UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI
MEDAN
SKRIPSI
PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH PROPINSI
SUMATERA UTARA
OLEH
NAMA : SAMUEL SITOMPUL
NIM : 030503037
DEPARTEMEN : AKUNTANSI
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
Pengaruh Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera
Adalah benar hasil karya saya sendiri dan judul dimaksud belum pernah
dimuat, dipublikasikan atau diteliti oleh mahasiswa lain dalam konteks penulisan
skripsi level program S-1 Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Univesitas
Sumatera Utara.
Semua sumber data dan informasi yang diperoleh telah dinyatakan dengan
jelas, benar apa adanya. Apabila dikemudian hari pernyataan ini tidak benar saya
bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh universitas.
Medan, 16 Maret 2010 Yang Membuat Pernyataan
KATA PENGANTAR
Salam Sejahtera,
Syukur dan terima kasih penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa, yang telah melimpahkan kemurahan-Nya serta senantiasa memberikan
kesehatan, kemampuan, dan kekuatan kepada Penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul :
“ Pengaruh Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera. ”
Skripsi ini penulis persembahkan untuk keluarga tercinta yang telah
memberikan doa dan dukungannya, terutama kepada kedua orang tua dan
adik-adik ku tersayang.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak berupa dukungan moril, materiil, spiritual, maupun
administrasi. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, terutama :
1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Hasan Sakti Siregar, M.Si, Ak selaku Ketua Departemen
Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Mutia Ismail, MM, Ak selaku Sekretaris Departemen Akuntansi
4. Bapak Drs. Rustam MSi, Ak. selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.
5. Bapak Drs. M. Zainal Bahri Torong, MSi, Ak. selaku Dosen Pembanding I
dan Bapak Syahrurahman SE, Ak selaku Dosen Pembanding II yang telah
memberikan kritik dan saran kepada penulis untuk menyempurnakan skripsi
ini.
6. Dosen Wali penulis, Bapak Drs. Hasan Sakti Siregar, MSi, Ak.
7. Bapak dan Ibu Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan bimbingan semasa perkuliahan, serta Staf Pegawai
Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang telah membantu
birokrasi administrasi selama penyusunan skripsi.
8. Kepada Ayah dan Ibu yang telah sabar dan selalu mendukung Saya untuk
semuanya. Terima kasih banyak untuk semua kasih sayang, doa, semangat,
pengorbanan, serta pengertian yang sangat besar buat Saya, semoga Saya
bisa memberikan yang terbaik untuk Ayah dan Ibu.
9. Teman-temanku sejurusan akuntansi 2003, serta untuk rekan-rekan
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang lainnya.
Penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk dukungan dan
semangat kepada Penulis.
10. Untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang memerlukannya.
Medan, 8 Agustus 2009 Yang Membuat Pernyataan
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Kebijakan Desentralisasi Fiskal berpengaruh signifikan positif terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara. Metode penelitian dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan desain penelitian kausal, dengan jumlah sampel 13 kabupaten/ kota setiap tahunnya dari 29 kabupaten/ kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan untuk periode 2002-2006. Jenis data yang dipakai adalah data sekunder. Data diperoleh melalui situs Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Utara. Data yang dianalisis dalam penelitian ini diolah dari Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumatera Utara. Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan metode analisis data yang terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi klasik sebelum melakukan pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan regresi linier sederhana dengan uji t dan uji koefisien determinasi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa secara parsial Kebijakan Desentralisasi Fiskal mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap Pendapatan Daerah.
ABSTRACT
The purpose of this research is to examine the significant impact of Fiscal Decentralization Policy in regency/ city at North Sumatera Province. The method of this minithesis is a causal research design with 13 regency/ city as a sample for every year from 29 regency/ city at North Sumatera Province. This research is done for 2002-2006 period. This research utilizes secondary data. The data are taken from the website Financial Department of the Republic Indonesia Province. The data which is analyzed in this research are collected through the region budget of Revenue and Expense and the realitation region budget of Revenue and Expense . The data which have already collected are processed with classic asumption test before hypothesis test. Hypothesis test in this research use simple regression with t test and coefficient determination test.
The result of this research show that partially Fiscal Decentralization Policy have a positive significant impact to the regional financial independence. Local Tax and Local Retribution have a positive significant impact to the regional finance Performance simultaneously.
DAFTAR ISI
Halaman
PERNYATAAN ... i
KATA PENGANTAR ... ii
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan Penelitian Dan Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 10
A. Tinjauan Teoritis ... 10
1. Definisi Desentralisasi Fiskal ... 10
2. Sumber Pendapatan Daerah... 10
3. Kinerja Keuangan Daerah ... 10
B. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 13
C. Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian ... 15
2. Hipotesis Penelitian ... 16
BAB III METODE PENELITIAN ... 17
A. Desain Penelitian ... 17
B. Data Penelitian ... 17
C. Teknik Pengumpulan Data ... 17
1. Teknik Dokumentasi ... 17
2. Teknik Kepustakaan ... 18
D. Variabel Penelitian ... 18
E. Teknik Analisis Data ... 20
F. Jadwal dan Lokasi Penelitian ... 28
BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN ... A. Data Penelitian ... 29
1. Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara ... 29
2. Realisasi APBD Sebelum Desentralisasi Fiskal ... 35
3. Realisasi APBD Sesudah Desentralisasi Fiskal ... 38
4. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah setelah Kebijakan Desentralisasi Fiskal ... 44
B. Analisis Hasil Penelitian ... 46
1. Analisis Deskriptif ... 46
2. Uji Asumsi Klasik ... 47
3. Analisis Regresi ... 54
C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 58
A. Kesimpulan ... 59
B. Keterbatasan Penelitian ... 59
C. Saran ... 60
DAFTAR PUSTAKA ... 62
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 4.1 Realisasi APBD Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera
Utara Tahun Anggaran 2002 ... 41
Tabel 4.2 Realisasi APBD Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Tahun Anggaran 2003 ... 41
Tabel 4.3 Realisasi APBD Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Tahun Anggaran 2004 ... 42
Tabel 4.4 Realisasi APBD Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Tahun Anggaran 2005 ... 43
Tabel 4.5 Realisasi APBD Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Tahun Anggaran 2006 ... 43
Tabel 4.6 Kinerja Keuangan Daerah Dalam Bentuk Derajat Desentralisasi Fiskal ... 44
Tabel 4.7 Kinerja Keuangan Daerah Dalam Bentuk Kemandirian Pembiayaan Daerahl ... 45
Tabel 4.8 Kinerja Keaungan Daerah Dalam Bentuk Tingkat Ketergantungan Daerah ... 46
Tabel 4.9 Statistik Deskriptif Variabel ... 47
Tabel 4.10 Tabel Uji Normalitas... 48
Tabel 4.12 Analisis Hasil Regresi ... 54
Tabel 4.13 Hasil Analisis Koefesien Korelasi dan Koefesien
Determinasi ... 56
Tabel 4.14 Hasil Uji t ... 57
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual ... 16
Gambar 4.2 Histogram-Dependent Variable: Kemandirian Pembiyaan
Daerah ... 49
Gambar 4.2 Normal P-P Plot of Regression Standarized
Residual-Dependent Variable: Kemandirian Pembiyaan Daerah... 50
Gambar 4.5 Scatterplot-Dependent Variable:Kemandirian
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
Lampiran i Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara ... 64
Lampiran ii Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah T.A 2002 ... 65
Lampiran iii Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah T.A 2003 ... 67
Lampiran iv Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah T.A 2004 ... 69
Lampiran v Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah T.A 2005 ... 71
Lampiran vi Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah T.A 2006 ... 73
Lampiran vii Statistik Deskriptif ... 75
Lampiran viii Hasil Uji Normalitas dengan Grafik Histogram ... 76
Lampiran ix Hasil Uji Normalitas dengan Normal Probability Plot.... 77
Lampiran x Hasil Uji Normalitas dengan Nonparametric test
Kolmogorov-Smirnov ... 78
Lampiran xi Hasil Uji Heteroskedastisitas dengan Scatterplot ... 79
Lampiran xii Hasil Regresi ... 80
5% ... 81
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Kebijakan Desentralisasi Fiskal berpengaruh signifikan positif terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara. Metode penelitian dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan desain penelitian kausal, dengan jumlah sampel 13 kabupaten/ kota setiap tahunnya dari 29 kabupaten/ kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan untuk periode 2002-2006. Jenis data yang dipakai adalah data sekunder. Data diperoleh melalui situs Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Utara. Data yang dianalisis dalam penelitian ini diolah dari Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumatera Utara. Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan metode analisis data yang terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi klasik sebelum melakukan pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan regresi linier sederhana dengan uji t dan uji koefisien determinasi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa secara parsial Kebijakan Desentralisasi Fiskal mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap Pendapatan Daerah.
