• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH SHINTO PADA DEKORASI PERAYAAN TAHUN BARU DI JEPANG NIHON DE NO SHINNEN NO KAZARI NI TAISURU SHINTO NO EIKYO SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH SHINTO PADA DEKORASI PERAYAAN TAHUN BARU DI JEPANG NIHON DE NO SHINNEN NO KAZARI NI TAISURU SHINTO NO EIKYO SKRIPSI"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH SHINTO PADA DEKORASI PERAYAAN TAHUN BARU DI JEPANG

“NIHON DE NO SHINNEN NO KAZARI NI TAISURU SHINTO NO EIKYO”

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana

dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

OLEH:

STACIA APRILIA 160708054

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2020

(2)
(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Shinto Pada Dekorasi Perayaan Tahun Baru Di Jepang" ini merupakan salah satu syarat dalam mencapai gelar sarjana di Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Strata-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan baik dalam analisis maupun tata bahasanya. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini agar menjadi skripsi yang lebih baik lagi kedepannya. Skripsi ini dapat diselesaikan bukan karena kemampuan penulis sendiri, namun juga karena dukungan doa dan bantuan dari berbagai pihak yang senantiasa mendukung penulis.

Pada kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih, penghargaan, dan penghormatan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr Budi Agustono, MS, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D, selaku ketua Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. H. Yuddi Adrian Muliadi, M.A, selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk memeriksa dan memberikan arahan perbaikan demi penyempurnaan skripsi ini.

(6)

4. Bapak/lbu para dosen pengajar Fakultas Ilmu Budaya, khususnya dosen- dosen Sastra Jepang yang telah memberikan ilmu pengetahuan umum, tentang sastra, budaya, dan bahasa Jepang, serta kepada staf pegawai Sastra Jepang.

5. Dosen Penguji Ujian Seminar Proposal dan Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skripsi ini.

6. Kepada yang terkasih dan teristimewa keluarga penulis, orangtua terkasih Bapak P. Tarigan serta Ibu H. Ginting, yang senantiasa selalu berdoa untuk anaknya, sehingga Ananda dapat meraih gelar sarjana pada Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya.

7. Kepada yang terkasih dan tersayang abangda Shan Febrian dan kakanda Jeanne Merrie yang selalu berdoa dan iklas memberi dukungan material demi adiknya serta selalu memberi perhatiannya dan dukungannya kepada penulis selama proses pengerjaan skripsi

8. Kepada sahabat-sahabat penulis Tatami Squad Lywency, Jelika, Metha dan Erni yang selalu memberi saran, motivasi serta selalu menyemangati dan menghibur penulis ketika dalam kondisi yang membuat penulis kurang bersemangat.

9. Kepada teman teman saya dari semester satu Juli, Dahriah, Selvi,Erin dan Nurul yang telah menemani penulis dari awal masuk kuliah penulis mengucapkan terimakasih karena sudah menjadi tempat curhat penulis dan tetap mendukung penulis meskipun kita tidak seakrab dulu lagi.

(7)

10. Kepada para Moodboster penulis TREASURE, PENTAGON dan NCT, yang selalu memberikan inspirasi, semangat serta selalu menemani penulis untuk begadang dalam mengerjakan skripsi melalui karya-karya dan tingkah laku mereka yang lucu.

11. Kepada seluruh teman-teman AOTAKE angkatan 2016 Sastra Jepang.

Penulis sangat bersyukur bisa belajar bersama kalian selama 4 tahun.

12. Semua Pihak yang pernah membantu penulis. Terima kasih atas segala bentuk bantuannya. Mungkin penulis tidak bisa menyebutkan satu persatu namun penulis tetap mengenangnya sampai akhir hayat.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri dan bagi pembelajaran Bahasa dan Sastra Jepang, penulis telah bersungguh-sungguh dalam pengerjaan skripsi ini. Namun demikian, jika ada kekurangan dan kelemahan, penulis bersedia menerima saran yang bersifat membangun,demi sikap ilmiah dan perbaikan bagi penulis di masa mendatang.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkati kita dimanapun berada.

Medan, 10 Desember 2020 Penulis,

Stacia Aprilia NIM. 160708054

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Ruang lingkup Pembahasan ... 8

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 8

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1.6 Metode Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SHOGATSU DAN SISTEM KEPERCAYAAN DI JEPANG 2.1 Perayaan Shogatsu di Jepang ... 14

2.2 Konsep Kepercayaan Masyarakat Jepang ... 23

2.3 Konsep Shinto ... 26

BAB III PENGARUH SHINTO PADA DEKORASI TAHUN BARU DI JEPANG 3.1 Jenis dan Makna Dekorasi Tahun Baru di Jepang ... 30

3.1.1 Jenis dan Makna Dekorasi Ōshōgatsu ... 31

3.1.2 Jenis dan Makna Dekorasi Koshōgatsu ... 39

3.2 Pengaruh Shinto Pada Dekorasi Shogatsu di Jepang ... 42

(9)

3.2.1 Pengaruh Shinto Pada Kadomatsu ... 43

3.2.2 Pengaruh Shinto Pada Shimenawa ... 45

3.2.3 Pengaruh Shinto Pada Shimekazari ... 48

3.2.4 Pengaruh Shinto Pada Kagamimochi ... 50

3.2.5 Pengaruh Shinto Pada Toshidana ... 52

3.3 Pengaruh Shinto pada dekorasi Khosogatsu di Jepang ... 53

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ... 55

4.2 Saran ... 56 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN ABSTRAK

(10)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Jepang merupakan sebuah negara yang masyarakatnya sangat memegang teguh kebudayaannya. Warisan budaya yang diturunkan oleh nenek moyang bangsa Jepang sampai sekarang masih dilestarikan dan sangat dijaga oleh masyarakat Jepang. Sesuai dengan salah satu sifat kebudayaan yang diungkapkan dalam buku Soekanto yang berjudul “Sosiologi Suatu Pengantar”

yaitu “kebudayaan adalah tradisi yang sudah ada terlebih dahulu sebelum lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan pernah mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan” (Soekanto, 2006:160)

Menurut Ienaga Saburo dalam Situmorang,(2009:2-3)menjelaskan pengertian kebudayaan dalam dua arti yaitu arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas kebudayaan merupakan seluruh cara hidup manusia (ningen no seikatsu no itonami kata). Ienaga menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan hal yang bukan ilmiah. Sedangkan pengertian kebudayaan dalam arti sempit yaitu kebudayaan terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Oleh karena itu Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti luas adalah segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat konkrit. Sedangkan pengertian kebudayaan dalam arti sempit yaitu suatu kebudayaan yang mengandung sesuatu hal yang tidak kentara.

(11)

Salah satu tradisi kebudayaan yang masih tetap dilaksanakan hingga saat ini oleh masyarakat Jepang adalah perayaan tahun baru atau dalam bahasa Jepangnya disebut dengan Oshogatsu. Perayaan tahun baru di Jepang dilaksanakan dengan tujuan untuk menyambut datangnya sang dewa terhormat, yang biasa disebut dengan toshigamisama. Toshigamisama adalah kami (dewa) yang turun kedunia pada saat perayaan tahun baru, dengan tujuan untuk menghidupkan kembali energi bumi. Semua persiapan yang dilakukan menjelang perayaan tahun baru ditujukan untuk toshigami tersebut. Menurut Brandon dan Barbara (1994:17) sebutan untuk Toshigami pada saat ini ditujukan kepada arwah leluhur keluarga. Oleh karena itu perayaan tahun baru merupakan salah satu bentuk pengormatan kepada arwah para leluhur Hal ini berhubungan dengan kepercayaan masyarakat Jepang didalam Shinto untuk menyembah nenek moyang.

Perayaan Shogatsu merupakan salah satu kegiatan tahunan yang paling penting bagi masyarakat jepang. Perayaan tahun baru tidak hanya sehari tapi dirayakan selama tiga hingga tujuh hari pertama bulan Januari. Perayaan shogatsu (tahun baru) tidak hanya dilakukan di Jepang tetapi juga diberbagai negara seperti Indonesia, China, Amerika juga merayakan tahun baru pada tanggal 1 Januari. Namun di berbagai negara nama tahun baru memiliki istilah berbeda seperti tahun baru China yang sering disebut Imlek, dan tahun baru agama muslim yang sering disebut tahun baru Hijriyah. Di Jepang terdapat dua macam Festival tahun baru. Yaitu Oshogatsu dan Koshogatsu Ōshōgatsu

(12)

dirayakan dari tanggal 1 sampai 3 Januari, sedangkan Koshōgatsu dirayakan dari tanggal 7 sampai 15 Januari Pada saat menyambut tahun baru ada banyak kegiatan yang dilakukan mulai dari kegiatan pembersihan di berbagai tempat, memasang hiasan tahun baru, dan mempersiapkan makanan.

Di Jepang, tercermin hubungan khusus antara manusia dengan alam karena adanya praktik keagamaan dan perayaan-perayaan yang sudah ada sejak zaman dahulu. Salah satu kepercayaan yang berhubungan erat dengan festival di Jepang adalah Shinto. Shinto dapat diartikan sebagai kepercayaan yang dianut dalam adat masyarakat Jepang. Arti kata Shinto yaitu kepercayaan religius yang ada pada adat setempat dan diwariskan secara turun temurun, termasuk kepercayaan dalam hal-hal gaib. Menurut Inohana dan Edizal (2002:95), didalam ajaran Shinto tidak memiliki kitab suci atau doktrin, kepercayaan mereka ditunjukkan melalui perayaan. Rakyat biasanya mengunjungi berbagai tempat alam untuk memuja kami (dewa) sebelum adanya Jinja (kuil Shinto), mereka berkumpul pada salah satu tempat tertentu untuk mengundang dewa yang bertujuan untuk mengungkapkan rasa terima kasih dengan memberikan persembahan.

