• Tidak ada hasil yang ditemukan

Judul Skripsi : Analisis Kemunduran Mutu Daging dan Mata Ikan Bandeng (Chanos chanos) melalui Pengamatan

DAFTAR LAMPIRAN

2 TINJAUAN PUSTAKA

3.3 Metode Penelitian

Sampel ikan bandeng dimatikan dengan menusuk oblongata setelah itu sebagian ikan diambil dan diuji proksimat. Ikan lainnya disimpan pada suhu chilling (±5°C) selama 23 hari (sampai ikan busuk). Ikan yang disimpan tersebut

diamati setiap hari dan dilakukan pengujian tekstur dan pengamatan histologis pada setiap fase kemunduran mutu (pre rigor, rigor, post rigor, dan busuk). Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram alir penelitian. 3.3.1 Analisis proksimat (AOAC 1995)

Analisis proksimat adalah metode analisis kimia untuk mengidentifikasi kandungan nutrisi pada suatu bahan. Analisis proksimat dilakukan pada daging ikan bandeng, meliputi analisis kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat. (1) Kadar air (AOAC 1995)

Sejumlah sampel (± 5 g) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 100 ºC hingga diperoleh berat yang konstan. Perhitungan kadar air dilakukan berdasarkan berat basah dengan menggunakan rumus :

Ikan Bandeng

Dimatikan

Analisis proksimat

Penyimpanan pada suhu chilling (± 5 °C) selama 23 hari

Pre rigor Rigor Post rigor Busuk

Analisis tekstur & Histologi

Kadar air (% bb) = x 100% Keterangan:

a = berat cawan dan sampel awal (g) b = berat cawan dan sampel akhir (g) c = berat sampel awal (g)

(2) Kadar lemak (AOAC 1995)

Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 110 ºC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram, dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut heksana. Proses reflux dilakukan sampai larutan jernih dan pelarut yang ada di dalam labu lemak terdistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 ºC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar lemak dihitung dengan rumus:

Kadar lemak = x 100%

(3) Kadar abu (AOAC 1995)

Cawan porselin dikeringkan dalam oven bersuhu 110 ºC, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600 ºC selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang. Perhitungan kadar abu dilakukan dengan rumus:

Kadar abu = x 100%

(4) Kadar protein, metode mikro-kjeldahl (AOAC 1995)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari destruksi, destilasi dan titrasi.

(a) Tahap destruksi

Daging ikan bandeng ditimbang sebesar 1 gram kemudian sampel tersebut dimasukkan ke dalam tabung kjehdahl. Sebanyak 0,25 gram selenium dan 25 ml H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam tabung tersebut. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas. Proses destruksi dilakukan sampai larutan berwarna bening .

(b) Tahap destilasi

Sampel yang telah didestruksi dituangkan ke dalam labu destilasi lalu ditambahkan akuades 50 ml. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 10 ml berisi larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator (cairan methyl red dan brom creosol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh 10 ml destilat dan berwarna hijau kebiruan.

(c) Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan erlenmeyer berubah menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Perhitungan kadar protein kulit ikan bandeng ditentukan dengan rumus :

(5) Kadar karbohidrat (by difference) (AOAC 1995) Kadar karbohidrat (%) = 100% - (P + KA + A + L) Keterangan: P = kadar protein (%) KA = kadar air (%) A = kadar abu (%) L = kadar lemak (%) 3.3.2 Uji organoleptik (BSN 2006)

Metode yang digunakan untuk uji organoleptik atau uji sensori adalah dengan menggunakan score sheet berdasarkan SNI 01-2729.1-2006. Pengujian menggunakan 15 panelis semi terlatih yang memiliki kriteria, antara lain tertarik

dan mau berpartisipasi dalam uji organoleptik, terampil, dan konsisten dalam mengambil keputusan, siap sedia pada saat dibutuhkan dalam pengujian, tidak menolak contoh yang akan diuji, berbadan sehat, bebas dari penyakit THT dan tidak buta warna, dan tidak merokok. Berdasarkan data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis kesegaran ikan dengan kriteria sebagai berikut (SNI 01-2729.1- 2006):

Segar : nilai organoleptik berkisar antara 7-9 Agak segar : nilai organoleptik berkisar antara 5-6 Tidak segar : nilai organoleptik berkisar antara 1-3

3.3.3 Analisis kekerasan (Precision, Scientific Petroleum Instruments)

Prinsip pengukuran tekstur bahan pangan dengan penetrometer adalah dengan memberikan gaya tekan kepada bahan dengan besaran tertentu sehingga bahan dapat ditentukan. Ikan bandeng dengan ukuran 200-250 gram dianalisis menggunakan penetrometer.

