• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode studi pustaka dan metode deskriptif. Menurut Sugiyono (2012:291) studi kepustakaan berkaitan dengan kajian teoritis dan referensi lain yang berkaitan dengan nilai, budaya dan norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti, selain itu studi kepustakaan sangat penting dalam melakukan penelitian, hal ini dikarenakan penelitian tidak akan lepas dari literatur-literatur Ilmiah. Adapun teknik pengumpulan data yaitu dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada.

Menurut saifuddin Azwar dalam Butar-Butar (2016: 14) metode deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena-fenomena yang diselidiki.

Dalam penulisan skripsi ini, data dihimpun dari berbagai literatur buku yang berhubungan dengan masalah penelitian. Survey book dilakukan oleh penulis diberbagai perpustakaan, seperti : Perpustakaan Jurusan Sastra Jepang USU, Perpustakaan USU, perpusatakan Fakultas Ilmu Budaya USU dan beberapa perpustakaan lainnya. Selain itu, penulis juga mengambil data-data dari jurnal dan situs internet.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG SHOGATSU DAN SISTEM KEPERCAYAAN DI JEPANG

2.1 Perayaan Shogatsu di Jepang

Shogatsu adalah perayaan tahun baru di Jepang yang menjadi agenda tahunan terpenting. Perayaan ini tidak hanya sehari, tetapi dirayakan selama tiga bahkan sampai tujuh hari pertama pada bulan Januari, perayaan tahun baru merupakan salah satu perayaan yang paling di nantikan oleh masyarakat Jepang (Gilhooly,2002:24). Karena dianggap merupakan sebuah perayaan yang sangat penting, semua kantor pemerintah, sekolah, dan sebagian besar urusan bisnis diharuskan tutup bahkan bisa sampai satu atau dua minggu.

Perayaan Shogatsu merupakan perayaan yang paling dinantikan oleh masyarakat Jepang, dahulu kata “Shogatsu” dipakai untuk nama bulan pertama dalam setahun tetapi sekarang hanya digunakan untuk tiga hari pertama pada awal tahun. Baik di Jepang maupun di seluruh muka bumi, tahun baru dirayakan pada tanggal 1 Januari, mengikuti penanggalan Masehi. Ini sedikit berbeda dengan beberapa negara yang terpengaruh kuat oleh kebudayaan Cina, yang merayakan tahun baru berdasarkan kalender Cina. Pada awalnya Jepang merayakan tahun baru berdasarkan kalender Cina, tetapi kemudian mengubahnya menjadi kalander Masehi.

Selain merupakan sebuah perayaan, shogatsu juga menjadi hari libur panjang bagi masyarakat Jepang. Semua kantor pemerintah, sekolah dan sebagian besar

urusan bisnis tutup dari tanggal 29 Desember hingga tanggal 3 Januari. Dalam perayaan shogatsu, terdapat cukup banyak pengaruh Shinto di dalamnya, seperti yang terdapat pada tujuan perayaan shogatsu, kegiatan menjelang shogatsu, dekorasi shogatsu, dan juga pada puncak perayaannya.

Berikut ini merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat Jepang dalam menyambut dan merayakan hari pergantian tahun yaitu sebagai berikut:

1. Osōji (お掃除)

Dalam rangka menyambut Tahun Baru, orang Jepang memiliki kebiasaan bersih-bersih rumah secara besar-besaran yang disebut Osōji. Pada akhir tahun, orang Jepang akan membersihkan rumah mereka dengan lebih giat dan telaten.

Karena dengan dibersihkannya kotoran yang sudah menumpuk selama setahun diharapkan dapat mengawali tahun baru dengan hati yang baru. Menurut Sudjianto (2002:81) pembersihan ini tidak hanya dirumah-rumah, tapi juga dilakukan di kuil-kuil, gedung sekolah, perkantoran dan tempat-tempat lainnya. Kegiatan kebersihan ini meliputi seluruh bagian dalam bangunan hingga daerah bagian luar seperti halaman dan perkarangan. Biasanya Osōji dilakukan jauh sebelum tahun baru, namun ada juga keluarga yang melakukan osōji sehari sebelum tahun baru.

