III. METODE PENELITIAN
3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang dikumpulkan akan diolah dan disajikan dalam bentuk tabulasi.
Hasil dari pengumpulan data dipergunakan untuk menganalisis pendapatan
usahatani, kelayakan usaha yaitu finansial dan ekonomi, analisis kebijakan
3.4.1. Analisis Kelayakan Usaha 3.4.1.1.Analisis Pendapatan Usahatani
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang
diperoleh dari usahatani pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak. Rumus ini
diformulasikan sebagai berikut :
Pendapatan (π) = TR-TC... (3.1) dimana :
TR = total penerimaan
TC = total pengeluaran
Kriteria hasil dari analisis pendapatan usahatani diperoleh nilai TR > TC,
maka pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak layak untuk dikembangkan,
sedangkan bila nilai TR < TC maka pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak
tersebut tidak layak untuk dikembangkan dan TR = TC, maka usaha
pengembangannya mencapai break event point.
3.4.1.2. Net Present Value
Net Present Value (NPV) adalah jumlah nilai arus tunai pada waktu sekarang setelah dikurangi dengan modal yang dianggap sebagai ongkos investasi
selama waktu tertentu. Suatu usaha pengembangan dikatakan layak untuk
dikembangkan apabila NPV ≥ 1. Jika NPV = 0, berarti usaha pengembaliannya persis sebesar social opportunity cost of capital atau sebesar tingkat suku bunga,
dan apabila NPV < 0, maka proyek tidak menguntungkan atau tidak layak untuk
dikembangkan, sehingga sebaiknya proyek tidak dilaksanakan dan investasi
NPV =
t n t t ti
C
B
)
1
(
)
(
0+
−
∑
= ... (3.2) dimana :NPV = nilai bersih sekarang
Bt = total pendapatan pada tahun ke-t
Ct = total biaya (biaya tetap dan variabel) pada tahun ke-t
i = tingkat diskonto
n = umur investasi
3.4.1.3. Internal Rate of Return
Internal Rate of Return (IRR) adalah suatu tingkat suku bunga yang menunjukkan nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh investasi
proyek atau dengan kata lain tingkat bunga yang menghasilkan NPV sama dengan
nol (NPV=0), perhitungan IRR ditulis sebagai berikut:
( )
( )
∑
∑
= = + + n t t t n t t t i iC
B
1 1 1 1 = i ………. (3.3) dimana:i = IRR, tingkat bunga tersebut merupakan bunga maksimum yang dapat dibayar oleh proyek untuk faktor produksi yang digunakan. Bt = manfaat yang diperoleh tiap tahun
Ct = biaya yang dikeluarkan tiap tahun
t = 1,2,………n
n = jumlah tahun
i = tingkat bunga (diskonto)
Kriteria hasil dari analisis IRR diperoleh nilai IRR lebih besar dari tingkat
suku bunga (i) yang berlaku, maka pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak
layak untuk dikembangkankan. Sedangkan bila nilai IRR lebih kecil dari tingkat
tersebut tidak layak untuk dikembangkan dan apabila IRR = i, maka usaha
pengembangannya mencapai break event point.