3.3.4 Pembuatan preparat histologis (Angka et al. 1990)

Pembuatan preparat histopatologi terdiri dari tiga tahapan besar yaitu fiksasi jaringan dan parafinisasi, pemotongan jaringan, serta pewarnaan jaringan (Gambar 7).

Organ target, misal otot, diambil menggunakan alat bedah yang sesuai. Otot ikan disayat menggunakan pisau scalpel yang tajam agar jaringan otot tidak rusak. Ikan disayat membentuk persegi panjang dengan ketebalan 5 mm agar bahan fiksatif dapat meresap sempurna. Jaringan otot yang diperoleh direndam dalam larutan fiksatif selama 48 jam, perendaman dilakukan sebanyak 15-20 kali volume jaringan dan dilanjutkan dengan dehidrasi. Larutan fiksatif dibuang, kemudian alkohol 70% dimasukkan ke dalam botol film hingga jaringan terendam, selanjutnya organ diambil dari dalam botol film dan dibungkus menggunakan kain kasa lalu diikat menggunakan benang yang dibentuk seperti teh celup, agar memudahkan dalam proses pergantian alkohol setelah 24 jam, organ yang dibungkus kain kasa diambil dan ditiriskan di atas kertas tisu lalu dimasukkan ke dalam botol berisi alkohol 80%, 90%, 95% masing-masing selama

dua jam dan alkohol 100% selama 12 jam dengan cara yang sama. Perendaman dilakukan pada suhu ruang (Rumawas et al. 1974).

Proses selanjutnya adalah clearing. Jaringan direndam dalam alkohol-xylol (1:1) selama 30 menit, dilanjutkan dengan xylol I, xylol II dan xylol III masing- masing selama 30 menit. Perendaman dilakukan pada suhu ruang. Selanjutnya dilakukan tahap impregnasi, yaitu penggantian xylol dengan paraffin cair yang berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 °C. Proses ini dilakukan dengan perendaman jaringan ke dalam xylol-parafin (1:1) yang diletakkan dalam gelas piala selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan dengan cara yang sama seperti proses perendaman sebelumnya kemudian dilanjutkan dengan embedding yang merupakan proses memasukkan parafin cair ke dalam sel. Proses ini berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 °C. Jaringan direndam secara berturut- turut ke dalam gelas piala yang berisi parafin I, parafin II dan parafin III masing- masing selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan dengan cara sama, seperti proses perendaman sebelumnya.

Jaringan yang telah diembedding dalam parafin cair lalu diblok (dicetak agar mudah dipotong) dengan parafin cair, kemudian dibekukan. Proses ini membutuhkan cetakan yang dapat dibuat dari kertas kaku, seperti kertas kalender dengan ukuran 2x2x2 cm. Parafin cair dituangkan ke dalam cetakan hingga memenuhi 1/8 bagian cetakan dan dibiarkan hingga sedikit membeku. Proses selanjutnya, jaringan disusun dalam cetakan dengan bagian sayatan yang diperlukan menghadap dasar cetakan dan dituangi parafin cair hingga material jaringan terendam selanjutnya dibiarkan beku dalam suhu ruang selama 24 jam setelah parafin beku dengan sempurna, blok parafin dikeluarkan dari cetakan lalu dipotong tipis menggunakan silet bermata satu agar dapat disesuaikan dengan tempat blok pada alat pemotong.

Pemotongan jaringan dimulai dengan meletakkan blok parafin yang mengandung preparat pada tempat duduknya di mikrotom. Tempat duduk blok parafin beserta blok parafinnya kemudian diletakkan pada pemegangnya (holder) pada mikrotom dan dikunci dengan kuat. Mata pisau mikrotom harus tajam agar proses pemotongan dapat dilakukan dengan sempurna. Ketebalan potongan diatur dengan cara menggeser bagian pengatur ketebalan hingga ketebalan yang

