• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6 Metode Penelitian

1.6.1. Tipe penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Dengan tahapan penelitian pra-lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data, dan diakhiri dengan tahap penulisan laporan penelitian. Metode ini digunakan agar mampu menghasilkan data-data deskriptif mengenai pendidikan seks kepada remaja putri dalam keluarga. Dengan demikian, eksplorasi data secara mendalam tentang pendidikan seks bisa terjaring dengan baik. Prosedur penelitian kualitatif lebih bersifar sirkuler, artinya dalam hal-hal tertentu, langkah atau tahapan penelitian dapat diulang satu atau beberapa kali sampai diperoleh data yang lengkap untuk membangun teori dasar. Dalam konteks ini, peneliti dimungkinkan untuk beberapa kali turun ke lapangan. (Berutu, dkk. 2001)

1.6.1. Teknik pengumpulan data  Observasi

Pertama sekali ketika berada dilapangan, yang penulis lakukan dalam penelitian ini adalah melakukan observasi (pengamatan) kepada remaja putri di dalam keluarganya menyangkut masalah pendidikan seks yang diberikan. Dalam penelitian ini, observasi yang dilakukan oleh penulis dalam penelitian ini adalah observasi dan observasi partisipasi. Penulis mengawali terlebih dahulu dengan

observasi23

 Wawancara

. Dalam hal ini, penulis mengamati saja, yakni dengan mengamati dari jauh dahulu suatu keluarga yang memiliki anggota keluarga yang merupakan remaja putri dalam penerapan pendidikan seks oleh anggota keluarga lainnya. Hal ini disebabkan, ada beberapa hal dari subjek yang diteliti yang tak dapat diperoleh dengan keterlibatan langsung, seperti gerak tubuh yang sedang diteliti. Selanjutnya, penulis melakukan observasi partisipasi (participant observation) yakni, terlibat langsung ke dalam keseharian informannya misalnya, ikut tinggal bersama masyarakat. Penulis pun akan mencoba ikut merasakan bagaimana penerapan pendidikan seks yang diberikan di dalam keluarga tersebut kepada anak perempuan di dalam keluarga tersebut. Penulis juga akan mengamati, bagaimana hubungan antar anggota keluarga dalam konteks pembicaraan mengenai seks. Tidak hanya itu, penulis pun akan mengamati apa yang menjadi kendala dalam penerapan pendidikan seks di dalam sebuah keluarga kepada para remaja putri yang menjadi anggota keluarga tersebut. Sehingga dengan begitu, penulis akan mampu menyimpulkan bagaimana sebenarnya pendidikan seks yang diberikan kepada remaja putri di Kelurahan Kristen, kota Pematangsiantar tersebut.

Selain melakukan observasi (pengamatan), penulis juga akan melakukan wawancara mendalam mengenai masalah yang sedang diteliti oleh penulis. Wawancara mendalam (in–depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa

23

Observasi adalah suatu tindakan untuk meneliti suatu gejala (tingkah laku, peristiwa, artefak) dengan cara mengamati.

menggunakan pedoman wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Wawancara ini digunakan untuk mengungkapkan masalah yang sedang diteliti. Wawancara ini dilakukan beberapa kali sesuai dengan keperluan peneliti yang berkaitan dengan kejelasan dan kemantapan masalah yang dijelajahi.

Dalam wawancara ini digunakan metode wawancara mendalam yang dilakukan secara akrab dan penuh kekeluargaan. Sesuai dengan pendapat (Spradley, 1979:46; 1980:3) yang mengatakan bahwa, metode wawancara mendalam (in–depth interview) jenis ini tentunya berpijak pada prinsip bahwa peneliti melakukan learning from people (belajar pada masyarakat), dan bukannya study of people (mengkaji masyarakat).