Shinto memiliki aspek animisme, yaitu kepercayaan bahwa roh berada pada berbagai benda di alam. Dalam ajaran Shinto terdapat dua unsur kepercayaan yaitu menyembah roh nenek moyang dan menyembah alam. Menurut Robinson (2006:35), dikatakan bahwa meskipun didalam Shinto tidak terdapat suatu

(13)

perintah mutlak atau kewajiban khusus selain kesederhanaan dan keharmonisan hidup dengan alam dan manusia bagi pengikutnya, namun ada empat hal penegasan dalam jiwa Shinto yaitu tradisi dan keluarga, kecintaan pada alam, kebersihan fisik dan matsuri.

Pengaruh Shinto pada masyarakat Jepang dapat dilihat dari pola hidup masyarakat Jepang yang berkaitan langsung dengan alam dan manusia, juga pada saat masyarakat Jepang mengadakan festival (matsuri) ataupun upacara- upacara tradisional yang telah mendarah daging. Banyaknya festival (matsuri) atau upacara-upacara tradisional yang diadakan merupakan salah satu bentuk perwujudan dari kepercayaan Shinto, yang bertujuan untuk menghormati para dewa. Seperti yang diungkapkan dalam (Ishizawa, 2006) yaitu pada umumnya, orang Jepang tidak tahu ajaran agama dan tidak punya minat pada ajarannya.

Bagi orang Jepang melakukan suatu ritual atau perayaan dengan datang kekuil itu bukan merupakan kegiatan agama tetapi lebih kearah kebiasaan.

Shogatsu Shimai merupakan persiapan menjelang tahun baru di Jepang yang dimulai dari tanggal 13 Desember. Menurut Ritual and Symbols of Shogatsu dalam Syah (2007:2), kegiatan yang pertama yang dilakukan biasanya adalah melakukan Oosoji, yaitu seluruh anggota keluarga bersama-sama membersihkan seluruh isi rumah secara besar-besaran. Oosoji tidak hanya dilakukan di rumah, tapi juga dilakukan di sekolah, tempat kerja dan sebagainya.

(14)

Selain itu mereka menyiapkan dekorasi tradisional tahun baru seperti, kadomatsu, shimekazari dan shimenawa.

Kadomatsu merupakan hiasan yang terbuat dari cemara , potongan bambu, dan beberapa rangkaian tumbuhan lainnya yang diletakan di depan pintu masuk.

Kadomatsu bertujuan untuk menyambut datangnya Kami (dewa) yang dipercaya akan datang pada awal tahun untuk memberkati seluruh anggota keluarga. Shimenawa adalah suatu hiasan yang terbuat dari tambang yang dililit kemudian membentuk suatu hiasan yang diletakkan di altar Shinto (Kamidana) atau digantung di pintu masuk. Shimekazari hampir sama dengan shimenawa tetapi dalam shimekazari ditambahkan bahan lain seperti jeruk, udang, dan lainnya yang juga ditempel atau digantung didepan pintu. Yang berfungsi untuk menangkal masuknya roh jahat ke dalam rumah.

Setelah kegiatan pembersihan dan pemasangan hiasan tahun baru, orang Jepang disibukkan dengan kegiatan mempersiapkan makanan. Ada bermacam- macam jenis makanan yang dibuat pada saat perayaan tahun baru untuk di makan Bersama keluarga. Adapun menu makannya yang dibuat pada perayaan tahun baru yaitu serupa dengan tahun sebelumnya karena sudah turun-temurun dan menjadi tradisi masyarakat. Makanan tersebut juga diharapkan dapat mendatangkan keberuntungan. Dalam Sudjianto (2002:37) disebutkan bahwa hal yang tidak dapat dilupakan dalam perayaan shogatsu yaitu persembahan untuk dewa, persembahan untuk dewa ini disebut kagamimochi. Kagamimochi adalah susunan dua buah mochi yang berbeda ukuran dan berbentuk bundar

(15)

pipih dimana mochi yang berukuran besar berada di bawah dan yang berukuran kecil berada di atasnya yang dihiasi oleh jeruk,dedaudan serta kertas putih diatasnya.

Menurut Situmorang dan Uli (2013:68-70), pada hari pertama tahun baru biasanya orang-orang mengunjungi Jinja (kuil Shinto) atau tera dengan tujuan untuk berdoa memohon kesehatan dan segala kebaikan selama satu tahun kedepan. Kunjungan pertama mereka ke kuil pada awal tahun baru tersebut disebut dengan hatsumode, biasanya kuil-kuil tersebut akan terus dipenuhi dengan orang-orang yang datang untuk berdoa hingga tujuh hari pertama bulan Januari.

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk menganalisis tentang hiasan tahun baru di Jepang yang dituangkan dalam skripsi yang berjudul " PENGARUH SHINTO PADA DEKORASI PERAYAAN TAHUN BARU DI JEPANG.

(16)

1.2 Rumusan Masalah

Dalam kehidupan masyarakat Jepang shogatsu masih dijadikan salah satu acara perayaan yang bersifat sakral atau dan ritual yang selalu dirayakan setiap tahunnya.

Adapun jenis jenis dekorasi pada perayaan tahun baru di Jepang yaitu kadomatsu, shimekazari dan shimenawa. Seperti yang disebutkan dalam Brandon dan Barbara (1994:64) hiasan tahun baru diletakkan di tepi jalan, di depan rumah, di dalam toko dan kantor-kantor, serta di kuil-kuil yang telah dibersihkan. Hiasan tahun baru dibuat dari bambu, jerami, ranting pinus, kertas, dan kayu, untuk menyambut datangnya Toshigami Pengaruh Shinto dapat dilihat dari setiap festival, ritual, serta perayaan-perayaan. Terdapat pengaruh Shinto dalam perayaan misalnya adanya kegiatan dalam suatu acara, adanya makan serta adanya hiasan atau dekorasi yang disediakan.

Pada perayaan tahun baru di Jepang dekorasi memiliki peranan penting dalam memeriahkan tahun baru dimana dekorasi tidak hanya sekedar memberi nilai keindahan tapi juga memberi makna tertentu. Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diungkapkan di atas, penulis melihat adanya pengaruh Shinto dalam hiasan shogatsu di Jepang, maka permasalahan yang penulis rumuskan dalam penulisan Proposal ini adalah:

1. Apa saja jenis dan makna hiasan tahun baru di Jepang?

2. Bagaimana pengaruh Shinto pada dekorasi Tahun baru khusus di Jepang?

(17)

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam setiap penelitian diperlukan adanya pembatasan masalah agar pembahasan tidak terlalu meluas sehingga menyulitkan pembaca untuk memahami pokok permasalahan yang dibahas. Maka dalam pembahasan penelitian ini hanya memfokuskan tentang jenis jenis hiasan perayaan tahun baru di Jepang, dan bagaimana pengaruh Shinto dalam hiasan dekorasi perayaan tahun baru tersebut agar lebih jelas dan dapat dipahami.

Maka sebelum bab pembahasan penulis akan menjelaskan sedikit tentang konsep kepercayaan masyarakat Jepang, konsep Shinto serta konsep shogatsu di Jepang. Dan dalam bab pembahasan penulis akan membahas tentang makna dan pengaruh Shinto pada hiasan dekorasi dalam perayaan shogatsu di Jepang.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka

Menurut Sudjianto (2002:101) Shogatsu atau sering disebut dengan Oshogatsu untuk bahasa lebih sopannya adalah sebuah perayaan tahun baru di Jepang dan merupakan salah satu kegiatan tahunan terpenting bagi masyarakat Jepang. Perayaan tahun baru di Jepang tidak hanya dilaksanakan sehari tetapi dirayakan selama 3-7 hari pada bulan Januari. Tetapi perayaan utamanya tetap dirayakan pada tanggal 1 Januari.

Didalam Wajah Jepang Dewasa Ini (1996:36) disebutkan bahwa Shinto merupakan kepercayaan orang Jepang khususnya pada masyarakat pribumi yang bermula pada sejarah kuno dan mitos-mitos dimana orang-orang percaya bahwa

(18)

kekuatan spiritual (kami) memang ada dalam alam, di pohon-pohon, di gunung, di laut, maupun dalam angin. Sebagai kepercayaan asli orang Jepang, Shinto banyak memberi pengaruh dalam adat dan ritual masyarakat Jepang. Salah satunya adalah dalam perayaan shogatsu. Di dalam Shinto tidak ada doktrin ataupun kitab suci, namun kepercayaan ditunjukkan dengan perayaan Meskipun Shogatsu di Jepang termasuk kedalam kelompok acara tahunan (nenchu gyouji) yang sebagian besar dipengaruhi oleh budaya China dan Agama Budha, tetapi pada perayaan tahun baru terdapat adanya serta nilai-nilai Shinto di dalamnya.