ABSTRACT
The purpose of this research is to examine the significant impact of Fiscal Decentralization Policy in regency/ city at North Sumatera Province. The method of this minithesis is a causal research design with 13 regency/ city as a sample for every year from 29 regency/ city at North Sumatera Province. This research is done for 2002-2006 period. This research utilizes secondary data. The data are taken from the website Financial Department of the Republic Indonesia Province. The data which is analyzed in this research are collected through the region budget of Revenue and Expense and the realitation region budget of Revenue and Expense . The data which have already collected are processed with classic asumption test before hypothesis test. Hypothesis test in this research use simple regression with t test and coefficient determination test.
The result of this research show that partially Fiscal Decentralization Policy have a positive significant impact to the regional financial independence. Local Tax and Local Retribution have a positive significant impact to the regional finance Performance simultaneously.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian
masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah
akhir-akhir ini, membawa dampak terhadap hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Salah satu unsur reformasi total tersebut adalah
tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah (pemerintah daerah), yang
di kenal dengan kebijakan otonomi daerah. Dalam pelaksanaan diharapkan sesuai
dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan,
potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana untuk meningkatkan pelayanan
dan kesejahteraan masyarakat yang semakin membaik.
Alasan-alasan yang menyebabkan lahirnya tuntutan tersebut. Adalah,
pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah
menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah
dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah. Hal
tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati sehingga
pemerintah daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan,
dan bukan sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kedua,
otonomi daerah merupakan jawaban untuk memasuki era new game yang
datang. Di era seperti ini, dimana globalization cascade sudah semakin meluas,
pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada
perdagangan internasional, informasi, serta transaksi keuangan (Mardiasmo, 2002:
3-4).
MPR sebagai wakil-wakil rakyat menjawab tuntutan tersebut dengan
menghasilkan beberapa ketetapan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Salah
satu ketetapan MPR yang dimaksud adalah Ketetapan MPR Nomor
XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah. Berdasarkan ketetapan MPR tersebut, pemerintah
telah mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah yaitu :
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa. Pada tanggal 15 Oktober 2004, disahkan
Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagai revisi atas Undang-Undang No 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara
dengan Daerah-Daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat
dan Pemerintahan Daerah sebagai revisi atas Undang-Undang No 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
Konsekuensi dari pelaksanaan kedua Undang-Undang tersebut adalah
bahwa daerah harus mampu mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata,
dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga
ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat,
dan lembaga swadaya masyarakat serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di sisi lain, saat ini kemampuan keuangan
beberapa Pemerintah Daerah masih sangat tergantung pada penerimaan yang
berasal dari Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, bersamaan dengan semakin
sulitnya keuangan negara dan pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri, maka
kepada setiap daerah dituntut harus agar dapat membiayai diri sendiri melalui
sumber-sumber keuangan yang dimilikinya. Peranan Pemerintah Daerah dalam
menggali dan mengembangkan berbagai potensi daerah sebagai sumber
penerimaan daerah akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat di daerah.
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagai subsistem pemerintahan
negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah
otonom, daerah mempunyai wewenang dan tanggung jawab menyelenggarakan
masyarakat dan pertanggung jawaban kepada masyarakat. Prinsip dasar
pemberian otonomi didasarkan atas pertimbangan bahwa daerahlah yang lebih
mengetahui kebutuhan dan standar pelayanan bagi masyarakat di daerahnya. Atas
dasar pertimbangan ini, maka pemberian otonomi diharapkan akan lebih mampu
memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pada akhirnya.
Khusus untuk merealisasikan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan
daerah otonom, maka pemerintah mengeluarkan UU No 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Pengalihan pembiayaan atau desentralisasi fiskal secara singkat dapat
diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang
lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi
atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya
kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Saragih, 2003: 83). Dalam
melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip money should follow function
merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Prinsip
tersebut berarti setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan
membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan
kewenangan tersebut
Dalam desentralisasi fiskal, komponen dana perimbangan merupakan
sumber penerimaan daerah yang sangat penting. Dana perimbangan merupakan
inti dari desentralisasi fiskal. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
merupakan salah satu bentuk hubungan dari sekian banyak hubungan antara
merupakan suatu sistem hubungan keuangan yang bersifat vertikal antara
pemerintah pusat dan daerah (intergovernmental fiscal relations system), sebagai
konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dalam bentuk penyerahan sebagian
wewenang pemerintahan.
Ada perbedaan sudut pandang di dalam menyikapi masalah dana
perimbangan ini. Di satu sisi, adanya dana perimbangan dalam otonomi daerah
merupakan bentuk tanggung jawab dari pemerintah pusat atas berjalannya proses
otonomi daerah. Hal ini juga sebagai wujud bahwa walaupun sistem yang
diterapkan adalah sistem otonomi daerah, akan tetapi tetap dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun di sisi yang lain, adanya dana
perimbangan yang terlalu besar akan menimbulkan persepsi bahwa daerah
tersebut tidak mandiri secara fiskal dan akan sampai pada kesimpulan akhir bahwa
otonomi daerah tidak efektif untuk dilaksanakan. Pengalaman selama ini
menunjukkan bahwa hampir di semua daerah prosentase Pendapatan Asli Daerah,
relatif lebih kecil, sekitar 25% dari total penerimaan daerah. Pada umumnya
APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) suatu daerah didominasi oleh
sumbangan pemerintah pusat dan sumbangan-sumbangan lain, yang diatur dengan
peraturan perundang-undangan, yaitu sekitar 75% dari total penerimaan daerah
(Yani, 2002: 3). Hal ini menyebabkan daerah masih tergantung kepada
pemerintah pusat, sehingga kemampuan daerah untuk mengembangkan potensi
yang mereka miliki menjadi sangat terbatas. Rendahnya PAD suatu daerah
bukanlah disebabkan oleh karena secara struktural daerah memang miskin atau
disebabkan oleh kebijakan pemerintah pusat. Selama ini sumber-sumber keuangan
yang potensial dikuasai oleh pusat.