Kegiatan pembersihan mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat Jepang karena dalam kehidupan sehari-hari mereka sering melakukan kegiatan ini, termasuk pada saat akan melakukan perayaan-perayaan. Terutama kegiatan pembersihan sebelum perayaan tahun baru, karena dilakukan secara menyeluruh

oleh semua masyarakat Jepang. Kegiatan pembersihan yang dilakukan oleh masyarakat Jepang dipengaruhi oleh kepercayaan ajaran Shinto. Dalam kepercayaan ajaran Shinto, kegiatan pembersihan ini sangat penting untuk dilakukan, karena selain bertujuan untuk membersihkan juga dianggap penting sebagai penghormatan kepada dewa (kami).

Dalam ajaran Shintō terdapat tiga jenis pembersihan, yaitu:

1. Oharai

Oharai merupakan salah satu jenis pembersihan yang sangat sering dilakukan oleh orang Jepang dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan dengan jenis pembersihan yang lain. Pembersihan yang dilakukan yaitu untuk mengusir kekuatan jahat dan menghilangkan kotoran, Pembersihan ini dilakukan di kuil dan gedung yang akan ditempati,dilakukan dengan cara melambaikan batang pohon sakaki yang dipercaya memiliki kekuatan untuk mengusir kekuatan jahat.

Dalam Alimansyar (2017:72), dikatakan bahwa kegiatan Oharai dilakukan oleh pendeta, Adapun tata tertib yang harus dilaksanakan adalah pertama-tama seorang pendeta membacakan doa (harae-kotoba), pendeta lain mengibaskan kertas suci yang disebut o-nusa sebanyak tiga kali diatas kepala para peserta ritual, seorang pendeta lain mendekati para peserta dengan membawa ranting pohon sasaki dan air garam, lalu memercikkannya. Tetapi dalam ritual untuk kepentingan pribadi percikan air garam sering dihilangkan.

2. Misogi

Menurut Nishioka dalam Alimansyar (2017:99), Misogi adalah ritual menyucikan diri dengan cara menyiramkan air ke seluruh tubuh dengan tujuan untuk membersihkan dari hal-hal buruk, noda, dan kotoran yang melekat di tubuh.

Prosesi dalam misogi ini lebih mirip dengan bersemadi atau melakukan pertapaan di air. Upacara dipimpin oleh pendeta Shinto dengan dibacakan doa-doa (norito).

Peserta membenamkan diri berulang kali di dalam air sampai doa selesai dibacakan.

Ritual ini biasanya dilakukan dengan cara mandi di sungai, di laut, dan di bawah air terjun. Misogi dilakukan dengan tujuan untuk melindungi diri dari suatu hal yang buruk agar bisa melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik. Di kuil-kuil biasanya akan terdapat air yang bisa digunakan untuk pembersihan yaitu denga cara membasuh muka, kedua tangan dan kedua kaki.

3. Imi

Imi merupakan kegiatan pembersihan yang dilakukan secara tidak nyata, artinya pembersihan ini hanya dijadikan sebagai simbol pencegahan terhadap hal-hal yang dianggap sial, salah satu contoh seperti wanita yang sedang haid atau setelah melahirkan (mengeluarkan darah kotor) tidak diperbolehkan masuk kuil, karena hal tersebut dipercaya dapat mendatangkan kesialan.

Dalam menyambut tahun baru ritual pembersihan mulai dilakukan dua minggu sebelum pergantian tahun. Hal ini dikarenakan orang Jepang percaya bahwa para dewa akan datang ke dunia dengan membawa berkah berlimpah. Dewa

hanya bersedia datang jika diundang oleh orang yang berhati bersih dan juga bersedia datang di tempat yang bersih.

2. Menyiapkan dekorasi Tahun baru

Hiasan atau dekorasi yang terdapat dalam perayaan shogatsu disebut dengan Okazari. Benda-benda tersebut dikategorikan sebagai engimono yang berarti benda yang membawa keberuntungan. Hiasan Ōshōgatsu mulai dipasang seminggu sebelum tahun baru sampai perayaan Koshōgatsu.

