• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. Laboratorium Pengawasan Mutu, Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Laboratorium Bio Industri dan Laboratorium Pengemasan, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta, IPB. Laboratorium-laboratorium tersebut digunakan untuk pengujian kulit samoa.

C. TATA LAKSANA

Tahapan proses penelitian terdiri dari beberapa tahap yaitu : penjemuran biji karet, ekstraksi minyak biji karet, karakterisasi minyak biji karet, proses penyamakan kulit, karakterisasi kulit samak yang dihasilkan dan pengolahan data.

D. METODE PENELITIAN 1. Penje muran Biji Karet

Penjemuran biji karet dilakukan selama 3 hari berturut-turut, dengan waktu penjemuran selama 5 jam tiap harinya. Tujuan dari penjemuran ini adalah untuk menurunkan kadar air biji serta mengurangi aktivitas enzim dan mikroorganisme, sehingga biji lebih tahan lama jika disimpan.

2. Penelitian Pendahuluan

Pada penelitian ini dilakukan penentuan persentase bagian-bagian biji karet yaitu persentase kulit biji dan daging biji karet. Kemudian dilakukan juga analisis komposisi kimia daging biji karet yang meliputi penentuan kadar air dan kadar abu. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 19.

Setelah itu dilakukan pengeringan biji karet dengan menggunakan oven. Sebelum dikeringkan, biji karet (masih memiliki tempurung) disortir terlebih dahulu. Tujuan penyortiran ini adalah untuk memisahkan biji karet yang baik dan biji karet yang rusak. Meskipun dengan penyortiran seperti ini belum tentu biji karet yang dari luar kelihatan baik daging bijinya pasti baik. Setelah penyortiran biji karet dipanaskan dalam oven dengan suhu 70 oC selama 1 jam.

20 Tahap selanjutnya adalah menggiling biji karet dengan menggunakan alat penggiling biji (hammer mill). Setelah itu, biji dibungkus dengan kain saring dan selanjutnya diekstraksi dengan menggunakan alat pengempa hidrolik pada suhu 65 + 2 oC selama + 90 menit atau sampai sudah tidak ada lagi minyak yang keluar. Setelah itu dilakukan karakterisasi terhadap minyak biji karet yang dihasilkan. Sifat fisiko-kimia yang dianalisis adalah warna, viskositas, berat jenis, bilangan iod, bilangan asam, bilangan peroksida, bilangan penyabunan dan kadar asam lemak bebas (FFA). Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 19.

3. Penelitian Utama

Proses Penyamakan Kulit

Pada penelitian utama dilakukan proses penyamakan kulit. Secara keseluruhan tahapan proses penyamakan kulit disajikan pada Tabel 4.

21 Tabel 4. Tahapan proses penyamakan

Proses Bahan kimia Jumlah Durasi Catatan

Pencucian NaCl 8 -10% kulit 20 menit Ukur min. 8 oBe,

jika kurang dari 8 tambahkan NaCl

Air 200% kulit

Pencucian ke 2

NaCl 8-10% kulit 10 menit Ukur min. 8

oBe, < 8, tambahkan garam Cek pH min. 3, >3, tambahkan asam formiat air 100% kulit Pretanning Relugan GT 50 1,5% ; 3,0% ; 4,5% 3x15 + 30 menit Air 300% Relugan GT 50 Melarutkan Relugan GT 50 Natrium formiat 1% 4x10 + 20 menit

Air 1000% air Melarutkan Relugan

GT 50 Natrium

Karbonat

2% kulit 3x15 menit

Air 10% kulit 1 jam Cek pH, min 8

Shaving

Pencucian Air 200% kulit shaving 3x10 menit Natrium

Karbonat

05% 10 menit

Air 100% 10 menit Cek pH, baik = 8-9

Horse up ± 12 jam Penyamakan minyak Minyak biji karet 10% ; 20%; 30% Natrium karbonat 0,5% Air 300% Natrium karbonat Melarutkan Natrium karbonat