3.4.1.4. Net Benefit Cost Ratio
Net Benefit Cost Ratio (B/C ratio) merupakan perbandingan antara jumlah nilai sekarang (Present Value) yang bersifat positif (sebagai pembilang) dengan
jumlah nilai sekarang yang bersifat negatif (sebaai penyebut). B/C ratio secara
sistematis dirumuskan sebagai berikut :
Net
BC
=( )
( )
∑
∑
= = + + n t t t n t t t i iC
B
1 1 1 1 ………... (3.4) KalauBC
= 1, berarti :)
(
∑
−
=+
n t t ti
t
B
C
01
( untuk Bt-Ct < 0)∑
(
)
−
=+
n t t ti
t
C
B
01
( untuk Bt - Ct >0) ...(3.5)Ini berarti bahwa :
)
(
∑
−
=+
n t t ti
t
C
B
01
= 0 untuk Bt - Ct < = 0 > 0...(3.6)Kriteria kelayakan investasi berdasarkan nilai B/C ratio adalah, jika B/C
lebih besar daripada satu maka kegiatan usahatani pengembangan sentra jeruk
Siam Pontianak layak untuk dikembangkan, karena penerimaannya lebih besar
daripada biaya total, tetapi apabila B/C kurang dari satu maka kegiatan usahatani
3.4.1.5. Pay Back Period
Masa pengembalian investasi (Pay Back Period) dihitung mulai kegiatan
usaha telah menghasilkan sampai seluruh ongkos tertutup oleh net cash inflow
yang diterima. Persamaan yang digunakan untuk menentukan masa pengembalian
investasi adalah :
PBP
=B
B
I
T
p n i n i icp i p∑
∑
= = − − − + 1 1 1 1 ... (3.7) dimana :PBP = Pay Back Period
Tp-1 = Tahun sebelum terdapat PBP
Ii = Jumlah investasi yang telah di-discount
Bicp-1= Jumlah benefit yang telah di-discount sebelum PBP Bp = Jumlah benefit pada PBP berada
Agar dapat mengetahui kapan investasi tersebut dapat kembali, terlebih
dahulu harus dibuat arus penerimaan kas bentuk present value. Kemudian nilai
manfaat bersih yang terdapat pada arus penerimaan kas tersebut didiskontokan
dan dikumulatifkan dari tahun ke tahun sehingga akan didapatkan manfaat bersih
kumulatif, yang kemudian biaya investasi yang telah di-discount dikurangi dengan
jumlah benefit yang telah di-discount seelum PBP dibagi dengan jumlah benefit
pada PBP berada yang dihasilkan dari jumlah tahun umur kegiatan pengembangan
tersebut. Semakin kecil angka yang dihasilkan maka semakin cepat tingkat
pengembalian investasi, artinya investasi semakin baik untuk dilaksanakan.
Sedangkan umur produksi optimum dapat diketahui dengan melihat tabel
cash flow. Umur produksi optimum tercapai pada tahun dimana keuntungan yang telah di-discount mencapai maksimal. Hal ini menunjukkan pada tahun ke berapa
3.4.1.6. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas perlu dilakukan karena dalam analisis kegiatan
investasi, perhitungan didasarkan pada usahatani pengembangan sentra jeruk Siam
Pontianak yang mengandung ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi pada
waktu yang akan datang (Gittenger, 1986). Analisis sensitivitas digunakan untuk
melihat dampak dari suatu keadaan yang berubah-ubah terhadap hasil suatu
analisis.
Analisis sensitivitas ini mencoba melihat perubahan yang akan terjadi pada
tingkat penerimaan dan biaya yang akan mempengaruhi kondisi kelayakan
usahatani, diantaranya faktor input tradable (1) harga input produksi yaitu pupuk,
(2) pestisida, (3) alat pertanian, dan faktor domestik yaitu (1) tingkat upah tenaga
kerja sebagai komponen penting dalam usahatani yang bersifat padat karya, (2)
sewa lahan, (3) sarana pertanian lainnya serta penurunan harga output sebagai
faktor yang menentukan penerimaan. Variabel faktor input tradable dan faktor
domestik secara simultan akan mempengaruhi biaya produksi, dimana dalam
usahatani pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak komponen ini merupakan
komponen yang sangat besar, sedangkan variabel penurunan harga output
merupakan variabel yang terkait langsung dengan karateristik komoditas yang
selanjutnya akan mempengaruhi penerimaan.
