Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di area terumbu karang bagian barat Pulau Morotai Provinsi Maluku Utara. Kawasan terumbu karang di lokasi penelitian merupakan tipe terumbu karang penghalang (barrier reef), dan terbentang memanjang kurang lebih 20 km dari utara ke selatan, terdapat 12 pulau-pulau kecil (Gambar 3). Tiga pulau diantaranya berpenghuni yaitu P. Ngelengele Besar, P. Galogalo Besar dan P. Kolorai, sedangkan pulau lainnya tidak berpenghuni. Kegiatan penelitian terdiri dari persiapan peralatan, pengumpulan data, pengolahan data dan penyusunan disertasi dimulai dari bulan September 2012 sampai September 2014. Pengamatan dan pengumpulan informasi ekosistem terumbu karang dilaksanakan selama bulan Oktober 2012.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari perangkat keras pengolahan data, perangkat lunak dan peralatan pengambilan data di lapangan. Perangkat keras yang digunakan untuk pengolahan data adalah Personal Computer prosesor Intel Core i7, RAM 8 GB, media penyimpanan 1 TB. Perangkat lunak digunakan untuk membantu proses pengolahan data terdiri dari: Microsoft Office 2013, modul pengolahan data statistik XLSTAT 2014, Coral Point Count with Excel Extention (CPCe 4.1), DNR Garmin Versi 5.4, ERDAS ER Mapper 2014, ERDAS IMAGINE 2014, ArcGIS Desktop 10, ENVI ver 5.2 dan Object Based Image Processing.
Peralatan yang digunakan untuk pengumpulan data lapangan terdiri dari peralatan perekaman data koordinat, pengambilan data substrat dasar perairan dangkal, dokumentasi dan pencatatan data (Tabel 1).
Tabel 1 Peralatan penelitian
No Peralatan Parameter
1 2
GPS Garmin 60CXs Pelampung
Pengumpulan data koordinat : Ground truth habitat
3 4 5 6 7 8
Peralatan SCUBA diving
Transek kuadran (1 x 1m) Meteran rol 50 m
Kamera bawah air Canon Powershot G12 + Housing underwater
Echosounder Garmin 250C
Pengambilan data habitat terumbu karang
Pengukuran kedalaman 9 Kamera SONY superstady shot DSC-
W170 + Housing underwater
Dokumentasi
10 Underwater slater dan Underwater
paper
Pencatatan data
Bahan yang digunakan adalah citra satelit multispektral Landsat dan Orbview-3. Citra Landsat digunakan untuk klasifkasi dan deteksi perubahan, sedangkan Orbview-3 digunakan untuk membantu interpretasi secara visual dalam penentuan rancangan survey lapangan. Citra Landsat dan Orbview-3 diperoleh secara gratis diunduh pada website USGS GloVis (http://glovis.usgs.gov/).
Citra satelit Landsat dikumpulkan dari generasi berbeda yaitu Landsat 5TM, Landsat 7ETM+ dan Landsat 8OLI pada lembar perekaman path 109 dan row 059 meliputi sebagian wilayah kabupaten Pulau Morotai dan kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara (Gambar 4). Seluruh citra Landsat yang diunduh merupakan data Level 1/L1 (Terain Corrected) yang telah terkoreksi secara geometrik. Landsat 5TM diperoleh dengan tanggal perekaman data 30 Juli 1996, Landsat 7ETM+ tanggal 23 Juli 2002 dan Landsat 8OLI tanggal 17 Oktober 2013. Karakteristik citra Landsat disajikan pada Tabel 2.