Pada awalnya penulis mendatangi Kantor Lurah untuk meminta izin melakukan penelitian mengenai masalah yang sedang diteliti penulis. Setelah mendapat izin, penulis mendatangi ketua STM (Serikat tolong-menolong) yang bernama Bapak Sidabutar untuk mendapatkan informasi terkait masalah penelitian. Sang ketua merasa keberatan ketika hendak diwawancarai terkait masalah penelitian tersebut dikarenakan, beliau merasa isterinya yang lebih mengetahui dan paham akan masalah tersebut. Penulis pun ditujukan kepada isteri ketua STM tersebut. Secara kebetulan, Bapak Sinaga memiliki anak perempuan yang berusia 16 tahun dan 14 tahun. Penulis pun akhirnya mendapat informan pertamanya, yakni Ibu Siregar yang merupakan isteri dari ketua STM tersebut. Penulis pun mulai melakukan wawancara dengan Ibu Siregar dan setelah itu kepada anak perempuan mereka yang telah menginjak remaja.

Ketika melakukan wawancara dengan Ibu Siregar (38 tahun), beliau memberitahu bahwa di kelurahan tersebut ada beberapa remaja putri yang hamil di luar nikah. Ibu Siregar mencoba menjelaskan kepada penulis bahwa yang menjadi penyebab hal tersebut terjadi adalah kurangnya perhatian dari si ibu kepada anak perempuan tersebut. Ibu Siregar yang memiliki pendidikan terakhir adalah SMA mengaku bahwa, beliau sudah memberikan pendidikan seks yang baik kepada anak-anaknya. Selanjutnya penulis melakukan wawancara dengan anak perempuan mereka yang bernama Gerta (16 tahun). Saat mewawancarainya, Gerta menjelaskan bahwa, pendidikan seks yang ia dapat lebih banyak dari sekolah. Orangtuanya memang memberikan pendidikan seks namun, lebih bersifat nasehat-nasehat seperti agar lebih menjaga diri dan memilih teman-teman pria mereka. Selanjutnya penulis juga melanjutkan wawancara dengan putri ke-2 mereka yang bernama Widia (14 tahun). Berbeda halnya dengan kakaknya Gerta, Widia menjelaskan bahwa pendidikan seks yang ia tahu lebih banyak dari teman-temannya. Ia beranggapan bahwa ketika berbicara mengenai seks dengan keluarganya, ada rasa malu dan takut jika nanti akan ditertawai.

Selain mereka, ada beberapa informain lainnya yang penulis wawancarai. Mereka adalah Tante Lusi (40 tahun), Namboru Mida (45 tahun), Dion Purba (16 tahun), Tika Panggabean (15 tahun), dan Ibu Silaen (58 tahun). Penulis juga mencoba untuk mewawancarai pria yang dianggap sebagai ayah di dalam sebuah keluarga, namun tidak berhasil. Hal ini dikarenakan, mereka menganggap jika ingin berbicara mengenai masalah penelitian ini maka lebih baik kepada isteri mereka. Mereka menganggap bahwa, isteri merekalah yang lebih mengetahui dan

paham terkait pertanyaan yang akan diajukan penulis. Pada penelitian ini, penulis tidak akan membeda-bedakan mana yang termasuk ke dalam informan kunci dan mana yang termasuk ke dalam informan pangkal maupun informan biasa. Hal ini dikarenakan semua informasi yang penulis dapat selama wawancara adalah penting.

Penulis berusaha untuk menjalin rapport24

1.6.2. Rangkaian Pengalaman di Lapangan

dengan informan. Pengembangan rapport dilakukan dengan cara hidup beradaptasi dan mengikuti kegiatan sehari-hari masyarakat dan menjalin hubungan yang baik dengan penduduk setempat sehingga ketika melakukan wawancara, data yang di dapat benar-benar atau mendekati fakta sesungguhnya. Hasil-hasil wawancara akan dicatat dalam catatan lapangan dan untuk memudahkan pemahaman akan disertakan foto dan rekaman suara yang berkaitan dengan masalah penelitian.

Penulis tiba di lokasi penelitian pada tanggal 15 April 2013 yang lalu. Sebagai langkah awal penulis melapor ke Kantor Kelurahan Kristen serta menjelaskan maksud dari kedatangan penulis ke Kantor Kelurahan ini. Saat itu Kantor terlihat sepi hanya ada anak-anak PAUD yang sedang diajar oleh guru mereka di halaman depan. Penulis pun mencoba bertanya kepada guru tersebut. Dari guru tersebut, penulis mengetahui bahwa Bapak Lurah beserta pegawainya sedang apel pagi di kantor Camat. Guru tersebut meminta kepada penulis untuk datang lagi pada siang hari.