Pada penelitian ini dilakukan empat simulasi sensitivitas, yaitu kenaikan
harga input tradable terdiri harga pupuk, pestisida dan alat pertanian masing-
masing sebesar 20 persen yaitu berdasarkan laju pertumbuhan harga tahun 2004-
2005 sebagai simulasi pertama dan faktor domestik upah tenaga kerja, sewa lahan
pertumbuhan harga upah tenaga kerja, sewa lahan dan sarana pertanian tahun
2005-2006 secara simultan menyebabkan peningkatan biaya usahatani dengan
tujuan untuk mengantisipasi kemungkinan inflasi di waktu yang akan datang
selama umur kegiatan pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak, sehingga
menjadi simulasi kedua. Simulasi ketiga adalah penurunan harga ouput
berdasarkan laju pertumbuhan harga tahun 2003-2006 sebesar 40 persen dan
untuk mengantisipasi terjadinya produksi yang melimpah. Simulasi sensitivitas
keempat yaitu peningkatan harga input tradable ( simulasi 1), faktor domestik
(simulasi 2) dan penurunan harga output (simulasi 3).
3.4.2. Analisis Kebijakan Pemerintah
Untuk menganalisis sejauh mana dampak kebijakan pemerintah terhadap
pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak dilakukan pendekatan terhadap
penggunaan sumberdaya domestik dan input tradable. Metode analisis yang
digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM) yang merupakan alat analisis
untuk mengetahui efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau dampak intervensi
dalam pengusahaan berbagai aktivitas usahatani secara keseluruhan dan
sistematis. PAM dapat digunakan untuk mengestimasi biaya, pendapatan dan
dayasaing komoditas usahatani ditingkat petani dalam arti keunggulan komparatif
serta identifikasi dampak kebijakan pemerintah.
Tahapan dalam menggunakan metode PAM adalah: (1) identifikasi input
secara lengkap dari usahatani pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak, (2)
menentukan harga bayangan (shadow price) dari input dan output usahatani
pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak, (3) memilah biaya ke dalam
pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak, dan (5) menghitung dan
menganalisis berbagai indikator yang bisa dihasilkan PAM.
3.4.3. Penentuan Input dan Output
Input yang ada dalam penelitian ini adalah lahan (sewa lahan), biaya bibit,
tenaga kerja, pupuk anorganik (NPK), pupuk organik (pupuk kandang), pestisida,
peralatan, kapur dan input lainnya, sedangkan yang dimaksud output adalah
penerimaan dari harga jual buah jeruk Siam Pontianak yang telah dihasilkan.
3.4.3.1. Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing
Menurut Monke and Pearson (1989), terdapat dua pendekatan dalam
mengalokasikan biaya kedalam komponen biaya domestik dan asing, yaitu
pendekatan langsung (direct approach) dan pendekatan total (total approach).
Pendekatan langsung mengasumsikan seluruh biaya input yang dapat
diperdagangkan (input tradable) baik impor maupun produksi dalam negeri
dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat dipergunakan apabila tambahan
permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional.
Dengan kata lain, input non tradable yang sumbernya dari pasar domestik
ditetapkan sebagai komponen domestik dan input asing yang dipergunakan dalam
proses produksi barang non tradable tetap dihitung sebagai komponen biaya
asing.
Sementara pada pendekatan total, setiap biaya input tradable dibagi kedalam
komponen biaya domestik dan asing, dan penambahan input tradable dapat
dipenuhi di dalam negeri. Dengan demikian pendekatan ini lebih tepat digunakan
apabila produsen lokal dilindungi, sehingga tambahan keperluan input
Dari uraian diatas disimpulkan bahwa pendekatan langsung akan sesuai
dilakukan apabila analisis yang dilakukan adalah dayasaing kompetitif dan
komparatif. Pendekatan total lebih sesuai dengan digunakan dalam analisis
dampak kebijakan atau memperkirakan biaya ekonomi (sosial) dari struktur
proteksi yang dilakukan pemerintah (Monke and Pearson,1989). Penelitian ini
menggunakan pendekatan total dalam mengalokasikan biaya kedalam komponen
biaya domestik dan asing.