Berdasarkan data dari PAD dalam APBD seluruh kabupaten dan kota di
Sumatera Utara selama lima tahun (1995/1996 – 1996/2000), peranan PAD masih
relatif kecil terhadap APBD hanya sebesar 10,55 %. Dari rata-rata kontribusi
tersebut, hanya dua daerah kabupaten/kota yang kontribusi rata-rata pendapatan
asli daerahnya yang berada di atas rata-rata yaitu kota Medan sebesar 31,45 % dan
kota Pematang Siantar 18,07 %. Rata-rata kontribusi pajak daerah terhadap PAD
pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara sebelum otonomi daerah sebesar 47 %
dan setelah otonomi daerah mengalami penurunan menjadi 41 %. Rata-rata
kontribusi PAD terhadap belanja rutin non pegawai sebelum otonomi daerah 42 %
dan setelah otonomi daerah mengalami penurunan menjadi 26 %. Rata-rata
kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah sebelum otonomi daerah
sebesar 7,6 % dan setelah otonomi daerah mengalami penurunan menjadi 4,5 %.
Rata-rata tingkat ketergantungan pemerintah kabupaten/kota di Sumatera Utara
sebesar 72 % dan setelah otonomi daerah mengalami penurunan sebesar 45 %.
Peranan PAD terhadap belanja rutin pada tahun 1998/1999 dan 1999/2000 adalah
11,7 % dan 10,6 %, sedangkan setelah otonomi daerah yaitu tahun 2003 dan 2004
sebesar 7,35 dan 7,8 %.
Rendahnya PAD dalam struktur penerimaan daerah disebabkan karena
sumber-sumber yang masuk dalam kategori PAD umumnya bukan sumber
potensial bagi daerah. Sumber-sumber yang potensial bagi daerah telah diambil
sumber-sumber yang kurang potensial, seperti pajak reklame, penerangan jalan,
hotel dan restoran dan sebagainya. Peranan PAD masih sangat kecil sehingga
pemerintah daerah masih sangat tergantung pada transfer dari pemerintah pusat.
Oleh karena hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai perbandingan kinerja keuangan pemerintah daerah sebelum dan sesudah
kebijakan otonomi daerah Propinsi Sumatra Utara, dalam skripsi yang berjudul
“Pengaruh Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara .“
B. Batasan Penelitian dan Perumusan Masalah 1. Batasan Penelitian
Agar penelitian yang dilakukan lebih terarah dan hasil yang dicapai tidak
menyimpang dari tujuan yang ditetapkan, maka diperlukan adanya suatu
batasan masalah. Penulis menetapkan batasan masalah sebagai berikut:
a. Objek penelitian adalah kabupaten dan kota yang ada di Sumatera
Utara dengan periode penelitian yang diamati adalah tahun 2002-2006.
b. Objek penelitian adalah kabupaten dan kota yang ada di Sumatera
Utara yang secara rutin mempublikasikan laporan APBD-nya kepada
2. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut penulis merumuskan sebuah
permasalahan yaitu “Apakah Kebijakan Desentralisasi Fiskal berpengaruh
signifikan terhadap Kinerja Keuangan pada pemerintah daerah Sumatera
Utara?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kebijakan desentralisasi
fiskal dalam hal ini derajat desentralisasi fiskalnya berpengaruh terhadap secara
signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintahan kabupaten/kota di Propinsi
Sumatra Utara serta melihat seberapa besar pengaruhnya.
2. Manfaat Penelitian ini adalah :
Manfaat Penelitian ini adalah :
a. Bagi pemerintah daerah
Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau sumber informasi
dalam pengambilan keputusan untuk menunjang efektivitas dan
efisiensi dalam mengelola keuangan untuk meningkatkan kinerjanya
setelah adanya kebijakan desentralisasi fiskal.
Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti baik dalam hal
penelitian maupun obyek penelitian, yang dalam hal ini adalah
perbandingan kinerja keuangan daerah, sebelum kebijakan otonomi
daerah dan sesudah kebijakan otonomi daerah, yang sangat erat
kaitannya dengan kesiapan daerah secara fiskal dalam melaksanakan
kebijakan otonomi daerah.
c. Bagi pihak lain
Memperkaya penelitian-penelitian sejenis yang telah ada yang dapat
dijadikan perbandingan dengan penelitian-penelitian berikutnya.
Kebijakan Pemerintah Indonesia mengenai otonomi daerah ini, yang dilaksanakan
secara efektif tanggal 1 Januari 2001, merupakan kebijakan yang dipandang
sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintahan yang
sesungguhnya. Ketika otonomi mulai digulirkan, harapan yang muncul adalah
daerah menjadi semakin mandiri di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun
pembangunan daerahnya masing-masing, sebab daerah diberikan kebebasan untuk
mengelola wilayahnya sendiri. Menurut Mardiasmo (2002:59)
Implikasi dari pemberian kewenangan otonomi ini menuntut daerah untuk
melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama untuk pembangunan
sarana dan prasarana publik (Public Services). Pembangunan tersebut diharapkan
dapat dilaksanakan secara mandiri oleh daerah baik dari sisi perencanaan,
pembangunan, serta pembiayaannya. Pembangunan yang dilaksanakan akan
banyak memberikan manfaat bagi daerah diantaranya: meningkatkan kualitas dan
kuantitas pelayanan masyarakat, mendorong perkembangan perekonomian daerah,
mendorong peningkatan pembangunan daerah di segala bidang, meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan mendorong kegiatan investasi.
Sesuai dengan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Pasal 10 disebutkan
bahwa yang menjadi sumber pembiayaan untuk pembangunan daerah antara lain
berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana perimbangan yang diterima
oleh daerah-daerah dari Pemerintah Pusat. Dana perimbangan itu sendiri terdiri
dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dibutuhkan suatu
struktur industri yang mantap beserta obyek pajak dan retribusi yang taat.
Sementara Dana Alokasi Umum (DAU) dan berbagai bentuk transfer dari
Pemerintah Pusat sebaliknya hanya bersifat suplemen bagi pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan daerah. Adapun transfer dari Pemerintah Pusat
ini digunakan untuk membiayai operasi utamanya sehari-hari, yang oleh
Pemerintah Daerah dilaporkan di perhitungan APBD, yang mana tujuan dari
kesenjangan fiskal antar pemerintah dan menjamin tercapainya standar pelayanan
publik minimum di seluruh negeri.
Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan Pemerintah
Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai
sumber pendapatan yang diperlukan daerah.
Adapun kemandirian keuangan daerah ini merupakan salah satu tujuan
dari otonomi daerah. Dengan adanya otonomi daerah diharapkan masing-masing
daerah dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan daerahnya masing-masing.
Begitu pula dengan keuangan daerah tersebut, dengan adanya otonomi daerah
diharapkan masing-masing daerah dapat mencapai suatu kemandirian keuangan
daerah.
