• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2 TINJAUAN PUSTAKA

Perilaku Kewirausahaan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Delmar (1995) mendifinisikan perilaku kewirausahaan sebagai tindakan yang dilakukan wirausaha dalam mewujudkan tujuan usahanya. Tindakan tersebut mengarah pada konsep-konsep kewirausahaan yaitu tindakan yang menunjukkan kreativitas, inovasi dan berani berisiko. Sependapat dengan hal tersebut, menurut Dirlanudin (2010), perilaku wirausaha dalam konteks pengembangan usaha kecil adalah perilaku yang dimiliki pengusaha kecil dalam menjalankan aktivitas usahanya yang terdiri dari kecermatan terhadap peluang usaha, keberanian dalam mengambil risiko, inovatif dalam menghasilkan produk dan daya saing usahanya. Ditambahkan pula bahwa, pengusaha yang memiliki pola perilaku wirausaha adalah mereka yang secara gigih berupaya melakukan kombinasi dari sumberdaya ekonomi yang tersedia, mereka mampu menciptakan produk dan teknik usaha baru (inovatif), mampu mencari peluang baru, bekerja dengan metode kerja yang lebih efektif dan efisien, cepat mengambil keputusan dan berani mengambil risiko. Dalam penelitiannya Dirlanudin mengukur perilaku wirausaha dari tiga aspek yaitu: (i) kognitif, terkait dengan kemampuan manajerial dan pemasaran; (ii) afektif, terkait dengan komitmen, disiplin, kejujuran, semangat dan kesadaran mengutamakan kualitas; dan (iii) motorik, terkait dengan kemampuan teknis, kreatif, inovatif, efisien dan keberanian mengambil risiko.

Menurut pendapat Zimmerer dan Scarborough (2008) kewirausahaan adalah hasil dari suatu proses sistematis, yang menerapkan kreativitas dan inovasi untuk memenuhi kebutuhan dan peluang pasar, dengan menggunakan strategi serta fokus terhadap ide-ide baru dan wawasan baru untuk menciptakan produk atau layanan yang memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Senada dengan hal tersebut Kasmir (2006) menyatakan bahwa kewirausahaan merupakan suatu kemampuan dalam hal menciptakan kegiatan usaha yang merupakan hasil dari adanya kreativitas dan inovasi yang terus menerus untuk menemukan sesuatu yang berbeda dari yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perilaku kreatif dan inovatif merupakan karakteristik utama dari perilaku kewirausahaan. Kreativitas adalah kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan cara baru dalam menghadapi masalah dan peluang, sedangkan inovasi adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu yang berbeda, atau menerapkan solusi kreatif dalam menghadapi permasalahan dan peluang untuk tujuan menciptakan kekayaan bagi individu dan nilai tambah bagi masyarakat (Kao,

et.al, 2001). Kreativitas dan inovasi merupakan hal yang penting dalam mencapai

kesuksesan suatu usaha, karena dengan kreativitas dan inovasi suatu usaha dapat mencapai keunggulan kompetitif. Selain itu, inovasi merupakan unsur yang penting untuk meningkatkan kemampuan bertahan, menghadapi persaingan bisnis dan pertumbuhan perusahaan.

Penelitian Pambudy (1999) menggunakan parameter dari perilaku wirausaha terdiri dari tiga aspek, yaitu pengetahuan, sikap mental dan keterampilan. Parameter tersebut digunakan pula dalam penelitian Sapar (2006) yang menggunakan parameter peubah perilaku kewirausahaan meliputi; (1) pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang bahan baku, strategi berdagang, konsumen, dan manajemen keuangan, (2) sikap, yaitu sikap dalam berusaha,

pandangan dalam menjalankan usaha, dan semangat berusaha, serta (3) keterampilan, yaitu keterampilan dalam memilih bahan baku, perencanaan usaha dan penggunaan modal.