Omisoka adalah acara keluarga dimana semua orang sibuk sepanjang hari mempersiapkan diri untuk menyambut tahun baru seperti yang diungkapkan oleh Davies dan Ikeno (2002:155). Ada banyak kegiatan yang dilakukan masyarakat Jepang dalam menyambut shogatsu. Salah satu hal yang penting untuk dipersiapkan adalah dekorasi-dekorasi khusus shogatsu. Dekorasi yang akan menghiasi perayaan tahun baru adalah kadomatsu, shimenawa, shimekazari, kagami mochi,toshidana dan lainya.

Dalam Syah (2007) pada skripsi yang berjudul “ Pengaruh Shinto Pada Perayaan Shogatsu Di Jepang”. Penelitian ini membahas tentang pengaruh Shinto pada perayaan Shogatsu di Jepang, dimana dalam pembahasannya menjelaskan secara keseluruhan apa saja pengaruh Shinto pada perayaan Shogatsu di Jepang dimulai dari tujuan perayaan shogatsu, kegiatan menjelang shoogatsu, dekorasi shogatsu, serta puncak perayaan shogatsu tersebut. Adapun perbedaan dari pembahasan dalam skripsi ini yaitu disini penulis tidak menjelaskan secara

(19)

keseluruhan mengenai kegiatan dari awal sampai akhir perayaan shogatsu tersebut, disini penulis hanya memfokuskan dan menjelaskan mengenai dekorasi atau hiasan yang ada pada perayaan Shogatsu tersebut secara terperinci mulai dari jenis,makna dan pengaruhnya.

Dalam Butar butar (2016) pada skripsi yang berjudul “Pemikiran Shinto Pada Kadomatsu”. Penelitian ini menganalisis secara terperinci pada salah satu hiasan tahun baru yaitu Kadomatsu. Didalam pembahasan ini menjelaskan makna dari bambu, cemara, dan plum yang digunakan pada kain kadomatsu sebagai dekorasi dalam perayaan Shogatsu (tahun baru) di Jepang yang dihubungkan dengan pemikiran Shinto.

2. Kerangka Teori

Dalam setiap penelitian perlu adanya kerangka teori untuk mendukung penelitian tersebut, kerangka teori disusun sebagai landasan berpikir yang menunjukkan dari sudut mana peneliti menfokuskan masalah yang akan diteliti.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori Semiotik dan teori religi. Menurut Segers dalam Sangidu (2007:18), semiotik merupakan suatu displin yang meneliti semua bentuk komunikasi selama komunikasi itu dilaksanakan dengan menggunakan tanda yang didasarkan pada sistem-sistem atau kode-kode. Di dalam kehidupan yang termasuk tanda atau kode adalah karya seni, pakaian, dekorasi, dan sebagainya. Dalam hal ini penulis menganalisis makna simbolik dalam kehidupan masyarakat Jepang terutama pada hiasan oshogatsu yang kemudian dihubungkan dengan pendekatan semiotik untuk menjabarkan tanda-tanda dan kandungan arti

(20)

yang terdapat pada hiasan dekorasi tersebut. Tanda dan arti akan menjelaskan kondisi kehidupan sosial religi pada masyarakat Jepang.

Sedangkan konsep religi menurut Bellah (1992: 32) religi dapat diartikan sebagai sikap-sikap dan tindakan-tindakan manusia yang bersangkutan dengan keprihatinan yang paling mendasar. Dan tindakan religius adalah setiap tindakan yang terarah kepada yang suci dan ilahi. Melalui pendekatan religi ini penulis ingin memberikan penjelasan tentang keterkaitan antara pengaruh Shinto dengan hiasan dekorasi oshogatsu. Dalam hal ini, masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat yang sangat menghargai alam dan juga roh nenek moyang atau yang lebih sering disebut (kami). Hal ini tidak terlepas dari kepercayaan yang mereka pegang, yaitu Shinto. Masyarakat Jepang meyakini adanya kami di seluruh alam sekitar.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penulis merangkum tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui jenis dan makna yang terkandung dalam hiasan dekorasi tahun baru di Jepang.

2. Untuk mengetahui secara jelas bagaimana pengaruh Shinto pada dekorasi tahun baru di Jepang.

(21)

2. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat bermanfaat dan berguna

bagi pihak-pihak tertentu,yaitu :

1. Memberikan informasi kepada masyarakat luas pada umumnya, dan kepada mahasiswa Sastra Jepang pada khususnya tentang pengaruh shinto pada dekorasi tahun baru di Jepang.

2. Bagi penulis sendiri dapat menambah wawasan dan informasi mengenai makna yang terkandung dalam dekorasi tahun baru pada masyarakat Jepang.

3. Dapat dijadikan sumber ide dan tambahan informasi bagi peneliti selanjutnya.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode studi pustaka dan metode deskriptif. Menurut Sugiyono (2012:291) studi kepustakaan berkaitan dengan kajian teoritis dan referensi lain yang berkaitan dengan nilai, budaya dan norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti, selain itu studi kepustakaan sangat penting dalam melakukan penelitian, hal ini dikarenakan penelitian tidak akan lepas dari literatur-literatur Ilmiah. Adapun teknik pengumpulan data yaitu dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada.

(22)

Menurut saifuddin Azwar dalam Butar-Butar (2016: 14) metode deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena-fenomena yang diselidiki.

Dalam penulisan skripsi ini, data dihimpun dari berbagai literatur buku yang berhubungan dengan masalah penelitian. Survey book dilakukan oleh penulis diberbagai perpustakaan, seperti : Perpustakaan Jurusan Sastra Jepang USU, Perpustakaan USU, perpusatakan Fakultas Ilmu Budaya USU dan beberapa perpustakaan lainnya. Selain itu, penulis juga mengambil data-data dari jurnal dan situs internet.

(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG SHOGATSU DAN SISTEM KEPERCAYAAN DI JEPANG

2.1 Perayaan Shogatsu di Jepang

Shogatsu adalah perayaan tahun baru di Jepang yang menjadi agenda tahunan terpenting. Perayaan ini tidak hanya sehari, tetapi dirayakan selama tiga bahkan sampai tujuh hari pertama pada bulan Januari, perayaan tahun baru merupakan salah satu perayaan yang paling di nantikan oleh masyarakat Jepang (Gilhooly,2002:24). Karena dianggap merupakan sebuah perayaan yang sangat penting, semua kantor pemerintah, sekolah, dan sebagian besar urusan bisnis diharuskan tutup bahkan bisa sampai satu atau dua minggu.

Perayaan Shogatsu merupakan perayaan yang paling dinantikan oleh masyarakat Jepang, dahulu kata “Shogatsu” dipakai untuk nama bulan pertama dalam setahun tetapi sekarang hanya digunakan untuk tiga hari pertama pada awal tahun. Baik di Jepang maupun di seluruh muka bumi, tahun baru dirayakan pada tanggal 1 Januari, mengikuti penanggalan Masehi. Ini sedikit berbeda dengan beberapa negara yang terpengaruh kuat oleh kebudayaan Cina, yang merayakan tahun baru berdasarkan kalender Cina. Pada awalnya Jepang merayakan tahun baru berdasarkan kalender Cina, tetapi kemudian mengubahnya menjadi kalander Masehi.

Selain merupakan sebuah perayaan, shogatsu juga menjadi hari libur panjang bagi masyarakat Jepang. Semua kantor pemerintah, sekolah dan sebagian besar

(24)

urusan bisnis tutup dari tanggal 29 Desember hingga tanggal 3 Januari. Dalam perayaan shogatsu, terdapat cukup banyak pengaruh Shinto di dalamnya, seperti yang terdapat pada tujuan perayaan shogatsu, kegiatan menjelang shogatsu, dekorasi shogatsu, dan juga pada puncak perayaannya.

Berikut ini merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat Jepang dalam menyambut dan merayakan hari pergantian tahun yaitu sebagai berikut:

1. Osōji (お掃除)

Dalam rangka menyambut Tahun Baru, orang Jepang memiliki kebiasaan bersih-bersih rumah secara besar-besaran yang disebut Osōji. Pada akhir tahun, orang Jepang akan membersihkan rumah mereka dengan lebih giat dan telaten.

Karena dengan dibersihkannya kotoran yang sudah menumpuk selama setahun diharapkan dapat mengawali tahun baru dengan hati yang baru. Menurut Sudjianto (2002:81) pembersihan ini tidak hanya dirumah-rumah, tapi juga dilakukan di kuil- kuil, gedung sekolah, perkantoran dan tempat-tempat lainnya. Kegiatan kebersihan ini meliputi seluruh bagian dalam bangunan hingga daerah bagian luar seperti halaman dan perkarangan. Biasanya Osōji dilakukan jauh sebelum tahun baru, namun ada juga keluarga yang melakukan osōji sehari sebelum tahun baru.

Kegiatan pembersihan mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat Jepang karena dalam kehidupan sehari-hari mereka sering melakukan kegiatan ini, termasuk pada saat akan melakukan perayaan-perayaan. Terutama kegiatan pembersihan sebelum perayaan tahun baru, karena dilakukan secara menyeluruh

(25)

oleh semua masyarakat Jepang. Kegiatan pembersihan yang dilakukan oleh masyarakat Jepang dipengaruhi oleh kepercayaan ajaran Shinto. Dalam kepercayaan ajaran Shinto, kegiatan pembersihan ini sangat penting untuk dilakukan, karena selain bertujuan untuk membersihkan juga dianggap penting sebagai penghormatan kepada dewa (kami).

