• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN A Konsep Konstruksi Sosial

Dalam dokumen ISRAEL DARI OCCUPIED PALESTINIAN TERRITO (Halaman 123-141)

DALAM PENERTIBAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN EMAS DI KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

II. PEMBAHASAN A Konsep Konstruksi Sosial

Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality) menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmanmelalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge (1966). Ia menggambarkan

226 Fakultas Hukum - UNISAN

proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Asal usul konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari Italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme.

Kontruksi sosial memiliki arti yang luasdalam ilmu sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa kontruksi sosial memilikibeberapa kekuatan. Pertama, peran sentral bahasa memberikan mekanisme konkret, dimana budaya mempengaruhi pikiran dan tingkah laku individu.Kedua, kontruksi sosial dapat mewakili kompleksitas dalam satu budaya tunggal, hal initidak mengasumsikan keseragaman. Ketiga, halini bersifat konsisten dengan masyarakat dan waktu. Menurut De Lamater dan Hyde juga bahwa konstruksi sosial menyatakan tidak ada kenyataan pokok (essences) yang benar, realitas adalah kontruksi sosial oleh karena itu setiap fenomena adalah kontruksi sosial, hasil dari suatu budaya, bahasa, dan juga institusi-institusi.

Kontruksi sosial merupakan sebuah pandangan yang menunjukkan bahwa semua nilai, ideologi, institusisosial dan tentunya termasuk konsep keadilan adalah buatan manusia. Kontruksi sosial adalah sebuah pernyataan keyakinan (a claim) dan juga sebuah sudut pandang (a viewpoint) bahwa kandungan dari kesadaran, dan cara berhubungan dengan orang lain itu diajarkan oleh kebudayaan dan masyarakat. Menurut Sunyoto Usman, konstruksi sosial mengandung dua elemen penting yaitu kekuatan (power) dan pengetahuan (knowledge) (Sunyoto Usman. Bahan Kuliah Pada tanggal 04 oktober 2013), dimana pendekatan ini melihat masayarakat sebagai aktor-aktor yang memiliki pengetahuan dan kemampuan memberi tanggapan sekaligus merangsang perubahan sekaligus memberi respon terhadap perubahan yang terjadi. Asumsi dasar yang melekat pada pendekatan ini adalah kekuatan yang bersifat material dan ideational (material dan ideational forces) yang memfasilitasi sekaligus memberi energi terhadap agen dan struktur sebagai ajang sosialisasi. Berdasarkan uraian di atas menunjukkan tiga hal yaitu:

Pertama, Konstruksi sosial menunjukkan pada faktor yang bersifat material (kebendaan) sekaligus menekankan faktor yang bersifat idea tau gagasan (ideational). Faktor material dan ideational dianggap sama pentingnya, oleh karena itu konstruksi sosial tidak hanya menolak pembahasan fenomena yang hanya menekankan ide belaka atau pandangan yang lazim dengan kategori sosial (sesuatu yang tidak kasat mata) akan tetapi juga menolak kajian yang hanya menekankan pada materi (sesuatu yang kasat mata).

Kedua, Konstruksi sosial mengkaji mengenai agent/ structure duality. Dalam hal ini aktor dapat berperan sebagai agen aktif yang memiliki identitas atau jati diri. Pada setiap aktor juga memiliki pandangan, keinginan dan kepentingan. Sedangkan struktur adalah lingkungan yang membingkai kehidupan aktor tersebut. Dalam struktur terdapat nilai dan norma sosial serta wacana (discourse)

dimana wacana merupakan aspek penting yang harus diperhatikan dalam menjelaskan eksistensi fenomena dan proses sosial.

Fakultas Hukum – UNISAN 227

Ketiga, Konstruksi sosial mengkaji masalah proses sosial yang terjadi karena pengaruh atau bekerjanya faktor realitas material (dapat diidentifikasi dengan indikator yang terukur), dan bisa juga karena hasil konstruksi actor yang berkembang dalam kondisi sosial tertentu. Hasil konstruksi sosial yang dilakukan actor tersebut tumbuh dan berkembang melalui wacana, dalam bingkai norma sosial yang menjadi sumber sikap dan tindakan sosial. Dengan demikian proses sosial tersebut dapat dibahas dalam kaitannya dengan faktor material dan faktor ideational juga dapat dibahas dalam kaitannya dengan peran agen-struktur.

