• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

4 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Gunung Sindur dan Parung, Kabupaten Bogor, dan Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan. Penentuan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan lokasi tersebut merupakan bagian dari sentra anggrek di Provinsi Jawa Barat (Tabel 5) dan Banten. Disamping itu anggrek telah dicanangkan sebagai ikon Bogor dan Tangerang Selatan, sehingga dimungkinkan mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah untuk pengembangannya. Pada ketiga daerah tersebut umumnya petani menanam anggrek jenis dendrobium, dan penjualannya sebagian besar untuk wilayah Jabodetabek. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan September 2012.

Tabel 5. Sentra Produksi Anggrek Nasional di Jawa Barat Tahun 2011

Kabupaten/Kota Produksi

(tangkai)

Kecamatan Utama

Bogor 1.878.403 Gunung Sindur

Karawang 553.422 Cikampek

Cirebon 160.950 Sawangan

Sumber : Dinas Pertanian Jawa Barat (2012)

Berdasarkan Data Statistik Daerah Provinsi Banten tahun 2012, anggrek merupakan komoditas tanaman unggulan selain padi, dengan tingkat produksi tertinggi ketiga di Indonesia (Tabel 6). Sentra tanaman anggrek sebagai komoditas unggulan tersebut berada di Kota Tangerang Selatan.

Tabel 6. Komoditas Tanaman Unggulan Provinsi Banten Tahun 2010-2011

Tanaman Satuan 2010 2011 Anggrek Tangkai 2.189.988 3.673.559 Melinjo Ton 36.642 30.409 Aren Ton 1.708 1.708 Melon Ton 750 802 Durian Ton 8.759 26.291

Sumber : Statistik Daerah Provinsi Banten (2012)

Di Tangerang Selatan, sentra anggrek terbesar kedua adalah di Kecamatan serpong dengan mayoritas jenis anggrek yang ditanam adalah jenis Dendrobium

(Tabel 7),baik untuk bunga potong (cutted plant) maupun bunga pot.

Tabel 7. Sentra Produksi Tanaman Anggrek di Kota Tanggerang Selatan, Provinsi Banten Tahun 2012

Kecamatan Luas Lahan Produksi

(tangkai) Jenis Anggrek

Pamulang 209.500 m2 4.886.400 Anggrek Tanah

Serpong 40.250 m2 462.000 Anggrek Dendrobium

Setu 6.550 m2 300.000 Anggrek Dendrobium

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Sumber data primer mencakup seluruh metode pengumpulan data dari sumber asal (original

sources) dan dikumpulkan secara khusus untuk tujuan penelitian yang sedang

dilakukan. Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang sudah dipublikasikan dan dikumpulkan untuk tujuan yang lain daripada tujuan penelitian yang sedang dilakukan. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani anggrek, serta penggalian informasi dari Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) setempat. Sedangkan data data sekunder diperoleh dari Badan Litbang Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Direktorat Jenderal Hortikultura, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP), dan Badan Pusat Statistik.

Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik purposive sampling, hal ini dikarenakan tidak adanya data yang pasti mengenai ukuran populasi dan informasi lengkap tentang setiap elemen populasi. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey melalui wawancara dengan panduan kuesioner terhadap petani anggrek, dengan kriteria yaitu petani pemilik usaha, yang merupakan pengambil keputusan dalam budidaya tanaman anggrek tersebut. Sampel yang digunakan berjumlah 115 responden, dengan komposisi 78 orang petani di Kecamatan Gunung Sindur, 30 orang petani di Kecamatan Serpong dan 7 orang Petani di Kecamatan Parung. Pengumpulan data primer dibantu oleh Petugas Penyuluh Lapang (PPL) dan Ketua Kelompok Tani setempat, yang sebelumnya dilatih terlebih dahulu mengenai pertanyaan- pertanyaan dalam kuesioner, sehingga dapat menguasai materi, serta mempunyai pemahaman yang sama.

Variabel dan Pengukuran

Variabel–variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel laten dan variabel manifest sebagai indikator dari variabel laten. Pengukuran peubah variabel-variabel didasarkan pada konsep yang telah terbukti secara empiris, sehingga dapat diimplementasikan di lapangan serta mampu diukur sebagaimana seharusnya.