diinginkan. Ketebalan sayatan yaitu 4 µm. Blok preparat digerakkan ke arah pisau sedekat mungkin lalu blok preparat dipotong secara teratur dan ritmis. Pita-pita parafin yang awal tanpa jaringan dibuang hingga diperoleh potongan yang mengandung preparat jaringan. Hasil irisan diambil dengan jarum lalu diletakkan di permukaan air hangat dalam 45-50 °C waterbath hingga mengembang setelah pita parafin terkembang dengan baik, pita parafin tersebut ditempelkan pada gelas objek yang telah diberi zat perekat, seperti albumin dengan cara memasukkan kaca objek itu ke dalam waterbath dan menggerakkannya ke arah pita parafin. Setelah melekat, gelas objek digerakkan keluar dari waterbath dengan hati-hati agar pita parafin tidak melipat dan dibiarkan hingga mengering setelah itu dilanjutkan dengan dewaxing yang dimulai dengan meletakkan gelas objek yang berisi jaringan dalam keranjang preparat yang ukurannya sesuai dengan gelas objek. Keranjang tersebut dapat diisi dengan 10 gelas objek. Jaringan pada gelas objek yang telah diletakkan dalam keranjang direndam ke dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama 2 menit. Lilin akan terlepas dari jaringan dan jaringan akan tampak jernih selanjutnya dilakukan hidrasi yang merupakan proses pemasukkan air ke dalam preparat jaringan pada gelas objek setelah proses dewaxing. Jaringan pada gelas direndam dalam alkohol 100% dalam wadah perendaman, lalu secara berturut-turut dimasukkan ke dalam alkohol 95%, 90%, 80%, 70% dan 50% masing-masing selama dua menit dengan cara yang sama pula selanjutnya preparat jaringan direndam ke dalam akuades selama dua menit setelah hidrasi preparat jaringan diberi pewarna hematoksilin-eosin. Preparat jaringan direndam dengan pewarna hematoksilin selama 7 menit kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan kelebihan zat warna yang tidak diserap, lalu preparat jaringan direndam dengan pewarna eosin selama 3 menit dan dicuci dengan akuades. Preparat jaringan kemudian direndam dalam alkohol 70%, 85%, 90% dan 100% masing-masing dilakukan selama dua menit selanjutnya preparat jaringan lalu direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama dua menit.

Gambar 7 Diagram alir proses pembuatan preparat histologi (Angka et al. 1990) Pengamatan mikroskop (100x)

Preparat awetan

Pengambilan gambar

Perekatan jaringan dengan mounting agent Pewarnaan Hematoksilin-Eosin Pelekatan pita parafin pada gelas obyek Pemotongan dengan mikrotom ketebalan ± 4 µm

Ikan bandeng

daging dan mata Fiksasi larutan Bouin’s

Dehidrasi alkohol (80%, 90%, 95%, 100%)

Trimming

Penjernihan (clearing) alkohol-xilol (1:1)

Impregnasi xilol-parafin (1:1)

Preparat jaringan yang telah diwarnai dapat dibuat preparat yang lebih awet dengan cara mounting menggunakan mounting agent seperti enthelan. Preparat jaringan ditutup dengan gelas penutup yang sudah ditetesi enthelan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 40 °C selama 24 jam, kemudian diamati di bawah mikroskop. Preparat histologi diamati dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran mulai dari 40x hingga 1000x sesuai dengan kejelasan objek selanjutnya dilakukan dokumentasi menggunakan foto untuk dijadikan bahan analisis deskriptif.

3.3.5 Analisis data secara deskriptif

Data dianalisis dengan caradeskripsi kualitatif dengan melihat preparat histologi di bawah mikroskop selanjutnya dari preparat tersebut dianalisis perubahan yang terjadi dari setiap jaringan pada fase-fase pasca kematian (prerigor, rigor, postrigor, busuk) sebagai pendukung dalam analisis juga diikutsertakan hasil pengujian proksimat, organoleptik dan kekerasan.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi Proksimat Ikan Bandeng

Tipe ikan bandeng yang ditemukan di Indonesia memiliki ciri adanya perpanjangan sirip dorsal dan pektoral. Tipe ikan dengan perpanjangan ini hanya ditemukan di Indonesia (Schuster 1959). Bandeng mampu mentolelir salinitas perairan yang luas (0-158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan eurihalin. Ikan bandeng mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, pH, dan kekeruhan air serta tahan terhadap serangan penyakit (Ghufron dan Kardi 1997).