1 jam Putar di molen

Oksidasi 10 hari Bentangkan di

toggle

Pencucian I Air 300% 60 menit

Natrium karbonat 4% Eusapon S 2% Air 1000% 15 menit Setting out

Pencucian II Air 1000% 60 menit

Natrium karbonat 2% Eusapon S 1% Air 1000% 15 menit Setting out Pengeringan 2 x 24 jam

Staking Melenturkan kulit

Buffing Ketebalan 0,3-1,2

cm

22 Analisis Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik

Setelah proses penyamakan dilakukan dan kulit samoa didapatkan, selanjutnya dilakukan pengujian sifat fisik, kimia dan organoleptik. Pengujian sifat fisik meliputi uji ketebalan, uji kekuatan tarik, uji kemuluran putus, uji kekuatan sobek dan uji daya serap air. Pengujian sifat kimia meliputi pH, kadar minyak dan kadar abu. Pengujian sifat organoleptik meliputi kehalusan, bau dan warna kulit samoa. Prosedur pengujian sifat fisik dan kimia disajikan pada Lampiran 19.

Rancangan pe rcobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan menggunakan dua faktor, dima na faktor pertama dan faktor kedua masing- masing terdiri dari tiga taraf. Pada setiap perlakuan dilakukan dua kali ulangan.

Faktor pertama adalah persentase Relugan GT 50 yang terdiri dari tiga taraf yaitu 1,5% (A1), 3,0% (A2), dan 4,5% (A3). Faktor kedua adalah persentase minyak (faktor B) yang terdiri dari tiga taraf yaitu 10% (B1), 20% (B2), dan 30% (B3).

Dari 9 kombinasi perlakuan dengan dua kali ulangan tiap kombinasi perlakuan diperoleh 18 satuan percobaan.

Model matematika yang digunakan adalah (Mattjik, 2002) : Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + ijk

dimana: i = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3 k = 1, 2

Yijk = Respon dari pengaruh faktor A ke-i, faktor B ke-j, dan ulangan ke-k

µ = Nilai rata-rata umum

Ai = Pengaruh faktor A (petak utama) ke- i Bj = Pengaruh faktor B (anak petak) ke-j

23

ijk = Galat dari faktor A ke- i, faktor B ke-j, dan ulangan ke-k Pengolahan Data

Setelah data sifat fisik, kimia dan organoleptik diperoleh maka selanjutnya dilakukan analisis statistik untuk mengetahui pengaruh dari berbagai perlakuan yang digunakan. Analisis statistik dilakukan dengan software SAS (Statistic Analysis System). Jika hasilnya berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan. Uji wilayah ini bertujuan untuk melihat perbedaan pengaruh tiap faktor maupun kombinasi perlakuan.

24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PEN ELITIAN PENDAHULUAN 1. Persentase Bagian-Bagian Biji Karet

Biji karet yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet yang diperoleh dari Ciseeng, Bogor. Biji karet tersebut masih dalam keadaan belum dikupas (masih memiliki tempurung). Biji karet kemudian ditentukan persentase bagian-bagiannya. Penentuan persentase bagian-bagian biji karet dilakukan dengan cara mengambil biji karet sebanyak 15 buah secara acak dengan 3 kali ulangan. Biji karet dipecahkan, dipisahkan antara daging biji dan tempurungnya kemudian dilakukan penimbangan. Hasil yang didapatkan tercantum pada Tabel 5.

Tabel 5.Persentase kulit dan daging biji karet

No. Bobot 15 Biji Karet (gram) Daging Biji (gram) Kulit Biji (tempurung) (gram) Daging Biji (%) Kulit Biji (tempurung ) (%) 1 34,26 17,48 16,78 51,02 48,98 2 35,82 18,31 17,51 51,12 48,88 3 34,62 17,68 16,94 51,07 48,93 Rat a-rata 34,90 17,82 17,08 51,07 48,93