Pemerintah Daerah Sumatera Utara merupakan daerah yang memiliki
potensi PAD yang cukup besar, sehingga diharapkan seluruh kabupaten dan kota
di Sumatera Utara telah mandiri dalam memenuhi seluruh kebutuhan daerah
tersebut, sedangkan dana transfer dari Pemerintah Pusat khususnya Dana Alokasi
Umum (DAU) hanya bersifat suplemen. Oleh karena itu, maka dapat dianalisis
pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap kemandirian keuangan daerah
pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menganalisis pengaruh
Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap kemandirian keuangan daerah dalam era
otonomi daerah yang memfokuskan pada Pemerintah Daerah Sumatera Utara
Terhadap Kemandirian Keuangan Daerah Dalam Era Otonomi Daerah Studi Kasus Pemerintah Kabupaten/Kota Sumatera Utara”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah
penelitian ini adalah:
“Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh terhadap kemandirian
keuangan daerah pada Pemerintah Kabupaten/Kota Sumatera Utara?”
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisis seberapa besar pengaruh Dana Alokasi
Umum (DAU) terhadap kemandirian keuangan daerah pada Pemerintah
Kabupaten/Kota Sumatera Utara.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan untuk menambah dan
mengembangkan pengetahuan mengenai APBD, khususnya Dana Alokasi
Umum (DAU) dan kemandirian keuangan daerah.
2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan
bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan untuk meningkatkan
3. Bagi lembaga pendidikan, dapat bermanfaat untuk memberikan bahan
referensi dan perbandingan dalam kegiatan penelitian selanjutnya.
E. Kerangka Konseptual
Otonomi daerah merupakan pemberian wewenang daerah dari Pemerintah
Pusat kepada Daerah di dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahannya, baik dalam
bidang politik, sosial maupun ekonomi. Dengan adanya otonomi daerah,
diharapkan masing-masing daerah di Indonesia dapat mengoptimalkan
potensi-potensi yang ada pada masing-masing daerah tersebut diantaranya optimalisasi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebut.
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana yang diberikan oleh
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk digunakan dalam
pembangunan daerah tersebut, dengan harapan Dana Alokasi Umum ini hanya
sebagai suplemen saja bagi masing-masing daerah di Indonesia dan kemandirian
keuangan daerah yang merupakan tujuan dari otonomi daerah dapat dicapai.
Kemandirian keuangan daerah menggambarkan ketergantungan daerah
terhadap sumber-sumber dana yang diterima oleh daerah tersebut. Adapun
kemandirian keuangan daerah ditunjukkan dari besar kecilnya perbandingan
antara Pendapatan Asli Daerah dengan Dana Alokasi Umum. Dengan adanya
analisa dari pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap kemandirian
keuangan daerah diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah
dalam pengambilan kebijakan ekonomi.
F. Hipotesis
Berdasarkan kerangka konseptual di atas, maka hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah:
“Ada pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap kemandirian
keuangan daerah pada Pemerintah Kabupaten/Kota Sumatera Utara.”
DANA ALOKASI UMUM
(DAU) (X)
KEMANDIRIAN KEUANGAN
DAERAH (Y)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teoritis
1. Definisi Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu proses
distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada
pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas
pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan
bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Saragih, Op cit: 83)
2. Sumber Pendapatan Daerah
Sumber pendapatan daerah menurut UU No 32 Tahun 2004 Pasal 157
Sumber pendapatan daerah terdiri atas:
a. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu:
1. hasil pajak daerah
2. hasil retribusi daerah
3. hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan, dan
4. lain-lain PAD yang sah
b. Dana perimbangan
c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah (UU Otonomi Daerah
3. Kinerja Keuangan Daerah
Kinerja atau kemampuan keuangan daerah merupakan salah satu ukuran
yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam
menjalankan otonomi daerah (Halim, 2004: 24). Untuk melihat kinerja
keuangan daerah menurut Halim, dapat dilakukan dengan menganalisis
a. Derajat desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah)
b. Kebutuhan Fiskal (fiscal need)
c. Kapasitas Fiskal (fiscal capacity)
d. Upaya fiskal (tax effort)
Derajat desentralisasi fiskal adalah tingkat kemandirian daerah untuk
membiayai kebutuhan daerahnya sendiri tanpa menggantungkan diri
dengan pemerintah pusat.
Menurut UU No 33 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1, Kebutuhan fiskal
Daerah merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk melaksanakan
fungsi layanan dasar umum.
Menurut UU No 33 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 3, Kapasitas fiskal
Daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan
dana bagi hasil.
Upaya fiskal adalah koefisien elastisitas Pendapatan Asli Daerah
Kebutuhan fiskal standar adalah rata-rata kebutuhan fiskal stándar
suatu daerah (Halim, 2004: 29)
Kapasitas Fiskal Standar (KFs) adalah rata-rata kapasitas fiskal
standar suatu daerah. Semakin tinggi Pendapatan Asli Daerah (PAD),
semakin kuat pula derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian
daerahnya). Semakin rendah Pendapatan Asli Daerah (PAD), semakin
lemah pula derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandiriannya).
Semakin tinggi Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP),
semakin kuat pula derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian
daerahnya). Semakin rendah Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (PHPBP),
maka semakin lemah derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian
daerahnya).
Semakin tinggi Sumbangan Daerah (SB) maka semakin lemah
derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin
rendah Sumbangan Daerah (SB) maka semakin kuat derajat desentralisasi
fiskalnya (tingkat kemandiriannya).
Semakin tinggi Indeks Pelayanan Publik Perkapita (IPPP), maka
semakin besar pula kebutuhan fiskal (fiscal need). Semakin rendah Indeks
Pelayanan Publik (IPPP), semakin sedikit pula kebutuhan fiskal (fiscal
need)
Semakin elastis Pendapatan Asli Daerah (PAD) suatu daerah, maka
Semakin inelastis Pendapatan Asli Daerah (PAD) suatu daerah, maka
struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) daerah tersebut semakin buruk.
B. Tinjauan Penelitian Terdahulu
1. Penelitian Sudono Susanto
Penelitian ini berjudul “Analisis Perkembangan Pembiayaan Fiskal
Pemerintah Pusat dan Daerah (studi kasus Daerah Tingkat II
Banjarnegara)“. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui derajat
otonomi fiskal (DOF) di Daerah Tingkat II Banjarnegara yang diukur
dengan variabel tingkat perkembangan ekonomi (TPE) dan bantuan
pemerintah pusat (G). Kesimpulan dari penelitian ini adalah tingkat
perkembangan ekonomi (TPE) dan bantuan pemerintah pusat (G)
berpengaruh negatif terhadap derajat otonomi fiskal daerah (DOF).
2. Penelitian Yuliati
Penelitian yang dilakukan oleh Yuliati (Halim, 2004: 21) yang berjudul
“Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Menghadapi Otonomi
Daerah (Kasus Kabupaten Malang)”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengukur dan menganalisis derajat otonomi Kabupaten Malang yang
ditekankan kepada derajat desentralisasi, bantuan serta kapasitas fiskal.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ketergantungan pemerintah
1995/1996-1999/2000 masih sangat tinggi, yang dibuktikan dengan masih
rendahnya rata-rata proporsi PAD terhadap Total Penerimaan Daerah
(TPD) selama kurun waktu 5 tahun, yaitu hanya sebesar 15%, walaupun
dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Rata-rata proporsi PAD dan
Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) terhadap TPD selama kurun
waktu 5 tahun hanya sebesar 29% saja. Kondisi ini menunjukkan bahwa
peran pemerintah pusat terhadap keuangan daerah Kabupaten Malang
selama kurun waktu 5 tahun tersebut masih sangat besar yang juga
ditunjukkan dengan tingginya rata-rata proporsi pemerintah pusat terhadap
TPD, yaitu sebesar 71%. Kabupaten Malang memiliki kapasitas fiskal
yang relatif baik dibandingkan dengan standar fiskal rata-rata
kabupaten/kota se-Jawa Timur. Namun apabila dibandingkan dengan
kebutuhan fiskalnya maka terdapat kekurangan (gap) sebesar 12%. Jadi,
untuk menutupi kekurangan tersebut memang masih diperlukan dana dari
pemerintah pusat.