1. Alokasi Biaya Produksi
Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan secara tunai maupun
yang diperhitungkan untuk menghasilkan komoditas akhir yang siap dipasarkan
atau dikonsumsi. Biaya domestik dapat didefinisikan sebagai nilai input yang
digunakan dalam suatu proses produksi (Nainggolan, 1998). Penentuan alokasi
biaya produksi kedalam komponen asing ( tradable) dan domestik (non tradable)
didasarkan atas jenis input, penilaian biaya input tradable dan non tradable dalam
biaya total input. Alokasi biaya produksi atas komponen domestik dan asing dapat
dilihat pada Tabel 5.
Input tradable dalam penelitian ini adalah bibit, pupuk anorganik dan
pestisida, sedangkan input non tradable yang digunakan dalam penelitian ini
adalah tenaga kerja, pupuk organik (kandang), kapur, keranjang, sewa lahan dan
bunga modal. Selain itu ada barang-barang yang tidak diperdagangkan (non
tradable) tetapi didalamnya terdapat barang-barang yang tidak diperdagangkan
disebut indirectly traded seperti peralatan alat-alat pertanian.
Pada penelitian Suryana (1980) dan Simatupang (1990), peralatan masing-
dalam penelitian ini pembagian bibit kedalam faktor domestik dan faktor asing
(tradable) dibedakan antara analisis finasial dan ekonomi. Pada analisis finansial,
bibit yang berasal dari pembelian dimasukan kedalam faktor asing (tradable),
sedangkan benih yang berasal dari dalam usahatani dan tidak dibeli dimasukkan
kedalam faktor domestik. Sementara pada analisis ekonomi, bibit seluruhnya
(100%) dimasukkan kedalam faktor domestik. Peralatan ditetapkan masing-
masing sebesar 50 persen menjadi faktor domestik dan 50 persen menjadi faktor
asing.
Tabel 5. Alokasi Biaya Produksi Berdasarkan Komponen Biaya Domestik dan Komponen Biaya Asing
(Persen) Persentase Komponen Biaya
No Jenis Biaya
Domestik Asing
1. Bibit hasil penangkaran sendiri 100.00 0.00
2. Pupuk anorganik dan pestisida* 9.45 90.55
3. Pupuk kandang 100.00 0.00
4. Tenaga kerja dan sewa lahan 100.00 0.00
5. Bunga modal 100.00 0.00
5. Penyusutan alat ** 50.00 50.00
Keterangan :
* Tabel Input-output Indonesia, 1998
** Suryana (1980), Simatupang (1990), dan Oktaviani (1991)
2. Alokasi Biaya Tataniaga
Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan untuk menambah nilai atau
kegunaan suatu barang, yaitu kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Dalam
penelitian ini, biaya tataniaga didekati dengan menghitung seluruh biaya tataniaga
di daerah produsen sampai ke pelabuhan ekspor atau pelabuhan impor sampai ke
daerah konsumen. Biaya tataniaga terbagai atas biaya pengakutan (transportasi)
dan biaya penanganan alokasi biaya tataniaga kedalam komponen biaya domestik
Tabel 6. Alokasi Biaya Tataniaga Berdasarkan Komponen Biaya Domestik dan Komponen Biaya Asing
(Persen) Persentase Komponen Biaya
No Jenis Biaya
Domestik Asing Pajak
1. Bongkar muat 100.00 0.00 0.00 2. Pengepakan dan Karung 86.00 12.00 2.00 3 Pengangkutan 44.32 54.47 1.21 4. Penyimpanan 60.15 39.58 0.27
Sumber : Tabel Input-Output,1998
3.4.4. Penentuan Harga Sosial Input-Output
Penggunaan harga privat (harga pasar) dalam melakukan analisis ekonomi
seringkali tidak menggambarkan opportunity cost-nya. Oleh karena itu, setiap
input dan output yang digunakan dalam analisis ekonomi harus disesuaikan
terlebih dahulu dengan tingkat harga sosial atau harga bayangan. Harga
sosial/bayangan adalah harga yang terjadi dalam suatu perekonomian apabila
pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna dan dalam kondisi
keseimbangan (Gittenger, 1986), sedangkan Syarani (2001), mendefinisikan harga
bayangan sebagai harga yang menggambarkan peningkatan dalam kesejahteraan
dengan adanya perubahan marjinal dalam persediaan komoditas dan faktor
produksi. Dalam kenyataannya, sulit menemukan pasar dalam kondisi persaingan
sempurna terlebih lagi di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia,
karena adanya berbagai gangguan akibat kebijakan pemerintah seperti subsidi,
pajak, penentuan upah minimum dan sebagainya.