Menurut Brandon dan Barbara (1994 : 47) ada beberapa dekorasi penting dalam perayaan shogatsu diantaranya adalah :

- Kadomatsu : merupakan hiasan yang dirangkai dari pohon cemara, bambu, dan beberapa tumbuhan lainnya yang diletakkan di depan pintu masuk seperti gerbang rumah atau gerbang kantor. Ada yang meletakkannya sepasang dan ada juga yang meletakkan hanya satu buah saja. Pada tahun baru dipercaya bahwa benda-benda dekorasinya harus terlihat hijau dan segar. Oleh karena itu, bambu langsung digunakan setelah dipotong karena warna hijau pada bambu dapat bertahan lama. Kadomatsu memiliki makna sebagai Keberuntungan yang di yakini untuk memberkati seluruh keluarga pada awal tahun dan digunakan untuk menyambut datangnya dewa.

- Shimenawa : yaitu hiasan yang terbuat dari dua buah untaian jerami padi yang dililitkan dan dibentuk menjadi sebuah tali. Biasanya hiasan ini digantung di depan pintu masuk atau diletakan di kamidana (altar Shinto)

sebagai simbol pengusir roh-roh jahat atau jimat untuk penolak bala. Hal ini bertujuan agar setiap orang mendapatkan keselamatan dan perayaan Tahun Baru berjalan dengan lancar.

- Shimekazari: hiasan ini sama seperti shimenawa, namun pada shimekazari ditambah beberapa ornamen khusus seperti jeruk, udang laut, dan sebagainya yang ditempel didepan pintu. Shimekazari juga berfungsi untuk menangkal hal-hal buruk dan masuknya roh jahat ke dalam rumah.

- Kagami mochi, adalah hiasan tahun baru yang terdiri dari tumpukan dua buah mochi berbentuk bundar, yang susunannya yakni mochi berukuran besar dibawah dan yang berukuran kecil di atas, yang diatasnya ditambah dengan beberapa hiasan seperti berbagai macam daun-daunan tertentu. Hal ini melambangkan tahun lama dan tahun baru.

- Kirigami, terdiri dari berbagai bentuk dan orang Jepang percaya bahwa disetiap bentuk ditempati oleh dewa yang berbeda. Seperti, bentuk gohei yaitu guntingan atau lipatan berbentuk zigzag yang diselipkan pada celah tongkat bambu. Bentuk ini dipercaya sebagai tempat tinggal Toshigami.

Bentuk kirigami lainnya yaitu ikan dan kura-kura dijadikan sebagai tempat tinggal dewa keberuntungan yaitu Ebisu dan Daikoku (dewa laut yang memberi berkah kepada para nelayan saat tahun baru berupa hasil laut yang melimpah), kirigami dijadikan sebagai tempat tinggal para dewa.

- Miki no Kuchi, merupakan salah satu hiasan tahun baru yang terbuat dari bahan kertas, bambu, dan tatal kayu yang dirangkai menjadi sebuah bentuk

hiasan kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi sake (minuman tradisional Jepang yang mengandung alkohol dibuat dari bahan beras). Sake terbuat dari air beras yang diyakini sebagai lambang kesuburan yang disukai oleh para dewa dan dianggap sebagai minuman suci yang dipersembahkan untuk dewa. Karena itu, miki no kuchi dijadikan sebagai lambang minuman yang digunakan untuk menyambut kedatangan para dewa.

Perayaan Koshōgatsu juga memiliki hiasan tahun baru. Sama halnya dengan Ōshōgatsu pada perayaan Koshōgatsu orang Jepang juga memanjatkan doa dan melakukan ritual pemasangan hiasan. Hiasan tersebut dipercaya sebagai persembahan kepada para dewa yang akan datang pada tahun baru membawa berkah yang berlimpah. Hiasan Koshōgatsu umumnya disebut dengan monotsukuri yang berarti benda buatan. Hiasan Koshōgatsu dibuat menyerupai rangkaian bunga atau buah karena berhubungan dengan pertanian. Menurut Nurchayati (2010:24) hiasan yang dipasang pada saat Koshōgatsu ada dua macam yaitu

- Mochibana adalah hiasan dari ketan atau beras dan makanan-makanan lain untuk menyambut tahun baru, mochibana diletakkan di ruang tamu, tempat ibadah, dan tempat tempat lain yang diyakini akan didatangi oleh dewa, Orang Jepang menganggap mochi sebagai benda yang dapat mendatangkan keberuntungan.

