• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGENDALIAN HAMA LALAT BUAH

Dalam dokumen laporan Pengelolaan Hama dan Penyakit Ta (Halaman 82-103)

PENGELOLAAN HAMA PENYAKIT TERPADU

PENGENDALIAN HAMA LALAT BUAH

Oleh: Kiki Seftyanis NIM A1D015024

Rombongan 4

PJ Asisten : Nung Siti Mukharomah

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Informasi tentang jumlah kerugian produksi dan kerusakan akibat lalat buah di banyak negara termasuk di Indonesia masih terbatas. Sebagai gambaran besarnya kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan lalat buah diberikan contoh seperti di Australia, dengan kerusakan diperkirakan mencapai 100 juta dolar AS atau 500 triliun rupiah per tahunnya apabila lalat buah ini tidak dikendalikan. Pengendalian bahkan memakan biaya yang lebih besar di area yang sebelumnya terbebas kemudian terserang lalat buah seperti di California yang dilaporkan oleh Dowell dan Wange (1986).

Delapan spesies lalat buah yang masuk dan menyerang pertanaman di sana telah mengakibatkan kehilangan hasil sebesar 910 juta dolar AS atau kira kira 7.000 triliun rupiah dengan biaya pengendalian sebesar 290 juta dolar AS atau 2.300 triliun rupiah. Upaya eradikasi lalat buah B. dorsalis dengan pelepasan jantan mandul di sebuah pulau kecil di Jepang telah menelan biaya sangat mahal, kira-kira 32 juta dolar AS atau 250 triliun rupiah, memperkerjakan 200.000 tenaga per hari (Adimihardja, 2000). Salah satu hama penting di bidang hortikultura yang saat ini menjadi isu nasional, karena selain menurunkan produksi juga menjadi faktor pembatas perdagangan (trade barrier) adalah hama lalat buah. Lalat buah yang banyak terdapat di Indonesia yaitu dari genus Bactrocera dan salah satu jenis yang sangat penting dan ganas yaitu Bactrocera dorsalis Hendel. complex (Hasyim et al., 2014).

Usaha pengembangan buah di Indonesia mengalami kendala yang cukup besar yaitu imulai dari penyediaan benih bermutu, saat budidaya hingga penanganan panen. Salah satu kendala yang dihadapi dalam pemenuhan kebutuhan buah saat budidaya adalah serangan hama lalat buah yang dapat menurunkan kualitas hasil buah karena kurang lebih 75% dari tanaman buah dapat diserang oleh hama ini. Hama lalat buah merupakan hama yang paling sulit untuk dihindarkan pada pertanaman bebuahan (Omoy dan Sulaksono, 2000). Oleh karena itu, dilakukan suatu praktikum pengendalian hama lalat buah guna untuk mengatasi hama lalat buah yang menyerang tanaman dengan konsep PHT.

B. Tujuan

Praktikum pengendalian lalat buah ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui teknik aplikasi feromon seks.

2. Mengetahui tingkat keberhasilan pengendalian hama lalat buah dengan menggunakan feromon seks (metyleugenol).

II. TINJAUAN PUSTAKA

Lalat buah merupakan salah satu hama yang banyak menyerang cabai, tomat, mangga, jeruk, belimbing, jambu, pisang, nangka, kelengkeng, dsb (Kalshoven 1981). Hama ini banyak menimbulkan kerugian di Jawa Timur baik secara kuantitas maupun kualitas dan pada tanaman mangga Arumanis dapat menyebabkan kerusakan sampai 90% (Omoy, 2000). Menurut (Hasyim et al., 2014), kerugian akibat serangan lalat buah pada komoditas hortikultura berkisar antara 20–60% tergantung dari jenis buah/sayuran, intensitas serangan dan kondisi iklim/musim.