Sementara itu jika ditelaah lebih jauh terdapat beberapa asumsi dasar dari teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann. Adapun asumsi-asumsinya tersebut adalah: a). Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya; b). Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan; c). Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus; d). Membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak diri sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.

Berger dan Luckmann mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama.

Proses konstruksinya, jika dilihat dari perspektif teori Berger & Luckmann berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry concept, yakni subjective reality, symbolic reality dan objective reality. Selain itu juga berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi.

Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan ) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta.

Symblolic reality, merupakan semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai

objective reality” misalnya teks produk industri media, seperti berita di media cetak atau elektronika, begitu pun yang ada di film-film.

Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objectivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru (Dedy N Hidayat, 2003).

Melalui karya Hegel yaknitesis-antitesis-sintesis, Berger dan Luckmann menemukan konsep untuk menghubungkan antara yang subjektif dan objektif melalui konsep dialektika, yang dikenal dengan eksternalisasi-objektivasi-internalisasi. Eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia

228 Fakultas Hukum - UNISAN

sosio-kultural sebagai produk manusia. “Society is a human product”. Sementara Objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi.

“Society is an objective reality”. Dan Internalisasi ialah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man is a social product” (Basrowi,Sukidin, 2002).

Penjelasan di atas mengindikasikan bahwa kehidupan masyarakat sebenarnya ditandai oleh keterbukaan, dan perilakunya hanya sedikit saja yang ditentukan oleh naluri. Ia dengan sadar membentuk perilakunya dan hal ini berlangsung secara terus-menerus, dengan kesadaran intensionalnya selalu terarah dan dipengaruhi oleh objek yang berada diluarnya, hingga relasinya antara masyarakat dan segala pranatanya, bersinggungan secara dialektis.

Dari beberapa pemaparan sebelumnya, terdapat tiga sumber yang dijadikan dasar atau referensi aktor dalam membangun dan mengembangkan konstruksi terhadap fenomena sosial tertentu. Adapun ketiganya itu adalah berikut ini (Sunyoto Usman. Bahan Kuliah Pada tanggal 04 oktober 2013) :

Pertama, sebuah konstruksi sosial dapat distimulasi oleh identitas atau jati diri aktor, juga dipengaruhi oleh bagaimana aktor tersebut berperan dalam struktur. Identitas atau jati diri tersebut tertanam kuat sehingga tidak mudah berubah bahkan cenderung dipertahankan dengan keyakinan bahwa hal tersebut dapat mengatasi berbagai macam tensi atau kendala yang muncul bersamaan dengan perubahan. Identitas atau jati diri tersebut berpengaruh signifikan terhadap cara aktor memaknai realitas berupa faktor material dan ideational yang dihadapi atau yang terjadi di masyarakat.

Kedua, Konstruksi sosial distimulasi oleh norma sosial tertentu misalnya,dongeng atau cerita rakyat, adat istiadat dan hukum (folkways, mores and law) dan bisa juga di pengaruhi oleh nilai-nilai budaya tertentu seperti adat istiadat dan keyakinan masyarakat. Dalam kontruksi sosial perbedaan norma sosial dan nilai budaya berpengaruh signifikan terhadap cara aktor memaknai realitas juga berpengaruh terhadap perbedaan pola dan cara actor memerankan diri di dalam masyarakat.

Ketiga, Konstruksi sosial bisa dipengaruhi oleh bermacam-macam kepentingan, seperti kepentingan ekonomi dan kepentingan politik. Kepentingan ekonomi erat kaitannya dengan upaya menguasai sumber-sumber ekonomi dan pemasaran hasil produksi. Sumber ekonomi tersebut berupa sumber modal uang, sumber daya alam, ilmu pengetahuan dan teknologi. sedangkan kepentingan politik erat kaitannya dengan distribusi kekuasaan dan akses kekuasaan politik.