Dalam ajaran Shintō terdapat tiga jenis pembersihan, yaitu:

1. Oharai

Oharai merupakan salah satu jenis pembersihan yang sangat sering dilakukan oleh orang Jepang dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan dengan jenis pembersihan yang lain. Pembersihan yang dilakukan yaitu untuk mengusir kekuatan jahat dan menghilangkan kotoran, Pembersihan ini dilakukan di kuil dan gedung yang akan ditempati,dilakukan dengan cara melambaikan batang pohon sakaki yang dipercaya memiliki kekuatan untuk mengusir kekuatan jahat.

Dalam Alimansyar (2017:72), dikatakan bahwa kegiatan Oharai dilakukan oleh pendeta, Adapun tata tertib yang harus dilaksanakan adalah pertama-tama seorang pendeta membacakan doa (harae-kotoba), pendeta lain mengibaskan kertas suci yang disebut o-nusa sebanyak tiga kali diatas kepala para peserta ritual, seorang pendeta lain mendekati para peserta dengan membawa ranting pohon sasaki dan air garam, lalu memercikkannya. Tetapi dalam ritual untuk kepentingan pribadi percikan air garam sering dihilangkan.

(26)

2. Misogi

Menurut Nishioka dalam Alimansyar (2017:99), Misogi adalah ritual menyucikan diri dengan cara menyiramkan air ke seluruh tubuh dengan tujuan untuk membersihkan dari hal-hal buruk, noda, dan kotoran yang melekat di tubuh.

Prosesi dalam misogi ini lebih mirip dengan bersemadi atau melakukan pertapaan di air. Upacara dipimpin oleh pendeta Shinto dengan dibacakan doa-doa (norito).

Peserta membenamkan diri berulang kali di dalam air sampai doa selesai dibacakan.

Ritual ini biasanya dilakukan dengan cara mandi di sungai, di laut, dan di bawah air terjun. Misogi dilakukan dengan tujuan untuk melindungi diri dari suatu hal yang buruk agar bisa melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik. Di kuil-kuil biasanya akan terdapat air yang bisa digunakan untuk pembersihan yaitu denga cara membasuh muka, kedua tangan dan kedua kaki.

3. Imi

Imi merupakan kegiatan pembersihan yang dilakukan secara tidak nyata, artinya pembersihan ini hanya dijadikan sebagai simbol pencegahan terhadap hal-hal yang dianggap sial, salah satu contoh seperti wanita yang sedang haid atau setelah melahirkan (mengeluarkan darah kotor) tidak diperbolehkan masuk kuil, karena hal tersebut dipercaya dapat mendatangkan kesialan.

Dalam menyambut tahun baru ritual pembersihan mulai dilakukan dua minggu sebelum pergantian tahun. Hal ini dikarenakan orang Jepang percaya bahwa para dewa akan datang ke dunia dengan membawa berkah berlimpah. Dewa

(27)

hanya bersedia datang jika diundang oleh orang yang berhati bersih dan juga bersedia datang di tempat yang bersih.

2. Menyiapkan dekorasi Tahun baru

Hiasan atau dekorasi yang terdapat dalam perayaan shogatsu disebut dengan Okazari. Benda-benda tersebut dikategorikan sebagai engimono yang berarti benda yang membawa keberuntungan. Hiasan Ōshōgatsu mulai dipasang seminggu sebelum tahun baru sampai perayaan Koshōgatsu.

Menurut Brandon dan Barbara (1994 : 47) ada beberapa dekorasi penting dalam perayaan shogatsu diantaranya adalah :

- Kadomatsu : merupakan hiasan yang dirangkai dari pohon cemara, bambu, dan beberapa tumbuhan lainnya yang diletakkan di depan pintu masuk seperti gerbang rumah atau gerbang kantor. Ada yang meletakkannya sepasang dan ada juga yang meletakkan hanya satu buah saja. Pada tahun baru dipercaya bahwa benda-benda dekorasinya harus terlihat hijau dan segar. Oleh karena itu, bambu langsung digunakan setelah dipotong karena warna hijau pada bambu dapat bertahan lama. Kadomatsu memiliki makna sebagai Keberuntungan yang di yakini untuk memberkati seluruh keluarga pada awal tahun dan digunakan untuk menyambut datangnya dewa.

- Shimenawa : yaitu hiasan yang terbuat dari dua buah untaian jerami padi yang dililitkan dan dibentuk menjadi sebuah tali. Biasanya hiasan ini digantung di depan pintu masuk atau diletakan di kamidana (altar Shinto)

(28)

sebagai simbol pengusir roh-roh jahat atau jimat untuk penolak bala. Hal ini bertujuan agar setiap orang mendapatkan keselamatan dan perayaan Tahun Baru berjalan dengan lancar.

- Shimekazari: hiasan ini sama seperti shimenawa, namun pada shimekazari ditambah beberapa ornamen khusus seperti jeruk, udang laut, dan sebagainya yang ditempel didepan pintu. Shimekazari juga berfungsi untuk menangkal hal-hal buruk dan masuknya roh jahat ke dalam rumah.

- Kagami mochi, adalah hiasan tahun baru yang terdiri dari tumpukan dua buah mochi berbentuk bundar, yang susunannya yakni mochi berukuran besar dibawah dan yang berukuran kecil di atas, yang diatasnya ditambah dengan beberapa hiasan seperti berbagai macam daun-daunan tertentu. Hal ini melambangkan tahun lama dan tahun baru.

- Kirigami, terdiri dari berbagai bentuk dan orang Jepang percaya bahwa disetiap bentuk ditempati oleh dewa yang berbeda. Seperti, bentuk gohei yaitu guntingan atau lipatan berbentuk zigzag yang diselipkan pada celah tongkat bambu. Bentuk ini dipercaya sebagai tempat tinggal Toshigami.

Bentuk kirigami lainnya yaitu ikan dan kura-kura dijadikan sebagai tempat tinggal dewa keberuntungan yaitu Ebisu dan Daikoku (dewa laut yang memberi berkah kepada para nelayan saat tahun baru berupa hasil laut yang melimpah), kirigami dijadikan sebagai tempat tinggal para dewa.

- Miki no Kuchi, merupakan salah satu hiasan tahun baru yang terbuat dari bahan kertas, bambu, dan tatal kayu yang dirangkai menjadi sebuah bentuk

(29)

hiasan kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi sake (minuman tradisional Jepang yang mengandung alkohol dibuat dari bahan beras). Sake terbuat dari air beras yang diyakini sebagai lambang kesuburan yang disukai oleh para dewa dan dianggap sebagai minuman suci yang dipersembahkan untuk dewa. Karena itu, miki no kuchi dijadikan sebagai lambang minuman yang digunakan untuk menyambut kedatangan para dewa.

Perayaan Koshōgatsu juga memiliki hiasan tahun baru. Sama halnya dengan Ōshōgatsu pada perayaan Koshōgatsu orang Jepang juga memanjatkan doa dan melakukan ritual pemasangan hiasan. Hiasan tersebut dipercaya sebagai persembahan kepada para dewa yang akan datang pada tahun baru membawa berkah yang berlimpah. Hiasan Koshōgatsu umumnya disebut dengan monotsukuri yang berarti benda buatan. Hiasan Koshōgatsu dibuat menyerupai rangkaian bunga atau buah karena berhubungan dengan pertanian. Menurut Nurchayati (2010:24) hiasan yang dipasang pada saat Koshōgatsu ada dua macam yaitu

- Mochibana adalah hiasan dari ketan atau beras dan makanan-makanan lain untuk menyambut tahun baru, mochibana diletakkan di ruang tamu, tempat ibadah, dan tempat tempat lain yang diyakini akan didatangi oleh dewa, Orang Jepang menganggap mochi sebagai benda yang dapat mendatangkan keberuntungan.

- Hiasan dari kayu hiasan dari kayu berbentuk bunga. Hiasan memiliki makna pengusir kekuatan jahat, karena kayu yang dijadikan sebagai hiasan ini

(30)

diambil dari daerah pegunungan, Cara membuat hiasan ini yaitu dari serutan kayu yang tipis dibuat menjadi bentuk keriting atau ikal kemudian dirangkai dan diletakkan melingkar pada sebuah batang kayu sehingga akan seperti bentuk bunga.

3. Mempersiapkan makanan tahun baru

Osechi ryouri adalah hidangan khusus tahun baru yang disantap oleh orang Jepang pada tanggal 1-3 Januari. Masakan khas tahun baru di Jepang antara lain seperti Osechi ryori, Ozoni dan Mochi. Hidangan ini memiliki beraneka macam makanan seperti makanan panggang, makanan rebus, acar-acaran dan lain-lain.

Osechi ryouri adalah makanan tradisional yang biasa disantap pada saat tahun baru. Sejak zaman Meiji, osechi dihidangkan dengan menggunakan kotak khusus yang khas, namun tidak sedikit pula ada keluarga yang menghidangkan osechi ini dengan piring besar, dikarenakan orang jepang akan makan Osechi ini selama 3 hari berturut-turut.

Osechi ryouri terdiri dari daidai, datemaki, kamaboko, kazunoko, konbu, kuromame, kohaku namasu, tai, tazukuri, zoni, ebi dan nishiki tamago. Makanan yang ada di dalamnya pun melambangkan banyak hal misalnya untuk kesehatan, kesuburan, panen yang melimpah, panjang umur, kebahagiaan dan lainnya. Semua masakan osechi ini harus dapat bertahan lama karena pada perayaan Shogatsu ibu rumah tangga dilarang untuk memasak selama tiga hari untuk menghindari terkena luka bakar yang dipercaya bisa menjadi pertanda yang buruk. Hal ini juga bisa

(31)

menjadi waktu libur bagi ibu rumah tangga untukmemasak.