Dirlanudin (2010) dan Sapar (2006) membagi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kewirausahaan ke dalam faktor internal dan faktor eksternal. Dalam penelitian Sapar (2006) disebutkan bahwa faktor internal adalah ciri-ciri pribadi, status sosial dan ekonomi seseorang. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan adalah umur, pendidikan, pengalaman berusaha, motivasi, persepsi terhadap usaha dan besar usaha. Sedangkan faktor eksternal, diantaranya adalah modal, keluarga, lingkungan tempat bekerja, peluang pembinaan usaha dan ketersediaan bahan. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa faktor internal dan ekternal secara nyata mempengaruhi perilaku wirausaha pedagang kaki lima di Kabupaten Bogor. Berbeda dengan penelitian Dirlanudin (2010) yang menggunakan indikator tingkat ketekunan, kepemilikan sumber usaha, kekosmopolitan, penggunaan modal usaha dan kontribusi bagi keluarga ke dalam faktor internal, sedangkan indikator faktor eksternal diantaranya adalah pandangan masyarakat tentang wirausaha, kekompakan antar pengusaha kecil, berfungsinya forum usaha kecil dan nilai kebiasaan masyarakat. Dari hasil penelitiannya terhadap perilaku wirausaha pengusaha kecil industri agro menunjukan bahwa faktor internal masih kurang memadai terhadap perkembangan perilaku wirausaha, sedangkan faktor eksternal relatif kondusif terhadap perkembangan perilaku wirausaha. Senada dengan penelitian Harijati (2007) mengenai pengaruh faktor individu dan faktor lingkungan terhadap kompetensi agribisnis petani sayuran lahan sempit, faktor individu diukur berdasarkan umur, tingkat pendidikan, pengalaman, kebutuhan, motivasi dan sifat kewirausahaan. Sedangkan faktor lingkungan diukur dari pembelajaran agribisnis, akses sarana agribisnis, akses sumber modal, akses sumber informasi dan akses kelompok tani.

Hasil analisis jalur Path pada penelitian Pambudy (1999) menunjukan bahwa umur dan penghasilan mempunyai hubungan struktural positif dengan perilaku wirausaha peternak ayam buras skala kecil, sedangkan lamanya beternak mempunyai hubungan struktural yang negatif. Selain itu, variabel pengetahuan, sikap mental dan keterampilan beternak peternak ayam buras skala kecil, menengah dan besar mempunyai hubungan struktural positif terhadap perilaku wirausaha peternak. Perilaku berwirausaha peternak ayam buras dan broiler dipengaruhi oleh faktor informasi usaha dan kelembagaan. Disamping itu hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa, meskipun secara langsung tidak ada kaitan antara pendidikan dan semangat wirausaha, tetapi dalam menjalankan usahanya, wirausaha perlu memiliki beberapa pengetahuan dasar yang memadai agar usahanya berhasil, karena manajemen yang buruk, kurangnya pengalaman dan pengawasan keuangan yang buruk merupakan hal-hal yang menjadi kegagalan wirausaha dalam mencapai keberhasilan usaha.

Penelitian yang dilakukan Kellermanns et.al (2008) pada perusahaan keluarga (Family Business) menunjukan bahwa, perilaku kewirausahaan dari sebuah perusahaan keluarga dipengaruhi oleh karakteristik dari pemimpin perusahaannya, yaitu usia dan lamanya masa kepemilikan, serta faktor banyaknya jumlah generasi keluarga yang terlibat dalam perusahaan. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa faktor usia tidak mempunyai hubungan yang siginifikan

12

terhadap perilaku kewirausahaan, sedangkan lamanya kepemilikan perusahaan dan banyaknya generasi yang terlibat menunjukkan prediktor penting dari pertumbuhan lapangan kerja.