Dari beberapa uraian diatas mengindikasikan bahwa konstruksi sosial dapat diaplikasikan untuk memahami berbagai macam isu atau fenomena yang ada dalam masyarakat seperti konflik, diskriminasi gender, isu lingkungan, kajian kebijakan dan afiliasi politik.

B. Historikal Kawasan Adat Kajang Le’leng

Masyarakat Kajang pada mulanya terdiri atas beberapa kepala suku/adat. Mitos raja atau Karaeng (pemerintahan) selalu dikaitkan dengan Tau Manurung (orang yang turun ke bumi dan menjadi pemula lapisan keturunan bangsawan). Manusia pertama di Kajang adalah diturunkan dari kayangan atas kehendak Turie' A'Ra'na (Tuhan Yang Maha Esa) dan itulah yang disebut dengan Tau Manurung dan menjadi Ammatoa I (Amma Towa Mariolo). Ada beberapa mitos tentang manusia pertama, yaitu: Mitos pertama menyebutkan Turiek A’Ra'na memerintahkan kepada Batara Guru

Fakultas Hukum – UNISAN 229 kehendak Turiek A'Ra'na maka diturunkanlah Tumanurung ke bumi dengan mengendarai seekor burung berkepala dua yang disebut Koajang, inilah yang menjadi asal mula nama Kajang.

Mitos kedua menyebutkan bahwa Tumanurung diturunkan ke bumi adalah Batara Guru dari kerajaan Pertiwi, lahirlah tiga orang yaitu Batara Lattu, Sawerigading, dan Yabeng. Dan versi lainnya menceritakan bahwa sepasang suami isteri, masing-masing bernama Tamparang Daeng Maloang (Mado Putta Parang) dan Puabinanga. Muncul disebuah tempat bernama Tombolo sebagai manusia pertama di bumi ini, pasangan ini tidak mempunyai anak. Yang dimana sang suami akhirnya menikahi perempuan lain dan menghasilkan tiga orang anak, yaitu Kajang, Lembang, dan Laikang.

Masyarakat Ammatoa menjalankan sebuah agama adat yang disebut dengan Patuntung. Istilah

Patuntung berasal dari tuntungi, kata dalam bahasa Makassar yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti mencari sumber kebenaran. Ajaran Patuntung mengajarkan bahwa jika manusia ingin mendapatkan sumber kebenaran, maka ia harus menyandarkan diri pada tiga pilar utama, yaitu menghormati Turiek A’Ra’na (Tuhan), tanah yang diberikan Turiek A’Ra’na, dan nenek moyang (Rossler, M. 1990). Kepercayaan dan penghormatan terhadap Turiek A’Ra’na merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam agama Patuntung. Masyarakat adat Kajang percaya bahwa Turiek

A’Ra’na adalah pencipta segala sesuatu, Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa (Adhan, S. 2005:270).

Turiek A’Ra’na menurunkan perintah-Nya kepada masyarakat Kajang dalam bentuk pasang

(sejenis wahyu dalam tradisi agama Abrahamik) melalui manusia pertama yang bernama Ammatoa. Secara harfiah, pasang berarti “pesan”. Namun, pesan yang dimaksud bukanlah sembarang pesan. Pasang adalah keseluruhan pengetahuan dan pengalaman tentang segala aspek dan lika-liku yang berkaitan dengan kehidupan yang dipesankan secara lisan oleh nenek moyang mereka dari generasi ke generasi (Usop, KMA, 1985:18). Pasang tersebut wajib ditatati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Ammatoa. Jika masyarakat melanggar pasang,maka akan terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan (Adhan, S. 2005:271). Agar pesan-pesan yang diturunkan-Nya ke bumi dapat dipatuhi dan dilaksanakan oleh manusia, Turiek A’Ra’na memerintahkan Ammatoa untuk menjaga, menyebarkan, dan melestarikan pasang tersebut. Ammatoa adalah pemimpin dari kepercayaan

patuntung di Kajang, (“Amma” berarti bapak, dan “Toa berarti yang dituakan). Fungsi Ammatoa

dalam masyarakat Kajang adalah sebagai mediator, pihak yang mediasi antara Turiek A’Ra’na dengan manusia.