(https://id.wikipedia.org/wiki/Osechi)

Ozoni adalah sup berisi mochi yang kenyal yang didalamnya terdapat berbagai macam sayuran. Mochi adalah makanan khas Jepang yang juga menjadi salah satu dekorasi tahun baru. Mochi terbuat dari beras ketan. Proses membuat mochi disebut mochitsuki. Sebagian besar makan osechi dibuat dengan rasa yang sangat manis, asin atau bisa diacar dengan cuka sesuai dengan selera masing masing.

Disarakannya juga Makanan osechi harus dimasak hingga sangat kering agar tahan lama. Selama tahun baru nantinya, orang Jepang dilarang menyalakan api karena ada kepercayaan bahwa dewa api akan marah melihat orang memasak pada hari tahun baru. Di Jepang kebiasaan tidak memasak selama hari tahun baru sudah ada sejak zaman Heian. Tradisi ini mungkin dibuat agar ibu rumah tangga tidak melakukan aktivitas memasak di dapur agar mereka dapat beristirahat.

Proses pembuatan osechi ryouri tidaklah mudah dan memakan waktu yang sangat lama, zaman sekarang para ibu rumah tangga lebih memilih untuk membeli osechi ryouri yang sudah siap saji yang banyak dijual dipasar modern dan restoran- restoran serta dimasak langsung oleh koki yang terkenal di restoran tersebut.

Meskipun harganya yang relatif cukup mahal tetapi tidak mengurangi minat para ibu rumah tangga untuk membelinya.

4. Hatsumode (初詣)

Hatsumode atau disebut juga dengan hatsumairi adalah kunjungan pertama ke kuil Buddha atau kuil Shinto pada awal tahun baru di Jepang. Biasanya orang

(32)

Jepang mengunjungi kuil pada hari pertama,kedua dan ketiga tahun baru, namun kunjungan ke kuil sepanjang bulan Januari juga masih bisa dikatakan sebagai Hatsumōde. Kunjungan tersebut dilakukan bertujuan untuk berdoa memohon keselamatan, kesehatan dan kedamaian untuk tahun yang baru. Dalam Haryanti (2013:181) ketika melakukan kegiatan Hatsumode mereka tidak lupa untuk membeli Omikuji (undian yang berisikan ramalan nasib) yang akan meramalkan bagaimana peruntungan nasib mereka pada tahun tersebut.

2.2 Konsep Kepercayaan Masyarakat Jepang

Di dalam kehidupan manusia, kegiatan religi merupakan suatu hal yang akan selalu dilaksanakan. Baik pada masing-masing negara, daerah, ataupun individu memeluk dan meyakini kepercayaan yang berbeda satu sama lain. Di Jepang, kebebasan agama dijamin bagi semua orang berdasarkan Undang Undang Dasar.

Pasal 20 UU menjadi dasar tentang kehidupan beragama di Jepang dimana negara tidak berhak untuk mengatur kehidupan beragama seseorang. Sebagian masyarakat Jepang mempunyai pola pikir modern dan menganggap agama bukan merupakan hal penting dan merupakan urusan pribadi dimana orang lain tidak berhak ikut campur dalam kehidupan beragama seseorang.

Kehidupan beragama Masyarakat Jepang dalam Situmorang (2013:23) mengatakan bahwa masyarakat Jepang pada zaman dahulu sudah mempunyai kebiasaan untuk menyembah alam dan menyembah roh leluhur sepanjang sejarah, orang Jepang berpendapat bahwa didalam binatang, pohon, rumput, laut, gunung terdapat “Kami/Tuhan” yang mengontrol iklim dan panen mereka, masyarakat

(33)

Jepang beranggapan dewa yang mengatur alam merupakan roh nenek moyang mereka yang sudah meninggal. Oleh karena itu, abu nenek moyang, mereka simpan sebagai Tuhan yang menjaga anak cucu mereka kelak.

Umumnya dikatakan bahwa agama resmi di Jepang ada dua yaitu agama Shinto dan agama Budha. Didalam (Sasaki,1999:71) ada suatu hal yang menunjukkan adanya penyatuan konsep dua agama dalam kehidupan masyarakat Jepang yaitu pada saat Tahun Baru orang-orang Jepang akan pergi ke kuil Shinto yang disebut dengan Jinja dan pada saat perayaan Obon mereka pergi kuil Budha yang disebut dengan Otera, lalu di rumah mereka terdapat tempat pemujaan agama Shinto yang disebut dengan kamidana dan tempat pemujaan agama Budha yang disebut dengan butsudan.

Penganut agama di Jepang menurut Kementeriaan Pendidikan Jepang, yaitu pemeluk agama Shinto sekitar 107 juta orang, agama Budha sekitar 89 juta orang, agama Kristen dan Katolik sekitar 3 juta orang, dan agama lainnya sekitar 10 juta orang sehingga total seluruh penganut agama di Jepang berkisar 290 juta orang, hal ini desebabkan karena sebagian masyarakat Jepang menganut lebih dari satu agama dan mereka mengikuti ritual dan perayaan dalam berbagai agama setiap tahunnya.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Jepang merupakan salah satu negara di dunia yang memberikan kebebasan sepenuhnya kepada masyarakatnya untuk menjalankan suatu kepercayaan tanpa harus terikat kepada salah satu agama atau kepercayaan tertentu. Hal ini menunjukkan keunikan serta ciri khas dari sistem kepercayaan di negara Jepang.

(34)

Menurut Mulyadi (2017: 20) ada empat hal yang bisa dianggap sebagai konsep beragama dalam kehidupan masyarakat Jepang. Empat hal tersebut adalah:

1. Adanya pencampuran banyak agama dalam tubuh agama asli Jepang menyebabkan “agama” bagi bangsa Jepang menjadi makin kabur.

2. Beda antara agama dengan budaya dan rutinitas semakin tipis, sehingga bangsa Jepang mempunyai konsep berpikir tentang agama yang benar-benar berbeda dengan bangsa lain.

3. Agama di Jepang dapat dikatakan menjadi hal yang sangat aneh dan menempati tempat yang sangat terbelakang dalam hati bangsa Jepang.

4. Banyak prilaku kehidupan bangsa Jepang yang menunjukkan pencampuran agama yang tidak ada batasnya.

Konsep agama dalam kehidupan bangsa Jepang mencerminkan kepribadian bangsa Jepang yang tidak mau terikat oleh apapun bahkan oleh agama sekalipun.

Bagi mereka kebebasan dalam berekpresi adalah segalanya begitu pula dalam hal beragama, tidak boleh ada seorang pun bahkan negara yang mengatur kehidupan beragama seseorang karena beragama menjadi salah satu hak asasi manusia yang harus dihormati. Tetapi tidak dapat dipungkiri juga kebanyakan masyarakat Jepang menjadikan Shinto dan aturan-aturan Budha sebagai bagian dari kegiatan sehari- hari mereka.

(35)

2.3 Konsep Shinto

Shinto adalah kepercayaan masyarakat asli Jepang yang lahir sejak zaman prasejarah dan merupakan tradisi yang turun temurun. Doktrin dasar dalam agama Shinto adalah kesucian (Hartz, 2009:85). Kepercayaan ini menganut paham animisme, yang masyarakatnya berkeyakinan bahwa kekuatan spritual ada di seluruh alam. Sebagai agama asli bagi bangsa Jepang, shinto telah banyak memberikan pengaruh dalam kehidupan dan kebudayaan Jepang, dan salah satunya adalah perayaan Shogatsu.

Sinto adalah kata majemuk dari ‘Shin’ dan ‘To’. Arti kata “Shin” adalah “roh”

dan “To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti “jalannya roh”, baik roh- roh yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Budha ke Jepang pada abad ke-6 Masehi yang dimaksudkan untuk menunjukkan kepercayaan asli bangsa Jepang. Shinto berkembang menjadi agama masyarakat dengan tempat pemujaan setempat untuk dewa-dewa rumah tangga dan dewa-dewa pelindung setempat. Pahlawan dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang terkemuka didewakan dari generasi ke generasi, dan arwah nenek moyang keluarga juga disembah.

Di dalam Shinto tidak terdapat suatu perintah mutlak atau kewajiban khusus selain kesederhanaan dan keharmonisan hidup dengan alam dan manusia bagi pengikutnya, namun ada empat hal penegasan di dalam jiwa Shinto (Robinson, 2006) yaitu ;

(36)

1.Tradisi dan keluarga : keluarga dipandang sebagai unsur utama dalam menjaga dan melestarikan tradisi dan yang berhubungan dengan pernikahan dan kelahiran.

2.Kecintaan pada alam : alam dianggap suci, berhubungan dengan alam dapat diartikan lebih mendekat kepada kami/dewa, karena setiap benda alam mengandung unsur kami yang suci.

3.Kebersihan fisik : para pengikut Shinto sering melakukan pembersihan diri seperti mandi, mencuci tangan, dan berkumur.

4.Matsuri : Berbagai festival yang dilaksanakan setiap tahunnya dengan tujuan untuk menyembah dewa/kami.

