Karya sejarah tanpa memanfaatkan teori dan metodologi dikatakan sejarah naratif (narrative history), sedangkan karya sejarah yang memanfaatkan teori dan metodologi adalah sejarah analitis (analytical history).5 Ada beberapa tahapan yang harus dilalui dalam melakukan penulisan sejarah yang deskriptif analitis. Tahap pertama adalah heuristic (pengumpulan sumber) yang sesuai dan mendukung dengan objek yang diteliti. Pada tahap heuristik ini digunakan dua cara yaitu penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan beberapa buku, majalah, arikel-artikel, skripsi dan karya tulis yang pernah ditulis sebelumnya dan berkaitan dengan judul yang dikaji. Selanjutnya penelitian lapangan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terhadap informan-informan yang dianggap mampu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini.
Tahap kedua yang dilakukan adalah kritik sumber. Maksudnya dalam tahapan ini kritik dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari kesahihan sumber, yaitu dengan cara menganalisis sejumlah sumber tertulis. Hal ini ditujukan agar kerja intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah guna mendapatkan objektivitas suatu kejadian.6 Kritik yang mengacu terhadap kredibilitas sumber, yang artinya apakah isi dokumen ini terpercaya atau tidak dimanipulasidinamakan kritik intern, sedangkan kritik yang mengacu pada usaha
5 Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010, hal.
110
6 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terjemahan dari Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985, hlm. 32
mendapatkan otensitas sumber dengan melakukan penelitian fisik dinamakan kritik ekstern.
Tahapan ketiga ialah interpretasi atau penafisiran, dalam tahapan ini data yang diperoleh dianalisis sehingga melahirkan satu analisis baru yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari objek yang diteliti. Objek kajian yang cukup jauh ke belakang serta minimnya data dan fakta yang ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan keakuratan serta analisis yang tajam agar mendapatkan fakta sejarah yang objektif. Hal ini juga akan menjadi penting karena tanpa penafsiran dari seorang sejarawan, data tidak akan dapat berbicara.
Tahap terakhir adalah historiografi, yakni penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya tersebut menjadi suatu kisah atau kajian yang menarik dan selalu berusaha memperhatikan aspek kronologisnya. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah deskriptif analitis. Yaitu dengan menganalisis setiap data dan fakta yang ada untuk mendapatkan penulisan sejarah yang objektif dan ilmiah.
BAB II
Terbentuknya Desa Satuan Pemukiman 1 Makarti Nauli
2.1 Letak Geografis dan Kondisi Alam
Desa Satuan Pemukiman (SP) 1 Makarti Nauli adalah salah satu daerah pemukiman transmigran suku Jawa yang letaknya berada di daerah Kabupaten Tapanuli Tengah yang terletak dipesisir Pantai Barat Pulau Sumatera dengan panjang garis pantai ±200 km dan wilayahnya sebagian besar berada di daratan Pulau Sumatera, dan sebagian lainnya di pulau-pulau kecil dengan luas wilayah ±2.188 km.
Ibu kota dari Kabupaten Tapanuli Tengah adalah Pandan. Letak geografis Kabupaten Tapanuli Tengah berada pada kordinat: 1º.11’.00”-2º.22’.0” Lintang Utara dan 98º.07’-98º.12’ Bujur Timur. Kemudian topografi Kabupaten Tapanuli Tengah sebagian besar berbukit-bukit dengan ketinggian 0-1.266 meter diatas permukaan laut. Dari seluruh wilayah Tapanuli Tengah, 43,90% berbukit dan bergelombang.