Faktor Internal Petani Anggrek

Faktor internal adalah faktor penyebab perilaku yang berasal dari atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau personal. Indikator dari faktor internal adalah sebagai berikut:

24

Tabel 8. Variabel Indikator/ Manifest Faktor Internal (X1)

Variabel Manifest Keterangan

Pendidikan (X1.1) Pendidikan adalah tingkat pendidikan formal.

Pengalaman (X1.2) Lamanya berusahatani anggrek (tahun)

Skala Usaha (X1.3) Luas lahan yang digunakan untuk berusahatani anggrek (m

2

) Kepemilikan Modal Usaha

(X1.4)

Tingkat kepemilikan modal/biaya yang dimiliki petani untuk menjalankan usahatani anggrek

Kepemilikan Sarana dan

Prasarana Produksi (X1.5)

Tingkat kepemilikan petani akan sarana (benih, pupuk, pestisida, media tanam) dan prasarana (rumah lindung, instalasi pengairan, sprayer, jalan)

Motivasi Berprestasi (X1.6) Dorongan atau keinginan petani anggrek untuk mencapai

kesuksesan dalam berusahatani anggrek.

Persepsi Terhadap Usaha (X1.7) Pandangan petani anggrek terhadap usaha anggrek

Keinginan Berusahatani

Anggrek (X1.8)

Sejauhmana keinginan petani anggrek untuk menjalani dan mempertahankan usaha anggrek

Faktor Eksternal Petani Anggrek

Faktor eksternal (external causality) adalah faktor penyebab perilaku yang berasal dari lingkungan atau situasi. Indikator dari faktor internal dapat dilihat pada Tabel 9. Pada faktor eksternal, pengukuran variabel dengan menggunakan skala likert, yang menghasilkan nilai skala ordinal.

Tabel 9. Variabel Indikator/ Manifest Faktor eksternal (X2)

Variabel Manifest Keterangan

Ketersediaan Bahan Input (X2.1)

Ketersediaan bahan input adalah tingkat kemudahan dalam mendapatkan bahan input untuk berusahatani anggrek, bahan input ini berupa benih, pupuk, pestisida, media tanam, pot, dan lain sebagainya.

Dukungan Penyuluhan dan pelatihan (X2.2)

Perhatian pemerintah berupa penyuluhan dan pelatihan mengenai usahatani anggrek yang sudah pernah diberikan selama ini Bantuan modal dan sarana

produksi (X2.3)

Bantuan dari pemerintah baik dalam bentuk modal maupun sarana produksi yang sudah pernah diberikan selama ini

Dukungan promosi dan

pemasaran (X2.4)

Dukungan pemerintah dalam kegiatan promosi dan kemudahan pemasaran anggrek

Dukungan regulasi usaha (X2.5)

kebijakan/ regulasi yang mendukung pengembangan usaha anggrek

Kekompakan antar

pengusaha anggrek (X2.6)

Sikap saling membantu diantara petani anggrek

Akses terhadap informasi pasar (X2.7)

Perilaku Kewirausahaan

Perilaku kewirausahaan (Y1) pada penelitian ini adalah tindakan-tindakan

yang dilakukan oleh seorang wirausaha (petani anggrek) dalam menjalankan usahanya, yang didasari pada karakteristik kewirausahaan. Indikator perilaku kewirausahaan pada penelitian ini adalah sebagai berikut (Tabel 10):

Tabel 10. Variabel Manifest Perilaku Kewirausahaan (Y1)

Variabel Manifest Keterangan

Tekun Berusaha (Y1.1) Tingkat kegigihan menekuni usaha, serta sesabaran menjalankan dan

menghadapi kesulitan dalam berusaha Ketanggapan terhadap

peluang (Y1.2)

kemampuan untuk mengenali peluang/ berorientasi pada peluang

Inovatif (Y1.3) Kemampuan petani untuk menciptakan gagasan, produk atau proses

yang baru Berani mengambil

risiko (Y1.4)

Keberanian menghadapi risiko dalam menjalankan usaha, dengan

memperhitungkan secara cermat dan menyiapkan antisipasi

penyelesaian

Mandiri (Y1.5) Bekerja sendiri, tidak tergantung pada orang lain atau pada instansi

pemerintah, dan dapat mengambil keputusan strategis dalam menjalankan usahanya

Pengukuran variabel perilaku kewirausahaan adalah dengan menggunakan skala likert yang menghasilkan nilai skala ordinal.