12
Gambar 4 Scene citra Landsat Path 109 Row 059 Tabel 2 Karakteristik citra Landsat
Sensor Nama Band Kisaran Panjang Gelombang (µm) Resolusi Spasial (m) Landsat 5TM B1= Biru B2= Hijau B3= Merah B4= IM Dekat B5= IM Menengah B6= Termal IM B7= IM Menengah 0,45-0,52 0,52-0,60 0,63-0,69 0,76-0,90 1,55-1,75 10,40-12,50 2,80-2,23 30 30 30 30 30 120 30 Landsat 7ETM+ B1= Biru
B2= Hijau B3= Merah B4= IM Dekat B5= IM Menengah B6= Termal IM B7= IM Menengah B8= Panchromatic 0,45-0,52 0,52-0,60 0,63-0,69 0,76-0,90 1,55-1,75 10,40-12,50 2,80-2,23 0,45-0,90 30 30 30 30 30 60 30 15 Landsat 8OLI B1= Aerosol
B2= Biru B3= Hijau B4= Merah B5= IM Dekat B6= SWIR B7= SWIR B8= Panchromatic B9= Cirrus B10= TIRS B11= TIRS 0,43-0,45 0,45-0,51 0,53-0,59 0,64-0,67 0,85-0,88 1,57-1,65 2,11-2,29 0,50-0,68 1,36-1,38 10,60-11,19 11,50-12,51 30 30 30 30 30 30 30 15 30 100 100
Citra satelit Orbview-3 terdiri dari dua dataset dengan tanggal perekaman 20 Juni 2006 dan 2 Maret 2007 (Gambar 5). Citra Orbview-3 tersedia secara terpisah antara data multispektral dengan resolusi spasial 4 meter dan panchromatic dengan resolusi spasial 1 meter. Citra Orbview-3 hanya tersedia sampai akhir tahun 2007 karena mengalami kerusakan sensor dengan tipe data yang tersedia adalah Level 1B (Basic Enhanced) (https://lta.cr.usgs.gov/satellite_orbview3). Karakteristik citra Orbview-3 disajikan pada Tabel 3.
Gambar 5 Citra multispektral Orbview-3 Tabel 3 Karakteristik citra Orbview-3
Model Citra Panchromatic Multispektral
Resolusi spasial 1 meter 4 meter
Kanal Citra 1 Kanal 4 Kanal
Kisaran panjang gelombang 450-900 nm 450-520 nm (biru) 520-600 nm (hijau) 625-695 nm (merah) 760-900 nm (IMD)
14
Secara keseluruhan prosedur penelitian terdiri dari tahapan persiapan data, pra pengolahan data penginderaan jauh, teknik pengumpulan data, pengolahan data dan analisis data.
Persiapan Data
Tahap persiapan data adalah tahap identifikasi data yang akan digunakan dalam analisis selanjutnya yang terdiri dari data spasial dan non spasial. Data spasial selain data penginderaan jauh (citra satelit), juga diidentifikasi ketersediaan informasi dari peta-peta digital di lokasi penelitian seperti garis pantai dan batas wilayah administrasi, serta informasi lain yang berkaitan dengan penelitian. Data non spasial yaitu data ekologi ekosistem terumbu karang dan data pendukung lainnya seperti data iklim, Digital Elevation Model (DEM) dan data kedalaman perairan.
Pra-pengolahan Data Penginderaan Jauh
Koreksi citra merupakan suatu operasi untuk mengkondisikan agar citra yang akan digunakan benar-benar memberikan informasi yang akurat secara geometris maupun radiometris. Oleh karena itu, operasi koreksi disebut juga operasi pra- pengolahan atau pre-processing (Danoedero 2012). Tahap pra-pengolahan data penginderaan jauh dilakukan dengan beberapa teknik penajaman dan diaplikasikan pada data citra yang digunakan. Tahap pra-pengolahan terdiri dari koreksi atmosferik, koreksi geometrik dan koreksi kolom perairan.
Koreksi Atmosferik
Koreksi atmosferik menggunakan modul FLAASH (Fast Line-of-sight Atmospheric Analysis of Spektral Hypercube) yang bekerja dengan kode MODTRAN4 (Moderate Resolution Atmospheric Transmission) yang terdapat pada perangkat pengolahan data ENVI versi 5.2. FLAASH adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh Air Force Phillip Technology, Hanscom and Spektral Science, Inc-SSI (Adler-Golden et al. 1999). Koreksi atmosferik menggunakan modul FLAASH diterapkan pada citra Landsat dengan tahapan sebagai berikut:
a) Mempersiapkan citra yang akan dikoreksi dengan komposisi saluran multispektral (panjang gelombang 0.4-2.2 µm).
b) Mengkonversi nilai citra asli dari bilangan digital (digital number, DN) menjadi nilai radian dengan format BIL, kalibrasi radian Float dan faktor koreksi 0.1.