Dari mitos yang berkembang dalam masyarakat Kajang, Ammatoa merupakan manusia pertama yang diturunkan oleh Turiek A’Ra’na ke dunia. Masyarakat Kajang meyakini bahwa tempat pertama kali Ammatoa diturunkan ke bumi adalah kawasan yang sekarang ini menjadi tempat tinggal mereka. Suku Kajang menyebut tanah tempat tinggal mereka saat ini sebagai Tana Toa, “tanah tertua”, tanah

yang diwariskan oleh leluhur mereka. Mereka percaya, konon di suatu hari dalam proses penciptaan manusia pertama di muka bumi, turunlah Tumanurung dari langit. Turunnya Tumanurung itu mengikuti perintah Turiek A’Ra’na atau Yang Maha Berkehendak. Tumanurung turun ke bumi dengan menunggangi seekor burung Kajang yang menjadi cikal bakal manusia dan diyakini bahwa saat ini, keturununya telah menyebar memenuhi permukaan bumi. Namun, di antara mereka ada satu kelompok yang sangat dia sayangi, yakni orang Kajang dari Tana Toa.

230 Fakultas Hukum - UNISAN

Bagi orang Kajang, kepercayaan tentang Tumanurung ini diterima sebagai sebuah realitas. Di tanah tempat Tumanurung mendarat, mereka mendirikan sebuah desa yang disebut sebagai Tana Toa

atau tanah tertua tempat pertama kali munculnya manusia. Karena itu, mereka meyakini Tumanurung

sebagai Ammatoa (pemimpin tertinggi Suku Kajang) yang pertama dan harus mengikuti segala ajaran yang dibawanya. Kini, ajaran tersebut menjadi pedoman mereka dalam hidup keseharian, dan nama burung Kajang kemudian digunakan sebagai nama komunitas mereka. Melalui pasang, masyarakat

Ammatoa menghayati bahwa keberadaan mereka merupakan komponen dari suatu sistem yang saling terkait secara sistemis; Turiek A’Ra’na (Tuhan), Pasang, Ammatoa (leluhur pertama),dan tanah yang telah diberikan oleh Turiek A’Ra’na kepada leluhur mereka.

Menurut mitologi orang Kajang, ketika manusia belum banyak menghuni bumi, sebutan

Ammatoa belum dikenal. Yang ada ialah Sanro atau Sanro Lohe (dukun yang sakti). Sanro Lohe bukan hanya sekadar sebagai dukun yang dapat mengobati penyakit, melainkan juga tokoh atau pimpinan dalam upacara ritual keagamaan sekaligus sebagai pemimpin kelompok. Setelah kelahiran manusia kian meningkat dan kebutuhan semakin berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, istilah Amma

mulai dikenal. Struktur organisasi pun dibentuk dengan pembagian tugas dan fungsi masing-masing. Pembagian kekuasaan ini termaktub dalam Pasangri Kajang: Amma mana’ ada’ (Amma melahirkan adat) dan Amma mana’ karaeng (Amma melahirkan pemerintahan). Amma Toa didampingi dua orang

Anrong (ibu) masing-masing Anrongta ri Pangi dan Anrongta ri Bongkina dan para pemangku adat.

Anrongta ri Pangi bertugas melantik Ammatoa. Selain itu, dalam sistem politik tradisional yang berlaku di Kajang, Ammatoa juga dibantu oleh yang disebut sebagai Ada’ Lima Karaeng Tallu. Ada’

Lima (ri loheyadan ri kaseseya) adalah pembantu Ammatoa yang khusus bertugas mengurusi adat (ada’ pallabakki cidong). Di antaranya, mereka bergelar Galla Puto yang bertugas sebagai juru bicara

Ammatoa, dan Galla Lombo’ yang bertugas untuk urusan pemerintahan luar dan dalam kawasan(selalu dijabat oleh Kepala Desa Tana Toa).