Gejala serangan lalat buah ditandai oleh adanya bintik-bintik hitam pada permukaan kulit buah yang merupakan bekas tusukan ovipositor lalat buah betina dalam proses meletakkan telur dan telur berkembang menjadi larva di dalam buah. Larva lalat buah berkembang di dalam buah sehingga menyebabkan buah menjadi rusak atau busuk (Rosmahani, 2010). Kerusakan yang diakibatkan hama ini akan menyebabkan gugurnya buah sebelum mencapai kematangan yang diinginkan sehingga produksi baik secara kualitas maupun kuantitas menurun (Lengkong et al., 2011). Secara kuantitas, buah-buah muda atau sebelum matang akan rontok sehingga bisa mengurangi jumlah buah yang di panen. Secara kualitas buah- buahan akan busuk dan banyak belatungnya. Rerata kerugian akibat serangan lalat buah pada kelengkeng mencapai 51 kg per pohon (Subahar et al., 1999). Selain itu lalat buah juga merupakan vektor atau pembawa bakteri Escherichia coli dan

penyakit darah pisang (Mulyanti et al. 2008). Jika dalam komoditas hortikultura yang akan diekspor, khususnya ke Jepang terdapat satu butir telur lalat buah, seluruh komoditas akan ditolak (Kardinan 2009).

Sarwono (2003) mengatakan, bahwa keberadaan populasi baru lalat buah dapat dideteksi dengan melakukan surveillance untuk mengantisipasi kemungkinan masuknya lalat buah eksotik. Deteksi dapat dilakukan dengan menggunakan perangkap yang dipasang di pertanaman buah-buahan yang rentan terhadap serangan lalat buah. Misalnya imago Bactrocera spp., Dacus spp., dan Ceratitis spp. Dapat dikoleksi dengan pemasangan perangkap yang diberi atraktan berupa parapheromone untuk menarik lalat buah jantan di daerah potensi penyebaran.

Bactrocera dorsalis merupakan spesies kompleks di mana ditemukan kurang lebih 52 sibling spesies 3, 40 spesies dari genus Bactrocera telah di deskripsi sebagai spesies baru dan 8 spesies di antaranya secara ekonomis merupakan hama penting yang banyak merugikan tanaman buah dan sayuran di daerah Asia dan Asia Tenggara (Hardy, 1986). Lalat buah B. dorsalis memiliki skutum berwarna hitam, mesonotum (toraks tengah) hitam, pita lateral kuning pada mesonotum memanjang ke dekat rambut supra alar, 2 pasang rambut pada fronto orbital bagian dalam, dua rambut pada skutelum (scutellum) (b). Sayap hanya mempunyai pita hitam pada garis costa dan garis anal, tidak mempunyai noda-noda pada vena melintang (d). Abdomen sebagian besar berwarna merah pucat (coklat), terdapat pita hitam melintang pada tergit-2 dan tergit-3, pita hitam

sempit longitudinal membelah di tengah-tengah tergit 3-5 (c). Panjang: 4,5-4,7 mm (Cohen, 2007).

Sistem pengendalian lalat buah perangkap dengan atraktan juga sangat diperlukan dalam teknik pengendalian dengan menggunakan serangga/jantan mandul, sebelum pelepasan serangga mandul untuk menekan populasi jantan di alam (Cohen, 2007). Lalat buah Bactrocera spp. di pagi hari sering bergerombol menjilati bunga Bulbophyllum cheiri (fruit fly orchid), karena bunganya mengandung metil eugenol dan di sore hari mulai berkurang. Kandungan ME pada bunganya mencapai puncaknya pada pagi hari, dan mulai menurun sekitar jam 12-14, kemudian menghilang setelah jam 14 (Tan et al., 2002). Metil eugenol dikonsumsi oleh lalat jantan, kemudian di dalam tubuhnya diproses untuk menghasilkan sex pheromone yang diperlukan untuk menarik lalat betina (Suputa et al., 2004).

Cara pengendalian lalat buah yang ramah lingkungan sangat diperlukan, seperti penggunaan tanaman selasih di harapkan produk buah yang dihasilkan tidak tercemar bahan kimia yang berbahaya bagi konsumen terutama dari pestisida (Ranganath et al., 1997). Ketergantungan petani terhadap penggunaan insektisida sintetik untuk mengendalikan hama cukup tinggi, sehingga perlu segera diatasi dengan mencari alternatif pengendalian lain yang ramah lingkungan, terutama yang efektif, efisien, dan mudah diterapkan oleh petani di lapangan antara lain dengan menggunakan metal eugenol (ME) (Hee and Tan, 2001).