24

Sesaat akan beranjak pulang, penulis bertemu dengan salah seorang pegawai Kelurahan setempat. Penulis menghentikan langkahnya dan mengajak pegawai tersebut berbicara. Penulis pun memperkenalkan diri dan tidak lupa juga penulis memberikan surat izin penelitian dari Universitas Sumatera Utara kepada beliau yang bernama Bapak Tupa Sinaga. Bapak Tupa Sinaga menjelaskan bahwa bapak Lurah sedang berada di luar bersama pegawai lainnya. Beliau meminta saya untuk menunggu di dalam saja. Sembari menunggu, penulis meminta monografi Kelurahan kepada Bapak Tupa Sinaga. Beliau pun memberikan monografi Kelurahan dari tahun 2010-2013. Namun sesaat membuka monografi tahun 2013, ternyata monografi tersebut belum selesai diisi.

Bapak Tupa Sinaga menganjurkan untuk saya melihat monografi tahun 2012 saja. Beliau pun meminta penulis untuk membantu mengisi monografi tersebut ketika penelitian nanti. Cukup lama penulis menunggu namun, penulis tak merasa bosan dikarenakan sembari menunggu dan melihat-lihat monografi, penulis ditemani oleh anak-anak PAUD yang pada saat itu sedang istirahat sekolah. Selang beberapa waktu, Bapak Lurah pun datang. Bapak Tupa Sinaga langsung menemui dan menjelaskan maksud kedatangan penulis dan menyerahkan surat izin penelitian yang penulis berikan tadi. Penulis pun kembali memperkenalkan diri kepada beliau. Beliau menerima kedatangan penulis dengan sangat baik pada waktu itu dan pada saat penulis berdiskusi dengan beliau saat itu, beliau sangat tertarik dengan judul yang penulis ingin teliti di Kelurahan ini.

Bapak Lurah yang bernama Asman Sinaga juga mengatakan kepada penulis bahwa beliau memiliki anak yang juga kuliah di USU dan satu fakultas

dengan penulis hanya saja berbeda jurusan. Beliau bertanya apakah penulis akan melakukan penelitian di kantor atau langsung ke lapangan. Penulis pun menjelaskan bahwa ia akan langsung ke lapangan. Setelah berdiskusi cukup lama, penulis berpamitan untuk pulang dan meminta izin ingin memfotokopi monografi yang ia pinjam beserta peta kelurahan. Bapak Lurah pun meminta Bapak Sinaga untuk meminjamkan monografi dan peta kelurahan kepada penulis. Setelah selesai memfotokopi data-data tersebut, penulis pun mengembalikan kembali ke kantor kelurahan dan tak lupa mengucapkan banyak terima kasih.

Selanjutnya, penulis melanjutkan ke rumah ketua STM di kelurahan tersebut untuk bertemu dengan bapak Sinaga. Disana penulis berbincang-bincang dengan beliau terkait masalah penelitian tersebut. Namun, bapak tersebut merasa tidak begitu paham akan hal itu, sehingga beliau menyarankan untuk bertanya kepada isterinya. Akhirnya penulis pun memutuskan untuk melakukan wawancara dengan isteri beliau. Penulis meminta izin untuk bertemu dengan isterinya. Kebetulan pada saat itu, isteri Ketua STM tersebut sedang berada di luar. Penulis pun menunggu beberapa saat. Tak lama kemudian, isteri Ketua STM itu datang. Penulis pun segera memperkenalkan diri dan menceritakan maksud dari kedatangannya. Tak disangka-sangka, ternyata isteri Ketua STM yang bernama Ibu Siregar (38 tahun) begitu antusias terkait masalah penelitian yang penulis angkat menjadi penelitian skripsinya.

Setelah berkenalan, penulis pun memulai wawancaranya. Ibu Siregar mengakui bahwa pendidikan seks itu sangat penting bagi anak-anak saat ini khususnya remaja putri yang sedang menginjak usia pubertas. Beliau beranggapan

bahwa pendidikan seks itu dapat menjadi alat untuk menjaga diri remaja tersebut. Alat menjaga diri yang dimaksud beliau adalah sebagai pengetahuan-pengetahuan yang dapat memberikan penjelasan dan batasan-batasan tingkah laku bagi para remaja khususnya remaja putri. Beliau juga mengatakan bahwa, keluarga merupakan pemberi pendidikan seks pertama bagi si remaja putri tersebut. Tak dapat disangkal, sekarang ini menurut beliau banyak orangtua yang melupakan bahwa penerapan pendidikan seks itu penting.