Kabupaten Tapanuli Tengah secara administrasi mempunyai batas wilayah sebagai berikut:
Utara : Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan
Selatan : Samudera Indonesia
Barat : Kabupaten Aceh Singkil (Provinsi NAD)
Timur : Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Selatan
Secara administrasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah terdiri atas 20 kecamatan, 24 kelurahan dan 154 desa. Secara umum mayoritas penduduk Kabupaten Tapanuli Tengah adalah suku Batak Toba dan Mandailing, akan tetapi suku di Tapanuli Tengah beragam mulai dari Batak, Mandailing, Nias, Jawa, bahkan ada suku dari keturunan Arab dan Cina. Penduduk asli wilayah kabupaten Tapanuli Tengah adalah suku Batak Pesisir, disebut juga sebagai suku Pasisi atau Pesisi. Suku ini adalah salah satu suku yang terdapat di kabupaten Tapanuli Tengah.7 Masyarakat suku Batak Pesisir ini, hidup disepanjang pesisir pantai sebelah barat kabupaten Tapanuli Tengah.
Suku Batak Pesisir ini merupakan akulturasi antara suku Batak Toba, Mandailing dan Angkola yang telah menetap di Tapanuli Tengah, sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Setelah sekian lama terjadi pembaruan dari ketiga suku Batak ini, maka datanglah suku Minangkabau dan Melayu dari pesisir Timur Sumatera, kemudian terjadi perkawinan campur dan akulturasi budaya anatara suku Batak Toba, Mandailing, Angkola, Minangkabau dan Melayu. Dari percampuran ke 5 suku bangsa ini lah terbentuk suatu komunitas yang disebut sebagai suku Batak Pesisir. Pada awalnya mereka berbicara menggunakan bahasa Batak, tetapi setelah berabad-abad tercampur dengan budaya Minang dan Melayu, maka akhirnya bahasa merekapun berganti menjadi bahasa Pesisir.8
7 Usman Pelly, Pengaruh Hubungan Antara Suku Bangsa Terhadap Integrasi Nasional, Medan, Unimed Press, 2005, hal. 52
8 Ibid., 54
Desa Satuan Pemukiman (SP) 1 Makarti Nauli berada di kecamatan Kolang, Kabupaten Tapanuli Tengah, dengan jarak ± 30 km dari Ibu kota Tapanuli Tengah yakni kota Pandan. Kecamatan Kolang merupakan kecamatan terluas di Kabupaten Tapanuli Tengah dengan luas wilayah ± 400,65 km² dan memiliki 10 Desa dan 2 Kelurahan. Perjalanan menuju Desa SP 1 Makarti Nauli jika ditempuh dari kota Pandan akan melewati beberapa pemukiman-pemukiman masyarakat yang di dominasi oleh masyarakat Pesisir, perjalanan ini dalam prosesnya akan membelah kota Madya Sibolga dan pinggiran pantai.
Desa Satuan Pemukiman (SP) 1 Makarti Nauli awalnya bernama Desa Rawa Kolang 1 kemudian pada tahun 1998 warga yang diwakili oleh tokoh-tokoh masyarakat staf Kepala Unit Pemukiman Transmigrasi (KUPT), berkumpul di rumah Pak Sumardi Syam salah satu warga transmigran mengadakan musyawarah dan bermufakat untuk mengganti nama desa dengan harapan desa ini akan lebih maju sesuai dengan harapan masyarakat transmigran etnis Jawa. Nama yang diambil adalah nama dari salah satu produk barang yaitu drum plastik dengan merek Makarti yang berarti berusaha/bekerja dan ditambah Nauli yang berarti indah/cantik. Jadi Makarti Nauli dapat diartikan berusaha menjadi yang indah.
Akses menuju Desa SP 1 Makarti Nauli diawal-awal pembangunan belum memiliki jalan yang jelas, karena jalan-jalan yang dilewati merupakan jalan perkebunan dan jalan menuju PLTU Labuhan Angin yang kebetulan berada satu arah dengan jalan Desa SP 1 Makarti Nauli dan jalan ini sengaja dibuka hanya untuk kepentingan perkebunan dan PLTU saja. Akses jalan satu-satunya itupun hanya jalan setapak bekas timbunan rawa gambut yang kalau hujan, jalan akan penuh lumpur dan
becek. Keadaan ini membuat transmigran sedikit kesusahan apabila ingin berinteraksi dan beraktifitas seperti menjual hasil kebun, bekerja, bersekolah ke luar desa. Baru kemudian sekitar tahun 2001 pembangunan jalan aspal beton di mulai untuk mempermudah aktifitas perkebunan dan PLTU. Itupun pengaspalan jalan masih belum sepenuhnya sampai ke jalan-jalan desa9.