Berdasarkan Tabel 5 di atas, dapat diketahui bahwa biji karet yang digunakan dalam penelitian memiliki persentase daging biji yang sedikit lebih besar daripada persentase kulit bijinya. Hal ini hampir sama dengan penelitian Andayani (2008) yang menyatakan bahwa persentase daging biji karet terdiri dari sekitar 51 persen daging biji dan sekitar 49 persen kulit biji, namun agak sedikit berbeda dengan hasil penelitian Silam (1999), yang menyatakan bahwa biji karet memiliki persentase daging biji yang lebih rendah bila dibandingkan dengan persentase kulit bijinya, yaitu secara umum dalam setiap biji karet terdiri dari 48-50 persen daging biji dan 50-52 persen kulit biji. Hal ini bisa saja terjadi karena persentase daging dan kulit

25 biji karet ini dapat berbeda-beda tergantung dari jenis klon, lama penyimpanan biji karet, dan kadar air biji karet (Nadarajapillat & Wijewantha, 1967).

2. Karakterisasi Minyak Biji Karet

Minyak yang diperoleh kemudian di uji sifat fisiko dan kimianya. Beberapa sifat fisiko-kimia tersebut adalah bobot jenis, viskositas, warna, bilangan asam, persen FFA, bilangan iod, bilangan penyabunan, dan bilangan peroksida. Sifat Fisiko-kimia minyak merupakan parameter yang menujukkan kualitas minyak. Data hasil penelitian sifat kimia minyak dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik minyak biji karet dan minyak ikan

No Sifat fisika kimia Nilai A B Minyak ikan*

1 2 3 4 5 6 7 8 Bobot jenis (g/cm3) Viskositas (centistokes) Warna (unit PtCo)

Bilangan iod (g iod/100 g minyak) Bilangan penyabunan (mg KOH/g minyak) Bilangan peroksida (meq/1000 g minyak) Bilangan asam (mg KOH/g minyak) Persen FFA (%) 0,94 48,4 2713 113 350 24 15 5,8 0,93 67,3 2713 115 357 23 12 5,8 0,92 160 4077 146 185 30 2 1 0,92 - 6106 148 168 14 0,19 5,8 Sumber : A = Setawan (2009) B = Andayani (2008) * = Suparno (2009a)

Bilangan iod adalah parameter penting yang menentukan apakah minyak bisa digunakan untuk proses penyamakan atau tidak. Dari hasil penelitian pada Tabel 6 di atas, diperoleh bilangan iod sebesar 113 g iod/100 g minyak. Nilai tesebut lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Andayani (2008) yaitu 146 g iod/100 g minyak dan Setiawan (2009) yaitu 115 g iod/ 100 g minyak. Menurut Suparno (2006), minyak biji karet memiliki nilai bilangan iod yang tinggi yaitu lebih dari 120. Bilangan iod ini merupakan karakteristik utama minyak yang dapat digunakan untuk penyamak kulit. Nilai bilangan iod yang lebih rendah ini dimungkinkan karena minyak biji karet telah mengalami kerusakan, baik pada saat sebelum ekstraksi, saat ekstraksi maupun setelah ekstraksi.

26 Kerusakan pada minyak sebelum ekstraksi dapat terjadi misalnya karena penyimpanan. Ketika minyak masih dalam jaringan biji, kerusakan dapat disebabkan oleh aktivitas enzim, dan mikroorganisme dalam biji yang menyebabkan terjadinya proses hidrolisis. Biji karet yang diperoleh dalam penelitian ini tidak diketahui berapa lama telah disimpan. Hal ini tidak dapat dipastikan karena keterbatasan/sulitnya memperoleh biji karet yang masih baru pada saat penelitian, sehingga minyak biji karet yang dihasilkan juga mempunyai mutu yang lebih rendah. Kerusakan yang lain juga dapat terjadi pada saat proses ekstraksi maupun karena penyimpanan minyak.