Hasil pengujian proksimat yang dilakukan pada daging ikan bandeng disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil pengujian proksimat daging ikan bandeng Komponen proksimat Rata-rata Air 77,54 ± 0,46% Protein 12,45 ± 1,79% Lemak 1,08 ± 0,12% Abu 1,55 ± 0,03% Karbohidrat 7,38 ± 2,10%

Kandungan protein ikan bandeng dari pengujian adalah 12,45 ± 1,79%. Kadar protein tersebut lebih rendah dibandingkan kadar protein yang diperoleh Wibowo (2000) yaitu 22,84%. Perbedaan tersebut dapat disebabkan pakan yang diberikan tidak mengandung jumlah protein yang cukup. Berdasarkan hasil penelitian Fatimatussholikhah (2007) diketahui bahwa pemberian bungkil kelapa yang memiliki kadar protein besar sangat berpengaruh terhadap kadar protein ikan lele dumbo. Murray et al. (1977) mengatakan bahwa peningkatan suplementasi lemak pada pakan ikan dapat meningkatkan jumlah protein jaringan ikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian pakan yang cukup nutrisi sangat berpengaruh terhadap komposisi protein ikan. Menurut Burgess et al. (1967) ikan sangat beragam dalam konsumsi makanannya, tergantung dari musim dan lokasi dimana mereka hidup. Temperatur juga memiliki efek langsung selain musim dan geografis terhadap nafsu makan ikan.

Lemak merupakan bentuk cadangan energi. Lemak tidak dapat menggantikan protein untuk pertumbuhan tetapi dapat menjaga cadangan protein (Burgess et al. 1967). Kadar lemak ikan bandeng berdasarkan hasil penelitian adalah 1,08 ± 0,12%, sedangkan menurut Wibowo (2000) adalah 1,51%. Kandungan lemak yang kecil tersebut dapat disebabkan oleh komposisi pakan yang diberikan pembudidaya jumlah lemaknya sangat sedikit. Jumlah lemak pada ikan menurut Tarr (1954) dipengaruhi oleh spesies, musim, umur, lingkungan dan kematangan seksual. Faktor lingkungan dan pakan dapat menjadi kontributor utama rendahnya kadar lemak pada ikan bandeng yang diambil dari tambak ini. Burgess et al. (1967) mengatakan bahwa otot ikan yang diambil dari lokasi yang berbeda menunjukkan perbedaan dalam kandungan lemaknya. Faktor lain dari rendahnya komposisi lemak tersebut adalah distribusi lemak tidak sama pada tubuh ikan. Lemak paling banyak terdapat pada lapisan tipis dan dikenal dengan nama jaringan adiposa yang terdapat di bawah kulit. Pengujian proksimat lemak ikan pada penelitian ini tidak mengikutkan kulit ikan sehingga lemak di bawah kulit tidak diperhitungkan.

Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida, yaitu glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril (Hadiwiyoto 1993). Komposisi karbohidrat dari hasil penelitian adalah 7,38 ± 2,10%. Perhitungan komposisi karbohidrat dilakukan berdasarkan metode by difference sehingga sangat tergantung pada jumlah protein dan lemaknya. Jumlah protein dan lemak yang kecil menyebabkan jumlah karbohidrat menjadi tinggi. Pakan merupakan faktor yang sangat penting terhadap komposisi ketiga unsur tersebut. Pakan yang diberikan pembudidaya kemungkinan memiliki kandungan karbohidrat tinggi, rendah lemak serta protein.

Air merupakan komponen sel hidup yang ada dimana-mana dan merupakan 60-95% dari berat organisme (Amstrong 1995). Air dalam makanan biasanya terbagi dua yaitu air imbibisi dan air kristal. Air imbibisi adalah air yang masuk ke dalam bahan pangan dan menyebabkan pengembangan volume. Air kristal merupakan air yang terikat dalam semua bahan, baik pangan maupun non pangan yang berbentuk kristal, yaitu gula, garam, dan CuSO4, dan lain-lain (Winarno 1992). Komposisi air ikan bandeng dari hasil pengujian adalah 77,54 ±

0,46% sedangkan menurut Wibowo (2000) adalah 70,45%. Perbedaan kadar air tersebut diduga karena adanya kemampuan bahan mengikat air yang disebut water holding capacity (WHC). Molekul air akan terikat melalui ikatan hidrogen berenergi besar. Molekul air akan membentuk hidrat dengan molekul yang mengandung atom O dan N layaknya protein dan karbohidrat (Pearson dan Dutson 1999; Winarno 1997).