Desa SP 1 Makarti Nauli dikelilingi oleh perkebunan pribadi milik warga transmigran, perkebunan ini ditanami karet dan juga sawit yang merupakan salah satu komoditas dari desa tersebut. Selain itu terdapat juga tanaman seperti kakao atau cokelat, kelapa, padi, serta tanaman palawija dan holtikultura. Setiap orang yang datang memasuki desa harus terlebih dahulu melewati jalan setapak bekas timbunan lahan gambut bercampur tanah merah dan kayu. Jalan-jalan di areal desa yang menghubungkan rumah-rumah warga masih menggunakan jalan setapak, jalan-jalan ini terlihat bergelombang karena kondisi tanah diperkampungan yang pada dasarnya tidak rata karena bekas timbunan. Ditengah-tengah desa banyak ditemukan parit-parit besar bekas galian rawa yang digunakan sebagai saluran pembuangan dan menjadi batas antara desa yang satu dengan desa yang lainnya.
Hamparan alam Desa SP 1 Makarti Nauli yang masih didominasi warna hijau memberi kenyamanan tersendiri bagi orang-orang yang rindu akan kehidupan tradisional pedesaan. Desa SP 1 Makarti Nauli memang merupakan desa transmigran, namun desa ini masih tetap memegang kearifan lokal dan nilai-nilai luhur kebudayannya. Sebagai desa swakarya, Desa SP 1 Makarti Nauli memiliki ciri-ciri umum yaitu: penduduknya relatif bermata pencaharian di sektor pertanian dan
9 Wawancara Subagyo, Desa SP 1 Makarti Nauli, 17 Agustus 2017
perkebunan, perbandingan antara lahan dan penduduk relatif besar biasanya luas lahan lebih besar dari pada jumlah penduduk (Desa SP 1 Makarti Nauli 70% : 30 %), hubungan antar warga relatif akrab (gotong-royong), interaksi dengan desa lain terjalin melalui penjualan produksi desa, pada umumnya kebudayaan dan tradisi leluhur masih di pegang kuat misalnya Suroan, Kuda Lumping, Wayang Kulit, dan Karawitan.
2.2 Latar Belakang Sejarah Terbentuknya Desa SP 1 Makarti Nauli
Dalam perjalanan sejarah, transmigrasi di Indonesia sudah mencapai satu abad sejak mulai dilaksanakan pada jaman pemerintahan kolonial Belanda tahun 1905 hingga saat ini, telah melalui berbagai masa pemerintahan dan kekuasaan yang berbeda. Walaupun secara demografis pengertian umum dari transmigrasi ini tetap sama dari masa ke masa, yaitu perpindahan penduduk dari wilayah yang padat penduduknya ke wilayah yang kurang atau jarang penduduknya, tetapi dalam pelaksanannya didasarkan pada latar belakang, tujuan, dan kebijakan yang berbeda-beda, baik yang tertulis secara resmi maupun yang terselubung.
Transmigrasi merupakan salah satu bentuk mobilitas spasial atau migrasi penduduk horizontal atas inisiatif pemerintah yang khas Indonesia, dan telah menjadi program yang sudah diimplementasikan sejak lama. Tidak ada satupun negara lain yang menerapkan program transmigrasi.10 Namun demikian, pengertian transmigrasi telah berkembang menjadi beberapa varian misalnya, ada istilah transmigrasi lokal
10 Suwartapradja, O. S. “Transmigrasi Lokal: Potensi dan Tantangan”, Jurnal Kependudukan, Vol. 4 No 2 (Juli 2002), hlm. 122
yaitu pemindahan penduduk di dalam suatu pulau. Transmigrasi juga telah dilaksanakan dari pulau di luar Jawa yang dapat dikatakan berpenduduk padat seperti pulau Lombok dan Bali ke pulau-pulau lainnya.