Reaksi yang sering terjadi dan menurunkan kualitas minyak adalah reaksi oksidasi dan polimerisasi. Proses oksidasi dapat terjadi pada proses ekstraksi minyak. Adanya kontak dengan udara luar, pemanasan, oksigen akan berikatan dengan ikatan rangkap asam lemak tidak jenuh. Proses tersebut mengakibatkan ketidakjenuhan minyak berkurang karena ikatan rangkap pada asam lemak menjadi ikatan tunggal sehingga nilai bilangan iodnya berkurang. Semakin tinggi pemanasan yang diberikan maka semakin banyak minyak yang teroksidasi. Proses oksidasi merupakan proses utama yang berperan dalam menurunkan ketidakjenuhan minyak. Proses ini dapat dipercepat oleh suhu yang tinggi, adanya senyawa peroksida (termasuk minyak yang teroksidasi), enzim lipoksidase, katalis logam, dan katalis Fe-organik (Lea, 1962).

Berdasarkan Tabel 6, nilai bilangan penyabunan adalah sebesar 350 mg KOH/g minyak. Nilai tersebut sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Andayani (2008), besarnya bilangan penyabunan minyak biji karet adalah sebesar 185 mg KOH/g minyak. Namun tidak jauh berbeda dengan penelitian Setiawan (2009) yaitu sebesar 357 mg KOH/g minyak. Perbedaan nilai yang diperoleh dengan penelitian Andayani (2008) dimungkinkan disebabkan karena sebagian besar asam lemak yang terekstraksi adalah asam lemak yang berantai pendek, sehingga bobot molekul minyak rendah. Minyak yang mempunyai berat molekul rendah akan mempunyai bilangan penyabunan yang lebih tinggi daripada minyak yang mempunyai berat molekul tinggi (Ketaren, 1986).

27 Bilangan peroksida yang diperoleh pada penelitian ini adalah 24 tidak berbeda jauh dengan penelitian Setiawan (2008) yaitu sebesar 23 meq/1000 g minyak (Tabel 6). Faktor-faktor yang mempengaruhi proses oksidasi pada minyak mempengaruhi nilai bilangan peroksida yang diperoleh. Peroksida yang terbentuk pada minyak disebabkan beberapa faktor sebagaimana faktor yang mempengaruhi nilai bilangan iod. Jika pada pengukuran bilangan iod, kerusakan minyak dilihat dari penurunan jumlah ikatan rangkap pada minyak, sedangkan pada pengujian bilangan peroksida dilihat dari banyaknya oksigen yang terikat pada asam lemak tidak jenuh akibat proses oksidasi.

Berdasarkan Tabel 6, bilangan asam yang diproleh dari minyak biji karet adalah sebesar 15 mg KOH/g minyak. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian Setiawan (2008) yaitu 12 mg KOH/g minyak, namun sangat jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Andayani (2008) yaitu 2 mg KOH/g minyak. Bilangan asam menunjukkan seberapa banyak jumlah asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak akibat proses hidrolisis. Semakin tinggi nilai bilangan asam suatu minyak, maka akan semakin tinggi pula tingkat kerusakannya karena jumlah molekul trigliserida yang terhidrolisisnya pun lebih banyak. Dengan demikian, kualitas dari minyak tersebut akan semakin rendah. Pembentukan asam lemak bebas pada minyak dapat terjadi karena proses pengolahan (penyiapan bahan).

B. PEN ELITIAN UTAMA 1. Proses Penyamakan Kulit

Penyamakan dapat dilakukan dengan menggunakan satu bahan penyamak (single tanning) atau beberapa bahan penyamak. Setiap bahan penyamak akan menghasilkan kulit samak dengan karakteristik tertentu. Suatu bahan penyamak dapat menghasilkan karakteristik yang baik pada sifat tertentu namun kurang baik pada sifat lainnya. Untuk itulah perlu digunakan bahan penyamak lebih dari satu. Sehingga dengan menggunakan

28 bahan penyamak lebih dari satu diharapkan dapat menggabungkan sifat-sifat baik dari bahan penyamak yang digunakan.

Zat penyamak sangat banyak jenisnya, bisa berupa penyamak nabati, sintetis, mineral, dan penyamak minyak (Anonim, 2008). Penggunanan bahan penyamak ini tergantung dari karakter produk yang ingin dihasilkan.