Para orangtua lebih mementingkan pekerjaan mereka untuk mencari uang daripada tinggal di rumah untuk menjaga dan memperhatikan perkembangan serta pertumbuhan anak-anak mereka. Contohnya saja, ibu-ibu di kelurahan ini semuanya bekerja yakni, berdagang di pasar. Mereka akan pergi pukul 09.00 pagi dan pulang sore hari pukul 18.00. Hal ini tentu saja membuat komunikasi antara orangtua dan anak-anak mereka menjadi sangat sedikit. Akibatnya, anak-anak tersebut akan mencari tahu apa yang mereka tidak ketahui dari luar rumah, misalnya internet. Ibu Siregar pun menyatakan bahwa hal tersebutlah yang membuat salah seorang remaja putri hamil di luar nikah di kelurahan ini dapat terjadi. Kurangnya perhatian dari orangtuanya khususnya dari sang ibu, membuat pergaulan si anak tak dapat dikontrol dengan baik. Menurut beliau, keluarganya pun patut disalahkan.

Setelah berdiskusi panjang lebar, merekam dan menulis apa yang didiskusikan tersebut, penulis meminta izin kepada Ibu Siregar untuk mewawancarai putri-putri beliau. Setelah mendapat izin, penulis melanjutkan untuk mewawancari putri pertama beliau yang bernama Gerta (16 tahun). Gerta

mengaku bahwa pendidikan seks yang ia dapat lebih banyak dari sekolah. Keluarganya juga memberikan pendidikan seks, namun pendidikan seks yang ia dapat lebih bersifat nasehat-nasehat untuk menjaga dirinya. Gerta merasa pendidikan seks itu penting untuk dibicarakan dalam keluarga, karena menurutnya agar ia dan teman-teman sebayanya dapat lebih mengerti apa sebenarnya seks itu.

Ketika penulis bertanya apa tanggapannya akan kasus remaja putri yang hamil di luar nikah di kelurahan tersebut, ia merasa kecewa kepada remaja tersebut. Bagi dirinya itu diakibatkan karena kurangnya perhatian dari orangtua si anak akan pergaulan remaja tersebut. Gerta juga mengungkapkan bahwa, pergaulan yang dimiliki si remaja tersebut sudah sangat bebas. Sangat bebas yang ia maksud disini adalah tidak adanya kontrol dari orangtua akan pergaulan si anak. Tidak hanya itu, Gerta juga menyebutkan bahwa, beberapa kali ia sering menangkap basah remaja tersebut sedang berdua-duaan di dekat rumahnya. Bahkan ia mengungkapkan, ia melihat mereka ciuman. Baginya itu benar-benar perbuatan yang memalukan. Penulis juga bertanya bagaimana bila apa yang terjadi pada remaja itu terjadi pada dirinya. Gerta terkejut dan spontan mengatakan bahwa mungkin ia akan bunuh diri. Karena ia tidak akan mampu untuk menanggung malu akan perbuatan yang ia lakukan.

Penulis tak menyia-nyiakan waktu untuk bertanya lebih dalam kepada informannya tersebut. Banyak hal menarik yang penulis dapatkan selama berdiskusi dengannya. Setelah beberapa lama, Widia (14 tahun) yang merupakan adik dari Gerta datang menghampiri penulis dan Gerta yang sedang berbincang-bincang. Tanpa berlama-lama, penulis pun memperkenalkan dirinya kepada

Widia. Penulis juga bermaksud untuk mewawancarai Widia. Ada rasa malu-malu dari mimik wajah Widia ketika penulis mulai bertanya dan mengucapkan kata “seks”.