Meningkatnya jumlah penduduk akibat aktivitas ekonomi yang terus menerus berkembang, sehingga dapat mendorong pertambahan kebutuhan lahan yang dijadikan untuk daerah pemukiman ataupun lahan usaha sehingga dapat menciptakan suatu daerah pemukiman tersebut bersifat sebaran, dan lebih banyak berkaitan dengan faktor-faktor ekonomi, sejarah dan faktor budaya beserta dampaknya. Keberadaan Desa SP 1 Makarti Nauli sendiri merupakan pemukiman yang ada akibat sebaran penduduk yang di latarbelakangi karena faktor ekonomi. Perpindahan masyarakat transmigran suku Jawa dari Pulau Jawa ke daerah lain khususnya dalam hal ini ke daerah pedalaman di Tapanuli Tengah pastinya melewati kronologis sejarah, perpindahan ini mengubah wajah belantara menjadi pemukiman yang menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang baru. Masyarakat transmigran suku Jawa sendiri merupakan pelaku terpenting dalam proses terbentuknya Desa Satuan Pemukiman 1 (SP 1) Makarti Nauli.
Ditempat yang baru ini kelak mereka mendapatkan kehidupan yang lebih sejahtera dengan peningkatan taraf hidup yang lebih tinggi dibandingkan sebelum mereka melakukan transmigrasi. Didalam proses transmigrasi ini, para transmigran akan mendapatkan jatah sembako yang akan didistribusikan selama setahun pertanggal mereka tinggal di tempat yang baru dan akan mendapat perpanjangan waktu subsider selama setengah tahun. Selain jatah sembako, ditempat yang baru para
transmigran juga akan mendapatkan jatah lahan seluas 2 hektar ditambah jatah untuk anak setengah hektar.
2.2.1 Masyarakat Transmigran Suku Jawa Sebelum Transmigrasi ke Desa Satuan Pemukiman (SP 1) Makarti Nauli
Pasca kolonialisme, Indonesia telah menjadi sebuah negri yang merdeka dan berdiri sendiri semenjak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, keadan ekonomi, politik, dan kebudayaan di Indonesia tidak mengalami perubahan secara mendasar.
Keterbelakangan ekonomi banyak terjadi di pedesaan yang merupakan tempat dimana mayoritas rakyat Indonesia berada khusus untuk pulau Jawa. Pengangguran juga meluas di pedesaan sebagai akibat sempitnya lapangan pekerjaan dan sempitnya lahan-lahan potensial untuk di kelola. Umumnya masyarakat di daerah pedesaan menumpukkan ekonominya pada sektor pertanian, namun mayoritas kaum tani adalah kaum yang tidak memiliki lahan. Kalaupun ada yang memiliki lahan, maka kepemilikan lahan tersebut dalam jumlah yang sangat terbatas sehingga hasilnya tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Keadaan in terjadi karena lahan-lahan yang ada di desa rata-rata dikuasai oleh “toke/tuan” tanah yang tentu akan sangat sulit bersaing dengan mereka. Sehingga sedikit sekali kaum tani yang dapat memanfaatkan tanah bagi keberlangsungan hidup mereka.