III. METODE PRAKTIKUM

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu eugenol, air, dan pohon kelengkeng di sekitar green house. Sedangkan alat yang digunakan dalam praktikum yaitu aqua bekas, kapas, benang, tali rafia, kantong, plastik, label, dan ATK.

B. Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan pada saat praktikum pengendalian hama lalat buah antara lain:

1. Praktikan dikelompokkan sesuai dengan rombongannya (tiap kelompok 4-5 mahasiswa).

2. Kapas yang telah diolesi larutan metil eguenol dimasukkan dalam botol aqua. 3. Alat tersebut dipasang pada tanaman kelengkeng.

4. Setiap dua kali sehari diamati selama 3 hari.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 1.8 Transek lalat buah pada tanaman kelengkeng B. Pembahasan

Selasih (Ocimum basilicum) banyak tumbuh liar di musim hujan pada lahan tegalan. Tanaman ini dapat menghasilkan minyak atsiri dengan aroma yang menyerupai sex pheromon pada serangga betina sehingga menarik serangga jantan khususnya hama lalat buah dan sayuran dari jenis Bactrocera dorsalis. Dengan kemampuan minyak atsiri yang berbahan aktif metil eugenol untuk menarik serangga jantan tersebut, maka tanaman ini berpotensi sebagai sebagai pengendali

Zulfitriany et al., (2004) mengatakan, bahwa tanaman selasih ini dapat menghasilkan minyak atsiri dengan aroma yang menyerupai sex pheromone seperti yang ada pada serangga betina sehingga menarik serangga jantan khususnya hama lalat buah (Bactrocera dorsalis) pada tanaman buah-buahan dan sayuran. Minyak selasih termasuk minyak atsiri atau essential oil, merupakan sisa metabolisme dalam tanaman. Minyak tersebut disintetis dalam sel kelenjar pada jaringan tanaman dan ada juga yang terbentuk dalam pembuluh resin dan mempunyai tiga jenis bahan aktif yang sudah di kenal yaitu eugenol yang dapat berfungsi sebagai fungisida, tymol yang dapat befungsi sebagai repellent (penghalau serangga) dan metil eugenol yang berfungsi sebagai atraktan (pemikat) hama lalat buah (Ibrahim dan Hashim, 1989).

Menurut Heath et al., (2007) menyatakan, bahwa kemampuan minyak atsiri yang berbahan aktif metil eugenol untuk menarik serangga jantan tersebut, maka tanaman berpotensi sebagai perangkap lalat buah jantan. Berkurangnya populasi lalat jantan menyebabkan lalat betina tidak bisa bertelur sehingga secara perlahan populasi lalat buah akan berkurang. Rendemen minyak selasih, kandungan bahan aktif dan persentasenya sangat bervariasi antarspesies. Menurut Guillén et al., (2009), kandungan perangkap nabati metil eugenol, pada tanaman selasih cukup tinggi, yaitu pada daun berkisar 64,5 % dan pada bunga dapat mencapai 71%. Besarnya rendemen tersebut sangat dipengaruhi umur tanaman dan rata-rata kandungan minyak selasih sekitar 0,18 – 0,23% (Herlinda et al., 2007).

Hasil penelitian Katsoyannos and Kouloussis (2001) menunjukkan bahwa penggunaan pestisida selasih sebagai atraktan untuk mengendalikan hama lalat

buah, dapat menurunkan penggunaan pestisida sebanyak 62%, menurunkan tingkat kerusakan buah-buahan sebesar 34% dan meningkatkan hasil sebesar 73%. Air suling selasih dengan kandungan metil eugenol sebesar 0,46% mampu memerangkap hama lalat buah selama satu minggu, setelah itu perlu aplikasi ulang pada setiap minggunya, sedangkan minyak selasih hasil petani dengan kandungan metil eugenol sebesar 77,9% mampu memerangkap hama lalat buah selama satu bulan, setara dengan minyak selasih yang diproses di Balittro dengan kandungan metil eugenol sebesar 73,6% dan lebih baik daripada atraktan lalat buah komersial yang mengandung metil eugenol sebesar 75%. Lalat buah yang terperangkap didominasi oleh spesies Bactrocera dorsalis (97%) dan sisanya adalah Bactrocera umbrosus (3%) serta didominasi oleh lalat buah berkelamin jantan.