c) Input data untuk koreksi atmosferik menggunakan citra yang telah ditransformasi menjadi nilai radian dengan nilai faktor skala radian 1. Pada tahap ini lokasi pusat koordinat scene citra otomatis terinput. d) Menentukan tipe sensor (multispektral) dan jenis sensor dari data citra
yang digunakan. Default ketinggian sensor (km) dan ukuran piksel (m) terinput secara otomatis berdasarkan jenis sensor.
e) Menentukan nilai nilai rata-rata ketinggian scene citra dari permukaan laut dalam satuan kilometer mengacu pada data digital elevation model
(DEM). Data DEM di-download pada USGS Global Data Explorer
f) Menentukan waktu perekaman citra yang terdiri dari tanggal perekaman (hari/bulan/tahun) dan jam berdasarkan waktu GMT (jam:menit:detik). g) Menentukan model atmosfer; modul FLAASH menyediakan model
atmosfer yang terdiri dari Sub-Arctic Winter (SAW), Mid-Latitude Winter
(MLW), U.S. Standard (US), Sub-Arctic Summer (SAS), Mid-Latitude Summer (MLS) dan Tropical (T). Model atmosfer yang digunakan adalah
Tropical karena wilayah perekaman citra berada di kawasan tropis. h) Menentukan model aerosol; modul FLAASH menyediakan model aerosol
yang terdiri dari Rural, Urban, Maritime dan Tropospheric. Model aerosol yang digunakan adalah maritime karena scene citra sebagian besar didominasi oleh laut.
i) Menentukan nilai kecerahan udara yang disesuaikan dengan tanggal perekaman citra. Data kecerahan udara yang digunakan adalah data pengamatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Galela Kabupaten Halmahera Utara yang dapat diunduh pada
National Climate Data Centre NOAA
(http://www7.ncdc.noaa.gov/CDO/dataproduct). Data kecerahan udara
merupakan data jarak pandang horizontal (dalam satuan mil) yang disesuaikan dengan tanggal perekaman citra satelit.
j) Tahap akhir dari proses input parameter koreksi atmosfer adalah menentukan parameter lanjutan yang terdiri dari Aerosol scale height
(km), CO2 Mixing ratio (ppm), Use square slit function, Use adjacency correction, Resuse MODTRAN calculation, Modtran Resolution, Modtran multiscatter model, Number of DISORT Stream, Sudut Zenit, Sudut Azimut, Use tiled processing, Radiance image dan Faktor skala reflektansi.
Parameter dan nilai yang digunakan dalam koreksi atmosferik menggunakan modul FLAASH disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Parameter dan nilai yang digunakan dalam koreksi atmosfer dengan modul FLAASH
Parameter FLAASH Landsat 5TM Landsat 7ETM+ Landsat 8OLI 1. Parameter Umum
Format citra radian BIL BIL BIL
Faktor koreski radian 0.1 0.1 0.1
Skala radian 1 1 1
Koordinat pusat lokasi Lintang: 1.44001111 Bujur : 128.88615556
Lintang: 1.44001111 Bujur : 128.88615556
Lintang: 2.88936257 Bujur: 129.13574219 Tipe sensor Landsat TM5 Landsat TM7 Landsat-8 OLI
Ketinggian sensor (km) 705 705 705
Elevasi (km) 1.67 1.67 1.67
Ukuran piksel (m) 30 30 30
Tanggal perekaman 30 Juli 1996 23 Juli 2002 17 Oktober 2013 Lanjutan Tabel 4
Jam perekaman 00:52:55 01:26:00 01:39:36 Model atmosfer Tropical Tropical Tropical
Model aerosol Maritim Maritim Maritim
Aerosol retrieval None None None
Jarak pandang (km) 16.67 14.81 18.11
2. Parameter lanjutan Seluruh nilai parameter lanjutan mengikuti nilai default modul FLAASH
16
Koreksi Geometrik
Citra satelit mempunyai sejumlah kesalahan geometrik yang disebabkan oleh faktor-faktor perekaman oleh sensor, bentuk dan rotasi bumi. Citra satelit yang tidak terkoresi akan menghasilkan geometrik yang berbeda dengan peta sehingga mengakibatkan kesulitan dalampenggunaannya. Koreksi geometrik adalah proses mengoreksi kesalahan dan menandai sifat-sifat peta pada sebuah citra. Geometrik citra harus dikoreksi agar sesuai dengan peta yang digunakan dengan sistem koordinat yang dipilih, sehingga citra dapat diidentifikasi dengan baik atau titik- titik yang diamati di lapangan dapat ditemukan dengan mudah pada citra (Green et al. 2000). Koreksi geometrik diperlukan karena beberapa alasan yaitu:
a) Citra akan dibandingkan dengan hasil pengamatan lapangan. b) Citra satelit akan dibandingkan dengan data spasial lainnya. c) Estimasi luas dan jarak diperlukan dari data citra.