Penelitian mengenai pengaruh faktor kelembagaan terhadap perilaku kewirausahaan yang dilakukan oleh Welter dan Smallbone (2011), menunjukan bahwa faktor kelembagaan yang terdiri dari kondisi ekonomi, politik dan hukum serta sosial budaya dimana pengusaha tersebut menjalankan usahanya, dapat menjadi pendukung ataupun sebagai pembatas dalam menjalankan usaha. Kelembagaan formal yang umum terdapat di setiap negara diantaranya adalah aturan yang mengatur masuk dan keluar industri, hak kepemilikan atau hak cipta, serta pengembangan usaha melalui undang-undang kontrak dan hukum kepailitan. kelembagaan yang merupakan peraturan yang berlaku di masyarakat, yang jika berjalan dengan stabil dan efisien dapat memfasilitasi pengembangan kewirausahaan menjadi lebih produktif karena dapat mengurangi ketidakpastian dan risiko usaha, dapat mengurangi biaya transaksi dan memungkinkan hubungan transaksi ekonomi berlandaskan kontrak hukum.

Penelitian Riyanti (2003) membuktikan bahwa perilaku inovatif yang merupakan bagian dari perilaku wirausaha, merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan usaha. Dalam penelitiannya didapatkan bahwa faktor demografi yang berpengaruh terhadap perilaku inovatif diantaranya adalah; (1) Usia, usia berkaitan dengan keberhasilan dan prestasi kerja seseorang bila dihubungkan dengan lamanya seseorang menjadi wirausaha, dengan bertambahnya usia seorang wirausaha maka akan semakin banyak pengalaman di bidang usahanya. Perbedaan usia menyiratkan perbedaan kemantapan karir; (2) Pengalaman atau keterlibatan dalam pengelolaan usaha sejenis. Wirausaha yang berpengalaman mengelola usaha sebelumnya, mampu melihat lebih banyak jalan untuk membuka bisnis baru dibanding dengan orang dengan jalur karir yang berbeda. Pengalaman dapat memberikan pengaruh terhadap keberhasilan usaha; (3) Pendidikan yang lebih baik akan memberikan pengetahuan yang lebih baik dalam mengelola usaha. Pendidikan memainkan peranan penting pada saat wirausaha mencoba mengatasi masalah dan penyimpangan dalam praktik bisnis. Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan sangat erat kaitannya dengan inovasi.

Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Terhadap Kinerja

Hisrich et.al (2008) mengatakan proses kewirausahaan merupakan proses untuk mengembangkan usaha baru, produk baru, dan membawa produk yang ada ke pasar yang baru. Pengusaha harus mampu menemukan, mengevaluasi dan mengembangkan sebuah peluang dengan mengatasi kekuatan yang menghalangi terciptanya sesuatu yang baru melalui tahapan; (1) identifikasi dan evaluasi peluang, (2) Pengembangan rencana bisnis, (3) Penetapan sumberdaya yang dibutuhkan, dan (4) Manajemen perusahaan yang dihasilkan. Seorang wirausahawan akan berperilaku kreatif, mampu melakukan terobosan baru dan bersedia mengambil risiko.

Perilaku kewirausahaan dapat berpengaruh terhadap peningkatan kinerja usaha, sebagaimana menurut Wirasasmita (2011) perusahaan yang berperilaku kewirausahaan yang menerapkan sifat inovatif dalam produksi dapat

meminimalkan biaya atau mencegah kenaikan biaya dan memaksimalkan output, hal ini dikarenakan adanya kombinasi input baru yang menghasilkan output yang lebih besar dibandingkan sebelumnya, selain itu adanya inovasi dapat menghasilkan penghematan penggunaan input, sehingga biaya produksi keseluruhan menjadi rendah atau mencegah kenaikan biaya, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan laba perusahaan dan pertumbuhan.