Cara memperoleh tanaman selasih menurut Muryati et al., (2008) yaitu dengan menanam salah satu tanaman tersebut disekitar lahan, maka diharapkan dapat mengurangi serangan lalat buah secara signifikan. Ketersediaan minyak selasih sebagai atraktan lalat buah sangat diperlukan karena sampai saat ini atraktan nabati tersebut belum tersedia secara luas di pasaran. Tanaman selasih mudah didapatkan dan dibudidayakan karena mampu beradaptasi dengan berbagai lingkungan. Ada beberapa jenis selasih yang berkembang di masyarakat, namun jenis selasih merah dan hijau dengan tipe bunga dompol mempunyai kandungan metil eugenol paling tinggi dibanding jenis yang lain. Guna memproduksi ekstrak selasih, tanaman yang biasanya tumbuh liar perlu dibudidayakan untuk

meningkatkan produksi selasih sehingga diperoleh ekstrak yang lebih banyak (Shahabuddin, 2011).

Guna memproduksi ekstrak selasih, tanaman yang biasanya tumbuh liar perlu dibudidayakan untuk meningkatkan produksi selasih sehingga diperoleh ekstrak yang lebih banyak. Proses pembuatan ekstrak selasih mudah dilakukan dengan cara. Penyulingan daun dan bunga yang dipanen pada umur 3–4 bulan. Panen dipangkas di atas pangkal tanaman agar dapat tumbuh lagi untuk panen kedua dan ketiga. Hasil panenan daun dan bunga dikeringanginkan 1–2 hari, kemudian disuling untuk menghasilkan minyak selasih. Setiap 1 kg hasil panen selasih bisa menghasilkan 6–8,5 ml minyak selasih (Tobing et al., 2005).

Salah satu hama penting di bidang hortikultura yang saat ini menjadi isu nasional, karena selain menurunkan produksi juga menjadi faktor pembatas perdagangan (trade barrier) adalah hama lalat buah. Lalat buah yang banyak terdapat di Indonesia yaitu dari genus Bactrocera dan salah satu jenis yang sangat penting dan ganas yaitu Bactrocera dorsalis Hendel. complex. Disebut kompleks karena terakhir diketahui di Indonesia sebagai B. papayae Hendel dan B. carambola Hendel yang satu dengan lainnya sulit dibedakan secara kasat mata (SIWI et al., 2006). Intensitas serangan lalat buah di Jawa Timur dan Bali menunjukkan variasi yang cukup besar, yaitu antara 6,4 - 70% (Sarwono, 2003). Untung (2006) menyatakan bahwa intensitas serangan lalat buah pada manga maupun kelengkeng berkisar antara 14,8%-23%, namun tidak jarang kerusakan yang diakibatkan lalat buah khususnya pada belimbing dan jambu biji dapat mencapai 100%.

Kalie (1992) menyatakan, bahwa pada umumnya kebun kelengkeng yang dimiliki petani berasal dari kebun campuran, dengan masalah utama berupa serangan hama lalat buah yang mengakibatkan kerugian antara 11% hingga 25%, bahkan ada pula yang mencapai 50%. Upaya pengendalian beragam dari yang menggunakan insektisida sintetis, kebersihan kebun, dibiarkan dan sebagian petani memanfaatkan selasih yang sudah dilaksanakan secara turun temurun (kearifan lokal). Hal ini yang menyebabkan penurunan produksi pada buah.

Pengendalian paling efektif pada lalat buah yaitu dengan penggunaan metil eugenol yang di pasang pada perangkap. Cara aman mengurangi serangan lalat buah adalah dengan menurunkan populasi hama di lapang melalui perangkap yang mengandung metil eugenol. Metil eugenol (C12H24O2) diketahui bersifat atraktan atau penarik hama lalat buah jantan. Penggunaan metil eugenol sebagai atraktan untuk pengendalian lalat buah dilakukan dengan teknik perangkap. Perangkap atraktan metil eugenol yang dipasang di sekitar pertanaman untuk menangkap lalat jantan supaya lalat betina tidak dapat berkembang biak sehingga dapat mengurangi populasi lalat buah (Lengkong et al. 2011). Cara ini dianggap efektif, ramah lingkungan dan tidak meninggalkan residu dalam komoditas yang dilindungi. Menurut Omoy et al. (1997) penurunan populasi lalat buah dengan metil eugenol mencapai 90–95%.