Pada penelitian ini digunakan dua bahan penyamak. Bahan penyamak yang pertama adalah Relugan GT 50 yang termasuk ke dalam jenis penyamak aldehida. Relugan GT 50 digunakan sebagai bahan penyamak awal/pretanning. Bahan penyamak ini menghasilkan kulit samak dengan karakteristik penyebaran lemak yang sangat luas, menghasilkan kulit samak yang halus, berwarna kekuningan, mempunyai permeabilitas udara dan daya tahan yang baik (Anonim, 2009). Namun, kulit samak yang dihasilkan adalah tipis dan mempunyai daya serap air yang kurang baik.

Bahan penyamak kedua adalah minyak biji karet. Penyamakan minyak menghasilkan kulit samak yang lebih halus, lebih tebal, dan daya serap air yang lebih tinggi. Kulit yang telah berhasil disamak minyak, akan berwarna coklat tua, setelah melalui proses oksidasi.

Keberhasilan proses penyamakan dapat dilihat dari suhu pengerutan (Ts) kulit samak. Suhu pengerutan didefinisikan sebagai suhu dimana terjadi pengerutan kulit yang paling ekstrim. Suhu pengerutan kulit samak aldehida adalah 80-85oC (Suparno, 2009b). Semakin tinggi suhu pengerutan, maka mutu kulit samak akan semakin baik, yang menunjukkan stabilitas hidrothermal kulit tersebut tinggi.

Pada penelitian, ini shrinkage temperature test kulit samak dilakukan sebanyak dua kali, yaitu setelah pretanning dan setelah penyamakan minyak. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh dari masing- masing bahan penyamak tersebut.

29 0 20 40 60 80 S uhu P e ng e rut a n ( o C) 1.5 3 4.5 Konsentrasi Relugan GT 50 (%) a. Suhu Pengerutan Setelah Pretanning

Pada pengukuran suhu pengerutan setelah Pretanning dari berbagai persentase Relugan GT 50 yang digunakan menunjukkan nilai yang berkisar antara 70 oC sampai dengan 80 oC. Nilai suhu pengerutan tertinggi yaitu dihasilkan pada persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% sedangkan suhu pengerutan terendah terjadi pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 1,5%. Keterangan lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 8a.

Gambar 8a. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50 dan suhu pengerutan setelah pretanning.

Hasil analisis ragam, setelah pretanning untuk parameter shrinkage temperature test seluruh perlakuan menujukkan bahwa faktor bahan pretanning Relugan GT 50 berpengaruh terhadap suhu pengerutan kulit samak yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan dari ketiga taraf faktor persentase Relugan GT 50, konsentrasi 1,5%; konsentrasi 3,0%; dan konsentrasi 4,5% menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% adalah konsentrasi terbaik yang akan memberikan nilai suhu pengerutan tertinggi.

Menurut Mann (2000) pada proses penyamakan, didapatkan keuntungan yang lain. Karena terjadinya proses penyamakan, kulit menjadi lebih tahan terhadap kenaikan suhu. Sifat ini merupakan salah satu sifat yang sangat penting dari penggunaan kulit samak.

Dari hasil analisis ragam setelah penyamakan minyak untuk parameter suhu pengerutan seluruh perlakuan menujukkan bahwa faktor

30 bahan pretanning Relugan GT 50 berpengaruh sangat nyata terhadap suhu pengerutan, sedangkan persentase minyak biji karet tidak berpengaruh terhadap suhu pengerutan kulit samak, begitu juga dengan interkasinya dengan Relugan GT 50. Hasil uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan ketiga taraf faktor persentase Relugan GT 50, konsentrasi 1,5%, 3,0%, dan 4,5% menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata, semakin tinggi persentase Relugan GT maka suhu pengerutan juga akan mengalami peningkatan.

Pada persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% proses pretanning berlangsung lebih sempurna. Proses pretanning bertujuan untuk mencegah terjadinya pembusukan kulit pada saat proses oksidasi sekaligus mempersiapkan kulit agar lebih mudah tersamak pada proses penyamakan minyak. Kulit yang tersamak sempurna hanya mengalami sedikit pengerutan dan lebih tahan terhadap suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kulit yang kurang tersamak (Kana gy, 1977). Kulit yang telah disamak akan mempunyai jumlah ikatan silang yang lebih banyak yang dapat menstabilkan protein kolagen pada kulit, sehingga lebih tahan terhadap pengaruh perlakuan dari luar (Purnomo, 1985).