Harga pasar yang terjadi belum tentu dapat dipakai langsung dalam analisis
ekonomi karena sering sekali tidak mencerminkan biaya imbangan sosial
(opportunity cost). Suatu komoditas akan mempunyai biaya imbangan yang sama
memperoleh suatu nilai yang mendekati nilai biaya imbangan sosial atau harga
bayangan, perlu dilakukan penyesuaian. Harga sosial/bayangan dapat dianggap
sebagai penyesuaian yang dapat dibuat oleh peneliti proyek terhadap harga pasar
dari beberapa faktor produksi karena hasil tersebut tidak mencerminkan biaya atau
nilai sosial yang sebenarnya (social opportunity cost) dari unsur-unsur hasil
produksi tersebut (Kadariah, 1992).
Alasan penggunaan harga sosial/bayangan dalam menganalisis ekonomi adalah :
a. Harga yang berlaku di masyarakat tidak mencerminkan apa yang sebenarnya
diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan dari suatu aktivitas.
b. Harga pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan
seandainya sejumlah pilihan sumberdaya yang digunakan dalam aktivitas
tertentu, tetapi tidak digunakan pada aktivitas lain yang masih memungkinkan
bagi masyarakat.
1. Harga Bayangan Output
Harga bayangan output yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga
border price yaitu harga FOB (free on board) untuk output yang di ekspor, sedangkan harga CIF (cost insurance freight) dipakai untuk output yang diimpor
atau kemungkinan impor. Dalam penelitian ini, karena posisi indonesia terhadap
output yang dianalisis jeruk berada dalam posisi dimana volume ekspor jeruk
lebih tinggi dibandingkan dengan volume impornya maka untuk mengitung harga
bayangan jeruk menggunakan harga FOB yang dikonversi dengan SER dikurangi
biaya tataniaga (transportasi dan penanganan) dari pelabuhan ke tempat
untuk tahun 2007 dengan harga FOB jeruk sebesar Rp 13 534 per Kilogram
(Lampiran 1 sampai dengan 3)
2. Harga Sosial Input
Pada prinsipnya dalam menentukan harga sosial/bayangan input atau sarana
produksi dan peralatan yang termasuk komoditas tradable, tidak berbeda dengan
menentukan harga sosial/bayangan output. Harga sosial/bayangan ditentukan pada
harga border price, sedangkan untuk input non tradable digunakan harga pasar
domestik. Sarana produksi/input yang digunakan dalam usahatani antara lain :
a. Pupuk
Pupuk yang digunakan dalam usahatani jeruk ini terdiri pupuk anorganik
(dan pupuk organik (pupuk kandang). Pupuk anorganik yang digunakan adalah
NPK plus. Walaupun sejak tahun 1998 perdagangan pupuk sudah berdasarkan
pasar bebas, namun harga aktualnya belum mencerminkan harga sosialnya,
sehingga dalam penelitian ini untuk menghitung harga sosial/bayangannya
menggunakan harga border price. Karena sejak tahun 2000, Indonesia sudah
mampu memproduksi pupuk urea dan TSP sendiri bahkan produksi yang
dihasilkan melebihi konsumsi sehingga dapat diekspor, maka harga sosial kedua
pupuk tersebut dihitung berdasarkan FOB dikali SERnya dikurangi biaya
tataniaga, sedangkan untuk pupuk KCl dan NPK karena sampai saat ini sebagian
besar masih impor, maka untuk menghitung harga sosial/bayangannya digunakan
harga CIF dikali SERnya ditambah biaya tataniaga. Besarnya biaya tataniaga
b. Pestisida
Penentuan harga pestisida dalam penelitian ini didasarkan pada harga yang
ada di pasar masing-masing tempat penelitian. Hal ini disebabkan perdagangan
obat-obatan (pestisida) sudah diserahkan ke pasar, dengan kata lain subsidi untuk
pestisida telah dicabut, sementara data harga pada tingkat international juga tidak
ada.