- Hiasan dari kayu hiasan dari kayu berbentuk bunga. Hiasan memiliki makna pengusir kekuatan jahat, karena kayu yang dijadikan sebagai hiasan ini

diambil dari daerah pegunungan, Cara membuat hiasan ini yaitu dari serutan kayu yang tipis dibuat menjadi bentuk keriting atau ikal kemudian dirangkai dan diletakkan melingkar pada sebuah batang kayu sehingga akan seperti bentuk bunga.

3. Mempersiapkan makanan tahun baru

Osechi ryouri adalah hidangan khusus tahun baru yang disantap oleh orang Jepang pada tanggal 1-3 Januari. Masakan khas tahun baru di Jepang antara lain seperti Osechi ryori, Ozoni dan Mochi. Hidangan ini memiliki beraneka macam makanan seperti makanan panggang, makanan rebus, acar-acaran dan lain-lain.

Osechi ryouri adalah makanan tradisional yang biasa disantap pada saat tahun baru. Sejak zaman Meiji, osechi dihidangkan dengan menggunakan kotak khusus yang khas, namun tidak sedikit pula ada keluarga yang menghidangkan osechi ini dengan piring besar, dikarenakan orang jepang akan makan Osechi ini selama 3 hari berturut-turut.

Osechi ryouri terdiri dari daidai, datemaki, kamaboko, kazunoko, konbu, kuromame, kohaku namasu, tai, tazukuri, zoni, ebi dan nishiki tamago. Makanan yang ada di dalamnya pun melambangkan banyak hal misalnya untuk kesehatan, kesuburan, panen yang melimpah, panjang umur, kebahagiaan dan lainnya. Semua masakan osechi ini harus dapat bertahan lama karena pada perayaan Shogatsu ibu rumah tangga dilarang untuk memasak selama tiga hari untuk menghindari terkena luka bakar yang dipercaya bisa menjadi pertanda yang buruk. Hal ini juga bisa

menjadi waktu libur bagi ibu rumah tangga untukmemasak.

(https://id.wikipedia.org/wiki/Osechi)

Ozoni adalah sup berisi mochi yang kenyal yang didalamnya terdapat berbagai macam sayuran. Mochi adalah makanan khas Jepang yang juga menjadi salah satu dekorasi tahun baru. Mochi terbuat dari beras ketan. Proses membuat mochi disebut mochitsuki. Sebagian besar makan osechi dibuat dengan rasa yang sangat manis, asin atau bisa diacar dengan cuka sesuai dengan selera masing masing.

Disarakannya juga Makanan osechi harus dimasak hingga sangat kering agar tahan lama. Selama tahun baru nantinya, orang Jepang dilarang menyalakan api karena ada kepercayaan bahwa dewa api akan marah melihat orang memasak pada hari tahun baru. Di Jepang kebiasaan tidak memasak selama hari tahun baru sudah ada sejak zaman Heian. Tradisi ini mungkin dibuat agar ibu rumah tangga tidak melakukan aktivitas memasak di dapur agar mereka dapat beristirahat.

Proses pembuatan osechi ryouri tidaklah mudah dan memakan waktu yang sangat lama, zaman sekarang para ibu rumah tangga lebih memilih untuk membeli osechi ryouri yang sudah siap saji yang banyak dijual dipasar modern dan restoran-restoran serta dimasak langsung oleh koki yang terkenal di restoran-restoran tersebut.

Meskipun harganya yang relatif cukup mahal tetapi tidak mengurangi minat para ibu rumah tangga untuk membelinya.

4. Hatsumode (初詣)

Hatsumode atau disebut juga dengan hatsumairi adalah kunjungan pertama ke kuil Buddha atau kuil Shinto pada awal tahun baru di Jepang. Biasanya orang

Jepang mengunjungi kuil pada hari pertama,kedua dan ketiga tahun baru, namun kunjungan ke kuil sepanjang bulan Januari juga masih bisa dikatakan sebagai Hatsumōde. Kunjungan tersebut dilakukan bertujuan untuk berdoa memohon keselamatan, kesehatan dan kedamaian untuk tahun yang baru. Dalam Haryanti (2013:181) ketika melakukan kegiatan Hatsumode mereka tidak lupa untuk membeli Omikuji (undian yang berisikan ramalan nasib) yang akan meramalkan bagaimana peruntungan nasib mereka pada tahun tersebut.