Pada ajaran Shinto terdapat unsur-unsur pemujaan . Salah satunya yaitu harai (penyucian) yang bertujuan untuk menghilangkan semua kotoran, kejahatan, serta hal-hal negatif lainnya. Selain itu terdapat beberapa benda yang dipercaya dapat menyucikan serta melindungi dari roh-roh jahat dan hal-hal negatif lainnya seperti bambu, shimenawa, tumbuhan sakaki dan cemara. Dengan menaruh benda-benda tersebut di suatu tempat menandakan bahwa tempat tersebut telah disucikan.

Penggunaan tumbuhan hijau tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam agama Shinto, karena tumbuhan hijau tersebut akan menjadi tanda atau penunjuk jalan bagi kami untuk datang berkunjung. Shimenawa sering digunakan di kuil-kuil Shinto untuk mencegah masuknya roh jahat (Sakurai, 1991 : 40-42).

Menurut Djama’nnuri dalam Nadroh dan Azmi (2015: 72) agama Shinto tidak memiliki bentuk peribadatan yang sudah ditentukan waktu pelaksanaannya. Setiap

(37)

pemeluk agama Shinto akan mengunjungi tempat suci jika menghendakinya; bisa setiap tanggal 1 atau 15 tiap bulan atau pada saat penyelenggaraan matsuri. Tetapi pemeluk yang taat akan melakukan pemujaan dewa setiap hari. Pada pagi hari, setelah bangun tidur dan membersihkan diri menuju altar keluarga; di sini ia akan membungkukkan badan, bertepuk tangan dua kali, diam sebentar dengan sikap hormat dan khidmat, baru kemudian melakukan aktivitas keseharian. Pada kesempatan lain, ia akan menghadap kearah matahari, gunung, tempat suci Ise atau lainnya, kemudian bertepuk tangan dua kali dan membungkuk sebentar dalam sikap hormat dan khidmat sebelum pergi. Adapun tempat yang paling baik untuk melakukan peribadatan adalah jinja. Jinja merupakan sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk memuja kami, dewa dalam agama Shinto.

Hampir semua bentuk peribadatan atau upacara keagamaan yang dilakukan di jinja pada hakikatnya merupakan upacara penyucian dalam rangka menyambut kehadiran Kami (dewa). Syarat utama untuk memuja Kami yaitu kesucian dan bersih dari bermacam kekotoran, seperti penyakit, luka, dan menstruasi. Kekotoran dianggap sebagai keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya kesengsaraan dan merusak upacara keagamaan.

Upacara keagamaan yang dilakukan di jinja dapat dibedakan dalam tiga tahapan: Pertama, upacara pensucian pendahuluan (kessai); kedua, upacara pensucian (harai); ketiga, upacara persembahan sesaji. Ketiga upacara ini utuk membantu manusia menemukan kembali kesucian diri dan ketulusan hati yang sebenarnya serta menolong agar dapat hidup dalam kondisi kehidupan memuja Kami dengan kesungguhan.

(38)

Dalam agama Shinto, langit bersifat suci. Mitologi menyatakan ketika terjadinya penciptaan, unsur-unsur alam yang halus berubah menjadi langit, dan unsur-unsur yang berat berubah menjadi bumi. Takama-no-hara dianggap sebagai dunia yang cemerlang yang segala sesuatunya lebih baik dari dunia ini dan menjadi tempat tinggal para Dewa Langit. Adapun dunia ini adalah tempat tinggal para dewa yang hidup dibumi, disebut kuni-tsu-kami. Dalam mitologi disebutkan bahwa para dewa turun dari langit untu menciptakan kedamaian dan kesejahteraan di muka bumi. Meski demikian, bukan berarti bahwa dunia langit secara esensial berbeda dengan dunia bumi, tetapi hanya merupakan dunia yang lebih baik dari dunia manusia. Jika dibandingkan dengan dunia orang mati (Yomi) maka dunia langit adalah dunia ideal.

(39)

BAB III

PENGARUH SHINTO PADA DEKORASI TAHUN BARU DI JEPANG 3.1 Jenis dan Makna Dekorasi Tahun Baru di Jepang

Tahun baru merupakan salah satu festival tahunan yang paling penting bagi orang Jepang. Tujuan perayaan tahun baru yaitu untuk menyambut datangnya dewa tahun (Toshigami) serta untuk memperlihatkan bahwa panen di tahun ini berjalan dengan baik. Seiring berjalannya waktu masyarakat Jepang membuat sebuah awalan baru untuk merayakan Tahun baru yakni semua kegiatan baik sekolah, perkantoran dan lainnya akan diliburkan sekitar seminggu dengan tujuan agar masyarakat dapat merayakan tahun baru bersama keluarga serta dapat berkunjung ke jinja atau otera . Perayaan shougatsu resmi dilakukan dari 1 Januari sampai 3 Januari, selama waktu itu semua instansi pemerintahan dan sebagian besar perusahaan ditutup (Shimoyama 2008 : 134).

Pada perayaan Shogatsu di Jepang terdapat beraneka macam jenis dekorasi atau hiasan yang menarik. Di jepang, jenis hiasan yang dipasang pada saat Ōshōgatsu berbeda dengan hiasan pada Koshōgatsu. Hal ini dikarenakan masing- masing hiasan memiliki keunikan dan makna yang berbeda. Dekorasi yang akan menghiasi perayaan tahun baru diantara lain adalah kadomatsu , shimenawa, shimekazari, ,kagami mochi serta toshidana hiasan tersebut dipasang pada saat Ōshōgatsu sedangkan dekorasi pada saat Koshōgatsu terdiri dari mochibana dan berbagai jenis hiasan dari kayu. Dekorasi-dekorasi tersebut tidak hanya menghiasi pekarangan depan kuil maupun rumah, dekorasi-dekorasi tersebut juga menghiasi instansi pemerintahan, toko, dan tempat umum lainnya.

(40)

3.1.1 Jenis dan Makna Dekorasi Ōshōgatsu

Pada saat Ōshōgatsu ada banyak jenis hiasan tahun baru yang mengandung makna berbeda. Hiasan Ōshōgatsu tersebut biasanya mulai dipasang seminggu sebelum tahun baru sampai perayaan Koshōgatsu. Adapun jenis-jenis hiasan Ōshōgatsu yaitu sebagai berikut:

1. Kadomatsu

Kadomatsu berasal dari kata “kado” dan “matsu” berarti “kado” merupakan pintu masuk dan “matsu” berarti pohon pinus. Kadomatsu merupakan hiasan tahun baru yang terbuat dari cabang pinus, batang bambu, dan ranting pohon prem yang dibuat dengan gaya ikebana (seni merangkai bunga Jepang) yang digunakan untuk menghiasi gerbang rumah atau gerbang kantor. Pada umumnya Kadomatsu diletakkan secara berpasangan di kedua sisi rumah atau pintu masuk toko dengan tujuan untuk mengundang dewa panen dan dewa leluhur lainnya. Kadomatsu bertujuan untuk menyambut datangnya dewa atau kami yang dipercaya dewa tersebut akan datang pada awal tahun untuk memberkati seluruh anggota keluarga.

Terdapat makna yang berbeda dari setiap bagian Kadomatsu yaitu sebagai berikut :

- Pohon pinus/cabang pinus

Dalam bahasa Jepang, kata kadomatsu mencakup adanya karakter pohon pinus.

Pohon pinus merupakan tanaman utama yang digunakan dalam dekorasi tahun baru.

Sejak zaman dahulu, bagi orang Jepang pohon pinus memiliki arti khusus yaitu mereka percaya bahwa pohon adalah tempat tinggal roh para dewa.

(41)

- Bambu

Dekorasi bambu merupakan salah satu hal yang menarik dalam Kadomatsu, bambu mulai dikaitkan dengan kadomatsu selama periode masyarakat samurai. Karena pada zaman dahulu masyarakat Jepang mempunyai keyakinan bahwa bambu cocok untuk menghilangkan kehidupan yang susah karena bambu memiliki filosofi selalu tumbuh kearah langit.

- Bunga plum dan kangkung berbunga

Didalam kadomatsu juga terdapat hiasan bunga plum dan kangkung berbunga.

Keduanya memiliki makna yang beruntung. Bunga plum yang mekar di awal tahun pada suhu yang relatif dingin memiliki makna tanaman yang kuat dan tahan lama Sedangkan kangkung berbunga yang melapis daunnya, diartikan sebagai semakin banyak rezeki.

2. Shimenawa

Arti "Shimenawa," secara harafiah yaitu "tali penutup" adalah hiasan yang sering sekali terlihat di dalam kuil Shinto untuk menandai tempat-tempat suci yang dipercaya sebagai tempat tinggal arwah. Shimenawa adalah hiasan jerami padi suci yang menghiasi sebagian besar didepan pintu rumah. Shimenawa merupakan tali khusus yang diikatkan di sekitar atau di atas suatu objek atau ruang untuk menunjukkan kesucian atau kemurniannya. Jumbai biasanya digantung di tali dengan interval tertentu. Didalam Shimenawa terdapat pita gantung yang dikenal sebagai shide, terbuat dari washi (kertas Jepang) dan dilipat menjadi bentuk zig- zag.