3. Penelitian Jasagung Hariyadi
Penelitian yang dilakukan oleh Jasagung Hariyadi (Halim, 2004: 339)
yang berjudul “Estimasi Penerimaan dan Belanja Daerah serta Derajat
Desentralisasi Fiskal Kabupaten Belitung: Studi Kasus Tahun Anggaran
2001.“ Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui estimasi penerimaan
daerah dan tingkat kemandirian keuangan daerah melalui pengukuran
kemampuan Kabupaten Belitung dalam rangka melaksanakan otonomi
daerah yang mulai berlaku efektif pada tahun 2001. Kesimpulan dari
penelitian ini, berdasarkan estimasi APBD Kabupaten Belitung tahun
anggaran 2001 perbandingan antara PAD terhadap TPD adalah sebesar
11,61%. Sedangkan perbandingan antara Bagi Hasil Pajak dan Bukan
Pajak dengan TPD adalah sebesar 7,18% dan Sumbangan Daerah dan
Total Penerimaan Daerah adalah sebesar 81,21%.
4. Penelitian Kifliansyah
Penelitian yang dilakukan oleh Kifliansyah (Halim, 2004: 329) yang
berjudul “Analisa Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(Kasus Kabupaten Hulu Sungai Tengah).“ Tujuan dari penelitian ini
adalah mengetahui tingkat kemandirian daerah pada tahun anggaran
1999/2000. Kesimpulan dari penelitian ini adalah proporsi PAD terhadap
TPD sebesar 3,21%, proporsi Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap
Total Penerimaan Daerah sebesar 18,80%, proporsi Sumbangan Daerah
terhadap Total Penerimaan Daerah sebesar 76,61%. Dengan kondisi ini
ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat masih sangat besar.
C. Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Pada pemerintah kabupaten/kota di Sumatera Utara, data yang
dipakai adalah realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Kemudian dari APBD diambil data-data yang diperlukan dalam
penelitian ini, yang kemudian akan dianalisis dengan meggunakan rasio
kinerja keuangan daerah yaitu : rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio
Kebutuhan Fiskal, rasio Kapasitas Fiskal, rasio Upaya Fiskal.
a. Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)
Kebijakan Fiskal yang dalam penelitian ini dilihat dari tingkat
desentralisasi fiskalnya menunjukkan tingkat kewenangan dan
tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah yaitu kabupaten dan kota untuk melaksanakan pembangunan.
Hal ini berarti bahwa pemerintah pusat memberikan kebebasan kepada
daerah untuk menyelenggarakan pengelolaan dan pembiayaannya
dilakukan oleh pemerintah kabupaten dan kota. Derajat desentralisasi
fiskal dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Kemandirian Pembiayaan Daerah (Dependent Variabel)
Tingkat Ketergantungan Daerah (Dependent Variabel) Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)
PAD
Derajat Desentralisasi Fiskal : Total Pendapatan Daerah
b. Tingkat kemandirian pembiayaan
Ukuran ini untuk menguji tingkat kekuatan kemandirian pemerintah
kabupaten dan kota dalam membiayai APBD setiap periode anggaran.
PAD Tingkat kemandirian pembiayaan :
Belanja Rutin Non Pegawai
Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat
ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal bersama
pemerintah pusat dan provinsi semakin rendah, demikian sebaliknya.
Rasio kemandirian menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat
dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian,
semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan
retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan
masyarakat yang semakin tinggi. Secara umum, semakin tinggi
kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan
daerah untuk membiayai kebutuhannya sendiri akan menunjukkan
kinerja keuangan daerah yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan
positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam
membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan
desentralisasi fiskal pada daerah tersebut.
Rasio ini untuk mengukur tingkat kemampuan daerah dalam
meningkatkan pendapatan asli daerah. Derajat otonomi fiskal ini
menunjukkan kemampuan daerah dalam meningkatkan PAD.
PAD Tingkat kemandirian pembiayaan :
Belanja Rutin Non Pegawai
2. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan
masalah penelitian. Jawaban yang diberikan didasarkan pada teori yang
relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui
pengumpulan data.
Adapun Hipotesis dari penelitian ini adalah :
H1: Kebijakan desentralisasi fiscal berpengaruh signifikan terhadap
kinerja keuangan dalam bentuk kemandirian pembiayaan daerah
H2: Kebijakan desentralisasi fiscal berpengaruh signifikan terhadap
kinerja keuangan daerah dalam bentuk tingkat ketergantungan
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah komparatif. Menurut sugiyono (2004 :
11) “penelitian komparatif adalah penelitian yang bersifat membandingkan”.
B. Data Penelitian
Jenis data yang dikumpulkan adalah berupa data sekunder yang diperoleh dari
laporan statistik keuangan pemerintah kabupaten/propinsi Sumatera Utara
yang diterbitkan oleh kantor BPS Propinsi Sumatera Utara. Periode realisasi
APBD yang menjadi pengamatan penulis adalah periode tiga tahun sebelum
desentralisasi fiskal (tahun anggaran 1997/1998 – 1998/1999) dan tiga tahun
pada periode sesudah desentralisasi fiskal (tahun 2001 -2003).
C. Teknik Pengumpulan Data
1. Teknik Dokumentasi
Teknik dokumentasi merupakan teknik dengan melakukan pencatatan dan
foto copy data yang diperlukan.
Teknik kepustakaan merupakan teknik dengan mengumpulkan informasi
yang dibutuhkan melalui buku-buku, literature-literatur, dan lain-lain yang
berkaitan dengan penelitian.
D. Variabel Penelitian
Menurut Haryadi (2002:52) variabel yang digunakan untuk mengukur kinerja
keuangan pemerintah daerah
d. Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)
Kebijakan Fiskal yang dalam penelitian ini dilihat dari tingkat
desentralisasi fiskalnya menunjukkan tingkat kewenangan dan tanggung
jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yaitu
kabupaten dan kota untuk melaksanakan pembangunan. Hal ini berarti
bahwa pemerintah pusat memberikan kebebasan kepada daerah untuk
menyelenggarakan pengelolaan dan pembiayaannya dilakukan oleh
pemerintah kabupaten dan kota. Derajat desentralisasi fiskal dapat dihitung
dengan menggunakan rumus:
PAD
Derajat Desentralisasi Fiskal : Total Pendapatan Daerah
e. Tingkat kemandirian pembiayaan
Ukuran ini untuk menguji tingkat kekuatan kemandirian pemerintah
kabupaten dan kota dalam membiayai APBD setiap periode anggaran.
PAD Tingkat kemandirian pembiayaan :
Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat
ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal bersama
pemerintah pusat dan provinsi semakin rendah, demikian sebaliknya.
Rasio kemandirian menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam
pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi
partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah akan
menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi.
Secara umum, semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan
semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya sendiri
akan menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Dalam hal ini,
kinerja keuangan positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan
daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan
desentralisasi fiskal pada daerah tersebut.
f. Tingkat Ketergantungan
Rasio ini untuk mengukur tingkat kemampuan daerah dalam
meningkatkan pendapatan asli daerah. Derajat otonomi fiskal ini
menunjukkan kemampuan daerah dalam meningkatkan PAD.