Rukmana (2011) mengatakan, bahwa dua anggota dari Bactrocera dorsalis Kompleks ini memiliki hubungan taksonomi yang sangat erat yaitu Bactrocera carambolae dan Bactrocera papayae. Kedua spesies tersebut merupakan klasifikasi ulang dan dinyatakan sebagai spesies baru (Azmal dan Fitriany, 2006).

Berdasarkan revisi taksonomi tersebut ada beberapa perbedaan yang mendasar dari ciri morfologi keduanya, yaitu:

1. Pola pita costal sayap pada apex R4+5.

2. Adanya spot hitam pada femur depan lalat betina.

3. Pola pita melintang warna hitam pada tergit III-V di abdomen.

B. dorsalis (Hendel) terkenal dengan nama Oriental fruit fly yang merupakan sinonim dari B. ferrugineus dan B. conformis. Spesies ini sebelumnya dikenal sebagai Chaetodacus dorsalis (Hendel), C. ferrugineus dorsalis (Hendel), C. ferrugineus okinawanus Shiraki, Dacus dorsalis Hendel, dan Strumeta dorsalis (Hendel). Pada saat ini, telah diketahui bahwa B. dorsalis merupakan spesies kompleks di mana ditemukan kurang lebih 52 sibling spesies3, 40 spesies dari genus Bactrocera telah di deskripsi sebagai spesies baru dan 8 spesies di antaranya secara ekonomis merupakan hama penting yang banyak merugikan tanaman buah dan sayuran di daerah Asia dan Asia Tenggara (Kardinan et al., 2009).

Menurut Epsky (1995) menjelaskan, bahwa B. dorsalis memiliki skutum berwarna hitam, mesonotum (toraks tengah) hitam, pita lateral kuning pada mesonotum memanjang ke dekat rambut supra alar, 2 pasang rambut pada fronto orbital bagian dalam, dua rambut pada skutelum (scutellum) (b). Sayap hanya mempunyai pita hitam pada garis costa dan garis anal, tidak mempunyai noda- noda pada vena melintang (d). Abdomen sebagian besar berwarna merah pucat (coklat), terdapat pita hitam melintang pada tergit-2 dan tergit-3, pita hitam sempit longitudinal membelah di tengah-tengah tergit 3-5 (c). Panjang: 4,5-4,7 mm.

Mulyahandaka (1989) mengatakan, bahwa ciri khas spesies B. dorsalis ini hampir sama dengan spesies Dacus (Bactrocera) pedestris, sehingga di antara spesies dorsalis dan pedestris hampir selalu mengalami kekeliruan identifikasi. Berbeda dengan B. dorsalis, B. pedestris mempunyai muka dengan 2 spot hitam, daerah spirakel dan koksa (coxa) berwarna hitam, pita hitam pada garis costa tidak memanjang ke bawah pada vena R2+3 kecuali pada apeks sayap. Femur berwarna kuning.

Pengamatan lalat buah pada kelengkeng setiap pagi dan sore di lakukan di pohon kelengkeng dekat screen house perangkap botol metil eugenol yang telah di buat di gantung pada pohon. Hari ke 1 pada pagi pukul 09:03 lalat yang hidup 0 sedangkan yang mati, kemudian pada sore pukul 15:24 lalat yang hidup 1 dan yang mati 2. Hari ke 2 pengamatan pada pagi pukul 07:21 lalat yang hidup 2 dan yang mati sebanyak 12 sedangkan sore pukul 15:46 yang mati 12 dan yang hidup 2. Hari ke 3 pengamatan pagi pukul 08:57 lalat buah yang mati 12 dan hidup 1 kemudian sore pukul 16:08 lalat buah yang hidup 0 dan yang mati 12.