Semakin tinggi suhu pengerutan, maka semakin baik mutu kulit samak yang dihasilkan. Suhu pengerutan kolagen berkaitan erat dengan kestabilannya. Ketika kestabilan berkurang karena kehilangan ikatan hidrogen, adanya zat yang dapat memecah ikatan hidrogen atau kerusakan yang disebabkan oleh zat kimia, maka akan lebih sedikit energi yang diperlukan untuk memecahkan ikatan hidrogen tersebut, dan suhu pengerutan juga akan menurun. Sebaliknya adanya bahan yang dapat memicu terjadinya ikatan antarkolagen, seperti misalnya pada proses penyamakan akan meningkatkan ketahanan enzimatis dan suhu pengerutan (Brown, 1958). Oleh karena itulah, semakin besar persentase Relugan GT 50 yang digunakan maka suhu pengerutan juga semakin meningkat. Persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% menghasilkan kulit samak yang lebih stabil dibandingkan dengan konsentrasi lebih rendah.

31 0 20 40 60 80 S uhu P e ng e rut a n ( o C) 1.5 3 4.5 Konsentrasi Relugan GT 50 (%) kons entra s i Mi nya k 10 % kons entra s i Mi nya k 20 % kons entra s i Mi nya k 30 %

Namun demikian, seperti pada proses penyamakan minyak dengan minyak ikan bahwa proses penyamakan minyak cenderung tidak meningkatkan nilai suhu pengerutan dan sekaligus suhu pengerutan bukanlah satu-satunya faktor yang mentukan mutu kulit samoa, maka penelitian utama tetap dilakukan pada seluruh taraf Relugan GT 50 yang digunakan. Diharapkan dengan kegiatan tersebut akan didapatkan gambaran yang lebih jelas tentang pengaruh jumlah Relugan GT 50 terhadap mutu kulit samoa, interaksinya dengan minyak biji karet dan pada akhirnya dapat ditentukan jumlah Relugan GT 50 terbaik dari berbagai taraf yang digunakan, yang bisa digunakan dalam proses penyamakan minyak.

b. Suhu Pengerutan Setelah Penyamakan Minyak

Pada pengukuran suhu pengerutan setelah penyamakan minyak dari berbagai persentase Relugan GT 50 yang digunakan menunjukkan nilai yang berkisar antara 69,5 oC sampai dengan 76,5 oC. (Gambar 8b). Pada umumnya lebih rendah jika dibandingan sebelum dilakukan penyamakan minyak. Nilai suhu pengerutan tertinggi dihasilkan pada persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% dan persentase minyak 20%, sedangkan suhu pengerutan terendah terjadi pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 1,5% dan persentase minyak 20%.

Gambar 8b. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50, persentase minyak dan suhu pengerutan setelah penyamakan minyak.

Penggunaan minyak akan meningkatkan beberapa parameter mutu kulit samoa, seperti kehalusan kulit yang lebih baik dan daya

32 serap air yang lebih tinggi. Namun sampai pada taraf tertentu penambahan minyak justru akan menurunkan mutu kulit samak, misalnya sifat fisik kulit samak. Hal ini terlihat dari sifat fisik kulit samak seperti misalnya suhu pengerutan yang pada taraf penambahan minyak biji karet sebesar 10% dan 20% suhu pengerutannya tetap, namun pada taraf 30% nilai suhu pengerutan mengalami sedikit penurunan. Selain menurunkan nilai suhu pengerutan, penggunaan minyak juga akan berpengaruh terhadap bau dan warna kulit samoa, semakin tinggi jumlah minyak yang digunakan maka nilai bau dan warna kulit samoa akan semakin menurun.