d) Membandingkan citra dengan waktu perekaman berbeda untuk deteksi perubahan.
Mather (2004) mengelompokan koreksi geometrik ke dalam dua kategori besar yaitu model geometrik orbital dan transformasi berdasarkan titik-titik kontrol lapangan (ground control point, GCP). Model geometrik orbital adalah model yang didasari pada pengetahuan karakteristik orbit wahana satelit yang berhubungan dengan persamaan-persamaan kolinearitas fotogrametri. Persamaan-persamaan ini menggambarkan karakterisitik orbit satelit dan geometrik arah pandang, serta mengaitkan sistem koordinat citra (baris-kolom) dengan sistem koordinat geografis (lintang-bujur). Transformasi berdasarkan GCP adalah mengoreksi citra dari sudut pandang empiris dengan membandingkan posisi-posisi yang berbeda pada citra dan data lapangan melalui pengukuran GPS (Global Positioning System).
Teknik koreksi geometrik yang digunakan dalam penelitian ini adalah transformasi titik kontrol lapangan (GCP). Berdasarkan pasangan koordinat antara titik kontrol lapangan (GCP) dengan koordinat baru hasil estimasi, diperoleh selisih sepanjang sumbu X (bujur) dan sumbu Y (lintang). Selisih ini dapat dighitung pada setiap titik kontrol dan juga peta hasil transformasi keseluruhan, dengan memperhitungkan seluruh titik kontrol yang ada. Berdasarkan selisih-selisih ini kemudian dapat dihitung besarnya akurasi hasil koreksi geometrik dengan persamaan root mean square error (RMSE).
Pada setiap pasangan titik koordinat referensi dengan titik koordinat hasil estimasi adalah selisih yang disebut dengan rectification residual (). Nilai rectification residual ini bisa berbeda untuk arah X dan arah Y. Analisis parameter ini menggunakan indikator akurasi RMSE dengan persamaan sebagai berikut (Mather 2004):
�� = √ ∑= �� = √ ∑ (�̂ − � )= (1)
dan
dimana:
n = jumlah total titik kontrol lapangan (GCP) yang digunakan dalam koreksi atau rektifikasi
� dan = berturut-turut koordinat X (bujur) dan Y (lintang) dari GCP ke-i yang dihitung dari fungsi transformasi f1 dan f2 yang digunakan
dalam rektifikasi
�̂ dan ̂ = koordinat referensi berturut-turut untuk X (bujur) dan Y (lintang) yang diperoleh dari hasil pengukuran lapangan
Berdasarkan RSMEE dan RSMEN kemudian dapat dihitung nilai indikator
akurasi keseluruhan dengan persamaan:
��� = √ ∑= �� + �� (3)
Data citra Landsat yang digunakan merupakan data dengan tipe level 1T (terrain-corrected) yang telah terkoreksi secara geometrik berdasarkan informasi GCP beserta RSME (Tabel 5).