(42)

Shimenawa yang digantung melintasi ruang, biasanya lebih tebal di bagian tengah dan meruncing ke ujungnya, sedangkan yang diikat di sekitar benda suci umumnya memiliki ketebalan yang konsisten. Sebuah shimenawa selalu tergantung di bawah atap (haiden), dan yang sering ditempelkan pada torii (gerbang) juga, yang membuat shimenawa menjadi salah satu hal pertama yang dilihat seseorang ketika mengunjungi kuil. Di rumah-rumah Jepang, orang sering melihat shimenawa di depan kuil rumah tangga, dan itu membentuk dasar shimekazari, hiasan Tahun Baru yang digantung di atas pintu depan untuk menyambut kami(dewa) pada tahun baru ke dalam rumah seseorang. Shimenawa dapat ditemukan melingkari patung, pohon legendaris, batu, dan apa pun yang dianggap dihuni oleh makhluk seperti dewa yang disebut kami. shimenawa juga dipasang untuk mengelilingi pohon keramat (shinboku). (https://www.japanvisitor.com/japanese-culture/shimenawa)

3. Shimekazari

Shimekazari Merupakan salah satu dekorasi Tahun Baru yang paling umum untuk setiap rumah. Shimekazari yaitu tali jerami yang dikepang (biasanya digunakan di kuil Shinto) dihiasi dengan potongan kertas berbentuk zigzag dengan lambang zodiak tahun yang akan datang atau jimat keberuntungan lainnya.

Biasanya, Shimekazari ditempatkan di pintu masuk rumah untuk mencegah masuknya roh jahat dan mengundang Toshigami atau dewa Shinto. Dekorasi Tahun baru tradisional ini terbuat dari shimenawa, tali jerami suci Shinto, dan bahan lainnya seperti jeruk pahit, pakis, dan potongan kertas ritual putih yang disebut shide.

(43)

Shimekazari biasanya dipasang antara tanggal 26 dan 28 Desember.

Memasangnya pada tanggal 29 atau 31 Desember dianggap membawa kesialan:

melakukannya pada tanggal 29 dikatakan akan membawa penderitaan (ku dalam bahasa Jepang, yang terdengar mirip dengan pengucapan niju-ku dari nomor 29), sedangkan memasang shimekazari pada tanggal 31 yang berarti mereka hanya bisa begadang selama satu malam sebelum kunjungan Toshigami, yang dianggap tidak menghormati dewa. Setelah kunjungan Toshigami, biasanya shimekazari diturunkan pada tanggal 7 Januari dan membakarnya selama ritual Dondoyaki pada tanggal 15 Januari, meskipun ada di beberapa bagian Jepang shimekazari dipertahankan sepanjang tahun. Shimekazari tahun baru mencakup berbagai elemen dekoratif yang berasal dari kepercayaan tradisional kuno. Setiap elemen memiliki tujuan spesifiknya sendiri - misalnya, potongan kertas berbentuk zigzag yang dirancang menyerupai petir dikatakan dapat mengusir kejahatan.

Terdapat makna yang berbeda dari setiap bagian Shimekazari seperti pada gambar diatas yaitu sebagai berikut :

- Kipas Terbuka

Pada shimekazari terdapat adanya kipas genggam terbuka berbentuk seperti pai pada ornamenya Jadi kipas terbuka cocok dengan arti kata 末

広 が り yang berarti kemakmuran meningkat seiring berjalannya waktu.

(44)

- Udang

Pada hiasan shimekazari terdapat adanya udang yang berbentuk seperti punggung udang bengkok yang sama dengan punggung orang tua. Udang dipercaya memiliki makna untuk melambangkan umur yang panjang.

- Daun pakis

Daun pakis ditempatkan dengan sisi yang menjulang keluar, yang disebut Urajiro yang berarti "punggung putih", karena daun pakis disisi tersebut lebih berwarna putih karena terkena lebih sedikit cahaya sehingga lebih sedikit adanya klorofil. Daun pakis ini melambangkan kemurnian dan kepolosan seseorang.

- Daun Yuzuriha

Daun ini diambil dari pohon yang disebut yuzuriha yang berarti "daphne palsu". Kata yuzuru berarti "meneruskan, memberi jalan, "dan ha berarti

"daun”. Daun ini melambangkan garis keturunan yang panjang untuk mewariskan budaya perayaan tahun baru bagi generasi yang akan datang.

- Klep/Rumput laut

Dalam Bahasa Jepang kata klep adalah adalah konbu. Kata konbu dekat dengan yorokobu “bersukacita; bergembiralah”. Jadi klep atau rumput laut disini bermakna pengalaman orang yang menyenangkan yang dibagikan dengan orang lain agar orang tersebut diharapkan dapat bergembira dan bersukacita.

(45)

- Daidai Orange (jeruk pahit)

Daidai (橙) adalah sejenis jeruk tetapi rasanya pahit yang hanya digunakan

untuk dekorasi Shimekazari bukan untuk makanan karena rasanya tidak enak. Nama daidai identik dengan da’idai (代々) “generasi yang akan

sukses”. Jadi daidai melambangkan keinginan sebuah keluarga untuk garis keturunan yang panjang dan sejahtera.. Warna daidai adalah oranye, dan disebut daidaiiro (橙色).

- Rantai Kertas

Rantai kertas terbuat dari selembar kertas putih yang dipotong sedemikian rupa dan dilipat menjadi rantai. Biasanya digantung di 注 連 縄 atau shimenawa , tali yang terbuat dari sedotan atau serat rami untuk menangkal kejahatan dan menandai daerah suci. Dalam dekorasi ini ditambahkan selembar kertas merah. Kombinasi merah dan putih berarti "keberuntungan"

di Jepang.

- Paper string

Mizuhiki (水引き) adalah beberapa benang kertas beras yang dipilin untu mengikat hadiah. Jika untuk acara yang menguntungkan, seperti perayaan tahun baru, pernikahan,ulang tahun memakai benang berwarna merah dan putih, dan jika untuk berkabung, warnanya hitam / abu-abu dan putih.

(46)

- Straw (sedotan)

Sedotan kering melambangkan harapan akan panen yang melimpah di musim gugur.

(https://kanjiportraits.wordpress.com/2016/12/31/3773/)

4. Kagami Mochi

Di dalam bahasa Jepang 'Kagami' berarti 'cermin', dan sering dikatakan bahwa bentuknya menyerupai cermin perunggu yang dianggap sebagai harta karun oleh orang Jepang kuno. Dipercaya bahwa dengan menghiasi barang-barang mulia seperti itu, kekayaan seseorang juga akan berlipat ganda. Kagami-mochi terbuat dari dua lapis beras tumbuk, atau mochi, dan biasanya dimahkotai dengan mandarin Jepang berwarna jingga cerah yang disebut mikan. Yang terakhir ini sebenarnya merupakan tambahan modern, karena secara tradisional kue ini dihiasi dengan buah jeruk berbeda yang dikenal sebagai daidai. Daidai dianggap menguntungkan, karena arti kata tersebut dapat diterjemahkan menjadi "generasi demi generasi,"

mewakili keinginan keluarga untuk garis keturunan yang panjang dan sejahtera.

Namun, karena buah daidai besar dan pahit, mikan yang lebih enak dan secara proporsional digunakan secara luas, dengan tetap mempertahankan pengertian daidai tentang kesehatan dan umur panjang.

Kagami mochi umumnya menggunakan hiasan seperti pakis, rumput laut kering dan kertas Jepang dekoratif. Namun, dekorasi bervariasi tergantung dari keluarga masing-masing yang menginginkan hiasan seperti apa. Kagami mochi dipercaya oleh masyarakat Jepang untuk mengundang Toshigamisama (Dewa).

(47)

Kagami mochi berbentuk bulat dan menumpukkan dua "mochi" yang berarti

"berkali-kali". Dengan kata lain, itu berarti mengulang tahun dengan perasaan damai. Dalam kagami mochi juga diletakkan jeruk pahit (atau jeruk mandarin) di atasnya. Dan menampilkan kipas angin di belakang. Jeruk ini bermakna agar memiliki harapan supaya mendapatkan umur yang lebih panjang dan kesejahteraan keluarga, sedangkan arti dari kipas angin yang ada dibelakangnya memiliki makna diberikan rezeki yang berlimpah untuk waktu yang lama.

5. Dekorasi Altar Shogatsu (Toshidana)

Toshidana merupakan rak yang dibuat khusus pada ritual khususnya dalam perayaan tahun baru. Bentuknya seperti bangunan yang permanen yang sudah ada sejak awal pertengahan. Altar Shinto dibagi menjadi dua yaitu jenis yaitu Iwasaka dan Himorogi, iwasaka adalah tempat persembahan yang dikelili oleh tumpukan batu sedangkan himorogi yaitu tempat suci yang ditanami pepohonan hijau dan sebagai objek pemujaan. Terkadang tempat pemujaan ini tidak memiliki struktur fisik tetapi masih disebut sebgai altar.

Perayaan Shogatsu, terdapat altar khusus yang disebut toshidana. Toshidana ini digunakan untuk menaruh berbagai persembahan yang ditujukan kepada kami atau dewa. Benda-benda yang dijadikan persembahan tersebut diantaranya adalah ranting tumbuhan sakaki, kagamimochi (dua buah mochi yang berbentuk bundar pipih seperti cermin yang diletakkan dengan cara bertumpuk dengan bagian yang lebih kecil diatas dan yang lebih besar dibawah), dan sake. Ada juga sebagian orang yang menggunakan kamidana (altar Shinto) sebagai toshidana.