Sesuai dengan pendapat Yolanda (2014), bahwa lalat buah yang terperangkap dalam botol adalah imago jantan. Zat pemikat berbahan aktif Metyl eugenol tergolong food lure, artinya lalat jantan tertarik datang untuk keperluan makan, bukan untuk seksual. Setelah dimakan maka Metyl eugenol akan diproses dalam tubuh lalat jantan untuk menghasilkan feromon seks yang diperlukan saat perkawinan guna menarik lalat betina. Penempatan perangkap dapat ditempatkan di sekeliling pertanaman untuk menghindari lalat buah masuk ke dalam pertanaman. Penggunaan perangkap dilakukan dengan menggunakan perangkap

beratraktan yang dapat mengeluarkan bau atau aroma makanan lalat buah seperti aroma buah atau feromon seks. Contoh atraktan yang dapat digunakan adalah metil eugenol dan cue lure.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1. Perangkap dibuat dari botol air mineral 600-1500 ml. Tutup botol dilubangi

untuk memasukan tali rafia. Pada bagian tengah botol diikatkan segumpal kapas yang ditetesi dengan metil eugenol. Lalat yang masuk ke dalam botol akan terperangkap dan mati.

2. Perangkap yang dipasang pada pertanaman kelengkeng berhasil menangkap lalat buah sebanyak 12 yang mati.

3. Penggunaan metil eugenol sangat menguntungkan hanya diberi 2 tetes pada kapas dapat digunakan dalam jangka waktu yang cukup lama.

B. Saran

Sebaiknya pada saat pengamatan asisten praktikum lebih menjelaskan kembali bagaimana prosedur yang harus dilakukan agar hasil data yang di dapatkan sesuai.

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, K. 2000. Mendayagunakan Kearifan Tradisi dalam Pertanian Yang Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan. Humaniora Utama Press. Bandung, p.3-13.

Azmal AZ, dan Fitriany. 2006. Surveilans Distribusi Spesies Lalat Buah Di Kabupaten Belitung Bactrocera sp (Diptera: Tephritidae) Pada Tanaman Cabe. Eugenia. Vol. 17 (2): 121-127.

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 18 No. 1, ISSN. 0216-4418. biji dan cabai merah di Kabupaten Brebes. J. Hort. Vol. 1 (2): 124-129.

Cohen, H. 2007. Development and Evaluation of Improved Mediterranean Fruit Fly Attractant in Israel. Proc. Of a Final Research Coord. Meeting. FAO and IAEA (Int.Atomic Energy Agency). 7 pp.

Epsky, N. D., R. R. Heath, A. Guzman, and W. L. Meyer. 1995. Visual Cue and Chemical Cue Interactions in a Dry Trap with Food-Based Synthetic Attractant for Ceratitis capitata and Anastrepha ludens (Diptera: Tephritidae). Environ Entomol. Vol. 7 (24):1387-1395.

Guillén GL, Virgen A. and Roja JC. 2009. Color Preference of Anastrepha obliqua (Diptera, Tephritidae). Revista Brasileira de Entomologia. Vol. 53 (1): 157-159.

Hardy, D.E. 1986b. The Adramini of Indonesia, New Guinea and Adjacent Islands (Diptera: Tephritidae: Trypetinae). Proceedings of the Hawaian Entomological Society. Vol. 27 (2): 53-78.

Hasyim, A, Setiawati, W & Liverdi, L. 2014. Teknologi Pengendalian Hama Lalat Buah dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Litbang.

Heath RR, Epsky ND, Kendra PE, Mangan R. 2007. Fruit Fly Trapping And Control — Past, Present And Future. In. Proceedings of a Final Research Coordination Meeting Organized by the Joint FAO/IAEA Programme of Nuclear Techniques in Food and Agriculture and held in Vienna, 5-7 May 2005.

Hee, A.K. and K.H. Tan. 2001. Transport of Methyl Eugenol Derivat Sex Pheromonal Component in Male Fruit fly Bactrocera dorsalis. Journal of Chemical Ecology. Vol. 27 (1): 5.

Herlinda, Mayasari RK, Adam T, dan Pujiastuti Y. 2007. Populasi dan Serangan Lalat Buah Bactrocera Dorsalis (Hendel) (Diptera: Tephritidae) serta Potensi Parasitoidnya pada Pertanaman Cabai (Capsicum annuum l.). Seminar Nasional Dan Kongres Ilmu Pengetahuan Wilayah Barat, Palembang, 3-5 Juni 2007.