2.2 Konsep Kepercayaan Masyarakat Jepang

Di dalam kehidupan manusia, kegiatan religi merupakan suatu hal yang akan selalu dilaksanakan. Baik pada masing-masing negara, daerah, ataupun individu memeluk dan meyakini kepercayaan yang berbeda satu sama lain. Di Jepang, kebebasan agama dijamin bagi semua orang berdasarkan Undang Undang Dasar.

Pasal 20 UU menjadi dasar tentang kehidupan beragama di Jepang dimana negara tidak berhak untuk mengatur kehidupan beragama seseorang. Sebagian masyarakat Jepang mempunyai pola pikir modern dan menganggap agama bukan merupakan hal penting dan merupakan urusan pribadi dimana orang lain tidak berhak ikut campur dalam kehidupan beragama seseorang.

Kehidupan beragama Masyarakat Jepang dalam Situmorang (2013:23) mengatakan bahwa masyarakat Jepang pada zaman dahulu sudah mempunyai kebiasaan untuk menyembah alam dan menyembah roh leluhur sepanjang sejarah, orang Jepang berpendapat bahwa didalam binatang, pohon, rumput, laut, gunung terdapat “Kami/Tuhan” yang mengontrol iklim dan panen mereka, masyarakat

Jepang beranggapan dewa yang mengatur alam merupakan roh nenek moyang mereka yang sudah meninggal. Oleh karena itu, abu nenek moyang, mereka simpan sebagai Tuhan yang menjaga anak cucu mereka kelak.

Umumnya dikatakan bahwa agama resmi di Jepang ada dua yaitu agama Shinto dan agama Budha. Didalam (Sasaki,1999:71) ada suatu hal yang menunjukkan adanya penyatuan konsep dua agama dalam kehidupan masyarakat Jepang yaitu pada saat Tahun Baru orang-orang Jepang akan pergi ke kuil Shinto yang disebut dengan Jinja dan pada saat perayaan Obon mereka pergi kuil Budha yang disebut dengan Otera, lalu di rumah mereka terdapat tempat pemujaan agama Shinto yang disebut dengan kamidana dan tempat pemujaan agama Budha yang disebut dengan butsudan.

Penganut agama di Jepang menurut Kementeriaan Pendidikan Jepang, yaitu pemeluk agama Shinto sekitar 107 juta orang, agama Budha sekitar 89 juta orang, agama Kristen dan Katolik sekitar 3 juta orang, dan agama lainnya sekitar 10 juta orang sehingga total seluruh penganut agama di Jepang berkisar 290 juta orang, hal ini desebabkan karena sebagian masyarakat Jepang menganut lebih dari satu agama dan mereka mengikuti ritual dan perayaan dalam berbagai agama setiap tahunnya.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Jepang merupakan salah satu negara di dunia yang memberikan kebebasan sepenuhnya kepada masyarakatnya untuk menjalankan suatu kepercayaan tanpa harus terikat kepada salah satu agama atau kepercayaan tertentu. Hal ini menunjukkan keunikan serta ciri khas dari sistem kepercayaan di negara Jepang.

Menurut Mulyadi (2017: 20) ada empat hal yang bisa dianggap sebagai konsep beragama dalam kehidupan masyarakat Jepang. Empat hal tersebut adalah:

1. Adanya pencampuran banyak agama dalam tubuh agama asli Jepang menyebabkan “agama” bagi bangsa Jepang menjadi makin kabur.

2. Beda antara agama dengan budaya dan rutinitas semakin tipis, sehingga bangsa Jepang mempunyai konsep berpikir tentang agama yang benar-benar berbeda dengan bangsa lain.

3. Agama di Jepang dapat dikatakan menjadi hal yang sangat aneh dan menempati tempat yang sangat terbelakang dalam hati bangsa Jepang.

4. Banyak prilaku kehidupan bangsa Jepang yang menunjukkan pencampuran agama yang tidak ada batasnya.

Konsep agama dalam kehidupan bangsa Jepang mencerminkan kepribadian bangsa Jepang yang tidak mau terikat oleh apapun bahkan oleh agama sekalipun.

Bagi mereka kebebasan dalam berekpresi adalah segalanya begitu pula dalam hal beragama, tidak boleh ada seorang pun bahkan negara yang mengatur kehidupan beragama seseorang karena beragama menjadi salah satu hak asasi manusia yang harus dihormati. Tetapi tidak dapat dipungkiri juga kebanyakan masyarakat Jepang menjadikan Shinto dan aturan-aturan Budha sebagai bagian dari kegiatan sehari-hari mereka.

