• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.5 Metode Tahapan Kerentanan Populasi

Adapun tahapan analisis kerentanan populasi D.coriacea digambarkan dalam dua pendekatan yaitu pendekatan sebelum kajian dan pendekatan sesudah pengumpulan data. Masing-masing pendekatan mengarahkan pada kajian kerentanan populasi penyu belimbing seperti keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif. Selanjutnya penentuan nilai indeks kerentanan dan keberlanjutan Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun dimana Penyu Belimbing berperan sebagai indikator utama yang terinci dalam tahapan penelitian kerentanan populasi yang diadopsi dari Fuentes et al. (2010). Tiap tahapan berdasarkan framework kerentanan lingkungan atau ekologi perubahan iklim yang

dikeluarkan oleh Internalgoverment Panel of Climate Change (IPCC 2000, Turner et al. 2003; Mettzger et al. 2005; Schroter et al. (2005) in Fuentes et al. (2010) yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan penelitian. Berikut ini adalah penjelasan tiap tahapan dari kerentanan populasi Penyu Belimbing.

Tahap 1 :

Tahap pertama dititikberatkan untuk mengidentifikasi isu, masalah lingkungan dan sosial antropogenik yang berdampak terhadap populasi berdasarkan penelitian di Jamursba medi dan Warmon.

Tahap 2 :

Pada tahapan kedua, mengidentifikasi penyebab kerentanan berdasarkan faktor lingkungan, faktor sosial antropogenik. Faktor lingkungan mengkaji perubahan suhu pasir, kenaikan muka laut dan perubahan morfologi pantai, dan laju predasi terhadap telur (Fuentes et al. 2010). Faktor sosial antropogenik adalah konsumsi telur dan daging, kegiatan perikanan (bycatch), persepsi stakeholder tentang konservasi penyu.

Tahap 3 :

Tahapan ketiga adalah menghitungi nilai kerentanan (indeks vurnerability=VI). Konsep dan pendekatan kerentanan populasi Penyu Belimbing berdasarkan tiga fungsi kerentanan adalah

a. Keterpaparan menjelaskan suatu kondisi dimana populasi penyu belimbing terhadap faktor lingkungan dan faktor antropogenik. Faktor lingkungan yang berpeluang terbuka terhadap populasi penyu belimbing adalah predasi, perubahan morfologi pantai, kenaikan muka air laut yang berimplikasi pada kerusakan sarang penyu menyebabkan kegagalan penetasan dan musim monsun yang bersamaan antara kegiatan perikanan dan musim peneluran. Faktor sosial antropogenik meliputi pengambilan telur, tangkapan masyarakat dan kegiatan perikanan yang tidak selektif.

b. Kepekaan menjelaskan tentang populasi penyu belimbing yang sensitif terhadap faktor lingkungan dan faktor antropogenik. Faktor lingkungan diantaranya perubahan suhu pasir yang memberi dampak terhadap gagal tetas telur penyu belimbing dan ketidakstabilan seksualitas dari tukik yang dihasilkan. Populasi penyu peka terhadap perubahan pantai akibat kenaikan

muka laut menyebabkan area pantai terendam air dan area peneluran hilang akibat abrasi. Populasi penyu belimbing juga peka terhadap predasi telur penyu oleh babi hutan disepanjang pantai peneluran. Faktor sosial antropogenik juga memberikan tekanan terhadap populasi seperti konsumsi telur dan daging oleh masyarakat serta tangkapan sampingan dari kegiatan perikanan.

c. Kapasitas Adaptif menjelaskan suatu bentuk adaptasi yang dilakukan oleh manusia untuk mempertahankan populasi penyu belimbing. Kapasitas adaptif tidak hanya berhubungan dengan ekologi tetapi juga sosial. Beberapa variabel dalam kapasitas adaptif adalah persepsi masyarakat terhadap kegiatan konservasi yang telah dilakukan dalam kurun waktu tertentu, adanya potensi konflik yang berhubungan hak ulayat tetapi juga konflik ketika adanya pembatasan dalam pemanfaatan terhadap penyu. Selain konflik, peran pemerintah juga menjadi variabel penentu dalam fungsi kapasitas adaptif.

Model kumulatif dari indeks kerentanan populasi penyu belimbing di Jamursba Medi dan Warmon digambarkan pada Gambar 14 (Fuentes et al. 2010) :

Model kerentanan untuk setiap kategori kerentanan akan diidentifikasi untuk menentukan variabel yang menjadi bagian dalam kategori kerentanan populasi penyu belimbing. Identifikasi pada kategori tersebut dijabarkan pada Tabel 4 berikut ini.

Keseluruhan Kerentanan (VI) Populasi penyu belimbing Keseluruhan faktor lingkungan dan sosial antropogenik =

Keterpaparan (K) misal : perubahan morfologi pantai, tingkat predasi dan aktivitas perikanan.