Kemiskinan di pedesaan inilah yang menjadi salah satu sebab utama mengapa banyak penduduk desa terutama yang berusia muda melakukan migrasi baik ke desa-desa lain, kota-kota besar, bahkan migrasi internasional ke negara-negara lain sebagai buruh migran. Alasan utama mereka adalah tentu karena sedikitnya jumlah tanah yang mereka miliki, mengingat banyak para penduduk desa yang menggantungkan
hidupnya dari tanah sebagai motif ekonomi dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Kebutuhan akan lahan untuk usaha maupun pemukiman merupakan alasan utama yang memicu perpindahan transmigrasn suku Jawa yang merasa kesusahan hidup di kampungnya sendiri, sehingga mereka melakukan perpindahan dan bertransmigrasi dengan tujuan dasarnya untuk memperbaki taraf hidup yang lebih baik.
Transmigrasi suku Jawa yang berasal dari Pulau Jawa telah dilakukan secara terorganisir, perpindahan ini telah dimulai sejak jaman kolonial pada awal abad ke 19 untuk mengurangi kepadatan pulau Jawa dan memasok tenaga kerja untuk perkebunan di pulau Sumatera. Kemudian program ini perlahan memudar pada tahun-tahun terakhir masa penjajahan Belanda (1940-an), lalu dijalankan kembali setelah Indonesia merdeka untuk manangkal kelangkaan pangan dan bobroknya ekonomi pada masa pemerintahan Ir. Soekarno dua puluh tahun setelah Perang Dunia 2.
Setelah kemerdekaan Indonesia diakui dibawah pemerintahan Ir. Soekarno, program transmigrasi dilanjutkan dilanjutkan dan diperluas cakupannya sampai Papua. Pada puncaknya antara tahun 1979 dan 1984 ada 535.000 keluarga (hampir 2,5 juta jiwa pindah tempat tinggal melalui program transmigrasi.11 Selanjutnya program transmigrasi ini dilanjutkan oleh presiden Soeharto melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) ke II tahun 1974-1979 yang bertujuan meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali, dan Madura. Kemudian berlanjut pada periode setelah reformasi karena pelaksanaan transmigrasi yang telah dilaksanakan hingga jaman orde baru dianggap belum memberikan pengaruh yang
11 Swasono, Sri Edi dan Masri Singarimbun, Transmigrasi Di Indonesia 1905-1985, Jakarta:
UI Press, 1986
merata, baik ditinjau dari sisi mikro yaitu tingkat perkembangan UPT/Desa, maupun makro yaitu pada percepatan pertumbuhan wilayah. Pembangunan transmigrasi pun belum berhasil menjadi pendorong pembangunan, karena belum dapat memberikan kontribusi yang optimal dalam pembangunan wilayah.12
Masyarakat transmigran suku Jawa yang menjadi pemeran utama dari pembukaan Desa Satuan Pemukiman 1 (SP 1) mengawali kedatangan mereka dengan bertransmigrasi dari Pulau Jawa ke Sumatera Utara tepatnya di daerah Kecamatan Kolang Kabupaten Tapanuli Tengah pada tahun 1996. Motif transmigrasi ini dilakukan secara sadar diputuskan oleh masyarakat itu sendiri dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan sejahtera di tempat yang baru.
Transmigrasi ini juga perlu lebih lanjut dijelaskan pada tahun 1996, kira-kira 300 kk yang banyak diantaranya berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Untuk wilayah Jawa Tengah, transmigran banyak berasal dari Kabupaten Sukoharjo, Kudus, dan Surakarta. Sedangkan untuk wilayah Jawa Barat transmigran berasal dari Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Subang.13
Alur mekanisme transmigrasi yang dilakukan oleh masyarakat transmigran suku Jawa Desa SP 1 Makarti Nauli, diawali dengan mengikuti sosialisasi program transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan ditujukan kebeberapa tempat di seluruh Indonesia di luar pulau Jawa. Kemudian calon transmigran mendaftar ke kantor kepala desa setempat dan mengikuti serangkain proses yang telah ditetapkan,
12 Departemen Transmigrasi dan PPH, Visi, Misi,dan Paradigma Baru Pembangunan Transmigrasi, makalah Seminar Ketransmigrasian, Bandung, Puslit Kependudukan Unpad, 19 Mei 1999, hlm. 3
13 Data BPS Profinsi Jawa Barat, 1995
termasuk proses seleksi dan pembinaan. Untuk daerah tujuan transmigrasi dalam hal ini yang menentukan adalah pemerintah daerah, transmigran hanya mengikut saja kemana mereka akan dimigrasikan. Adapun syarat-syarat transmigrasi yang diberlakukan oleh pemerintah pada saat itu adalah :