Penulis mendapatkan sedikit kesulitan saat akan mewawancarai Widia. Selama beberapa menit, Widia hanya tertawa-tertawa kecil dan malu-malu akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penulis tanyakan. Penulis pun sempat merasa kesal, namun penulis mencoba untuk bersabar demi dapat mewawancarai Widia. Setelah beberapa saat, akhirnya Widia pun mulai mau diwawancarai dengan serius. Widia mengaku pendidikan seks yang ia dapat sangat kurang dari orangtuanya. Hal ini dikarenakan ia tidak tinggal bersama orangtuanya melainkan bersama opung25

Salah seorang dari bapak tersebut yang bernama Bapak Situmorang mengatakan bahwa, lebih baik jika penulis ingin mengetahui hal yang

nya. Meskipun demikian, saat ia pulang ke rumah orangtuanya, ia sering mendapat nasehat-nasehat dari ibunya untuk lebih berhati-hati dengan anak laki-laki.

Tak terasa hari telah menjelang siang hari, penulis berpamitan kepada keluarga bapak Ketua STM untuk pulang. Di perjalanan akan pulang, penulis bertemu dengan sekumpulan bapak-bapak yang sedang berkumpul di sebuah warung. Penulis memutuskan untuk mampir ke tempat itu dan berharap mendapatkan informasi. Setelah memperkenalkan diri dan berbasa-basi sejenak, penulis pun menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke tempat itu. Beberapa di antara bapak-bapak tersebut tertawa mendengar apa yang penulis sampaikan.

25

berhubungan dengan masalah penelitian itu untuk bertanya kepada isteri mereka saja. Bapak itu mengatakan bahwa, isteri merekalah yang lebih mengetahui hal tersebut. Karena, anak perempuan mereka di rumah lebih suka membicarakan masalah itu kepada ibu mereka. Penulis sudah berusaha untuk bertanya lebih kepada bapak-bapak itu, namun hasilnya nol. Mereka bersikeras tidak mau diwawancarai. Penulis sangat merasa kecewa. Namun, penulis tetap semangat untuk mencari informan bapak-bapak yang mau diwawancarai untuk mendapatkan informasi terkait masalah penelitian ini. Penulis pun memutuskan untuk pulang dan melanjutkannya keesokan harinya. Sesampainya dirumah, penulis mengulang kembali hasil pembicaraan tersebut dan setelah itu penulis dapat menganalisis data tersebut.

Keesokan harinya, penulis melanjutkan untuk mencari informan yakni para bapak yang mau diwawancarai. Karena sampai saat ini penulis belum juga mendapatkan informan seorang ayah. Penulis berharap segera mendapatkannya. Penulis bertanya kepada seorang ibu yang sedang menunggu angkot, dimana kira-kira di pagi hari seperti ini, bapak-bapak di kelurahan ini berkumpul untuk membaca koran dan minum kopi. Ibu itu menunjuk sebuah warung yang ada di persimpangan jalan. Beliau mengatakan bahwa biasanya bapak-bapak di kampung ini akan berkumpul di warung itu untuk minum kopi dan membaca Koran sebelum mereka berangkat kerja.

Penulis bergegas menuju ke warung itu dan berharap mendapatkan informan. Sesampai disana, penulis tidak segera melakukan wawancara. Penulis takut kejadian penolakan semalam akan terjadi lagi. Kebetulan di warung itu ada

menjual mie balap sebagai sarapan di pagi hari. Penulis pun berpura-pura seperti warga yang hendak sarapan pagi. Penulis memesan mie balap dan segelas teh manis serta duduk di bangku bersama dengan bapak-bapak tersebut. Salah seorang bapak terlihat sedang asyik membaca surat kabar dan sesekali terlihat mendesis. Penulis pun mendekati bapak tersebut. Penulis mulai menegur bapak tersebut dengan berpura-pura menanyakan apa yang bapak itu baca.

Bapak itu mengatakan bahwa, semua berita di surat kabar sekarang ini setiap harinya tentang pemerkosaan. Beliau mengatakan bahwa semakin banyak saja orang-orang “bejat” sekarang ini. Seorang ayah saja mampu memperkosa anaknya sendiri apalagi orang lain. Penulis merasa ini adalah waktunya untuk masuk mewawancarai bapak itu. Saat akan memulai wawancara, bapak tersebut permisi untuk berangkat kerja. Penulis merasa kecewa lagi. Hampir saja penulis berhasil mendapatkan waktu yang tepat namun, gagal lagi karena bapak itu harus berangkat kerja. Penulis pun bertanya apakah bisa berbincang-bincang di lain hari, bapak itu menjawab “iya”.