Kepekaan (S) :mis:perubahan suhu pasir yang memberikan pengaruh nyata terhadap keberhasilan tetas telur penyu belimbing.

Kapasity Adaptive (AC) : mis: kemampuan adaptasi penyu belimbing terhadap perubahan lingkungan.

Gambar 14. Model indeks kerentanan dan kategori kerentanan untuk menilai kerentanan populasi penyu belimbing terhadap faktor lingkungan dan sosial antropogenik ( Fuentes et al.

Tabel 4. Identifikasi kategori kerentanan keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif dari faktor lingkungan dan sosial antropogenik dalam menilai kerentanan populasi penyu belimbing.

Dimensi Kerentanan Faktor Lingkungan Faktor sosial antropogenik Keterpaparan Kemiringan pantai Pengambilan telur penyu

Kenaikan muka laut Laju tangkapan oleh masyarakat

Variasi Suhu pasir Monsun

Laju predasi

Kepekaan Suhu pasir Konsumsi telur

Tekstur pasir Konsumsi daging

Kedalaman sarang Laju tangkapan

sampingan

(bycatch) dari kapal perikanan

Kapasitas adaptif Pembuatan sarang relokasi Persepsi masyarakat Perlindungan habitat peneluran Potensi konflik

Peran pemerintah

Tahap 4 :

Tahap empat menjelaskan pemberian ranking dan pembobot untuk masing masing variabel. Pendekatan ini adalah pendekatan yang menyatakan nilai nilai sebagai nilai bobot dari suatu variabel. Bossel (1999) in Fuentes et al. (2010), menyatakan bahwa untuk menghasilkan sebuah indeks tunggal, keragaan data dan indikator perlu distandarisasi dalam suatu unit yang sama. Konsep ini banyak dilakukan dengan mereduksi seluruh komponen kesuatu nilai skoring pada beberapa tingkatan. Terdapat banyak penelitian yang menggunakan pendekatan ini untuk menentukan indeks suatu objek. SOPAC (1999) menggunakan 7 tingkatan (1-7), Doukakis (2005) dan Rao et al. (2008) in Fuentes et al. (2010), menggunakan 5 tingkatan (1-5). Untuk memaknai setiap nilai skor tersebut, baik SOPAC (1999), Doukakis (2005) maupun Rao et al. (2008) in Fuentes et al. (2010), memberikan definisi dari setiap skor (Tabel 5). Skala 1-7 yang dikemukakan SOPAC (1999) memiliki nilai tengah yang disebut dengan rata-rata dan nilai minimum dan maksimum sebagai batas bawah dan batas atas. Adapun Doukakis (2005) dan Rao et al. (2008) in Fuentes et al. (2010), menggunakan nilai tengah sebagai nilai sedang, nilai terendah dan tertinggi sebagai batas bawah dan batas atas.

Tabel 5. Contoh ranking dan skala Nilai ranking 1 2 3 4 5 6 7 SOPAC (1999) The lowest Incidenc e average Significantl y less than average Slightly less than average Averag e Slightl y more than averag e Significantl y more than average The highest incidenc e possible Daukaki

s (2005) Very low Low Moderat

e High

Very

hig - -

Penentuan nilai parameter pada setiap tingkatan skala diatas, menurut SOPAC (1999) in Fuentes et al. (2010), menggunakan 6 model, yaitu linear effect, diminishing marginal effect, increasing marginal effect, s-shaped effect, discountinous dan part scale. Model linear effect memberikan nilai-nilai parameter secara sama kedalam 7 tingkatan. Dalam mengembangkan konsep indeks kerentanan populasi, penentuan skala mengacu kepada pendekatan yang dikemukakan Doukakis (2005) dan Rao et al. (2008) in Fuentes et al. (2010). Hal ini dilandasi alasan kemudahan dalam mendefiniskan ranking setiap variabel. Selain itu, sebagian besar variabel yang digunakan dalam mengkonstruksi indeks kerentanan sama dengan yang digunakan Doukakis (2005) dan Rao et al. (2008)

in Fuentes et al. (2010). Dengan mengacu pada pendekatan tersebut dimana pembagian nilai nilai parameter dilakukan merata atau sama yaitu 5 tingkatan untuk penentuan nilai ranking seperti penentuan nilai skala untuk kenaikan muka laut, sebagaimana terdeskripsikan pada Tabel 5, 6 dan 7.

Teknik penentuan pembobotan untuk tiap variabel dari ketiga kategori kerentanan (keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif) dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu pemberian bobot secara langsung berdasarkan signifikansi setiap variabel terhadap kerentanan populasi penyu belimbing (Daukakis 2005), penentuan bobot dengan matriks perbandingan Villa dan Mcleod (2003); Hossain (2001) in Tahir (2010) dan pendekatan dengan analisis regresi linear. Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan mengacu pada pendekatan pemberian bobot secara langsung berdasarkan signifikan dari setiap variabel terhadap kerentanan populasi.