Inovatif dianggap karakteristik utama dari kewirausahaan. Dari perspektif kewirausahaan fungsi produksi dirumuskan sebagai berikut : Q = F (X|,inovasi). Variabel inovasi merupakan "Market Shifter" atau penggerak permintaan, hal ini karena inovasi menghasilkan keunikan dari produk yang dapat berbentuk keunggulan teknikal, kualitas dan pelayanan yang dapat menciptakan nilai bagi pelanggan karena kecocokan dengan preferensi atau ekspektasinya. Pengaruh dari adanya inovasi dalam fungsi produksi merubah hubungan input-output, yaitu; (a) Kombinasi input baru menghasilkan output yang Iebih besar dibandingkan sebelumnya, dan (b) Inovasi baru menghasilkan penghematan penggunaan input, sehingga biaya produksi keseluruhan menjadi rendah atau mencegah kenaikan biaya. Teori laba dalam perspektif kewirausahaan, yaitu laba merupakan fungsi dari inovasi. Dalam rumus : Laba = f (inovasi produk, inovasi proses dan inovasi manajerial), dimana sumber inovasi dapat bersifat eksogeneous/ dari luar dan dari dalam/endogeneous yaitu persaingan dengan dirinya sendiri, atau keinginan menghasilkan/produk atau proses yang Iebih balk dari sebelumnya (Wirasasmita, 2011).

Secara umum keberhasilan kinerja usaha dapat dilihat dari adanya peningkatan jumlah penjualan atau perluasan pangsa pasar dan peningkatan pendapatan. Dari hasil penelitian Dirlanudin (2010) menujukan bahwa perilaku wirausaha berpengaruh langsung dan bernilai positif terhadap keberhasilan usaha kecil industri agro. Indikator keberhasilan pengusaha kecil yang digunakan adalah peningkatan jumlah pelanggan, kecenderungan loyalitas pelanggan, perluasan pangsa pasar, kemampuan bersaing, dan peningkatan pendapatan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga pengusaha kecil industri agro. Serupa dengan penelitian Fauzi (2004), dimana variabel sikap kewirausahaan, orientasi pasar dan pembelajaran organisasional berpengaruh positif terhadap kinerja bisnis. variabel kinerja bisnis dibentuk oleh indikator- indikator perluasan pangsa pasar, persentase penjualan produk baru dan ROI perusahaan. Sedangkan pada penelitian Padi (2005), indikator dari kinerja petani ikan diantaranya adalah adanya peningkatan produktivitas dan pemasaran hasil.

Demikian juga hasil penelitian Kellermanns et.al (2008) menyebutkan bahwa perilaku kewirausahaan dipandang sebagai elemen penting dalam kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan keluarga karena membantu menciptakan lapangan kerja dan kekayaan bagi anggota keluarga. Tanpa perilaku kewirausahaan, perusahaan keluarga kemungkinan akan menjadi stagnan, sehingga membatasi potensi untuk mencapai kesuksesan perusahaan dan pertumbuhan di masa depan. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa perilaku kewirausahaan dari seorang pemimpin perusahaan merupakan faktor kunci dalam pertumbuhan lapangan kerja di perusahaan keluarga.

Runyan et.al (2008), melakukan penelitian tentang pengaruh

entrepreneurial orientation (EO) dan small business orientation (SBO) terhadap usaha kecil. Fokus tujuan SBO berbeda dari EO, yaitu pengusaha yang

14

berorientasi kewirausahaan akan cenderung melakukan inovasi, yaitu dengan memperkenalkan barang baru dan metode baru yang lebih efektif dan efisien, membuka pasar baru dan mencari peluang sumber pasokan baru, bersikap proaktif, serta berani mengambil risiko. Sedangkan pengusaha yang berorientasi pada usaha kecil (SBO), memiliki preferensi yang kurang untuk melakukan inovasi, tidak aktif dalam pemasaran dan hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan keluarga sehari-hari. Kinerja yang dihasilkan perusahaan dengan EO tentunya akan lebih baik dalam meningkatkan pendapatan perusahaan.

Pada penelitian Riyanti (2003), perilaku inovatif pada pengusaha berpengaruh positif dan siginifikan terhadap keberhasilan usaha. Dan indikator keberhasilan usaha kecil dapat dilihat dari peningkatan dalam akumulasi modal, jumlah produksi, jumlah pelanggan, perluasan usaha dan perbaikan sarana fisik. Sedangkan hasil penelitian Asmarani (2006) dan Sapar (2011), menunjukan bahwa adanya motivasi dan kemandirian yang merupakan bagian dari tipe kepribadian wirausaha personal achiever, memegang peranan penting dalam menciptakan kinerja usaha yang baik, yang pada akhirnya dapat menciptakan hasil dengan keunggulan bersaing.