1. Merupakan Warga Negara Indonesia yang berdomisili di wilayah Negara Republik Indonesia.
2. Rumah yang terdapat didalamnya lebih dari satu keluarga.
3. Berkeluarga dibuktikan dengan Surat Nikah dan Kartu Keluarga.
4. Memiliki Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku.
5. Mempunyai keterampilan sesuai kebutuhan untuk mengembangkan potensi sumber daya yang tersedia di lokasi tujuan.
6. Lulus seleksi.
7. Menandatangani Surat Pernyataan yang menyatakan bahwa sanggup melaksanakan transmigrasi.14
Setelah proses penyeleksian dilaksanakan, dilakukanlah pembinaan dan pembekalan terhadap para transmigran yang akan mengikuti program transmigrasi.
Selepas itu ketika rangkaian proses pembinaan dan pembekalan dilaksanan, para transmigran akan diberangkatkan ke daerah yang telah ditentukan. Dalam proses transmigrasi ini, para transmigran akan mendapatkan jatah sembako yang akan didistribusikan selama setahun pertanggal mereka tinggal di tempat yang baru dan akan mendapat perpanjangan waktu subsider selama setengah tahun. Selain jatah
14 Wawancara Nasrul, Desa SP 1 Makarti Nauli, 20 Agustus 2017
sembako, ditempat yang baru para transmigran juga akan mendapatkan jatah lahan seluas 2 hektar ditambah jatah untuk anak setengah hektar.
Tak jarang ditemukan dalam program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, banyak para transmigran yang hanya mengaharapkan jatah dan fasilitas saja. Setelah mereka ikut bertransmigrasi dari daerah asal ke daerah yang baru dan mendapatkan jatah atau fasilitas, mereka kemudian ikut mendaftar lagi menjadi peserta transmigrasi untuk daerah lain hanya untuk mendapatkan jatah atau fasilitas tersebut. Hal ini terjadi karena belum ketatnya seleksi yang dilakukan oleh pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat. Termasuk beberapa transmigran di Desa SP 1 Makarti Nauli.15
2.2.2 Proses terbentuknya Desa SP 1 Makarti Nauli
Adanya program transmigrasi memungkinkan perubahan yang terjadi, baik di daerah tempat tujuan dan terhadap transmigran itu sendiri. Perubahan tersebut bisa saja melingkupi perubahan sosial, budaya, ekonomi, bahkan dalam aspek politik. Hal ini disebabkan karena kedatangan transmigran suku Jawa yang dalam hal ini sebagai transmigran akan mempengaruhi kehidupan sosial seperti interaksi sosial, perubahan sosial, dan sebagainya bagi penduduk lokal. Begitu pula dalam aspek budaya. Tidak sedikit terjadi akulturasi bahkan asimilasi budaya antara suku Jawa sebagai transmigran dan suku-suku lainnya sebagai penduduk asli yang telah lama menempati daerah yang menjadi tujuan transmigrasi. Perubahan-perubahan dalam aspek ekonomi
15 Wawancara Wak Nasrul, Desa SP 1 Makarti Nauli, 20 Agustus 2017
dan juga politik kemungkinan besar akan terjadi pula di daerah yang menjadi tujuan transmigrasi tersebut.
Kesejahteraan adalah hal yang utama bagi para masyarakat transmigran, tujuan masyarakat trasnmigran sendiri dengan melakukan migrasi atau perpindahan cenderung lebih mengarah kepada peningkatan taraf hidup atau motif ekonomi.
