• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PRAKTIKUM A Bahan dan Alat

Dalam dokumen laporan Pengelolaan Hama dan Penyakit Ta (Halaman 142-154)

ACARA VI PETUNJUK LAPANGAN

B. Tujuan Praktikum petunjuk lapang ini bertujuan :

III. METODE PRAKTIKUM A Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam praktikum petunjuk lapang yaitu miniatur tanaman teh, babandotan, air, sabun/detergen. Alat yang digunakan yaitu pisau, toples, sprayer dan sendok.

B. Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum ini antara lain:

1. Praktikan dikelompokkan menjadi kelompok kecil sesuai rombongannya (2 mahasiswa).

2. Setiap kelompok ditugaskan untuk mencari topik dan menyusun petunjuk lapang.

3. Petunjuk lapang tiap kelompok dipresentasikan di hadapan praktikan lain dengan didampingi dosen/asisten.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 1.9 Alat dan bahan pada petunjuk lapangan B. Pembahasan

Nama ilmiah babadotan adalah Ageratum conyzoides berasal dari bahasa Yunani dimana kata a geras berarti tumbuhan berumur panjang sedangkan conyzoides adalah nama Dewi Koniyz, jadi tumbuhan ini dalam bahasa Yunani diartikan sebagai tumbuhan berumur panjang seperti Dewi Konyz. Memiliki kemampuan untuk beradaptasi pada berbagai kondisi ekologi, bijinya sangat kecil dan ringan, bersifat positif photoblastik, viabilitas biji bisa bertahan hingga 12 bulan dengan suhu optimum untuk perkecambahan 20 – 500C. Keistimewaan tersebut menyebabkan tumbuhan ini sangat mudah tumbuh, berkembang dan tersebar luas. Jika tumbuh di sekitar pertanaman atau pekarangan sering dianggap sebagai gulma yang menurunkan hasil dan menimbulkan kerugian pada usaha tani (Martono et al., 2004).

Tanaman bandotan tergolong ke dalam tumbuhan semusim, tumbuh tegak atau bagian bawahnya berbaring, tingginya sekitar 30-90 cm, dan bercabang. Batang bulat berambut panjang, jika menyentuh tanah akan mengeluarkan akar. Daun bertangkai, letaknya saling berhadapan dan bersilang (compositae), helaian daun bulat telur dengan pangkal membulat dan ujung runcing, tepi bergerigi, panjang 1-10 cm, lebar 0,5-6 cm, kedua permukaan daun berambut panjang dengan kelenjar yang terletak di permukaan bawah daun, warnanya hijau. Bunga majemuk berkumpul 3 atau lebih, berbentuk malai rata yang keluar dari ujung tangkai, warnanya putih. Panjang bonggol bunga 6-8 mm, dengan tangkai yang berambut. Buahnya berwarna hitam dan bentuknya kecil. Daerah distribusi, Habitat dan Budidaya Bandotan dapat diperbanyak dengan biji. Bandotan berasal dari Amerika tropis. Di Indonesia, bandotan merupakan tumbuhan liar dan lebih dikenal sebagai tumbuhan pengganggu (gulma) di kebun dan di ladang. Tumbuhan ini, dapat ditemukan juga di pekarangan rumah, tepi jalan, tanggul, dan sekitar saluran air pada ketinggian 1-2.100 m di atas permukaan laut (dpl). Jika daunnya telah layu dan membusuk, tumbuhan ini akan mengeluarkan bau tidak enak (Kalshoven, 1981).

Silverside and Budgell (2004) mengatakan, bahwa manfaat atau fungsi dari tanaman babandotan salah satunya sebagai pestisida nabati. Pestisida nabati merupakan produk alam terbuat dari tumbuhan yang mengandung senyawa (metabolit) sekunder yang tidak disukai oleh hama. Ekstrak dari babandotan yang dapat dijadikan sebagai pestisida nabati. Tumbuhan tidak disukai oleh hama karena mengandung metabolit sekunder yang bersifat menolak (repellent),

mengurangi nafsu makan (antifeedant), mempengaruhi sistem syaraf, mengganggu sistem pernafasan, serta mengganggu reproduksi dan keseimbangan hormon (antihormonal).