Kinerja Usaha

Kinerja usaha adalah hasil yang diperoleh dalam menjalankan suatu usaha untuk mencapai tujuan. Variabel-variabel indikator dari kinerja usaha dapat dilihat pada Tabel 11. Pada variabel kinerja usaha, pengukuran variabel dilakukan berdasarkan persepsi petani dengan menggunakan skala likert, yang menghasilkan nilai skala ordinal.

Tabel 11. Variabel Indikator/ Manifest Kinerja Usaha (Y2)

Variabel Manifest Keterangan

Perluasan Wilayah

Pemasaran (Y2.1)

Mampu memperoleh pangsa pasar baru / wilayah pemasaran semakin luas

Peningkatan

Pendapatan (Y2.2)

Pendapatan yang meningkat dari periode sebelumnya Keunggulan Bersaing

(Y2.3)

Produk yang dihasilkan memiliki kelebihan/keunggulan/ dibandingkan produk petani lain, tidak mudah ditiru, dan tidak mudah digantikan

26

Metode Analisis Data

Analisis deskriptif dilakukan pada data identitas responden untuk menggambarkan karakteristik petani anggrek. Disamping itu hasil dari wawancara dengan kuesioner dianalisis dalam bentuk sebaran dalam bentuk persentase.

Data hasil penelitian untuk mengetahui pengaruh perilaku kewirausahaan terhadap kinerja usaha, dianalisis dengan Model Persamaan Struktural atau SEM

(Structural Equation Models), dengan menggunakan software Lisrel 8.3. SEM

merupakan analisis yang mampu menjelaskan keterkaitan variabel secara kompleks, serta efek langsung maupun tidak langsung dari satu atau beberapa variabel terhadap variabel lainnya. Termasuk dalam SEM ini ialah Analisis Faktor konfirmatori (Confirmatory Factor Analysis), Analisis Jalur (Path Analysis) dan regresi (regression). Analisis faktor konfirmatori digunakan untuk mengidentifikasi konstruk atau ide dasar dari sejumlah variabel independen, kemudian dikombinasikan dengan analisis regresi yang akan mengungkap seberapa kuat konstruk tersebut mempengaruhi satu atau lebih variabel dependen. Struktur faktor ditentukan berdasarkan teori yang telah mapan dan data empiris digunakan untuk mengkonfirmasi bahwa struktur tersebut telah terbukti secara empiris (Kusnendi, 2008). Karakteristik utama SEM adalah sebagai berikut : 1. SEM merupakan kombinasi teknik analisis data multivariate

interdependensi dan dependensi, yaitu analisis faktor konfirmatori dan analisis jalur.

2. Variabel yang dianalisis adalah variabel laten (konstruk), yaitu variabel yang tidak dapat diobservasi langsung tetapi diukur melalui indikator- indikator terukur atau variabel manifest

3. SEM bertujuan bukan untuk menghasilkan model melainkan menguji atau mengkonfirmasikan model berbasis teori, yaitu model pengukuran dan model struktural.

Menurut Wijanto (2008) SEM terdiri dari dua komponen yaitu (1) model pengukuran (Measurement Model) yang mengukur hubungan antara variabel laten dengan variabel manifest nya, dan (2) model struktural (Structural Model) yang menunjukan hubungan kausal diantara variabel laten. Menguji model terdiri dari dua hal, (1) menguji kesesuaian model secara keseluruhan (overall model fit test), pengujian ini dilakukan dengan menggunakan ukuran Goodness of Fit Test (GFT) dan (2) menguji secara individual kebermaknaan (test of significance) hasil estimasi parameter model, pengujian ini dilakukan dengan menggunakan statistik uji t.

Dalam SEM, unobserved variable atau disebut juga variable laten dan konstruk laten dilambangkan dengan bentuk elips ( ), merupakan variabel- variabel yang tidak terobservasi sehingga diukur dengan menggunakan indikator- indikator masing-masing atau variabel manifest nya. Sedangkan observed variable

digambarkan dengan simbol kotak ( ), digunakan untuk mengukur variabel laten. Di samping itu, semua indikator variabel laten eksogen/penyebab dinotasikan dengan X, sedang indikator variabel endogen/akibat sebagai Y. Menurut Wijaya (2009) dalam penelitian sebaiknya menggunakan minimal 3 (tiga) variabel manifest, jika kurang dari nilai tersebut maka analisis akan bermasalah, dan kesalahan (error) tidak dapat dibuat model. Model yang

menggunakan hanya dua indikator manifest per variable laten akan sulit diidentifikasi dan estimasi-estimasi kesalahan akan tidak reliabel.