PAD Tingkat kemandirian pembiayaan :
Belanja Rutin Non Pegawai
E. Teknik Analisis Data
Sebelum melakukan uji terhadap hipotesis, terlebih dahulu dilakukan analisis
penelitian mempunyai distribusi normal atau tidak normal. Analisis
normalitas ini diperlukan sebagai prasyarat uji beda untuk dua sampel yang
berpasangan. Untuk mendeteksi data pada penelitian ini akan digunakan uji
non parametrik yaitu kolmogorov-smirnov. Bila hasil pengujian normalitas
data menghasilkan suatu penyebaran yang tidak normal dari rasio-rasio
keuangan, maka terhadap rasio-rasio tersebut digunakan uji beda berperingkat
Wilcoxon. Untuk menguji hipotesis-hipotesis yang diungkapkan sebelumnya
dilakukan pengujian statistik parametrik, yaitu uji t unutk dua sampel yang
berpasangan. Uji t ini digunakan untuk dua sampel berpasangan yaitu sampel
sebelum dan setelah desentralisasi fiskal apakah mempunyai perbedaan secara
signifikan atau tidak dalam hal tingkat desentralisasi fiskal, tingkat
kemandirian pembiayaan dan tingkat ketergantungan.
Hipotesis :
Ho : tidak terdapat perbedaan yang signifikan
Ha : terdapat perbedaan yang signifikan
Jika t hitung > t tabel maka Ho ditolak
Jika t hitung < t tabel maka Ho diterima
Penelitian ini dimulai oleh penulis pada bulan November 2009 sampai dengan
selesai, yang dilakukan di Badan Pusat Statistik Sumatera Utara yang berada
di Jalan Asrama No. 179 Medan.
Tabel 3.3
Tabel Jadwal Penelitian
No Kegiatan 2009
Nov Des Jan Feb Mar
1 Pengumpulan Data
2 Pengajuan Proposal
3
Bimbingan Proposal dan Penyelesaian
Proposal
4 Seminar Proposal
6 Analisis Data
Penelitian
7 Bimbingan Skripsi
8
Bimbingan dan Penyelesaian
BAB IV
ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Data penelitian
I. Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara
Pada zaman pemerintahan Belanda, Sumatera merupakan suatu
pemerintahan yang bernama Gouvernement Van Sumatera, yang meliputi
seluruh Sumatera Utara, dikepalai oleh seorang Gouverneur berkedudukan di
Medan. Sumatera terdiri daridaerah-daerah administratif yang dinamakan
Keresidenan. Pada awal kemerdekaan Indonesia, Sumatera tetap merupakan
suatu kesatuan pemerintahan yaitu Propinsi Sumatera yang dikepalai oleh
seorang Residen. Dalam perkembangan selanjutnya melalui UU No.10 tahun
1948 tanggal 15 April 1948, pemerintah menetapkan Sumatera menjadi tiga
propinsi yaitu masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri, yaitu:
a. Propinsi Sumatera Utara yang meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera
Timur dan Tapanuli.
b. Propinsi Sumatera Tengah yang meliputi keresidenan Sumatera Barat,
Riau dan Jambi.
c. Propinsi Sumatera Selatan yang meliputi Keresidenan Bengkulu,
Palembang dan Bangka Belitung.
Agustus 1973 No.19/K/1973 telah menetapkan bahwa hari jadi Propinsi
Sumatera Utara Daerah Tingkat I Sumatera Utara adalah tanggal 15 April
1948. Sumatera Utara terletak di Pulau Sumatera, berbatasan dengan Aceh di
sebelah Utara dan dengan Sumatera Barat serta Riau di sebelah Selatan.
Sumatera Utara terletak pada 1A0-4A0 Lintang Utara dan 98A0-100A0 Bujur
Timur. Luas daratan propinsi sumatera Utara 71.680 kilometer bujursangkar,
sebagian daerah berbukit dengan kemiringan yang landai, beriklim sedang dan
sebagian lagi berada pada daerah ketinggian yang suhu minimalnya bisa mencapai
14°C.
Sebagaimana Propinsi lainnya di Indonesia, Propinsi Sumatera Utara
mempunyai musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya
terjadi pada bulan Juni sampai dengan September dan musim penghujan
biasanya terjadi pada bulan Nopember sampai dengan bulan Maret, diantara
kedua musim itu diselingi oleh musim pancaroba.
Pada tanggal 7 Desember 1959 diundangkan UU No.24 tahun 1956
yaitu undang-undang tentang pembentukan daerah otonom Propinsi Aceh dan
perubahan pembentukan propinsi Sumatera Utara. Pasal 1 UU No.24 tahun
1956 menyebutkan:
a. Daerah Aceh yang meliputi kabupaten-kabupaten Aceh besar, Aceh
Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Barat, Aceh
Selatan, Kota Besar Kutaraja. Daerah-daerah tersebut dipisahkan dari
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.5 tahun 1950 sehingga
daerah-daerah tersebut menjadi daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri dengan nama Propinsi Aceh.
b. Propinsi Sumatera Utara dalam ayat (1) yang wilayahnya telah
dikurangi bagian-bagian yang terbentuk sebagai daerah otonom
Propinsi Aceh, tetap disebut Propinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan UU Darurat No.7 tahun 1956, UU Darurat No.8 tahun
1956, UU Darurat No.9 tahun 1956, Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.4
tahun 1964, Propinsi Sumatera Utara terdiri dari 17 kabupaten/kotamadya
yaitu:
a. Pemerintah Kabupaten yaitu Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara,
Tapanuli Selatan, Nias, Langkat, Karo, Deliserdang, Simalungun,
Asahan, Labuhan Batu, Dairi.
b. Kotamadya yaitu Kotamadya Medan, Pematang Siantar, Sibolga,
Tanjung Balai, Binjai, Tebing Tinggi.
Pada tahun 1999 Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara terdapat 19
dinas otonom yaitu dinas pertanian (PP No.47/1951), peternakan/kehewanan
(PP No.49/1951), P dan K (PP No.65/1951), kesehatan, (PP No.51/1952),
perindustrian (PP No.12/1954), kehutanan (PP No.64/1957), perikanan laut
(PP No.64/1957), sosial(PP No.5/1958), tenaga kerja(PP No.14/1958), lalu
lintas dan angkutan jalan raya (PP No.16/1958), dinas perkebunan rakyat SK
No.4/1976), dinas bina marga (Perda No.13/1980), pengairan (Perda
No.14/1980), cipta karya (Perda No.15/1980), pariwisata (Perda No.16/1980),
pertambangan (Perda No.16/1989).
Seiring dengan pemberlakuan UU No.22 tahun 1999 tentang otonomi
daerah, maka pengaturan rumah tangga daerah telah berada pada kewenangan
pemerintah kabupaten/kota. Berkaitan dengan hal tersebut maka Pemerintah
Propinsi Sumatera Utara mengeluarkan Perda No.3 tanggal 31 Juli 2001 untuk
membentuk dinas-dinas sebagai institusi teknis di dalam melaksanakan tugas
dan fungsi pemerintah Sumatera Utara yaitu dinas pertanian, peternakan,
pemuda dan olah raga, pendidikan, kesehatan, perindustrian dan perdagangan,
kehutanan, perikanan dan kelautan, social, penataan ruang dan pemukiman,
tenaga kerja dan transmigrasi, perhubungan, perkebunan, pendapatan, jalan
dan jembatan, pengairan, koperasi dan usaha kecil dan menengah, kebudayaan
dan pariwisata, pertambangan dan energi.