Dinarto dan Astriani (2005) menambahkan, bahwa babadotan (Ageratum conyzoides L.) termasuk yang mudah didapat dan lebih ekonomis karena tumbuh secara liar di sekitar kita. Metabolit sekunder yang terkandung dalam babadotan adalah saponin, flavanoid, polifenol, kumarine, eugenol 5%, hidrogen sianida (HCN), dan minyak atsiri. Babadotan sebagai pestisida nabati dilaporkan khusus untuk serangga hama, bioaktif yang terkandung didalamnya bersifat menolak dan menghambat perkembangan serangga. Khusus babadotan, bagian tumbuhan yang diekstrak adalah daun.

Pemanfaatan bahan nabati sebagai bahan pestisida banyak mendapatkan perhatian untuk dikembangkan sebab relatif lebih aman. Beberapa jenis tumbuhan yang sering berstatus sebagai gulma ternyata berpotensi sebagai sumber bahan pestisida nabati. Tumbuhan tersebut mempunyai kandungan bahan aktif yang berpengaruh terhadap jasad sasaran, keberadaannya melimpah, mudah berkembangbiak dan pemanfaatannya sebagai sumber bahan pestisida tidak akan bertentangan dengan kepentingan lain. Pemanfaatan gulma ini akan menggeser statusnya menjadi tumbuhan bermanfaat (Rehena, 2010).

Whitmore (1975) mengatakan, bahwa aplikasi dari penggunaan pestisida nabati tanaman babandotan yaitu dengan melakukan penyemprotan (sprayer) keseluruh bagian tanaman yang terserang atau belum terserang, pada pagi dan sore hari. Menurut Prijono (1988) menambahkan, bahwa penyemprotan dimulai

pada umur 1 minggu setelah transplanting. Aplikasi penyemprotan menggunakan hand sprayer dan waktu penyemprotan dilakukan pada sore hari pukul 15.00- 17.00 WIB.

Volume penyemprotan insektisida yang diperlukan untuk setiap hektarnya dengan populasi tanaman 40.000 tanaman yaitu berkisar antara 400-800 l sesuai dengan intensitas serangan dan pertumbuhan tanaman, sehingga untuk luasan 3 m2 memerlukan volume penyemprotan pada umur 1-30 hari setelah tanam sebanyak 120 ml, umur 30-90 hari setelah tanam sebanyak 210 ml dan umur 90- 120 hari setelah tanam sebanyak 240 ml (Handayani, 2009).

Pemanfaatan tumbuhan penghasil pestisida nabati dalam pengendalian hama sudah banyak dilakukan, terutama di bidang pertanian dan perkebunan dan hasilnya efektif. Penggunaan suatu pestisida nabati akan lebih baik hasilnya atau lebih efektif apabila dipadukan dengan pestisida nabati lainnya. Aplikasinya dapat dilakukan secara pencampuran atau secara berselang-seling, misal ekstrak daun babandotan dan ekstrak biji mimba. Penggunaan pestisida nabati juga dapat dipadukan dengan musuh alami bila bahan pestisida nabati tersebut tidak beracun bagi musuh alami (Maryani, 1995).

Menurut Iskandar dan Kardinan (1995) menyatakan, bahwa pembuatan pestisida nabati dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:

1. Penggerusan, penumbukan, pembakaran atau pengepresan untuk menghasilkan produk berupa tepung, abu atau pasta.

2. Perendaman untuk produk ekstrak.

a. Tepung tumbuhan + air.

b. Tepung tumbuhan + air, kemudian dipanaskan/direbus. c. Tepung tumbuhan + air + deterjen.

d. Tepung tumbuhan + air + surfaktan (pengemulsi) pestisida. e. Tepung tumbuhan + air + sedikit alkohol/metanol + surfaktan.

4. Ekstraksi dengan menggunakan bahan kimia pelarut disertai perlakuan khusus oleh tenaga yang terampil dan dengan peralatan yang khusus.

