• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

F. Metode Pengujian Aktivitas Anti Inflamasi

Metode pengujian aktivitas anti-inflamasi dapat dilakukan dengan cara : 1. In Vitro

In vitro adalah metode pengujian yang dilakukan di luar tubuh makhluk

hidup. Percobaan in vitro berguna untuk mengetahui peran dan pengaruh substansi-substansi fisiologis seperti histamin, bradikinin, prostaglandin, dan lain-lain dalam terjadinya inflamasi. Contoh percobaan in vitro antara lain-lain : pengikatan reseptor 3H-bradikinin, pengikatan reseptor neurokinin, dan uji kemotaksis leukosit polimorfonuklear (Vogel, 2002).

Daya anti inflamasi uji pengikatan reseptor 3H-bradikinin, ditunjukkan dengan persen penghambatan pengikatan 3H-bradikinin terhadap reseptor pada preparat membran. Daya anti inflamasi uji pengikatan neurokinin, juga ditunjukkan dengan persen penghambatan pengikatan neurokinin terhadap reseptor pada preparat membran. Sedangkan pada uji kemotaksis leukosit polimorfonuklear, daya anti inflamasi ditunjukkan dengan persentase jumlah leukosit polimorfonuklear yang bergerak ke arah kemoatraktan (contohnya zymosan-activated serum) (Vogel, 2002).

2. In Vivo

In vivo adalah metode pengujian yang dilakukan di dalam tubuh makhluk

hidup. Metode pengujian aktivitas anti inflamasi yang dapat dilakukan secara in vivo dibedakan menjadi dua sesuai dengan jenis inflamasi yaitu inflamasi akut dan

inflamasi kronis. Inflamasi akut dapat dibuat dengan beberapa cara, yaitu dengan induksi edema kaki tikus, pembentukan eritema (respon kemerahan) dan pembentukan eksudatif inlamasi. Inflamasi kronik dibuat dengan cara pembentukan granuloma dan induksi arthritis (Gryglewski, 1977).

1. Uji Eritema

Tanda paling awal dari reaksi inflamasi di kulit adalah kemerahan (eritema) yang berhubungan dengan vasodilatasi, dimana belum disertai eksudasi plasma dan udema. Pada marmot albino reaksi eritema terlihat dua jam setelah penyinaran UV pada kulit yang telah dicukur. Uji eritema yang disebabkan UV dapat digunakan untuk mengukur fase vasodilatasi pada reaksi inflamasi. Mekanisme dari reaksi ini tidak diketahui, tapi pelepasan prostaglandin kelihatannya berperan pada fenomena ini (Gryglewski, 1977). Keuntungan dari uji ini adalah sederhana tapi membutuhkan latihan bagi penggunanya untuk menggunakan fotometer refleksi dengan tujuan untuk menghilangkan penilaian subjektif (Vogel, 2002)

2. Radang telapak kaki belakang

Diantara banyak metode yang digunakan untuk skrining obat anti-inflamasi, satu dari teknik yang paling umum digunakan didasarkan pada kemampuan beberapa bahan uji untuk menghambat produksi udema kaki hewan

uji setelah injeksi bahan pembuat radang. Banyak zat pembuat radang (iritan) yang telah digunakan seperti formaldehid, dextran, albumin telur, karagenin, dll (Vogel, 2002). Iritan yang paling banyak digunakan adalah karagenin. Karagenin adalah fosfolipida tersulfatasi yang diekstrak dari lumut irlandia Chondrus cripus (Glyglewski, 1977). Reaksi inflamasi yang diinduksi karagenin mempunyai dua fase: fase awal dan akhir. Fase awal berakhir setelah 60 menit dan dihubungkan dengan pelepasan histamin, serotonin, dan bradikinin. Fase akhir terjadi antara 60 menit setelah injeksi dan berakhir setelah tiga jam. Fase ini dihubungkan dengan pelepasan prostaglandin dan neutrofil yang menghasilkan radikal bebas, seperti hidrogen peroksida, superoksida, dan radikal hidroksil (Suleyman, dkk, 2004). Efeknya dapat diukur dengan memotong kaki belakang pada sendi torsocrural dan ditimbang (Vogel, 2002).