(48)

3.1.2 Jenis dan Makna Dekorasi Koshōgatsu

Hampir sama dengan Ōshōgatsu, pada saat perayaan Koshōgatsu orang Jepang juga melakukan ritual pemasangan hiasan tahun baru serta memanjatkan doa. Hiasan Koshogatsu dijadikan sebagai persembahan kepada para Dewa (toshigamisama) yang dipercaya akan datang membawa berkah yang berlimpah berupa hasil panen. Hiasan Koshōgatsu umumnya disebut dengan monotsukuri yang berarti benda buatan. Hiasan Koshōgatsu merupakan hiasan yang berhubungan dengan pertanian jadi deokorasi dibuat menyerupai rangkaian bunga atau buah karena memiliki tujuan untuk mengundang dewa panen agar membawa berkah melalui hasil panen.

Berbeda dengan Shogatsu yang penuh dengan acara untuk menyambut Toshigami (dewa tahun), Koshogatsu lebih mengarah ke acara yang nyaman dan berkaitan dengan pertanian seperti berdoa untuk panen yang baik. Pada perayaan Koshogatsu kebiasaan yang sering dilakukan yaitu makan “azukigayu” sejenin bubur beras yang dicampur dengan kacang azuki merah manis. Salah satu acara yang diadakan pada Koshogatsu adalah “toshiura” dimana azukigayu (bubur nasi) dimasukkan kedalam bambu tipis dan dimasak Kembali kemudian akan dikeluarkan dari bamboo tersebut diyakini jumlah bubur yang tersisa didalm bambu akan meramalkan apakah tahun depan akan menghasikan panen yang berlimpah atau tidak.

(49)

Adapun hiasan yang dipasang pada saat Koshōgatsu adalah:

1. Mochibana

Salah satu hiasan Koshōgatsu yang terkenal adalah mochibana yaitu hiasan yang dibuat dari kue mochi berbentuk bulat kecil berwarna putih dan merah muda yang dililitkan di sekitar cabang pohon willow untuk meniru mekarnya bunga.

Mochibana berasal dari Jepang bagian utara, di daerah pegunungan dengan musim dingin yang panjang dan hujan salju yang menghancurkan atap. Daerah ini disebut yukiguni, atau 'negara salju' yang secara alami tidak ada bunga di musim dingin.

Tapi, tentu saja, orang masih ingin memiliki bunga dalam hidup mereka.

Mayarakat Jepang meyakini mochi sebagai benda yang dapat membawa keberuntungan. Oleh karena itu mochi dijadikan sebagai bahan utama membuat mochibana. Mochibana juga dijadikan sebagai lambang tempat tinggal Toshitokujin (dewa panen) selama perayaan Koshōgatsu. Mochibana memiliki bentuk seperti pohon yang sedang berbuah yang diyakini sebgai lambang harapan para petani agar agar dewa memberikan berkah berupah panen yang berlimpah.

Pada saat Koshogatsu mochibana diletakkan di tempat-tempat yang dipercaya akan didatngi oleh dewa seperti di runag tamu, tempat ibadah dan sejeninya.

(https://kyotofoodie.com/shogatsu-mochibana-japanese-new-year-decoration/)

2. Hiasan dari kayu

Adapun hiasan Koshōgatsu yang lainnya adalah hiasan dari kayu berbentuk bunga. Hiasan tersebut dibuat dengan cara membuat serutan kayu yang tipis menjadi bentuk ikal atau keriting kemudian dirangkai dan diletakkan melingkar

(50)

pada sebuah batang kayu sehingga menyerupai bentuk bunga. Pada saat Koshogatsu hiasan ini diletakkan di ruang tamu, tempat ibadah, depan pintu,dan toilet. Hiasan ini dijadikan sebagai simbol pengusir kekuatan jahat, karena kayu yang dijadikan sebagai hiasan diambil dari daerah pegunungan. Sebelum menebang kayu, orang Jepang mengadakan ritual untuk meminta izin kepada dewa. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka dipercaya akan mendapatkan kesialan. Masyarakat Jepang percaya bahwa di dalam kayu-kayu tersebut terdapat adanya kekuatan dewa gunung yang akan melindungi manusia dari hal buruk.

(http://eprints.undip.ac.id/19566/1/Endah_Nurcahyati.pdf)

Adapun hiasan yang lebih sering digunakan oleh kelurga sewaktu mendekorasi rumah mereka yaitu dengan “Mayudama”, Yaitu beberapa beras yang berbentuk kue kepompong yang digantung dari pohon willow atau ranting bambu sebagai jimat keberuntungan seperti koine mas, botol sake kecil dalan lainnya.

(51)

3.2 Pengaruh Shinto Pada Dekorasi Shogatsu di Jepang

Perayaan Shogatsu di Jepang berhubungan dengan dekorasi simbolik, hidangan, permainan, hidangan, ritual penyembahan, serta peserta yang banyak.

Keseluruhan kegiatan tersebut juga merupakan bagian dari elemen-elemen dalam melaksanakan acara Shinto. Menurut Bess dan Wein dalam Farido (2011:2) terdapat adanya ritual Shinto pada umumnya seperti, pemurnian sebelum acara dimulai, persiapan dekorasi yang dilakukan untuk mengundang para dewa, mengusir kekuatan jahat, dan ritual mengirimkan dewa dan roh leluhur.

Salah satu praktik keagamaan dan festival yang wajib dilakukan masyarakat Jepang dan berhubungan dengan Shinto adalah perayaan Oshogatsu, bagi masyarakat Jepang, shogatsu berfungsi untuk menekankan hidup dengan awal tahun dan akhir tahun. Shogatsu atau tahun baru secara simbolis menandai datangnya awal musim semi, meskipun dirayakan di pertengahan musim dingin. Perayaan yang mengikuti perubahan musim memiliki hubungan yang erat dengan kepercayaan Shinto. (Brandon 1994 : 15).

Di Jepang,terdapat dua perayaan tahun baru yang pertama tahun baru besar (Oshogatsu) dan tahun baru kecil (Koshogatsu). Hiasan tahun baru pada Oshogatsu berbeda dengan hiasan pada Koshogatsu. Disini penulis hanya akan membahas pengaruh shinto pada hiasan perayaan Oshogatsu. Seperti yang kita ketahui dekorasi memiliki peran penting dalam memeriahkan tahun baru dimana dekorasi tidak hanya sekedar memberi nilai keindahan pada perayaan, tetapi juga memberi makna tertentu. Adapun jenis-jenis dekorasi pada perayaan tahun baru (shogatsu)

(52)

di Jepang adalah : kadomatsu, shimekazari,shimenawa,kagami mochi serta dekorasi altar. Dekorasi yang dipasang tersebut akan dipasang di instansi pemerintah, pekarangan depan kuil, rumah, toko dan tempat umum lainnya.

Dekorasi khusus shogatsu memiliki adanya pengaruh Shinto pada masing-masing hiasannya.

3.2.1 Pengaruh Shinto Pada Kadomatsu

Pengertian Kadomatsu「門松」yaitu penjaga pintu gerbang, yang berasal

dari dua kanji yaitu [門] dibaca ‘mon’ atau ‘kado’ dan [松] ‘matsu’ merupakan salah satu dekorasi tahun baru yang dibuat untuk menarik perhatian Dewa. Pada perayaan tahun baru, arwah leluhur dipercaya akan datang kembali ke rumah yang dulu pernah dia tinggali dalam bentuk toshigami. Kadomatsu pertama kali muncul di tiongkok. Dan pertama kali tradisi ini diperkenalkan ke Jepang pada zaman heian.

(Brandon, 1994 : 67).

Menurut Brandon (1994 : 68) ada dua jenis cara pemotongan bambu dalam kadomatsu yaitu, secara sogi (ujung bambu dipotong secara diagonal) dan secara zundou (ujung bambu dipotong secara mendatar Pada umumnya pemotongan bambu secara sogi yang sering kita temukan sedangkan pemotongan bambu secara zundou cukup jarang sekali ditemukan. Didalam Kadomatsu selain terbat dari bambu juga terdapat apricot dan ranting daun cemara. Sho-Chiku-Bai「松竹梅」

yaitu trio bambu, ranting cemara dan aprikot. Untuk bambu (take) mengandung makna kekuatan dan fleksibilitas sedangan untuk ranting cemara (matsu) bermakna

Referensi

Dokumen terkait

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis hipertensi (primer dan sekunder) sebagai variabel respon (Y),sedangkan variabel prediktor (X) adalah jenis

Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupten Blitar kedudukannya diatur dan ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Blitar nomor 6 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Dari hasil uji-coba terhadap sistem pengenalan individu berbasis warna iris dengan dukungan algorima yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa sistem yang dikembangkan

Maka yang dapat dicapai adalah keadilan relatif (relative justice). Sehingga untuk menjamin nilai-nilai demokrasi diatas, perlu diselenggarakan beberapa lembaga: a)

multibahasa dan SEO.Dapat bekerja dengan PHP / MySQL. 6) Digistore -Pengembangan dari osCommerce dengan perbaikan di ujung depan dan app admin. Menyediakan platform untuk

Pada zaman Meiji, agama Buddha kehilangan kedudukannya sebagai agama negara dan Shinto yang merupakan pandangan hidup orang Jepang mulai berkembang dan diangkat

Interaksi nitrogen dan fosfor tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah akar per kultur pada Cymbidium varietas Lovely Angel seperti yang telah tercantum pada Tabel

Dengan semakin maraknya konversi lahan yang terjadi di Kelurahan Pojoksari dapat dikatakan akan membawa pengaruh bagi para petani karena cenderung akan berdampak