Menurut Suparno (2009b), bahan aktif penyamakan minyak adalah minyak tak jenuh, yang dapat d imodelkan dengan asam linoleat. CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7CO2OH yang diketahui dapat berpolimerisasi. Reaksi tersebut berbasiskan pada pembentukan senyawa-senyawa aldehida, terutama karena proses tersebut diikuti dengan pelepasan akrolein, CH2=CHCHO, yang telah digunakan sebagai salah satu elemen pengendalian mutu. Namun, akrolein sendiri tidak dapat digunakan dalam pembuatan kulit samoa (Covington, 2009).

Sharphouse (1985), menyimpulkan penyamakan minyak sebagai fiksasi produk-produk oto-oksidasi resin atau minyak terhadap serat protein dalam bentuk seperti pembungkus. Hal ini mungkin dalam bentuk polimer dan tahan terhadap air pencuci basa dan pelarut-pelarut umum.

Menurut Suparno (2009b), hasil dari penyamakan tersebut sebagai sebuah matriks polimer dalam matriks kolagen. Tidak ada kepastian reaksi antara polimer tersebut dan kolagen, tidak seperti hasil dari penyamakan aldehida. Dengan demikian, sistem tersebut dapat digambarkan sebagai suatu matriks dari ikatan- ikatan hidrokarbon terpolimerisasi, menahan struktur serat kolagen terpisah/berjauhan, sebagai suatu bentuk lubrikasi ekstrim untuk mencegah struktur serat tersebut bersatu dan lengket.

33 Menurut Covington di dalam Suparno (2009b) model tersebut memberikan sebuah rasional untuk menerangkan tiga ciri penting kulit samoa :

1. Stabilitas hidrotermal. Suhu pengerutan kulit samoa adalah sedikit lebih tinggi daripada bahan awalnya. Dengan demikian, pandangan konvensional mengenai penyamakan tidak berlaku. Pada penyamakan minyak, sedikit interaksi antara bahan penyamak dan serat kolagen. Ini merupakan salah satu contoh bahan penyamak yang memiliki afinitas lebih besar untuk dirinya sendiri daripada untuk substratnya.

2. Retensi air. Efek menjaga struktur serat berjauhan berarti kolagen dapat dihidrasi dan menahan air berlebih dalam matrik minyak polimerisasi hidrofobik.

3. Efek Ewald. Kulit samoa adalah satu dari sedikit kasus yang kulit samak menunjukkan suatu reversibilitas pengerutan hidrotermal. Jika kulit tersebut direndam dalam air panas, pada atau di atas suhu pengerutannya, kulit tersebut akan mengerut sebagaima na diharapkan. Namun jika kulit tersebut segera dimasukkan ke dalam air dingin, kulit tersebut kembali mendapatkan sekitar 90% dari luas awalnya.

4. Analisis Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik a. Sifat Fisik Kulit

1. Ketebalan (Thickness)

Dari pengukuran ketebalan kulit samoa didapatkan ketebalan kulit berkisar antara 0,66-0,93 mm dengan ketebalan rata-rata adalah 0,79 mm (Lampiran 2). Hal ini menunjukkan bahwa ketebalan kulit samoa pada penelitian ini telah memenuhi SNI (BSN, 1990), yakni 0,3-1,2 mm.

Ketebalan kulit domba pada umumnya berkisar antara 1-2 mm dengan jalinan serat kolagen pada lapisan corium yang relatif lebih halus serta lapisan grain yang hampir setengah dari ketebalan kulit total (Haines, 1975). Ketebalan kulit dapat disesuaikan dengan

34 0 5 10 15 20 25 30 K e k ua ta n T a ri k (N / m m 2 ) 1.5 3 4.5 Konsentrasi Relugan GT 50 (%) kons entra s i Mi nya k 10 % kons entra s i Mi nya k 20 % kons entra s i Mi nya k 30 %

mudah sesuai dengan keinginan pada waktu pembuatan kulit samoa. Pada proses shaving selain bertujuan untuk menghilangkan bagian rajah (grain) kulit serta daging (flash), kegiatan ini juga dapat mengatur ketebalan kulit sesuai dengan yang diinginkan. Selain itu

Dokumen terkait