Variabel teramati (observed variable) atau variabel terukur (measured

variable) adalah variabel yang dapat diamati atau dapat diukur secara empiris dan

sering disebut sebagai indikator. Variabel teramati merupakan efek atau ukuran dari variabel laten. Variabel teramati yang berkaitan atau merupakan efek dari variabel laten eksogen (ksi) diberi notasi matematik dengan label X, sedangkan yang berkaitan dengan variabel laten endogen (eta) diberi label Y (Wijanto, 2008)

Model struktural menggambarkan hubungan-hubungan yang ada diantara variabel-variabel laten. Hubungan tersebut serupa dengan sebuah persamaan regresi linier diantara variabel-variabel laten tersebut. Beberapa persamaan regresi linier tersebut membentuk sebuah persamaan simultan variabel-variabel laten. Parameter yang menunjukan regresi variabel laten endogen pada variabel laten eksogen diberi label (gamma). Sedangkan untuk regresi variabel laten endogen

pada variabel endogen yang lain diberi label (beta). Dalam SEM variabel-

variabel laten eksogen dapat ber-“covary” secara bebas dan matrik kovarian variabel ini diberi tanda φ (phi).

Model pengukuran menghubungkan variabel laten dengan variabel- variabel teramati atau indikator yang berbentuk analisis faktor. Muatan faktor atau “factor loadings” yang menghubungkan variabel-variabel laten dengan

variabel teramati diberi label λ (lambda). Untuk mengukur variabel teramati

(manifest) pada kuesioner digunakan skala likert. Skala likert dikenal sebagai

summated ratings method. Ciri khas dari skala likert adalah bahwa makin tinggi skor yang diperoleh, merupakan indikasi bahwa penilaian terhadap suatu objek semakin positif, demikian sebaliknya.

Penerapan SEM pada penelitian memerlukan orientasi yang berbeda dengan penerapan statistik. Prosedur dalam SEM lebih menekankan penggunaan kovarian. Dalam analisis statistik, fungsi yang diminimumkan adalah perbedaan antara nilai-nilai yang diamati dengan yang diprediksi, maka pada SEM yang diminimumkan adalah perbedaan antara kovarian sampel dengan kovarian yang diprediksi oleh model. Dengan demikian, yang dimaksud residual dalam SEM adalah perbedaan antara kovarian yang diprediksi/dicocokan (predicted/fitted) dengan kovarian yang diamati.

Pada penelitian dengan alat analisis SEM, ukuran sampel yang digunakan adalah (n) x 5 observasi untuk setiap estimated parameter, sehingga apabila misalnya jumlah (n) = 20 maka besarnya sampel adalah 100 responden. Jumlah ini merupakan sampel penentuan awal saja, karena apabila muncul data yang tidak normal dari data tersebut, maka jumlah sampel tersebut di atas tidak sesuai lagi (Wijaya, 2009).

Model awal persamaan struktural yang menunjukkan pengaruh perilaku kewirausahaan pengusaha anggrek dalam meningkatkan kinerja usaha anggrek dapat dilihat pada Gambar 3. Dimana FI adalah faktor internal, FE adalah faktor eksternal, PK adalah perilaku kewirausahaan, dan KU adalah kinerja usaha.

Penelitian ini untuk pengembangan modelnya menggunakan metode

“Model Development Strategy” atau “Model Generating”. Berdasarkan Wijanto (2008), penggunaan metode tersebut karena pada strategi pemodelan penelitian ini, model awal dispesifikasikan dan data empiris dikumpulkan. Jika model awal tersebut tidak cocok dengan data empiris yang ada maka model dimodifikasi dan

28

diuji kembali dengan data yang sama. Langkah ini bertujuan agar lebih menemukan model yang cocok dengan data dan parameter dapat diartikan dengan baik. Hal ini dilakukan karena pada penelitian sebelumnya yang menjadi acuan penelitian ini dibangun berdasarkan kondisi kewirausahaan pada pedagang kaki lima, dan UMKM agribisnis.