c. Bibit
Harga sosial/bayangan untuk bibit jeruk didekati dengan harga pasar. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan tidak ada kebijakan pemerintah yang mengatur
secara langsung dan harga internasional tidak ada maka didekati dengan harga
aktualnya.
d. Peralatan
Harga sosial/bayangan untuk peralatan digunakan harga pasar. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan tidak ada kebijakan pemerintah yang mengatur
secara langsung, sehingga distorsi pasar yang terjadi amat kecil atau pasar
mendekati persaingan sempurna.
e. Tenaga Kerja
Bila pasar tenaga kerja bersaing sempurna, maka tingkat upah yang berlaku
mencerminkan nilai produk marginalnya (Gittinger, 1986) hal ini tidak berlaku
untuk sektor pertanian karena tingkat upah di pedesaan cenderung lebih tinggi
sehingga tidak mencerminkan nilai produk marginalnya. Hal ini karena adanya
sifat gotong royong atau sambatan (Suryana, 1980). Namun dalam penelitian ini,
untuk menghitung harga sosial/bayangan tenaga kerja disesuaikan dengan harga
f. Lahan
Lahan merupakan faktor produksi utama dalam usahatani jeruk namun
penentuan harga sosial/bayangan lahan sulit untuk ditentukan. Gittinger (1986),
menentukan harga sosial/bayangan lahan dengan memakai nilai sewa yang
diperhitungkan setiap musim, sedangkan Monke and Pearson (1989), menentukan
harga sosial/bayangan lahan berdasarkan pendapatan dari tanah untuk tanaman
alternatif terbaik. Sementara penelitian Lamb (1999), menentukan besarnya harga
sosial/bayangan lahan yaitu sebesar 85 persen dari nilai sewa yang berlaku dengan
asumsi sewa lahan finansial dianggap lebih tinggi dari nilai ekonomi. Dalam
penelitian ini, penelitian harga sosial/bayangan lahan mengacu pada Gittinger
(1986), yaitu dengan memakai nilai sewa yang diperhitungkan setiap musim di
masing-masing tempat penelitian.
3. Harga Sosial Nilai Tukar
Harga sosial/bayangan nilai tukar uang adalah harga uang domestik dalam
kaitannya dengan mata uang asing yang terjadi pada pasar nilai tukar uang pada
kondisi bersaing sempurna. Salah satu pendekatan untuk menghitung harga
bayangan nilai tukar uang adalah harga bayangan harus berada pada tingkat
keseimbangan nilai tukar uang. Keseimbangan terjadi apabila dalam pasar uang
semua pembatas dan subsidi terhadap ekspor dan impor dihilangkan.