Tabel 5 Informasi RMSE koreksi geometrik citra Landsat
Sensor GCP Model RMSE Total (m) RMSE X (m) RMSE Y (m) Landsat 5TM Landsat 7ETM+ Landsat 8OLI 68 52 138 5.3 10.3 8.9 3.2 6.8 6.3 4.3 7.7 6.4
Koreksi Kolom Perairan
Berdasarkan konsep bahwa radiansi yang yang dipantulkan dasar perairan merupakan fungsi linier reflektansi dasar dan fungsi eksponensial kedalaman perairan, maka intensitas penetrasi cahaya berkurang secara eksponensial dengan peningkatan kedalaman perairan atau disebut dengan istilah attenuation. Sebagai perbandingan (Lyzenga 1978; Lyzenga 1981), mengemukakan pendekatan sederhana berbasis citra untuk mengkompensasi pengaruh variabel kedalaman dalam pemetaan dasar perairan yang dikenal dengan teknik koreksi kolom perairan. Dibandingkan dengan prediksi reflektansi dasar perairan yang lebih sulit, metode ini menghasilkan Depth Invariant Index (DII) dari setiap pasangan band spektral. Koreksi kolom perairan dibagi menjadi beberapa tahap, sebagai yaitu: (i) mengurangi hamburan atmosfer dan pantulan eksternal dari permukaan air; (ii) linearisasi hubungan antara kedalaman dan radian; (iii) menghitung rasio koefisien atenuasi pasangan band; Difusi iradian koefisien atenuasi (attenuation, k) yang menggambarkan besarnya atenuasi cahaya di dalam air pada band spektral. Hal ini terkait dengan radian dan kedalaman dengan persamaan :
= + exp � (4)
dimana adalah radiansi kedalaman (merupakan refleksi eksternal permukaan air dan hamburan oleh atmosfer), a adalah konstanta irradiansi matahari yang ditransmisi atmosfer ke permukaan air, r adalah reflektansi dasar, adalah koefisienatenuasi dan z adalah kedalaman perairan.
Langkah-langkah proses depth invariant index mengikuti petunjuk (Green et al. 2000) sebagai berikut :
18
a) Melakukan training area pada substrat yang homogen dengan kedalaman yang berbeda. Data substrat dan kedalaman diperoleh dari hasil pengamatan lapangan. Training area dilakukan terhadap titik pengamatan objek homogen dalam pasangan-pasangan band untuk mendapatkan nilai koefisien attenuation.
b) Dengan bantuan pengolahan data spreadsheet Microsoft EXCEL hasil training area pada setiap pasangan band kemudian dihitung nilai koefisien attenuation dengan persamaan ;
⁄ = +√ + (5) dimana =� −� � (6) dan � = � �̅̅̅̅̅̅ −�̅̅̅�̅̅̅ (7)
⁄ , koefisien attenuation, � adalah variance pengukuran Xi, � adalah variance pengukuran Xj dan � adalah covariance Xi dan Xj c) Tahap akhir adalah menghitung depth invariant index (DII) dengan
persamaan:
DIIij = − ⁄ ∗ ( ) (8)
Teknik Pengumpulan Data
Skema Klasifikasi
Skema klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah skema klasifikasi komponen penyusun terumbu karang berdasarkan tipe-tipe habitat yang didefenisikan dari gabungan informasi struktur geomorfologi dan kumpulan biota (Tabel 6). Skema klasifikasi mengacu pada sistem skema klasifikasi yang dikembangkan oleh Zitello et al. (2009).
Tabel 6 Skema klasifikasi ekosistem terumbu karang Zona Geomorfologi Struktur Geomorfologi Komponen Biologi Kategori Lifeform Keanekaragaman jenis karang Intertidal Laguna Reef flat Back reef Reef crest Fore reef Bank/Shelf Channel Terumbu Karang dan substrat keras
Terumbu karang Kerangka kapur Batuan vulkanik Sedimen (Unconsolidate sediment) Pecahan karang Pasir Lumpur Pasir dengan hamburan pecahan karang Persentase tutupan Jarang (<50%) Sedang (50-90%) Padat (>90%) Karang hidup Lamun Alga Persentase tutupan Jarang (<50%) Sedang (50- 90%) Padat (>90%) Acropora Non- Acropora Karang mati Fauna lain Alga Abiotik Rendah Sedang Tinggi
Sumber :Zitello et al. (2009).
Klasifikasi struktur geomorfologi dibagi menjadi komponen terumbu karang dan substrat keras serta sedimen (Walker dan Foster 2010). Deskripsi komponen struktur geomorfologi adalah sebagai berikut :
a) Terumbu karang dan substrat keras: substrat dasar perairan yang disusun oleh karang keras, batuan vulkanik dan deposit kalsium karbonat dari sisa- sisa bangunan karang mati.
b) Sedimen (unconsolidated sediment): substrat dasar perairan yang terdiri dari pasir, lumpur, pecahan karang dan pasir dengan hamburan pecahan karang.