Tabel 6. Sistem skala dan ranking kerentanan populasi penyu belimbing terhadap faktor lingkungan dan sosial antropogenik untuk kategori keterpaparan.

Variabel 1 2 Nilai Ranking 3 4 5 Sumber Keterpaparan

Kenaikan muka laut

(mm/tahun) ≤4.λλ 5-9.99 10-14.99 15-25 >25 Tahir. 2010 Variasi suhu pasir (C0) ≤22 24-28 28-33 33-34 >34 Modifikasi Fuentes et

al 2010 Kemiringan (%) 0-8 9-15 15.1-25 25.1-40 >40 Tahir 2005 Predasi sarang <10 15-25 25-45 45-65 >65 Modifikasi Sugiarto et

al (ip) Monsun (knott/jam) 0 – 2 3 – 4 5- 6 7 – 8 9 10 Modifikasi informasi lokal Pengambilan telur (sarang/KK/kampung/musi

m peneluran) * ≤1 2-5 6-9 10-14 >14 Modifikasi Informasi lokal Tangkapan masyarakat (ekor/KK/trip/musim peneluran) ≤ 3 4-6 7-9 10-12 >13 Modifikasi Informasi lokal

Variabel dalam kategori kepekaan kerentanan populasi penyu belimbing terdiri dari enam variabel penyusun seperti tertera pada Tabel 7.

Tabel 7. Sistem skala dan ranking kerentanan populasi penyu belimbing terhadap faktor lingkungan dan sosial antropogenik untuk kategori kepekaan

Variabel 1 2 Nilai Ranking 3 4 5 Sumber

Kepekaan Suhu (C0) ≤27 28 29 30 31 Modifikasi Fuentes, 2010 Tekstur pasir (phi/nm) Sangat halus (0.0625 -0.125) Halus (0.125-0.25) Sedang (0.25-0.5) Kasar (0.5-1) Sangat Kasar (1-2) Udden 1914 dan Wenwoord 1992 Kedalaman sarang (cm) <70 70-80 80-90 90-100 >100 Modifikasi Leslie et al. 1996 Konsumsi telur (butir/sarang/KK/kampung /musim peneluran) * ≤40 40-60 60-80 80-100 >100 Modifikasi Informasi lokal Konsumsi daging (kg/KK/kampung/musim peneluran) * ≤ 2 2-4 4-6 6-8 >8 Modifikasi Informasi lokal 2011 Tangkapan sampingan

(ekor/ /kapal/trip) ≤ 5 5-10 10-15 15-20 > 20 Zainudin et al. 2006

Selanjutnya untuk kategori kapasitas adaptif terdiri dari lima variabel penyusun populasi kerentanan yang ditampilkan dalam bentuk skala dan ranking seperti pada Tabel 8.

Tabel 8. Sistem skala dan ranking kerentanan populasi Penyu Belimbing terhadap faktor lingkungan dan sosial antropogenik untuk kategori kapasitas adaptif

Variabel 1 2 Nilai Ranking 3 4 5 Sumber

Kapasitas Adaptasi Sarang relokasi (sarang/pantai/musim peneluran) <10 20-30 30-40 40-50 >50 Modifikasi Tutle et al. 2010 Perlindungan habitat (proporsi terhadap habitat peneluran) 0 1-10 11-25 26-40 >50 Modifikasi Tahir 2010 Persepsi masyarakat Sangat

baik Baik Sedang Kurang baik Buruk

Modifikasi WWF 2010

Potensi konflik Tidak

ada Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi

Konsultasi pribadi dengan pembimbing Peranan Pemerintah Tidak

ada Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi

Konsultasi pribadi dengan pembimbing

Tahap 5 :

Tahap kelima adalah penetapan nilai keseluruhan dari kategori kerentanan populasi. Nilai kerentanan populasi dari faktor lingkungan dan sosial antropogenik merupakan fungsi dari indeks keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif. Penetapan nilai indeks pada masing masing dimensi dilakukan dengan menghitung nilai dari masing masing variabel yang termasuk dalam dimensi kerentanan. Nilai dari masing masing kategori tersebut kemudian distandarisasi dan dikompositkan untuk memperoleh nilai indeks dari masing kategori.

Tahap 6 :

Tahap enam adalah tahapan untuk menghitung nilai dari masing masing kategori kerentanan tiap variabel untuk memperoleh nilai total kerentanan populasi penyu belimbing. Setelah nilai total kerentanan total diketahui maka akan diklasifikasikan berdasarkan level kerentanan mulai dari kerentanan rendah, kerentanan sedang, kerentanan tinggi dan kerentanan sangat tinggi.