Kondisi, Permasalahan dan Strategi Pengembangan Industri Anggrek Nasional

Bunga anggrek banyak dipergunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk hiasan dan dekorasi ruangan, upacara keagamaan, ucapan selamat dan duka cita, serta dapat menjadi salah satu alternatif pilihan sebagai tanaman koleksi. Anggrek dipilih menjadi tanaman koleksi karena keindahan bunganya, warnanya yang beraneka ragam, keunikan bentuknya dan daya tahan bunganya yang relatif lebih lama daripada jenis bunga lain. Anggrek memiliki penggemar yang terhimpun dalam Perhimpunan Anggrek Indonesia (PAI), yaitu sebuah organisasi nirlaba yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap kelestarian dan pengembangan industri anggrek nasional. Anggrek yang dominan disukai masyarakat sehingga diproduksi dalam jumlah besar adalah jenis Dendrobium.

Dendrobium hibrida maupun spesies banyak disukai hobiis, perangkai bunga,

dekorator, dan pedagang. Konsumen memilih Dendrobium karena bunganya cukup besar, tegak, kuat, jumlah kuntumnya banyak, warnanya cerah, dan lama waktu segarnya setelah dipotong cukup panjang.

Usahatani anggrek secara komersial dapat dibedakan menjadi empat bidang usaha yang saling berkaitan, yakni usaha pembibitan (breeder), usaha menumbuhkan dan produksi bunga (grower), usaha/perdagangan tanaman, dan perdagangan bunga (florist). Anggrek merupakan tanaman yang cukup sulit dibudidayakan dan membutuhkan waktu yang lama sampai didapatkan tanaman berbunga yaitu sekitar 4 tahun. Pertumbuhan anggrek yang lama menyebabkan waktu produksi menjadi lambat. Salah satu program Kementerian Pertanian agar usaha anggrek memberikan keuntungan yang maksimal adalah dengan pengembangan anggrek kearah komersialisasi dan industri usaha anggrek melalui segmentasi usaha. Model pengembangan anggrek dengan penataan rantai pasok melalui segmentasi usaha adalah sebagai berikut (Ditjenhorti, 2012) :

2. Pola 2 : Botolan – kompot – seedling – jual ke pelaku usaha seedling 3. Pola 3 : Seedling – remaja – jual ke pelaku usaha remaja

4. Pola 4 : seedling – remaja – berbunga – jual ke konsumen 5. Pola 5 : remaja – berbunga – jual ke konsumen

Sentra produksi tanaman anggrek Dendrobium terutama berada di daerah Bogor, Tangerang selatan, Jawa Tengah, Sumatra, Irian Jaya dan Jawa Timur. Sentra produksi tanaman anggrek Vanda terutama berada di daerah Tangerang Selatan, Gunung Sindur (Bogor) serta Deli Serdang (Medan). Dan sentra produksi anggrek bulan atau Phalaenopsis terutama berada di daerah Bogor, Karawang, Cianjur, Lembang, Lawang, Prigen dan Salatiga. Sedangkan untuk sentra pemasaran tanaman anggrek Dendrobium di dalam negeri terutama adalah di sekitar Jabodetabek dan hampir sebagian wilayah Indonesia. Dan sentra pemasaran tanaman Anggrek Vanda terutama di daerah Jabar, Jakarta, Jatim, Aceh dan Sumatra (Ditjenhorti, 2011).

Industri anggrek nasional berpotensi untuk dikembangkan karena didukung oleh ketersediaan sumberdaya genetik anggrek yang melimpah, tenaga kerja memadai dan relatif murah, kondisi iklim yang mendukung, dan kemudahan untuk melakukan promosi. Selain itu menurut Damayanti (2011), Sinulingga, (2006), dan Arumsari (2000) anggrek memiliki segmen pasar tersendiri, yaitu para pencinta anggrek (hobiis), perhotelan, gedung pertemuan, perkantoran, catering, tempat wisata dan florist, sehingga permintaan terhadap anggrek relatif stabil meskipun pada saat terjadi krisis, dan peluang meningkatkan pangsa pasar baik nasional maupun internasional masih terbuka lebar.