Ibrahim AG, dan Hashim AG, 1989. Efficacy of Methyl-eugenol as Male Attractant for Dacus dorsalis Hendel (Diptera: Tephritidae). Pertanika. Vol. 3 (2): 108-112.

Kalie MB. 1992. Mengatasi Buah Rontok, Busuk, dan Berulat. Penebar Swadaya. Jakarta.

Kardinan A, Bintoro MH, Syakir M, dan Amin A. 2009. Penggunaan Selasih dalam Pengendalian Hama Lalat Buah pada Mangga. J. Littri. Vol. 15(3): 101 – 109.

Kardinan, A 2009, Prospek Minyak Daun Melaleuca braceata Sebagai Pengendali Hama Lalat Pada Buah (Bactrocera dorsalis) di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 1 (2): 34-37.

Katsoyannos BI and Kouloussis NA. 2001. Capture of the Olive Fruit-fly, Bactrocera oleae on Spheres of Different Colors. Entomol. Exp. et Appl. 100:165-172.

Lengkong, M, Rante, CS, & Meray, M. 2011. Aplikasi MAT dalam Pengendalian Lalat Buah dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Belitung Timur. Stasiun Karantina Tumbuhan Tanjung Pandan. Available at http://www.ditlin.hortikultura. Diakses pda 12 Oktober 2017 pukul 19.00. Mulyahandaka. 1989. Fluktuasi Populasi Lalat Buah Dacus dorsalis Hendel

(Diptera: Tephritidae) Pada Tanaman Mangga (Mangifera indica L.) di Kebun Percobaan Cukurgondang Pasuruan. Skripsi, Fak. Pertanian Univ. Brawijaya. 56 hlm.

Mulyanti, N, Suprapto & Hendra, J. 2008. Teknologi Budidaya Pisang. Balai Besar Pengkajian.

Muryati, Hasyim A, Riska. 2008. Preferensi Spesies Lalat Buah terhadap Atraktan Metil Eegenol dan Cue Lure dan Populasinya Di Sumatera Barat dan Riau. J. Hortikultura. Vol. 18 (2): 227-233.

Omoy, TR & Sulaksono, S. 2000. Evaluasi Kerusakan Lalat Buah Pada Tanaman Mangga, Jambu. Pasca Sarjana ITB. Bandung.

Ranganath, H.R., M.A. Suryanarayana, and K. Veenakumari. 1997. Management of Melon Fly (Bactrocera (Zeugodacus) cucurbitae Coquillett) in Cucurbits in South Andaman. Insect Environment. Vol. 3 (2): 32-33.

Rosmahani, L. 2010. Minyak Selasih (Ocimum tenuiflorum) Sebagai Komponen Pengendali Populasi Lalat Buah Mangga Pada Pertanian Organic. Seminar Nasional Isu pertanian organic dan tantangannya. Ubud 12 Agustus 2010, BBP2TP Bekerjasama dengan Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan Universitas Udayana Denpasar dan Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gianyar, Hlm. 248-252.

Rukmana, R. 2011. Selasih Potensi dan Prospeknya. CV Aneka Ilmu. Jakarta. Sarwono. 2003. PHT Lalat Buah Pada Mangga. Pros. Lokakarya Masalah Kritis

Pengendalian Layu Pisang, Nematode Sista Kuning pada Kentang dan Lalat Buah. Puslitbang Hortikultura. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian. Litbang Pertanian, BPTP-Jatim. p.142-149.

Shahabuddin. 2011. Efektivitas Ekstrak Daun Wangi (Ocimum Sp.) dan Daun Wangi (Melaleuca bracteata L.) Sebagai Atraktan Lalat Buah Pada Tanaman Cabai. Jurnal Agroland. Vol. 18 (3): 201-206.

Subahar, TS, Sastrodihardjo, S, Lengkong, M, & Suhara. 1999. Kajian

Dalam dokumen laporan Pengelolaan Hama dan Penyakit Ta (Halaman 82-103)

Dokumen terkait