C. Sistem Waris Masyarakat Kajang (Ilalang Embaya dan Ipantarang Embaya)

Kehadiran hukum waris adat masyarakat Ammatoa, memiliki arti tersendiri. Hukum waris masyarakat Ammatoa lahir dari kebiasaan turun-temurun yang telah diatur dalam Pasang ri Kajang

yang menjadi falsafah hidup sehari- hari masyarakat Ammatoa. Pasang merupakan hal yang paling bernilai sekaligus menjadi pedoman dalam membentuk pola berfikir, mengatur, mengarahkan dan mengajarkan makna hidup yang sesungguhnya bagi masyarakat Ammatoa. Sehingga konsekuensi yang ditimbulkan adalah terbentuknya model kehidupan tersendiri, misalnya dalam hal kepemilikan dan pembagian harta kekayaan tentunya masyarakat Ammatoa menjalankan proses kewarisan yang berbeda dengan masyarakat adat lainnya.

Pada dasarnya dalam kelompok masyarakat menganut sistem keturunan berdasarkan garis kedua orang tua yaitu dari pihak ayah dan dari pihak ibu (parental atau bilateral), baik anak laki-laki maupun anak perempuan berhak mendapat bagian warisan dari orang tuanya dan tidak membedakan kedudukan anak laki-laki maupun anak perempuan sebagai ahli waris. Dalam masyarakat yang mengenal sistem parental cenderung melaksanakan sistem individual seperti di Aceh, Melayu (Sumartera Utara), Sumatera Selatan, di pulau Jawa dan Madura, di Kalimantan dan Sulawesi. Namun

Fakultas Hukum – UNISAN 231 lain halnya dengan masyarakat yang berada di kawasan adat Ammatoa menganut kekeluargaan yang parental tetapi melaksanakan sistem individual dan kolektif bergilir.

Menurut Ammatoa, warisan adalah harta bergerak maupun tidak bergerak yang merupakan pemberian orang tua yang masih hidup atau telah wafat kepada keturunannya. Adapun harta warisan tersebut berupa tanah (lahan pertanian), rumah dan benda-benda yang ada dalam rumah (Hasil wawancara dengan Ammatoa, Pada Tanggal 18 Agustus 2014, Tana Toa, Kajang, Bulukumba).

Pada masyarakat adat Ammatoa, harta warisan dibagi dalam beberapa jenis, yaitu (Hasil Wawancara dengan (Ketua Badan Adat Ammatoa), Pada Tanggal 18 Agustus, 2014, Kajang, Bulukumba) : a) Harta bawaan dari suami/istri yang berasal dari orang tua yang dibawa ketika perkawinan (misalnya tanah, hewan ternak, perhiasan, alat tenun, alat rumah tangga). b). Harta pemberian/hadiah yang diperoleh suami/istri dari orang tua atau kerabat pada saat perkawinan (berupa bidang tanah), yang menjadi milik bersama untuk keperluan rumah tangga dan anak-anak. c). Harta bersama suami isteri yaitu harta pencarian selama adanya ikatan perkawinan.

Menurut Ketua Badan Adat Ammatoa ketiga macam harta tersebut akan dibagikan kepada para ahli waris sebelum orang tua wafat atau setelah orang tua wafat dengan berpedoman pada Pasang yang secara turun-temurun diyakini oleh masyarakat adat setempat.

Masyarakat di Kawasan Adat Ammatoa mengenal sistem pembagian secara parental atau sistem pewarisan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu dan bapak dengan sistem atau cara pembagian yang berbeda dengan yang lainnya. Sistem tersebut menempatkan anak laki-laki sebagai ahli waris yang menggunakan sistem kolektif bergilir untuk mengelola dan menikmati hasil pertanian, perkebunan dan peternakan yang di wariskan oleh orang tuanya sebagai ahli waris. Sedangkan anak perempuan sebagai ahli waris menggunakan sistem individual. Adapun harta warisan yang di peroleh berupa emas, alat tenun, dan alat rumah tangga. Selain itu anak laki-laki dan anak perempuan juga menggunakan sistem kolektif bergilir dalam hal menempati rumah tinggal yang diwariskan oleh pewaris. Sistem pembagian tersebut telah berlaku secara turun-temurun pada masyarakat adat setempat, sebagaimana yang telah di amanahkan di dalam Pasang ri Kajang, berupa pesan yang berasal dari Turiek A’Ra’na (Tuhan Yang Maha Esa) yang di turunkan kepada Ammatoa. Secara keseluruhan pembagian warisan sesuai garis keturunan adalah sama disetiap kawasan yang dipimpin oleh Ammatoa, yang membedakan hanyalah keturunannya saja. Apabila ada salah satu keluarga yang memiliki anak lebih dari garis keturunannya pada umumnya, maka pembagian warisan sepenuhnya diserahkan kepada Ammatoa. Harta warisan yang diperoleh para ahli waris, tidak dapat dipindah tangankan/dijual kepada orang yang bukan berasal dari keturunan yang sama (wilayah yang sama). Sedangkan rumah, diwariskan secara bergilir untuk menempatinya selama 2 tahun secara bergiliran oleh para ahli waris.