Komoditas anggrek memiliki daya saing tertinggi dibandingkan dengan komoditas tanaman hias lainnya di wilayah DKI Jakarta (Ernawati, 2008). Disamping itu anggrek nasional juga memiliki keunggulan komparatif untuk dikembangkan, baik skala nasional maupun internasional, namun dari sisi daya saing dengan komoditas anggrek di negara tetangga, terutama dengan Thailand dan Singapura, anggrek nasional masih jauh tertinggal. Masih rendahnya daya saing anggrek nasional diantaranya juga disebabkan oleh pemanfaatan sumberdaya alam yang kurang maksimal, rendahnya penguasaan teknologi, minimnya dukungan pemerintah, dan kurangnya peranan lembaga keuangan sebagai penyandang dana (Kartikasari, 2008). Senada dengan pernyataan tersebut, Sinulingga (2006), Ernawati (2008), dan Utami (2008) menyebutkan beberapa permasalahan dalam pengembangan agribisnis anggrek yaitu kurangnya penyediaan bibit unggul, teknik budidaya yang kurang tepat, teknologi pascapanen yang belum ditangani secara intensif, kurangnya informasi pasar, kurangnya strategi pemasaran dan permodalan. Selain itu, masih rendahnya produksi anggrek juga disebabkan karena pengusaha belum mampu memanfaatkan secara maksimal sumberdaya yang dimiliki untuk mengatasi persaingan yang ada, serta memanfaatkan peluang pasar (Nurmaryam, 2011). Hal ini menunjukan masih rendahnya perilaku kewirausahaan dalam usaha anggrek.

Hasil penelitian Utami (2008) dan Sinulingga (2006), menyatakan beberapa alternatif strategi dalam pengembangan industri anggrek adalah dengan meningkatkan produksi, menjaga kontinuitas distribusi produk, mempertahankan dan memperluas pangsa pasar, serta meningkatkan kinerja pemasaran dan intensitas promosi. Sedangkan menurut Damayanti (2011), untuk meningkatkan keuntungan usahatani anggrek dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah

16

penjualan dan melakukan manajemen produksi yang baik, serta meningkatkan skala usaha, sehingga biaya produksi akan lebih efisien, dan target penjualan akan semakin besar. Dan hasil penelitian Nurmaryam (2011), menyatakan bahwa strategi untuk pengembangan usaha anggrek yaitu dengan mempertahankan pelayanan terbaik untuk konsumen, mengembangkan litbang dengan memanfaatkan teknologi yang sedang berkembang, mencari alternatif untuk memperoleh sumber modal usaha, meningkatkan kerjasama dan hubungan baik dengan pelanggan, melakukan riset pasar untuk memantau perkembangan produk dan tingkat persaingan, dan memperbaiki sistem manajemen perusahaan.

Kebijakan pemerintah di bidang perdagangan dan investasi bidang tanaman hias belum banyak membantu pelaku usaha dalam pengembangan agribisnis tanaman hias. Kebijakan penurunan tarif impor produk hortikultura menjadi 5 persen dan benih sebesar 0 persen menyebabkan produk anggrek kalah bersaing dengan produsen dari negara lain. Demikian juga dengan naiknya jasa karantina lebih dari 100 persen per tanaman dan sulitnya pengurusan ijin usaha budidaya serta perdagangan/ ekspor anggrek (CITES), semakin menambah surutnya semangat investor menginisiasi usaha budidaya komoditas florikultura umumnya dan anggrek khususnya. Selain itu rendahnya daya saing produk florikultura Indonesia di pasaran dunia termasuk anggrek dipengaruhi juga oleh belum adanya kebijakan pemerintah dalam bidang transportasi udara. Tidak tersedianya fasilitas kargo pada maskapai penerbangan nasional menyebabkan biaya angkut produk florikultura dikenakan tarif komersial yang berimplikasi tingginya harga produk florikultura di pasaran dunia (Badan Litbang Pertanian, 2007).