Sejak 1 Januari 2001 struktur dan mekanisme pengelolaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) telah berubah sesuai dengan
kebijakan baru tentang desentralisasi dan otonomi daerah. Alokasi dana dari
pusat untuk APBD yang sebelumnya berupa subsidi daerah otonom(SDO),
sekarang disatukan dalam dana alokasi umum (DAU). Secara umum DAU
yang diterima oleh daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota lebih besar
daripada jumlah subsidi daerah otonom. Namun, karena sekarang biaya
operasional instansi di daerah dan gaji pegawai di daerah dibiayai melalui
anggaran rutin. Sebenarnya pemerintah daerah masih mempunyai sumber lain
untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu dari bagi hasil pajak dan bukan pajak,
tetapi banyak yang memperkirakan bahwa jumlahnya lebih kecil dari daripada
dana sektoral yang selama ini dialokasikan ke daerah melalui tugas
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Administrasi Pemerintah Propinsi Sumatera Utara terus berkembang sejak
tahun 2000 sampai sekarang, dimana tahun 2000 hanya terdiri dari 13 Kabupaten dan 6
Kota sampai pada tahun 2005 terdiri dari 17 Kabupaten dan 8 Kota.
Pada tahun 2008 Propinsi Sumatera Utara terbagi atas 22 kabupaten, 7
kota, 325 kecamatan, dan 5.456 kelurahan desa, dan setelah otonomi daerah
banyak pemerintah kabupaten/kota yang melakukan pemekaran (keterangannya
dapat dilihat pada lampiran I). Pemerintah kabupaten/kota yang terbentuk
sebelum otonomi daerah dan yang tidak melakukan pemekaran sebelum tahun
2004 ada 7 kabupaten yaitu Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli
Tengah, Labuhan Batu, Asahan, Simalungun, Karo, Langkat, dan 6 kota yaitu
Pemerintah Kota Sibolga, Tanjung Balai, Pematang Siantar, Tebing Tinggi,
Medan dan Binjai.
Visi dan Misi Propinsi Sumatera Utara
a. Visi Propinsi Sumatera Utara
mandiri, mapan dan berkeadilan di dalam kebhinekaan yang didukung
oleh tata pemerintahan yang baik".
b. Misi Propinsi Sumatera Utara
Untuk mencapai visi disusun misi Propinsi Sumatera Utara sebagai berikut
:
1. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
sebagai su mber mo ral akhlak yang ba ik unt uk menunja ng
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
2. Miningkatkan kualitas dan sistem pembinaan aparatur pemerintahan,
mengurangi KKN, dalam rangka menghilangkannya sama sekali untuk
me w u ju d k a n t at a p e me r int a ha n ya ng ba ik s e ba g a i la nd a s a n
pembangunan / masyarakat madani.
3. Mendorong penegakan hukum yang konsisten dan meningkatkan rasa
aman masyarakat.
4. Membangun prasarana dan sarana daerah untuk menunjang kegiatan
ekonomi daerah dengan tetap memperhatikan kesenjangan wilayah
melalui kerjasama antar daerah dan kerjasama pemda dengan swasta
clan kerjasama regional dan internasional.
5. Me mba ng u n d a n me ng e mba ng ka n eko no mi da er a h t er ma s u k
mendorong ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada pertanian,
agroindustri, parawisata clan sektor unggulan lainnya dengan cars
alam yang berwawasan lingkungan.
6. Mendorong pengembangan kualitas masyarakat dan sumber daya
manusia yang cerclas, terampil, kreatif, inovatif, produktif dan memiliki
etos kerja yang tinggi serta memiliki semangat berpartisipasi untuk
pembangunan lingkungannya maupun daerah secara keseluruhan.
7. Meningkatkan rasa keadilan, kesetaraan, kebersamaan clan rasa
persatuan dalam masyarakat yang perwujudannya dapat terlihat dari
antara lain : ko mposis i pejabat di Pemda yang menggambarkan
konfigurasi kemajemukan masyarakat Sumatera Utara yang serasi.
2. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sebelum Desentralisasi Fiskal
Uraian bagian/pos/ayat APBD sebelum desentralisasi fiskal :
a. Penerimaan
1) Sisa lebih perrhitungan anggaran tahun lalu
2) Pendapatan asli daerah
2.1. Pajak daerah
2.2. Retribusi daerah
2.3. Bagian laba usaha daerah
3) Pendapatan dari Pemerintah atau instansi yang lebih tinggi
3.1. Bagi hasil pajak
3.2. Bagi hasil bukan pajak
3.3. Subsidi daerah otonom
3.4. Bantuan pembangunan
3.5. Penerimaan lainnya
4) Pinjaman pemerintah daerah
b. Pengeluaran Rutin
1) Belanja pegawai
2) Belanja barang
3) Biaya pemeliharaan
4) Belanja perjalanan dinas
5) Belanja lain-lain
6) Angsuran pinjaman
7) Ganjaran/subsidi/sumbangan
8) Pengeluaran tidak termasuk bagian lain
9) Pengeluaran tidak tersangka
1) Industri
2) Pertanian dan kehutanan
3) Sumber daya air dan irigasi
4) Tenaga kerja
5) Perdagangan, pengembangan usaha daerah, keuangan daerah, dan
koperasi
6) Transportasi
7) Pertambangan dan energi
8) Pariwisata dan telekomunikasi daerah
9) Pembangunan daerah dan pemukiman
10)Lingkungan hidup dan tata ruang
11)Pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terrhadap Tuhan
Yang Maha Esa
12)Kependudukan dan keluarga sejahtera
13)Kesehatan, kesejahteraaan social, peranan wanita, anak dan remaja
14)Perumahan dan pemukiman
15)Agama
17)Hukum
18)Aparatur pemerintah dan pengawasan
19)Politik, peneranganm komunikasi, dan media massa
20)Keamanan dan ketertiban umum
21)Subsidi pembangunan kepala daerah bawahan
3. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sesudah Desentralisasi Fiskal
Uraian bagian/pos/ayat APBD sesudah desentralisasi fiskal :
a.Pendapatan Daerah
1. Pendapatan asli daerah
1.1. Pajak Daerah
1.2. Retribusi Daerah
1.3. Hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan
1.4. lain-lain pendapatan daerah yang sah
2. Dana perimbangan
2.1. Bagi hasil pajak
2.3. Dana alokasi umum
2.4. Dana alokasi khusus
3. lain-lain pendapatan daerah yang sah
b. Pembiayaan daerah
Uraian bagian/pos/ayat realisasi pengeluaran pemerintah daerah:
a. Belanja aparatur daerah
1) Belanja pegawai
2) Belanja barang dan jasa
3) Belanja perjalanan dinas
4) Biaya pemeliharaan
5) Belanja lain-lain
b. Belanja pelayanan publik
1) Belanja pegawai
2) Belanja barang dan jasa
3) Belanja perjalanan dinas