Gambar. 3. Structural Equation Model (SEM) Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek Terhadap Kinerja Usaha

Secara matematis, formulasi model persamaan struktural dirumuskan sebagai berikut :

1. Model Persamaan Struktural

1 = 11 + 22 + 1 ... (1)

2 = 1. 1 + 22 + 2 ... (2)

2. Model Pengukuran Variabel Laten Eksogen

X1.1 = x1.1 + 1.1 ... (3) X1.2 = x1.2 + 1.2 ... (4) X1.3 = x1.3 + 1.3 ... (5) X1.4 = x1.4 + 1.4 ... (6) X1.5 = x1.5 + 1.5 ... (7) X1.6 = x1.6 + 1.6 ... (8) X1.7 = x1.7 + 1.7 ... (9) X1.8 = x1.8 + 1.8 ... (10) X2.1 = x2.1 + 2.1 ... (11) FI x.7 1 x.6 x.5 1 x.4 x.3 x.1 1 1 x.2 FE x.15 1 1 x.14 1 x.13 1 x.12 1 x.11 1 x.10 1 x.8 x.9 1 PK y.1 y.2 y.3

KU y.5 y.6 y.7 y.4 y.8

X2.2 = x2.2 + 2.2 ... (12) X2.3 = x2.3 + 2.3 ... (13) X2.4 = x2.4 + 2.4 ... (14) X2.5 = x2.5 + 2.5 ... (15) X2.6 = x2.6 + 2.6 ... (16) X2.7 = x2.7 + 2.7 ... (17)

3. Model Pengukuran Variabel Laten Endogen

Y1.1 = y1.1 + 1.1 ...(18) Y1.2 = y1.2 + 1.2 ... (19) Y1.3 = y1.3 + 1.3 ... (20) Y1.4 = y1.4 + 1.4 ... (21) Y1.5 = y1.5 + 1.5 ... (22) Y2.1 = y2.1 + 2.1 ... (23) Y2.2 = y2.2 + 2.2 ... (24) Y2.3 = y2.3 + 2.3 ... (25) Dimana :

1 = variabel laten endogen perilaku kewirausahaan

2 = variable laten endogen kinerja usaha

1 = koefisien hubungan

 = koefisien hubungan model persamaan struktural

 = komponen error

1,2,...n = variabel laten eksogen faktor internal dan eksternal

X1,2,...n = variabel indikator pada laten eksogen

Y1.2,...n = variabel indikator pada laten endogen

x.1,2,...n = muatan faktor variabel indikator pada laten eksogen

y1,2,...n = muatan faktor variabel indikator pada laten endogen

,  = error pada model hubungan variabel indikator

Wijaya (2009) menyebutkan bahwa tujuan utama dari analisis SEM adalah menguji fit suatu model yaitu kesesuaian model teoritis dengan data empiris. Kriteria untuk menentukan goodness of fit model SEM disajikan dalam Tabel. 5 berikut:

Tabel 12. Kriteria Goodness of Fit Hasil Pengujian Kesesuaian Model

Kriteria Indeks Ukuran Nilai Acuan

Chi kuadrat (χ2) Sekecil mungkin

P – value ≥ 0,05 RMSEA ≤ 0,08 RMR 0,08 GFI 0,90 AGFI 0,90 NFI 0,90 CFI 0,90 Sumber: Wijaya (2009)

30

Penjelasan dari masing – masing kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

1. Chi kuadrat (χ2) dan P–value (probabilitas) merupakan alat uji untuk

mengukur overall fit. Model dikategorikan baik jika memiliki χ2 = 0 yang berarti tidak ada perbedaan antara model teoritis dan empiris. Tingkat signifikansi model yang ditetapkan adalah P ≥ 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan antara model teoritis dan empiris.

2. CMIN/df atau χ2/df merupakan rasio antara χ2 (chi square) dengan derajat bebas (degree of freedom). Ukuran ini digunakan karena χ2 sangat sensitif terhadap jumlah observasi.

3. RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation) menunjukkan

goodness of fit yang diharapkan model diestimasikan dalam populasi. Nilai

RMSEA ≤ 0,08 merupakan indeks untuk dapat diterimanya model yang menunjukkan sebuah close fit dari model itu didasarkan pada degree of

freedom. RMSEA merupakan ukuran atau indeks yang mencoba

memperbaiki karakteristik statistik Chi-square yang cenderung menolak model jika ukuran sampel relatif besar. Kriteria RMSEA adalah semakin rendah nilai RMSEA menunjukan matriks kovariansi sampel dengan matriks kovariansi populasi cenderung tidak berbeda. Karena itu suatu model dikatakan fit dengan data apabila model mampu menghasilkan nilai RMSEA yang mendekati nol.

4. GFI (Goodness of Fit Index) digunakan untuk menghitung proporsi tertimbang dari varians dalam matriks kovarians sampel yang dijelaskan oleh matriks kovarians populasi yang terestimasikan. Indeks ini mencerminkan tingkat kesesuaian model secara keseluruhan. Nilai GFI yang semakin mendekati 1 menujukkan tingkat kesesuaian model yang lebih baik.

5. AGFI (Adjusted GFI) merupakan GFI yang disesuaikan dengan degree of

freedom yang tersedia untuk menguji diterima tidaknya model. Nilai AGFI

yang semakin mendekati 1 menunjukkan tingkat kesesuaian model yang lebih baik.

6. TLI (Tucker – Lewis Index) adalah sebuah alternatif Incremental fit index

yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah baseline model. Nilai yang direkomendasikan untuk diterimanya sebuah model

adalah ≥ 0,9.

7. CFI (Comparative Fit Index) merupakan model kesesuaian incremental yang juga membandingkan model yang diuji dengan baseline model. Indeks yang mengindikasikan bahwa model yang diuji memiliki kesesuaian yang baik adalah jika CFI ≥ 0,9.

Secara historis perkembangan tanaman anggrek di Kecamatan Gunung Sindur dan Serpong dimulai pada tahun 1985-1989. Di Kecamatan Serpong yang berada di sebelah utara Kecamatan Gunung Sindur terdapat sebuah perusahaan bunga potong anggrek Dendrobium, yaitu PT. PAGI (Papayarwarna Agro Indonesia), dimana petani anggrek di wilayah Serpong, Gunung Sindur dan sekitarnya menjadi petani plasma bagi perusahaan tersebut. Namun PT. PAGI tidak dapat bertahan dan akhirnya gulung tikar. Namun demikian, karena petani telah memiliki pengetahuan yang memadai tentang budidaya dan usaha anggrek Dendrobium, maka petani-petani tersebut tetap melanjutkan usahataninya, dan bahkan dapat menarik sebagian warga untuk ikut menggeluti usahatani anggrek hingga saat ini.

Umumnya petani anggrek di ketiga wilayah penelitian mengusahakan anggrek dalam bentuk pot plant, hal ini dikarenakan mengusahan pot plant dirasa lebih menguntungkan dibandingkan bunga potong (cut flower). Pada usaha pot plant perputaran uang lebih cepat dan dari segi risiko usaha juga lebih kecil. Beberapa kendala dalam mengusahakan bunga potong (cut flower) diantaranya: a. Memerlukan kebun yang luas, atau bahkan lebih baik dalam skala industri.

Sehingga masa produksi/panen dapat diatur waktunya secara lebih efisien. Karena setelah dipotong tanaman mengalami masa recovery yang cukup lama setelah dipanen, yaitu lebih dari dua bulan, hal ini menyebabkan margin keuntungan menjadi tipis.

b. Terdapat persyaratan ukuran/grade bunga yang harus dipenuhi, yaitu kualitas S, M dan L.

c. Jumlah tanaman anggrek yang memenuhi kriteria bunga potong sangat terbatas, dari segi warna bunga, vase life, bentuk dan kekokohan tangkai. d. Benih/bibit bunga potong yang berkualitas baik sulit didapatkan.

Umumnya petani memperbanyak tanaman dengan menggunakan keiki, namun produktivitasnya semakin menurun.

e. Biaya pemeliharan bunga potong relatif lebih tinggi dibandingkan bunga pot, terutama untuk biaya pemupukan.