Menurut Wudianto (1992) mengatakan, bahwa diketahui kandungan bahan aktif dalam A. conyzoides terutama bagian daun adalah alkaloid, saponin, flavanoid, polifenol, sulfur dan tannin. Bagian daun mempunyai sifat bioaktifitas sebagai insektisidal, antinematoda, antibakterial dan alelopati (Grainge dan Ahmed, 1988). Pembuatan pestisida nabati dari tanaman babandotan bahan yang diperlukan yaitu ½ kg daun babadotan, 1 liter air dan 1 gram deterjen (Syamsuhidayat dan Hutapon, 1991).

Pembuatan pestisida nabati dari babandotan langkah-langkahnya antara lain (Departemen Pertanian, 2000):

1. Daun babadotan dirajang.

2. Hasil rajangan kemudian direndam dalam 1 liter air, kemudian dibiarkan selama 24 jam.

3. Hasil rendaman kemudian disaring.

4. Kemudian ditambahkan deterjen, lalu diaduk hingga rata.

Kardinan (2002) menjelaskan, bahwa pembuatan ekstrak bahan nabati dengan pelarut air. Bahan nabati segar sebanyak 100 g dicincang kemudian

diekstrak dengan pelarut air dengan perbandingan 1:3. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan homogenizer/ blender selama 15 menit. Hasil ekstraksi dibiarkan selama 24 jam kemudian disaring menggunakan kain halus dan selanjutnya larutan siap digunakan sebagai perlakuan.

Cara pembuatan insektisida dari daun babadotan yaitu menghaluskan 0,5 kg daun babadotan kemudian merendam dalam 1 l air ditambah 1 g detergen, campuran ini diendapkan semalam (24 jam), kesokannya disaring. Cairan hasil ekstrasi ini dicampur air dengan konsentrasi 1% (10 ml cairan ekstrasi dicampur dengan 1 liter air) Penggunaan insektisida nabati merupakan alternative untuk mengendalikan serangga hama. Insektisida nabati relatif mudah didapat, aman terhadap hewan bukan sasaran, dan mudah terurai di alam sehingga tidak menimbulkan pengaruh samping (Kardinan dan Iskandar. 1997).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum petunjuk lapang yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Petunjuk lapang dibuat dengan menggunakan bahan dan peralatan yang mudah di dapatkan agar peserta dapat mengerti dan memahami serta mengaplikasikannya dengan mudah.

2. Petunjuk lapang berfungsi untuk membantu dalam melihat permasalahan yang sedang dihadapi, dimana petunjuk lapang tersebut berfungsi sebagai pedoman atau gambaran terhadap kondisi di sekitar lingkungan.

3. Petunjuk lapang ini yaitu dengan topik pengendalian penyakit cacar daun teh dengan cara hayati.

B. Saran

Seharusnya pada saat di jelaskan praktikan lebih kondusif kembali agar yang menjelaskan di depan dapat dengan tenang dan mudah di pahami.

DAFTAR PUSTAKA

Darmawijaya, M., 1985, Pedoman Teknis Budidaya Teh, Bagian Pengembangan Tanaman, Balai Penelitian Tanaman Teh dan Kina, Gambung.

Departemen Pertanian. 2000. Teknologi Produksi Kubis Bebas Residu (Bahan Kimia). Diakses dari http://www.deptan.go.id/kubis-3.htm. Pada 12 Oktober 2017 pukul 18.55.

Departemen Pertanian. 2009. Dasar-dasar Penyuluhan Pertanian. Modul Pembekalan Bagi THL-TB Penyuluh Pertanian 2009. Departemen Pertanian Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, Jakarta.

Dilts, R. 1992. Sekolah Lapangan: Suatu Upaya Pembaharuan Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu. Departemen Pertanian.

Dinarto, W. dan D. Astriani. 2005. Pengendalian Sitophilus spp. dengan Lada dan Cabai Rawit dalam Usaha Mempertahankan Viabilitas Benih Jagung dalam Penyimpanan. Proseeding Seminar Nasional dan Workshop Perbenihan dan Kelembagaan. 11 Nopember 2008. Fakultas Pertanian UPN ”Veteran” Yogyakarta. Hal III-74 – 80.

Grainge, M. & S. Ahmed. 1988. Handbook of Plants with Pest-Control Properties. John Wiley & Sons. Inc. Canada. 470 p.