4) Biaya pemeliharaan
5) Belanja lain-lain
7) Bagi hasil dan bantuan keuangan
8) Pengeluaran tidak tersangka
c. Pembiayaan Daerah
Tabel 4.1
Realisasi Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Di Sumatera Utara
Tahun Anggaran 2002 (Dalam Rupiah)
No Nama Daerah Penerimaan
Belanja Aparatur
Daerah
Belanja Pelayanan
Publik
1 Pemkab Tapanuli Selatan 290,885.579 159,465.969 134,941.187
2 Pemkab Tapanuli Tengah 146,737.086 68,676.557 70,940.806
3 Pemkab Labuhan Batu 284,994.0674 176,686.876 96,055.875
4 Pemkab Asahan 310,759.369 194,760.583 120,567.182
5 Pemkab Simalungun 364,368.018 230,601.155 133,080.584
6 Pemkab Karo 179,366.487 119,445.872 54,166.236
7 Pemkab Langkat 311,082.726 194,273.161 107,230.809
8 Pemkot Sibolga 102,259.177 43,722.410 45,261.533
9 Pemkot Tanjung Balai 124,747.946 40,564.384 89,794.906
10 Pemkot Pematang Siantar 154,332.564 95,948.236 60,687.218
11 Pemkot Tebing Tinggi 127,923.556 58,954.019 56,787.538
12 Pemkot Medan 718,903.498 376,863.784 348,584.945
13 Pemkot Binjai 158,050.526 88,506.865 66,774.096
Sumber: Statistik Keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota, 2007
Tabel 4.2
Tahun Anggaran 2003 (Dalam Rupiah)
No Nama Daerah Penerimaan
Belanja Aparatur
Daerah
Belanja Pelayanan
Publik
1 Pemkab Tapanuli Selatan 330.580.275 184.808.002 149.018.084
2 Pemkab Tapanuli Tengah 177.134.046 45.057.397 150.479.826
3 Pemkab Labuhan Batu 383.594.433 225.908.077 18.279.829
4 Pemkab Asahan 374.060.325 256.908.077 117.409.906
5 Pemkab Simalungun 446.449.086 302.767.617 160.320.967
6 Pemkab Karo 228.067.544 62.113.490 170.860.970
7 Pemkab Langkat 380.310.576 245.507.859 156.984.964
8 Pemkot Sibolga 118.821.619 51.273.668 72.115.998
9 Pemkot Tanjung Balai 135.216.662 64.769.036 71.616.783
10 Pemkot Pematang Siantar 181.262.426 127.255.448 50.531.324
11 Pemkot Tebing Tinggi 141.645.479 88.234.231 73.041.708
12 Pemkot Medan 1.142.495.967 582.654.247 541.618.142
13 Pemkot Binjai 170.632.628 109.310.398 75.984.097
Sumber: Statistik Keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota, 2007
Tabel 4.3
Realisasi Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Di Sumatera Utara
Tahun Anggaran 2004 (Dalam Rupiah)
No Nama Daerah Penerimaan
Belanja Aparatur
Daerah
Belanja Pelayanan
Publik
1 Pemkab Tapanuli Selatan 102,259.177 194,760.583 154,332.564
2 Pemkab Tapanuli Tengah 146,737.086 68,676.557 70,940.806
3 Pemkab Labuhan Batu 284,994.0674 176,686.876 96,055.875
4 Pemkab Asahan 310,759.369 194,760.583 120,567.182
5 Pemkab Simalungun 364,368.018 230,601.155 133,080.584
6 Pemkab Karo 179,366.487 119,445.872 54,166.236
7 Pemkab Langkat 311,082.726 194,273.161 107,230.809
8 Pemkot Sibolga 102,259.177 43,722.410 45,261.533
9 Pemkot Tanjung Balai 124,747.946 40,564.384 89,794.906
10 Pemkot Pematang Siantar 154,332.564 95,948.236 60,687.218
12 Pemkot Medan 718,903.498 376,863.784 348,584.945
13 Pemkot Binjai 158,050.526 88,506.865 66,774.096
Sumber: Statistik Keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota, 2007
Tabel 4.4
Realisasi Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Di Sumatera Utara
Tahun Anggaran 2005 (Dalam Rupiah)
No Nama Daerah Penerimaan
Belanja Aparatur
Daerah
Belanja Pelayanan
Publik
1 Pemkab Tapanuli Selatan 405.580.275 184.808.002 149.018.084
2 Pemkab Tapanuli Tengah 177.134.046 45.057.397 150.479.826
3 Pemkab Labuhan Batu 383.594.433 225.908.077 18.279.829
4 Pemkab Asahan 374.060.325 256.908.077 117.409.906
5 Pemkab Simalungun 446.449.086 302.767.617 160.320.967
6 Pemkab Karo 228.067.544 62.113.490 170.860.970
7 Pemkab Langkat 380.310.576 245.507.859 156.984.964
8 Pemkot Sibolga 118.821.619 51.273.668 72.115.998
9 Pemkot Tanjung Balai 135.216.662 64.769.036 71.616.783
10 Pemkot Pematang Siantar 181.262.426 127.255.448 50.531.324
11 Pemkot Tebing Tinggi 141.645.479 88.234.231 73.041.708
12 Pemkot Medan 1.142.495.967 582.654.247 541.618.142
13 Pemkot Binjai 170.632.628 109.310.398 75.984.097
Sumber: Statistik Keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota, 2007
Tabel 4.5
Realisasi Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Di Sumatera Utara
Tahun Anggaran 2006 (Dalam Rupiah)
No Nama Daerah Penerimaan
Belanja Aparatur
Daerah
Belanja Pelayanan
Publik
2 Pemkab Tapanuli Tengah 146,737.086 68,676.557 70,940.806
3 Pemkab Labuhan Batu 284,994.0674 176,686.876 96,055.875
4 Pemkab Asahan 310,759.369 194,760.583 120,567.182
5 Pemkab Simalungun 364,368.018 230,601.155 133,080.584
6 Pemkab Karo 179,366.487 119,445.872 54,166.236
7 Pemkab Langkat 311,082.726 194,273.161 107,230.809
8 Pemkot Sibolga 102,259.177 43,722.410 45,261.533
9 Pemkot Tanjung Balai 124,747.946 40,564.384 89,794.906
10 Pemkot Pematang Siantar 154,332.564 95,948.236 60,687.218
11 Pemkot Tebing Tinggi 127,923.556 58,954.019 56,787.538
12 Pemkot Medan 718,903.498 376,863.784 348,584.945
13 Pemkot Binjai 158,050.526 88,506.865 66,774.096
Sumber: Statistik Keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota, 2007
4. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Setelah Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Derajat Desentralisasi fiskal memperlihatkan tingkat wewenang dan
tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
yaitu kabupaten dan kota untuk melaksanakan pembangunan. Dalam hal ini
untuk melihat seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan
desentralisasi fiskal tersebut terhadap kinerja keuangan daerah, dilihat melalui
derajatnya.
Derajat Desentralisasi Fiskal :
No
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Total Penerimaan Daerah (TPD)
Tabel 4.6
Kinerja Keuangan Daerah dalam Bentuk Derajat Desentralisasi Fiskal Tahun 2002-2006
(Dalam Rupiah)
Nama Daerah PAD/TPD
2002 2003 2004 2005 2006
1 Pemkab Tapanuli Selatan 0.057778108 0.058339921 0.056836124 0.058578917 0.055776497
2 Pemkab Tapanuli Tengah 0.034480882 0.044633704 0.061014814 0.053324739 0.065890457