Keseimbangan nilai tukar uang dapat didekati dengan menggunakan Standard
Conversion Factor (SCF) sebagai faktor koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku. t t t SCF OER SER = , dimana ) ( ) ( t t t t t t t TM M TX X M X SCF + + − + = ... (3.8)
dimana:
SERt = nilai tukar bayangan tahun t (Rp/US$)
SCFt = standard conversion factor (faktor konversi standar) tahun t
Xt = nilai ekspor Indonesia tahun t (Rp)
Mt = nilai impor Indonesia tahun t (Rp)
TMt = pajak impor dan bea masuk tahun t (Rp)
3.4.5. Policy Analysis Matrix
Untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah dalam pengembangan
sentra jeruk Siam Pontianak terhadap dayasaing dan analisis sensitivitas terhadap
berbagai perubahan harga-harga input sarana produksi maupun harga output
digunakan PAM. Kriteria analisis dampak kebijakan:
1. Keuntungan Privat (Private Profitability); D= A-B-C
Keuntungan privat merupakan indikator dayasaing (competitiveness) dari
sistem pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak berdasarkan teknologi,
nilai output, biaya input dan tansfer keijakan yang ada.
D > 0 maka pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak itu memperoleh
profit diatas normal yang mempunyai implikasi bahwa pengembangan
sentra jeruk Siam Pontianak itu mampu berekspansi, kecuali apabila
sumberdaya terbatas atau adanya komoditi alternatif yang lebih
menguntungkan.
2. Keuntungan Sosial (Sosial Profitability); H = E-F-G
Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif (comparative
advantage) atau efisiensi dari pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan efisien.
H > 0 dan nilai makin besar, berarti pengembangan sentra jeruk Siam
Pontianak makin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif yang
tinggi.
H < 0 berarti pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak tidak mampu hidup
tanpa bantuan atau inervensi pemerintah. Untuk komoditi tertentu,
daerah yang mempunyai keuntungan sosial lebih besar akan
memperoleh prioritas lebih tinggi untuk pengembangan komoditi
tersebut.
3. Rasio Biaya Privat (Private Cost Ratio) = C/(A – B)
Rasio biaya privat adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam
harga privat. Nilai PCR menunjukkan berapa banyak sistem produksi
usahatani jeruk Siam Pontianak dapat menghasilkan untuk membayar semua
faktor domestik yang digunakannya, dan tetap dalam kondisi kompetitif.
Keuntungan maksimal akan diperoleh manakala sistem produksi usahatani
jeruk siam mampu meminimumkan nilai PCR, dengan cara meminimumkan
biaya faktor domestik. Apabila nilai PCR < 1 dan nilainya makin kecil, berarti
sistem produksi usahatani jeruk Siam Pontianak mampu membiayai faktor
domestiknya pada harga privat dan kemampuannya tersebut akan meningkat.
4. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resources Cost) = G/(E – F)
Merupakan rasio biaya sumberdaya domestik terhadap nilai tambah pada
harga sosialnya, dalam mata uang asing (US$). Nilai DRC merupakan salah
satu kriteria kemampuan sistem usahatani jeruk Siam Pontianak dalam
ekonomi relatif dari suatu sistem produksi. Nilai DRC merupakan kriteria
keunggulan komparatif dari usahatani jeruk Siam Pontianak.
DRC > 1 sistem produksi usahatani jeruk Siam Pontianak dinilai tidak
mampu bertahan tanpa subsidi pemerintah, sehingga lebih baik
melakukan impor saja daripada memproduksi sendiri, karena
sistem produksi usahatani dinilai akan memboroskan sumberdaya
yang langka.
DRC < 1 dan nilainya makin kecil, berarti sistem produksi usahatani jeruk
Siam Pontianak makin efisien dan memiliki dayasaing di pasar
dunia, sehingga dinilai memiliki peluang ekspor yang makin besar.
3.4.6. Analisis Sensitivitas Kebijakan Pemerintah
Setelah dilakukan analisis PAM, maka perlu dilakukan analisis sensitivitas
yang bertujuan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu aktivitas ekonomi
bila terjadi perubahan dalam perhitungan biaya atau manfaat. Suatu analisis
sensitivitas dilakukan dengan mengubah suatu unsur atau mengkombinasikan
unsur-unsur dan menentukan pengaruh dari perubahan tersebut pada hasil analisis
semula.
Pada penelitian ini, unsur berupa komponen input tradable, faktor