Masyarakat transmigran suku Jawa yang sudah tidak memiliki lahan, perkerjaan, ataupun yang menjadi buruh lepas merasa sangat jauh dari tujuan-tujuan tersebut, belum lagi harus bersaing di Pulau Jawa yang padat penduduknya, tentunya mereka akan merasa sulit untuk meningkatkan taraf hidup atau hanya sekedar mencari lapangan pekerjaan disana. Keterpurukan ekonomi yang melanda mereka kemudian menghadapkan kepada pilihan yang sulit. Pilihan yang ada pada saaat itu mengharuskan mereka untuk segera mengambil keputusan demi kelangsungan hidup mereka.
Pada awalnya lokasi untuk tempat tinggal transmigran merupakan lahan gambut kosong yang diberikan oleh pemerintah untuk dibuka sebagai desa transmigran. Keputusan untuk menyediakan lahan sebagai tempat tinggal yang merupakan tuntutan masyarakat transmigran yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1972 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi. Dimana dalam pasal 8 berbunyi, “ Hak-hak transmigran untuk mendapatkan bantuan, bimbingan dan pembinaan diatur dengan pemerintah”.16 Lebih lanjut mengenai tujuan masyarakat suku Jawa yang bertransmigrasi selain untuk
16 Presiden Republik Indonesia, “Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 1972 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi” hal. 4
meningkatkan kesejahteraan, mereka memilih pilihan untuk berpindah tempat tinggal dan membuka lahan karena pemerintah dalam mendukung program transmigrasi memberikan fasilitas-fasilitas bagi para transmigran pada masa itu.
Kawasan yang menjadi tempat tinggal masyarakat transmigran ini memiliki luas 1080 Ha. Status daerah tempat tinggal masyarakat transmigran yang dirujukkan ini merupakan Tanah Bebas Negara dan tanah masyarakat disekitar Kecamatan Kolang yang dibeli oleh Pemerintah untuk dialokasikan ke lahan pemukiman transmigran.17 Setelah berhasil mengurus segala sesuatu kebutuhan bagi masyarakat transmigran yang akan membuka tempat tinggal di daerah Kolang tersebut, termasuk di dalamnya segala urusan izin tanah dan administrasi maka dengan demikian terjadilah transmigrasi masyarakat suku Jawa dari Pulau Jawa ke Tapanuli Tengah tepatnya di Desa Satuan Pemukiman 1 (SP 1) Makarti Nauli.
2.3 Awal Kehidupan Masyarakat Transmigran Suku Jawa Desa SP 1 Makarti Nauli
Tahun 1996 masyarakat transmigran suku Jawa telah bermukim di pedalaman Kabupaten Tapanuli Tangah melalui program transmigrasi. Perpindahan masyarakat ini dipimpin oleh kepala rombongan bernama Nasrul dan Mulkan. Aktivitas perpindahan yang terproses dan terorganisir ini telah memberikan dampak yang begitu besar terhadap perkembangan masyarakat transmigran suku Jawa dari segala aspek kehidupan mereka. Alasan utama mereka melakukan transmigrasi adalah tidak lain didasari oleh motif perekonomian dan kesejahteraan. Awalnya jumlah
Tahun 1996 masyarakat transmigran suku Jawa telah bermukim di pedalaman Kabupaten Tapanuli Tangah melalui program transmigrasi. Perpindahan masyarakat ini dipimpin oleh kepala rombongan bernama Nasrul dan Mulkan. Aktivitas perpindahan yang terproses dan terorganisir ini telah memberikan dampak yang begitu besar terhadap perkembangan masyarakat transmigran suku Jawa dari segala aspek kehidupan mereka. Alasan utama mereka melakukan transmigrasi adalah tidak lain didasari oleh motif perekonomian dan kesejahteraan. Awalnya jumlah