Handayani, A.R. 2009. Uji Sitotoksin Ekstrak Petroleum Eter Herba Bandotan (Ageratum conyzoides L.) Terhadap sel T47D dan Profil Cromatografi Lapis Tipis. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Muhamadiyah Surakarta, Surakarta.

Iskandar, M. dan A. Kardinan. 1995. Manfaat Biji Saga (Abrus precatorius L.)

Sebagai Bahan Pengendali Hama yang Berwawasan Lingkungan. Prosiding

Seminar Peranan MIPA dalam Menunjang Pengembangan Industri dan

Pengelolaan Lingkungan.Universitas Pakuan, Bogor.

Kalshoven, I.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Revised and translate by D.A van der Laan. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Jakarta. 701 p.

Kardinan, A. 2002. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Cetakan ke-4. Penebar Swadaya, Jakarta. 88 hlm.

__________. dan M. Iskandar. 1997. Pengaruh Beberapa Jenis Ekstrak Tanaman

Sebagai Moluskisida Nabati Terhadap Keong Mas, Pomacea canaliculata.

Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. Vol. (2): 86-92.

Kartasapoetra AG. 1991. Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan. Bumi Aksara. Jakarta. 184-187.

Martono, B.; E. Hadipoentiyanti; dan U. Darno. 2004. Plasma nutfah insektisida nabati. Perkembangan Teknologi TRO. Vol. 16 (1): 43-57.

Maryani, I. 1995. Toksisitas Ekstrak Kasar Biji Sirsak (Annona muricata Linn.) dan Daun Saliara (Lantana camara Linn.) secara Tunggal Maupun Campurannya terhadap Larva Spodoptera exigua Hubner (Lepidoptera:

Noctuidae) pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum Linn.) di

Laboratorium. Tesis. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Bandung. Prijono, D. 1988. Pengujian Insektisida: Penuntun praktikum. Jurusan Hama dan

Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 144 hlm.

Rehena. 2010. Uji Aktivitas Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya. LINN) sebagai Antimalaria In Vitro. Jurnal Ilmu Dasar. Vol. 11 No. 1 (3): 96 –100.

Reithinger, R., C.R. Davies, H. Cadena, and B. Alexander. 2007. Evaluation of the Fungus Beauveria bassiana as a Potential Biological Control Agent Against Phlebotomine Sand Flies in Colombian Coffee Plantations. J. Invertebr. Pathol. Vol. 6 (70): 131−135.

Rusli, S. 1989. Perkembangan Penduduk dan Masalah Swasembada Pangan di Indonesia. Jurnal Mimbar Sosek, Nomor 3 Desember 1989. Jurusan Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Silverside, F.G. and K. Budgell. 2004. The Effect of Stored and Strain of Hen on Egg Quality. J. Poultry Sci. Vol. (13) 79:1725-1729.

Suharsono dan Y. Prayogo. 2005. Pengaruh Lama Pemaparan Pada Sinar Matahari Terhadap Viabilitas Jamur Entomopatogen Verticillium lecanii. Jurnal Habitat. Vol 16 (2): 122−131.

Syamsuhidayat, S.S. dan J.R. Hutapon. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (1). Departemen Kesehatan RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Van de Fliert, E. 1993. Integrated Pest Management Farmer Field School Generate Sustainable Practices, A Case Study in Central Java Evaluating IPM Training. Ph.D. Thesis. Wageningen Agricultural University. The Netherland.

Wanyoko, J. K. and P. O. Owour. 2005. Effect of Plantensities and Nitrogen Fertilize Rates on The Yield of Mature Seedling Kenya Tea. Tea. 16 (1): 14- 20.

Whitmore, T.C., 1975. Tropical Rain Forests of the Far East. Clarendon Press. Oxford.

Wudianto, R. 1992. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta. Zuriati, S. 1986. Identifikasi dan Seleksi Ketahanan Tanaman Teh (Camellia

sinensis) Terhadap Penyakit Cacar di Perkebunan PT. Pagilaran. Skripsi. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.

LAMPIRAN

Alat dan bahan yang digunakan pada saat petunjuk lapangan.

Dalam dokumen laporan Pengelolaan Hama dan Penyakit Ta (Halaman 142-154)

Dokumen terkait