ditetapkan sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Anak sebagai korban dalam penyalahgunaan narkotika yang menjadi pelaku penyalahgunaan narkotika adalah seorang anak yang menggunakan narkotika golongan 1, golongan 2, atau golongan 3 tanpa hak atau melawan hukum,


yang awalnya adalah merupakan korban dalam penyalahgunaan narkotika, dalam hal ini pengaturannya diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 juncto

Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Hal ini (sebagai korban dalam penyalahgunaan narkotika yang menjadi pelaku penyalahgunaan narkotika) memang nampak sangat sulit dibedakan antara penyalahguna narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika, karena terkadang seorang anak dapat ditetapkan dalam dua kategori

Fakultas Hukum – UNISAN 151 sekaligus yakni sebagai penyalahguna narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika. Namun untuk lebih memudahkan, di dalam Pasal 127 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 secara eksplisit di atur bahwa :

Pasal 127

(1) Setiap Penyalahguna:

a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. 


(3) Dalam hal Penyalahguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Sehingga dengan melihat rumusan Pasal 127 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tersebut jika di juncto-kan dengan Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dapat kita kategorikan bahwa:

- Anak yang menjadi korban dalam penyalagunaan narkotika adalah seorang anak yang tidak

sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika;

- Sedangkan anak yang menyalahgunakan narkotika adalah seorang anak yang menggunakan

narkotika golongan 1, golongan 2, atau golongan 3 tanpa hak atau melawan hukum, menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan untuk dimiliki, atau untuk persediaan, atau untuk persediaan atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman. Serta memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika golongan II dan III.

b. Anak Sebagai Korban dalam Penyalahgunaan Narkotika yang Menjadi Pecandu Narkotika.

Anak sebagai korban dalam penyalahgunaan narkotika yang menjadi pecandu narkotika adalah seorang anak yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis, yang awalnya adalah merupakan korban penyalahgunaan narkotika, yang pengaturannya diatur dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 juncto Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dengan mengikuti pemaparan sebelumnya, jika korban penyalahgunaan narkotika ini juga dipisahkan dengan pecandu, maka rumusannya sebagai berikut :

- Anak yang menjadi korban dalam penyalagunaan narkotika adalah seorang anak yang tidak

sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika;

152 Fakultas Hukum - UNISAN

- Sedangkan anak yang yang menjadi pecandu narkotika adalah seorang anak yang

menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

Pecandu inilah yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika yang paling berat, oleh karena efek yang ditimbulkannya menimbulkan ketergantungan terhadap narkotika tersebut. Berbeda dengan korban penyalahguna lainnya, pecandu memerlukan penanganan lebih dan kemungkinan kesembuhan secara total sangatlah kecil. Hal ini tidak mengherankan, karena pengaruh penggunaannya (effect), akibat kelebihan dosis (overdosis) dan gejala bebas pengaruhnya (Withdrawal Syndrome) dan kalangan medis, obat-obatan yang sering disalahgunakan itu dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok yaitu (Andi Hamzah dan R.M. Surachman, 1994:5) :

a. Kelompok Narkotika, pengaruhnya menimbulkan euphurina, rasa kantuk berat, penciutan pupil mata, dan sesak napas. Kelebihan dosis akan mengakibatkan kejang-kejang, koma, napas lambat dan pendek-pendek. Gejala bebas pengaruhnya adalah mudah marah, gemetaran, panik serta berkeringat, obatnya seperti : metadon, kodein, dan hidrimorfon. b. Kelompok Depresent, adalah jenis obat yang brefungsi mengurangi aktivitas fungsional

tubuh. Obat ini dapat membuat si pemakai merasa tenang dan bahkan membuatnya tertidur atau tidak sadarkan diri.

Semua zat yang termasuk Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif menimbulkan adiksi (ketagihan) yang pada gilirannya berakibat pada dependensi (ketergantungan). Zat yang termasuk Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif memiliki sifat sebagai berikut (http://e-journal.uajy.ac.id/) :

a. Keinginan yang tak tertahankan (an over – powering desire) terhadap zat yang dimaksud, dan kalau perlu dengan jalan apapun untuk memperolehnya.

b. Kecenderungan untuk menambah takaran (dosis) sesuai dengan toleransi tubuh.

c. Ketergantungan psikologis, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan menimbulkan gejala-gejala kejiwaan seperti kegelisahan, kecemasan, depresi dan sejenisnya.

d. Ketergantungan fisik, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan menimbulkan gejala fisik yang dinamakan gejala putus zat (withdrawal symptoms).