Anggrek potong jenis Dendrobium putih yang dibudidayakan di Gunung sindur dan serpong merupakan tanaman sejak tahun 1985, yang berasal dari PT. PAGI, sehingga sudah berumur kurang lebih 27 tahun. Secara genetis, umur produktif tanaman anggrek bunga potong adalah dua tahun hingga enam tahun. Pada tahun kedua sampai tahun ketiga tanaman anggrek Dendrobium bunga potong mampu berproduksi sebesar 20 persen, selanjutnya pada tahun ketiga hingga tahun keempat masa produksi puncak (100%), kemudian mulai pada tahun kelima sampai tahun keenam mulai mengalami penurunan hingga 40 persen. Setelah umur lima tahun tanaman anggrek potong harus diganti dengan tanaman yang baru, karena tanaman sudah tidak mampu lagi menghasilkan produksi bunga dengan kualitas yang memenuhi standar kualitas bunga potong (Hayati, 2013). Namun demikian, umumnya petani belum melakukan pembaharuan bibit, yang menyebabkan produktivitas tanaman semakin berkurang, yang sebelumnya bisa

32

mencapai 10-12 tangkai/tanaman, saat ini hanya 5-7 tangkai/tanaman, hal ini menyebabkan keuntungan dalam usahatani anggrek potong semakin mengalami penurunan.

Kebun anggrek dengan luasan 1000m2 dapat ditanami 9.000 pot tanaman anggrek potong. Pada masa diawal penanaman, produksi bunga potong pada luasan 1000 m2 bisa mencapai 500 tangkai/minggu, namun saat ini hanya berkisar 200-300 tangkai/minggu. Penyebab sebagian besar petani anggrek Dendrobium

bunga potong tidak melakukan pembaharuan bibit, adalah karena terbatasnya ketersediaan varietas bibit unggul, dan seandainya tersedia harganya sangat mahal karena berasal dari impor. Selain dikarenakan potensi genetis tanaman yang sudah menurun, menurunnya produktivitas tanaman anggrek potong juga diperparah oleh kondisi cuaca yang ekstrim.

Produksi anggrek pot yang kurang bermutu dapat diakibatkan oleh pemeliharaan yang kurang baik sehingga produktivitas rendah, dan karena adanya benih impor yang bermutu rendah. Hasil penelitian di lapangan menunjukan bahwa ketika membeli benih, petani tidak mengetahui informasi yang jelas mengenai kualitas benih, petani hanya memperoleh informasi mengenai jenis, bentuk dan warna bunga melalui gambar. Benih dari importir dikirimkan ke petani dikemas dengan karung, dan ukuran benih berkisar 3–5 cm. Benih dengan ukuran tersebut membutuhkan waktu sampai 1 tahun untuk dapat dipanen. Kondisi tersebut dikeluhkan petani karena lamanya waktu pemeliharaan semakin membuat margin keuntungan menipis. Petani membeli benih sekitar dua atau tiga bulan sekali, tergantung kebutuhan, dan harga tiap benih berkisar antara Rp. 4.100 – Rp. 4.300. Untuk kebun anggrek pot (potted plant) dengan luasan 1000m2 dapat ditanami 12.000 pot tanaman anggrek.

Permintaan akan anggrek potong, khususnya jenis Dendrobium putih, semakin meningkat, namun petani yang mengusahakan anggrek tersebut semakin berkurang, hal ini menyebabkan ketersediaan anggrek potong kurang dari kebutuhan pasar, terutama pada saat hari raya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut terkadang anggrek dipanen lebih cepat. Umumnya anggrek potong dipanen ketika jumlah bunga yang mekar pada satu tangkai mencapai 60%-80%, namun ketika permintaan tinggi, 40% mekar pun sudah dipanen. Meningkatnya permintaan anggrek potong jenis Dendrobium putih dikarenakan semakin meningkatnya nilai estetika di masyarakat, khususnya di perkotaaan. Rangkaian bunga anggrek semakin diminati dan menjadi tren untuk mempercantik ruangan, maupun sebagai hantaran terutama pada saat hari raya. Warna putih selalu dibutuhkan dalam rangkaian bunga karena dianggap sebagai warna yang netral jika dirangkai bersama bunga lain, dan sesuai untuk berbagai tema acara.

Umumnya anggrek Dendrobium potong yang dihasilkan oleh petani di Kecamatan Gunung Sindur dan Kecamatan Serpong dijual ke pedagang pengumpul lokal, untuk selanjutnya dijual ke Pasar Bunga Rawabelong di DKI Jakarta. Pasar Bunga Rawa Belong merupakan pusat promosi dan pemasaran bunga potong terbesar di Indonesia, yang menyediakan beragam produk bunga

Dokumen terkait