3. Tes radang selaput dada

Radang selaput dada dikenal sebagai fenomena inflamasi eksudatif pada manusia (Vogel, 2002). Radang selaput dada pada tikus dapat disebabkan injeksi intrapleural dari turpentine, evans blue, gum arab, glikogen, dekstran, atau karagenin. Pada waktu tertentu setelah injeksi iritan hewan uji dibunuh dan eksudat dipindahkan, lebih baik dengan mencuci rongga dada dengan sejumlah larutan Hank’s yang diketahui volumenya untuk memastikan didapatnya eksudat dan sel utuh yang lengkap (Gryglewski, 1977). Radang selaput dada yang disebabkan karagenin dipertimbangkan sebagai model inflamasi akut yang paling sempurna dimana keluarnya cairan, migrasi leukosit, dan parameter biokimia lain

yang ada dalam respon inflamasi dapat diukur dengan mudah dari eksudat (Vogel, 2002)

4. Radang Sendi

Hewan uji diinjeksi subplantar suspensi yang mengandung 0,5% mycobacterium tuberculosis mati (0,05 ml untuk tikus dan 0,025 ml untuk mencit). Pemberian

obat untuk anti inflamasinya sudah diberikan satu hari sebelum injeksi dan dilanjutkan maksimal sampai 28 hari. Untuk mengetahui adanya radang dilihat saat benjolan sudah muncul (biasanya pada hari ke-13), kemudian diukur volumenya (Williamson, 1996).

5. Tes kantung granuloma

Metode ini dapat digunakan untuk memperkirakan potensi anti-inflamasi kortikosteroid (Vogel, 2002). Setelah kantung dibuat di punggung tikus dengan injeksi subkutan 10 – 25 ml udara steril, berbagai iritan (minyak croton yang dicairkan, turpentine, microbacterial, fosfolipase A2 atau karagenin) dimasukkan pada lubang (Gryglewski, 1977). Empat puluh delapan jam sesudahnya udara diambil dan hewan diinjeksi larutan uji atau larutan standar (Vogel, 2002). Empat dampai empat belas hari setelahnya respon inflamasi dievaluasi dengan dasar volume cairan yang diambil dari kantung sama seperti berat dan tebal dinding kantung. Model kantung granuloma ini lebih sensitif terhadap obat anti-inflamasi steroid daripada non steroid (Gryglewski, 1977).

Metode aktivitas anti inflamasi yang digunakan pada penelitian ini adalah metode secara in vivo karena faktor keterbatasan alat, dan lebih aman dibandingkan metode in vitro yang umumnya memakai unsur radioaktif. Metode

in vivo yang digunakan adalah metode Langford dkk (1972) yang telah

dimodifikasi pelaksanaannya. Bila dibanding metode in vivo lainnya, metode ini dipilih karena dapat digunakan sebagai langkah pengujian awal untuk mengetahui apakah bahan uji memiliki efek anti inflamasi atau tidak. Selain itu karena metode ini mudah dilaksanakan, pengukuran dapat dilakukan secara obyektif serta dapat diandalkan untuk pengujian efek anti inflamasi dalam waktu yang singkat.

Dasar metode Langford dkk (1972) ini adalah induksi udema pada telapak kaki belakang mencit. Metode ini dimodifikasi pelaksanaannya dengan mengganti zat penginduksi udem (karagenin 1% meggantikan ragi) serta rumus efek anti inflamasinya. Menurut Langford dkk (1972) persentase efek anti inflamasi dapat dihitung dari perubahan bobot kaki hewan uji dengan rumus sebagai berikut :

% efek anti inflamasi = ⎢⎣⎡ −D ⎥⎦

D U

X 100%

keterangan :

U : Harga rata berat kaki kelompok karagenin (terinflamasi) dikurangi rata-rata berat kaki kelompok normal ( tanpa perlakuan )

D : Harga rata berat kaki kelompok perlakuan (terinflamasi) dikurangi rata-rata berat kaki normal ( tanpa perlakuan )

Setelah dianalisis lebih lanjut, rumus di atas ternyata menunjukkan peningkatan udema. Karena persentase efek anti inflamasi dihitung dari pengurangan udema maka rumus di atas diubah sebagai berikut :

% efek anti inflamasi = ⎢⎣⎡ −U ⎥⎦

D U

X 100%

keterangan :

U : Harga rata berat kaki kelompok karagenin (terinflamasi) dikurangi rata-rata berat kaki kelompok normal ( tanpa perlakuan )

D : Harga rata berat kaki kelompok perlakuan (terinflamasi) dikurangi rata-rata berat kaki normal ( tanpa perlakuan )

D U II III I (U-D) Bobot kaki U = Kelp. II – Kelp.III D = Kelp. II – Kelp. I % 100 U D U inflamasi anti % =x

Gambar 8. Rumus perhitungan anti inflamasi

Keterangan :

I : + inflamatogen + obat (bahan yang diuji) II : + inflamatogen

Dokumen terkait