2.3 Konsep Shinto

Shinto adalah kepercayaan masyarakat asli Jepang yang lahir sejak zaman prasejarah dan merupakan tradisi yang turun temurun. Doktrin dasar dalam agama Shinto adalah kesucian (Hartz, 2009:85). Kepercayaan ini menganut paham animisme, yang masyarakatnya berkeyakinan bahwa kekuatan spritual ada di seluruh alam. Sebagai agama asli bagi bangsa Jepang, shinto telah banyak memberikan pengaruh dalam kehidupan dan kebudayaan Jepang, dan salah satunya adalah perayaan Shogatsu.

Sinto adalah kata majemuk dari ‘Shin’ dan ‘To’. Arti kata “Shin” adalah “roh”

dan “To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti “jalannya roh”, baik roh-roh yang telah meninggal maupun roh-roh-roh-roh langit dan bumi. Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Budha ke Jepang pada abad ke-6 Masehi yang dimaksudkan untuk menunjukkan kepercayaan asli bangsa Jepang. Shinto berkembang menjadi agama masyarakat dengan tempat pemujaan setempat untuk dewa-dewa rumah tangga dan dewa-dewa pelindung setempat. Pahlawan dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang terkemuka didewakan dari generasi ke generasi, dan arwah nenek moyang keluarga juga disembah.

Di dalam Shinto tidak terdapat suatu perintah mutlak atau kewajiban khusus selain kesederhanaan dan keharmonisan hidup dengan alam dan manusia bagi pengikutnya, namun ada empat hal penegasan di dalam jiwa Shinto (Robinson, 2006) yaitu ;

1.Tradisi dan keluarga : keluarga dipandang sebagai unsur utama dalam menjaga dan melestarikan tradisi dan yang berhubungan dengan pernikahan dan kelahiran.

2.Kecintaan pada alam : alam dianggap suci, berhubungan dengan alam dapat diartikan lebih mendekat kepada kami/dewa, karena setiap benda alam mengandung unsur kami yang suci.

3.Kebersihan fisik : para pengikut Shinto sering melakukan pembersihan diri seperti mandi, mencuci tangan, dan berkumur.

4.Matsuri : Berbagai festival yang dilaksanakan setiap tahunnya dengan tujuan untuk menyembah dewa/kami.

Pada ajaran Shinto terdapat unsur-unsur pemujaan . Salah satunya yaitu harai (penyucian) yang bertujuan untuk menghilangkan semua kotoran, kejahatan, serta hal-hal negatif lainnya. Selain itu terdapat beberapa benda yang dipercaya dapat menyucikan serta melindungi dari roh-roh jahat dan hal-hal negatif lainnya seperti bambu, shimenawa, tumbuhan sakaki dan cemara. Dengan menaruh benda-benda tersebut di suatu tempat menandakan bahwa tempat tersebut telah disucikan.

Penggunaan tumbuhan hijau tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam agama Shinto, karena tumbuhan hijau tersebut akan menjadi tanda atau penunjuk jalan bagi kami untuk datang berkunjung. Shimenawa sering digunakan di kuil-kuil Shinto untuk mencegah masuknya roh jahat (Sakurai, 1991 : 40-42).

Menurut Djama’nnuri dalam Nadroh dan Azmi (2015: 72) agama Shinto tidak memiliki bentuk peribadatan yang sudah ditentukan waktu pelaksanaannya. Setiap

pemeluk agama Shinto akan mengunjungi tempat suci jika menghendakinya; bisa setiap tanggal 1 atau 15 tiap bulan atau pada saat penyelenggaraan matsuri. Tetapi pemeluk yang taat akan melakukan pemujaan dewa setiap hari. Pada pagi hari, setelah bangun tidur dan membersihkan diri menuju altar keluarga; di sini ia akan

pemeluk agama Shinto akan mengunjungi tempat suci jika menghendakinya; bisa setiap tanggal 1 atau 15 tiap bulan atau pada saat penyelenggaraan matsuri. Tetapi pemeluk yang taat akan melakukan pemujaan dewa setiap hari. Pada pagi hari, setelah bangun tidur dan membersihkan diri menuju altar keluarga; di sini ia akan

Dokumen terkait