Usaha anggrek umumnya berskala kecil, hal ini dikarenakan adanya kesulitan untuk mengembangkan bisnis anggrek menjadi berskala menengah atau besar yang disebabkan oleh kendala modal. Anggrek adalah bisnis yang padat modal, total biaya usahatani anggrek Dendrobium dengan luas rumah seree 1000m2 (kapasitas 15.000 tanaman), per empat bulan mencapai Rp. 173.514.227, R/C ratio 1,53 dan B/C ratio 0,53 (Ditjenhorti, 2011). Dengan demikian, pengembangan industri anggrek nasional sudah saatnya ditekankan pada industri yang bersifat padat modal dan didukung dengan teknologi tinggi. Untuk mendukung hal tersebut, petani ataupun pengusaha anggrek diharapkan dapat berupaya mengembangkan informasi usaha dan pencitraan untuk mengundang para investor untuk masuk ke dalam bisnis anggrek, serta meminta pemerintah agar menyediakan regulasi yang kondusif bagi penanaman modal di sektor pertanian tanah air, khususnya pada komoditas anggrek.

Pendekatan Structural Equation Models (SEM)

untuk Analisis Perilaku dan Kinerja

Pendekatan structural equation modeling (SEM) banyak digunakan untuk menganalisis perilaku, termasuk perilaku berwirausaha dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dirlanudin (2010) menggunakan model SEM untuk melihat perilaku berwirausaha dan dampaknya terhadap keberhasilan usaha kecil berbasis industri agro. Pendekatan yang sama juga digunakan oleh Wijaya (2008), Sapar (2011), Darmadji (2012), dan Mair (2002). Dalam penelitian Dirlanudin (2010), perilaku berwirausaha dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal, serta

kebijakan pemerintah. Jumlah variabel yang digunakan adalah 32, dengan jumlah responden 250 orang. Pendekatan yang sama juga digunakan oleh Sapar (2011) dengan alat analisis SEM, menunjukan pengelolaan yang baik dari faktor-faktor yang berpengaruh pada kinerja penyuluh dapat meningkatkan kinerja penyuluh pertanian itu sendiri yang pada akhirnya dapat mengubah kompetensi petani menjadi lebih baik. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja penyuluh diantaranya adalah, karakteristik, kompetensi, motivasi, dan kemandirian.

Mair (2002) melakukan penelitian pengaruh perilaku kewirausahaan pada 150 orang manajer. Hasil analisis dengan menggunakan SEM menunjukan sebagian besar perilaku kewirausahaan dipengaruhi oleh interpretasi subjektif, aspek kognitif, serta karakteristik emosional. Selain itu adanya sikap proaktif, dan sikap percaya diri terhadap kemampuan berwirausaha juga dapat mempengaruhi perilaku kewirausahaan.

Darmadji (2012) melakukan penelitian kewirausahaan petani cabe dan padi. Berdasarkan hasil penelitian yang menggunakan analisis SEM (Structural

Equation Models) dapat ditunjukkan bahwa: (1) faktor lingkungan yang

berpengaruh terhadap kewirausahaan petani cabe adalah faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan ekonomi, sedangkan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kewirausahaan petani padi adalah faktor lingkungan ekonomi dan lingkungan fisik. (2) kewirausahaan petani, baik pada petani cabe maupun petani padi berpengaruh terhadap kinerja usahatani, kapasitas manajemen, dan proses teknis biologis.

Fauzi (2004) melakukan penelitian mengenai pengaruh sikap kewirausahaan, orientasi pasar dan pembelajaran organisasional terhadap kinerja bisnis, dengan menggunakan alat analisis SEM. Penelitian dilakukan terhadap 100 responden karyawan setingkat manajer. Hasil analisis data menunjukan bahwa kinerja bisnis dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Dokumen terkait