Penyalahgunaan/ketergantungan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif merupakan penyakit endemik dalam masyarakat modern, penyakit endemik dalam masyarakat modern, penyakit kronik yang berulangkali kambuh dan merupakan prose gangguan mental adiktif. Menurut Hawari penyalahguna Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif dapat dibagi dalam 3 golongan besar, yaitu (http://e-journal.uajy.ac.id/) :

1. Ketergantungan primer, ditandai dengan adanya kecemasan dan depresi, yang pada umumnya terdapat pada orang dengan kepribadian tidak stabil. Mereka ini sebetulnya dapat digolongkan orang yang menderita sakit (pasien) namun salah atau tersesat ke Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif dalam upaya untuk mengobati dirinya sendiri yang seharusnya meminta pertolongan ke dokter (psikiater). Golongan ini memerlukan terapi dan rehabilitasi dan bukannya hukuman.

2. Ketergantungan reaktif, yaitu (terutama) terdapat pada remaja karena dorongan ingin tahu, bujukan dan rayuan teman, jebakan dan tekanan serta pengaruh teman kelompok sebaya

Fakultas Hukum – UNISAN 153 (peer group pressure). Mereka ini sebenarnya merupakan korban (victim); golongan ini memerlukan terapi dan rehabilitasi dan bukannya hukuman.

3. Ketergantungan simtomatis, yaitu penyalahgunaan ketergantungan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif sebagai salah satu gejala dari tipe kepribadian yang mendasarinya, pada umumnya terjadi pada orang dengan kepribadian antisosial (psikopat) dan pemakaian Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif itu untuk kesenangan semata. Mereka dapat digolongkan sebagai kriminal karena seringkali mereka juga merangkap sebagai pengedar (pusher). Mereka ini selain memerlukan terapi dan rehabilitasi juga hukuman.

c. Anak Sebagai Korban dalam Penyalahgunaan Narkotika yang Menjadi Pengedar Narkotika.

Anak sebagai pengedar narkotika adalah seorang anak yang menawarkan untuk dijual, menjual, menyerahkan, menerima, menjadi perantara jual beli, atau menukar narkotika golongan I, II, dan III, yang pengaturannya diatur dalam Pasal 114, 119, 124, dan Pasal 129 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 juncto Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Jika dilihat secara umum, sebenarnya sulit jika seorang anak dikategorikan sebagai pengedar narkotika, karena sebagaimana dikemukakan pada rumusan awal bahwa anak dianggap belum dapat mengoptimalkan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi ke masa depan, sehingga dalam mengambil sikap dan tindakan yang kadangkala berujung pada perbuatan pidana. Namun implementasinya di lapangan penelitian yang penulis teliti (Kantor Kepolisian Resor Kota Besar Makassar, Kantor Kejaksaan Negeri Makassar, dan Pengadilan Negeri Makassar), hal tersebut terjadi.

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ibu Inspektur Satu (IPTU) Afryanti F. (Kepolisian Resort Kota Besar Makassar), ia menyatakan bahwa :

“Terdapat beberapa perkara narkotika, walaupun sebagian kecil saja yang pelakunya adalah anak, dalam hal ini anak sebagai pengedar norkotika yang ditangani oleh Polrestabes Makassar, hal ini terungkap dari barang bukti yang disita dan beberapa keterangan dari berbagai pihak

yang berkaitan denga perkara tersebut”.

Ibu Patryani (Kantor Kejaksaan Negeri Makassar), juga menyatakan bahwa :

“Perkara anak sebagai pengedar narkotika yang ditangani oleh pihak Kejaksaan Negeri

Makassar yang merupakan limpahan berkas dari Polrestabes Makassar, walapun jumlahnya

Dalam dokumen ISRAEL DARI OCCUPIED PALESTINIAN TERRITO (Halaman 43-81)

Dokumen terkait