Pesanan penulis pun datang. Saat menikmati sarapan, penulis melihat seorang bapak yang baru saja datang. Bapak tersebut menegur penulis. Ternyata bapak itu adalah Bapak Sinaga yang merupakan Ketua STM yang baru ditemui penulis kemarin. Bapak-bapak yang ada di warung itu heran melihat penulis dan beliau begitu akrab. Salah seorang bapak menanyakan siapa penulis kepada ketua STM tersebut. Bapak Sinaga pun memperkenalkan penulis. Penulis pun mengambil kesempatan untuk mewawancarai bapak-bapak yang ada disana.

Respon mereka sama seperti respon Bapak Sinaga saat penulis wawancara kemarin. Mereka pun juga meminta penulis untuk bertanya kepada isteri mereka.

Kembali rasa kecewa menghinggapi penulis. Penulis berpikir apa yang harus penulis lakukan selanjutnya. Penulis pun mencari tahu siapa nama bapak dan dimana rumahnya yang penulis temui tadi. Salah seorang bapak di warung itu mengatakan bahwa beliau tidak tinggal di kelurahan tersebut. Beliau hanya terkadang mampir untuk membaca surat kabar saja. Penulis mulai putus asa. Tak terasa mie yang ada dihadapan penulis sudah dingin dan tak enak lagi dimakan ditambah lagi hilangnya selera makan penulis akibat rasa kekecewaan tersebut. Penulis sulit sekali mendapatkan informan seorang ayah untuk diwawancarai. Para ayah tersebut merasa bahwa masalah terkait seks itu hanya kaum ibu yang paham dan yang biasa memberikan pendidikan seks kepada putra-putri mereka.

Penulis pun memutuskan untuk pulang menenangkan hati dan pikirannya. Penulis juga ingin mengatur rencana untuk dapat menemukan cara bagaimana agar para ayah mau diajak berbicara mengenai masalah penelitian ini. Penulis pun berpamitan untuk pulang dan membayar sarapan yang penulis pesan tadi. Sesampai di rumah, ternyata ada tamu. Tamu tersebut adalah Namboru Mida (45 tahun). Kesempatan ini tak disia-siakan oleh penulis. Penulis pun mulai berdiskusi dengan namboru tersebut.

Menurut Namboru Mida, tabu baginya untuk membicarakan masalah seks antara orangtua dan anak. Bagi beliau, sang anak akan mengetahui apa seks itu kelak ketika ia telah berumahtangga. Penulis merasa ini informasi penting. Penulis pun semakin bersemangat untuk mengorek lebih dalam lagi. Namboru Mida

mengaku bahwa, beliau tidak pernah berbicara mengenai masalah tersebut kepada anak-anaknya. Anak-anaknya terkhusus putrinya yang beranjak remaja pun tidak pernah berbicara mengenai masalah tersebut. Menurut Namboru Mida, anak-anaknya akan mengetahui lebih baik dari luar, apalagi saat ini kemajuan teknologi sudah semakin canggih. Ketika penulis bertanya apakah pendidikan seks itu penting, beliau mengatakan bahwa, pendidikan seks itu penting. Namun, akan lebih baik jika yang mengajarkannya adalah sekolah. Karena sekolah lebih mengetahui bagaimana mengajarkan pendidikan seks itu sesuai usia anak tersebut.

Dari beberapa informan yang penulis wawancarai menjelaskan bagaimana pendidikan seks yang ada di dalam keluarga. Para ibu mengaku bahwa mereka telah memberikan pendidikan seks kepada putri mereka, namun beberapa remaja putri mengaku bahwa pendidikan seks yang mereka dapat lebih banyak dari sekolah yakni dalam pelajaran biologi, sedangkan ibu mereka hanya sekedar memberikan nasehat dan larangan-larangan yang harus mereka jauhi dalam pergaulan mereka. Para ayah pun mengaku bahwa, yang bertanggungjawab memberikan pendidikan seks itu adalah para ibu di dalam keluarga masing-masing. Hal ini dikarenakan para ibu lebih memiliki hubungan yang dekat dengan

Dokumen terkait