Mineral dalam makanan ditentukan dengan pengabuan atau insinerasi (pembakaran) (deMan 1997). Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tetap yang disebut abu (Winarno 1992). Elemen- elemen yang termasuk mineral adalah potasium, sodium, kalsium, magnesium, besi, tembaga, mangan, zink, dan kobalt. Ada juga elemen yang tidak termasuk metal, yaitu fosfor, sulfur, klorin, iodin dan elemen lain dengan jumlah yang sangat kecil. Semua elemen di atas ditemukan dalam daging ikan. (Burgess et al. 1967). Kadar abu ikan bandeng yang didapat dari penelitian adalah 1,55 ± 0,03%, sedangkan Wibowo (2000) memperoleh kadar abu ikan bandeng 2,15 %. Perbedaan kadar abu ini diduga akibat perbedaan lingkungan ikan, sehingga mineral yang terakumulasi pun berbeda tergantung habitatnya.

4.2 Organoleptik Daging dan Mata Ikan Bandeng

Pengujian organoleptik adalah salah satu jenis pengujian kesegaran yang paling awal yang dikenal manusia. Uji ini menggunakan sensor (indera) yang dimiliki oleh manusia. Berdasarkan hasil pengujian organoleptik (Gambar 8) diketahui bahwa pada jam ke-0, kondisi mata dan daging ikan bandeng masih sangat segar yang ditunjukkan dengan penampakan mata yang cerah, bola mata menonjol, dan kornea jernih. Kondisi daging juga sangat baik yang dapat dilihat dari sayatannya yang sangat cemerlang dan dinding perut utuh. Pada jam ke-120 sampai 192, ikan berada dalam kondisi yang agak segar dengan ciri-ciri mata agak cerah, bola mata rata sampai agak cekung, pupil agak keabu-abuan sampai keabu- abuan dan kornea agak keruh, pada daging terlihat sayatan daging sedikit kurang cemerlang. Pada jam ke-264 sampai 480 ikan telah berada dalam keadaan tidak segar, bola mata telah cekung, pupil menjadi putih susu dan kornea keruh sampai agak kuning, sayatan daging terlihat sangat kusam dan dinding perut ikan sangat lunak. Pengelompokan tersebut dilakukan berdasarkan pada SNI 01-2346-2006.

0 2 4 6 8 10 0 120 192 264 336 480

Nilai Organoleptik Daging Nilai Organoleptik Mata

Gambar 8 Hasil pengujian organoleptik daging dan mata ikan bandeng. Menurut Sulaksana (1999) semakin lama waktu pengamatan (jam post- mortem) kecenderungan degenerasi serabut otot semakin meningkat, hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya asam laktat yang tertimbun sehingga terjadi denaturasi protein otot dan menyebabkan degradasi serabut otot.

Selama proses kemunduran mutu mata ikan mengalami perubahan yang diakibatkan oleh berhentinya aliran darah yang menyumplai oksigen. Winkler dan Hopkins (1982) menyatakan bahwa aktivitas ATPase pada retina manusia menurun setelah 24 jam postmortem, mencapai titik stabil setelah 48 jam. Hal ini disebabkan oleh rendahnya aktivitas Mg2+ dan N+-K+ untuk menstimulasi ATPase. Hal yang sama terjadi pada vertebrata lainnya. Retina dan pigmen epitelium dari berbagai jenis vertebrata memiliki beberapa jenis ATPase yang aktivitasnya distimulasi oleh Mg2+, N+ dan K+, HCO3- (atau anion yang lain) dan Ca2+.

4.3 Kekerasan Daging dan Mata Ikan Bandeng

Setiap fase kemunduran mutu memiliki karakteristik kekerasan daging yang berbeda akibat adanya perubahan kimia dan biologi pada daging ikan. Hasil pengujian kekerasan ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil pengujian kekerasan daging ikan bandeng Fase Pasca Kematian Rata-rata (mm/10''/50g) Prerigor 2,34 ± 0,08 Rigor 1,42 ± 0,17 Postrigor 3,75 ± 0,07 Busuk 33,00 ± 2,83

Hasil pengujian penetrometer fase prerigor menunjukkan nilai 2,34 ± 0,08 mm/10''/50g yang artinya bahwa penetrasi jarum pada daging ikan sampai kedalaman 2,34 mm dari permukaan dengan pemberat 50 g. Eskin (1990) menyatakan saat fase pre rigor kondisi daging ikan masih lembut dan lunak, secara kimiawi terjadi penurunan jumlah ATP dan kreatin fosfat yang disebabkan terhentinya suplai oksigen ke jaringan setelah ikan mati.