Dalam pembagian harta warisan, masyarakat Ammatoa sangat berpegang teguh dalam Pasang ri Kajang. Menurut Ammatoa dalam pasang disebutkan 4 macam keturunan, yaitu tau’ tallua’; tau’

appaka; tau’ annanga; dan tau’ limayya (Hasil wawancara dengan Ammatoa dan diterjemahkan langsung oleh Ketua Badan Adat Ammatoa, pada Tanggal 18 Agustus 2014, Di Desa Tana Toa, Kajang, Bulukumba), Tau’ Tallua merupakan keturunan Degempa ri Tulia tau Tumutung ri Sobu’

yang mendiami kawasan Tuli. Laki-laki diberikan hak sepenuhnya untuk mengelola tanah garapan

232 Fakultas Hukum - UNISAN

lahan pertanian yang hanya berada di kawasan Tuli selama 3 tahun, secara bergiliran. Sedangkan perempuan diberikan harta benda yang berada di dalam rumah, dibagikan secara adil oleh Bohe’

Amma. Sedangkan rumah yang di tempati oleh orang tua selama masih hidup diberikan wewenang kepada Bohe’ Amma untuk menentukan, siapa yang berhak menempatinya terlebih dahulu, dan bergiliran selama 2 tahun.

Sementara keturunan Tau’ Appa’ mendiami kawasan Sangkala. Laki-laki diberikan hak sepenuhnya untuk mengelola tanah garapan lahan pertanian yang hanya berada di kawasan Tuli selama 3 tahun, secara bergiliran. Sedangkan perempuan diberikan harta benda yang berada di dalam rumah, dibagikan secara adil oleh Bohe’ Amma. Sedangkan rumah yang di tempati oleh orang tua selama masih hidup diberikan wewenang kepada Bohe’ Amma untuk menentukan, siapa yang berhak menempatinya terlebih dahulu, dan bergiliran selama 2 tahun.

Tau’ Annanga merupakan kelompok yang mendiami kawasan Doro, dimana kawasan ini hanya didiami oleh keturunan dari Dalonjo Dibalagana’. Laki-laki diberikan hak sepenuhnya untuk mengelola tanah garapan lahan pertanian yang hanya berada di kawasan Tuli selama 3 tahun, secara bergiliran. Sedangkan perempuan diberikan harta benda yang berada di dalam rumah, dibagikan secara adil oleh Bohe’ Amma. Sedangkan rumah yang di tempati oleh orang tua selama masih hidup diberikan wewenang kepada Bohe’ Amma untuk menentukan, siapa yang berhak menempatinya terlebih dahulu, dan bergiliran selama 2 tahun.

Dan terakhir Tau’ Limayya, yang mendiami kawasan Limba, dimana kawasan ini hanya didiami oleh keturunan dari Bohe' Tuteaka. Laki-laki diberikan hak sepenuhnya untuk mengelola tanah garapan lahan pertanian yang hanya berada di kawasan Tuli selama 3 tahun, secara bergiliran. Sedangkan perempuan diberikan harta benda yang berada di dalam rumah, dibagikan secara adil oleh

Bohe’ Amma. Sedangkan rumah yang di tempati oleh orang tua selama masih hidup diberikan wewenang kepada Bohe’ Amma untuk menentukan, siapa yang berhak menempatinya terlebih dahulu,

Dalam dokumen ISRAEL DARI OCCUPIED PALESTINIAN TERRITO (Halaman 123-141)

Dokumen terkait