Hasil pengujian memperlihatkan bahwa pada fase rigor kondisi daging ikan paling keras dengan hasil penetrometer 1,42 ± 0,17 mm/10''/50g yang menunjukkan bahwa penetrasi jarum pada daging ikan hanya sampai kedalaman daging 1,42 mm dengan pemberat yang digunakan 50 g. Keadaan daging ikan yang keras tersebut menurut Eskin (1990) disebabkan oleh terjadinya ikatan elektrostatik antara filamen aktin dan miosin (aktomiosin) yang ditandai dengan terjadinya pengkerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik (irreversible) atau biasa disebut kejang otot (rigor mortis).

Nilai hasil uji penetrometer fase postrigor adalah 3,75 ± 0,07 mm/10''/50g. Pada post rigor terjadi kenaikan pH ikan secara perlahan-lahan dengan meningkatnya laju perubahan autolitik yang ditandai dengan proses pelunakan daging ikan (Govidan 1985). Menurut Dwiari et al. (2008) saat post rigor terjadi pelunakan daging yang disebabkan aktivitas enzim meningkat sehingga terjadi penguraian daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri.

Keadaan daging paling lunak adalah saat busuk. Hasil pengujian penetrometer menunjukkan nilai 33,00 ± 2,83 mm/10''/50 g yang artinya bahwa jarum penetrometer dapat masuk ke sedalam 33 mm ke dalam daging ikan dengan berat pemberat 50 g. Keadaan ini disebabkan kondisi daging yang telah rusak

akibat serangan bakteri. Bakteri yang umum ditemukan pada ikan adalah bakteri dari golongan Pseudomonas, Alcaligenes, Micrococus, Sarcina, Flavobacterium, Serratia, Vibrio, dan Bacillus. Pada ikan segar yang baru ditangkap bakteri yang dominan adalah jenis Micrococus dan Flavobacterium, kemudian setelah pembusukan berlangsung dominasi beralih kepada jenis-jenis bakteri pembusuk seperti Pseudomonas dan Achromobacter (Ilyas 1983).

4.4 Histologis Daging dan Mata Ikan Bandeng

Sistem otot pada telestoi terdiri dari sel yang disebut serabut otot, yang elemen utamanya adalah miofibril. Miofibril terdiri dari ratusan protein miofilamen yang terbagi menjadi bagian tipis (aktin) dan bagian tebal (miosin). Jika dilihat secara longitudinal penampakan lurik pada serabut otot adalah akibat susunan aktin dan miosin ini (Chinabut et al. 1991).

Jaringan otot pada fase prerigor (Gambar 9) terlihat sangat kompak. Sel otot menyatu dengan baik, hubungan antar sel otot atau biasa disebut serabut otot terlihat erat. Fase ini merupakan saat daging ikan berada dalam kondisi paling optimal. Jaringan otot juga nornal, tidak mengalami penebalan. Histologis jaringannya sama dengan saat ikan masih hidup karena belum mengalami perubahan kimia dan biologi yang dapat mengubah bentuk serta susunan sel dalam jaringan otot ikan bandeng. Menurut Eskin (1990), daging ikan pada fase ini lembut dan lunak seperti saat ikan masih hidup, kondisi daging paling ideal untuk konsumsi dan paling segar.

Gambar 9 Kondisi histologis daging ikan bandeng fase pre rigor; panah: serabut otot (H&E).

Gambar 10 Kondisi histologis daging ikan bandeng fase rigor; A: serabut otot (H&E); B: perenggangan.

Pada fase rigor (Gambar 10) mulai terjadi perenggangan jaringan otot ikan. Perenggangan serabut otot itu terlihat sangat jelas dengan adanya rongga- rongga antar serabut otot. Perubahan yang menarik pada fase ini dibandingkan dengan fase sebelum dan sesudahnya adalah serabut otot terlihat lebih tebal akibat penyatuan filamen aktin dan miosin membentuk aktomiosin yang ditandai dengan terjadinya pengkerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik (irreversible). Kondisi kejang penuh (full-rigor) ketika kandungan ATP sekitar 1 µmol/g (Eskin 1990). Pada fase ini juga mulai terlihat perjadi perenggangan jaringan otot, hal tersebut kemungkinan disebabkan karena terjadi penurunan pH yang meningkatkan kerja enzim autolisis. Menurut Haard (1994), enzim lisosomal proteinase aktif saat pH asam yang termasuk dalam tipe enzim ini adalah jenis- jenis enzim katepsin. Jiang et al. (1990) diacu dalam Haard (1994) mengatakan bahwa terdapat dua jenis enzim mirip katepsin A pada ikan bandeng.

Dokumen terkait