Komponen struktur geomorfologi dinyatakan berdasarkan persentase tutupan dengan kategori tutupan >50% (Rohmann et al. 2005). Klasifikasi struktur geomorfologi akan diturunkan lagi menjadi kelas persentase penutupan dengan kategori jarang (<50%), sedang (50-90%) dan padat (>90%). Klasifikasi komponen biologi terdiri dari karang hidup, alga dan lamun. Klasifikasi komponen biologi juga diuraikan menjadi kelas persentase penutupan seperti struktur gromorfologi (Walker dan Foster 2010). Deskripsi komponen biologi adalah sebagai berikut:
a) Karang hidup: substrat merupakan kolonisasi dari sponge, octocoralia dan hexacoralia.
b) Alga: substrat disusun oleh alga makro baik spesies tunggal maupun asosiasi spesies alga.
c) Lamun: substrat disusun oleh lamun baik spesies tunggal maupun asosiasi spesies lamun.
Klasifikasi kategori lifeform terdiri dari kelas acropora, non-acropra, karang mati, fauna lain, alga dan abiotik (English et al. 1997). Klasifikasi keanekaragaman jenis karang batu dilakukan dengan mengidentifikasi jenis karang batu sampai pada
20
tingkat spesies berdasarkan petunjuk (Veron dan Stafford-Smith 2000; Suharsono 2002).
Penentuan Stasiun Pengamatan Lapangan
Penentuan stasiun pengamatan lapangan dilakukan dengan menggunakan teknik stratified random sampling. Teknik ini didasarkan pada pengetahuan tentang area studi yang dibagi kedalam kelompok-kelompok atau strata dan pada setiap strata, stasiun pengamatan dipilih secara acak. Teknik ini digunakan dalam pengujian akurasi klasifikasi dalam pemetaan dengan membagi peta area studi menjadi beberapa kelas (Congalton dan Green 2008).
Citra satelit dibagi menjadi beberapa kelas menggunakan teknik klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification). Jumlah kelas didasarkan pada skema klasifikasi zona geomorfologi dengan jumlah sebanyak 20 kelas. Teknik klasifikasi tak terbimbing menggunakan algoritma ISODATA (Iterative Self-Organizing Data Analysis Technique) untuk mengelompokan piksel citra multispektral menjadi kelompok-kelompok yang relatif homogen. Piksel-piksel dikelompokan berdasarkan jumlah kelas yang ditentukan dengan menghitung jarak minimum terhadap rata-rata yang dilakukan secara berulang (iteratif). Iterasi didasarkan pada nilai ambang batas (threshold) kemudian seluruh piksel diklasifikasikan ke kelas terdekat. Nilai dan parameter yang digunakan pada teknik klasifikasi tak terbimbing yaitu: Jumlah kelas 20, jarak minimum 4, iterasi maksimum 100 dan nilai ambang batas 0.95.
Gambar 6 Penentuan stasiun pengamatan lapangan; titik hitam () merupakan stasiun pengamatan lapang
Hasil klasifikasi tak terbimbing selanjutnya dikelaskan kembali (re-class) untuk mengelompokan area laut dalam, perairan dangkal dan daratan (Gambar 6). Stasiun pengamatan lapangan detetapkan dengan memotong hamparan pada area perairan dangkal (dari timur ke barat).
Komponen Ekosistem Terumbu Karang
Pengambilan data didasarkan pada skema klasifikasi yang telah disusun sebelumnya dan resolusi spasial citra yang digunakan. Pengambilan data dikumpulkan pada stasiun pengamatan yang telah ditentukan dengan merekam setiap posisi menggunakan GPS. Berdasarkan skema klasifikasi, zona geomorfologi ditentukan berdasarkan pengamatan secara visual pada setiap stasiun pengamatan. Sebagai data tambahan untuk menentukan skema klasifikasi zona geomorfologi, digunakan data kedalaman yang diukur menggunakan echosounder. Pengambilan data komponen ekosistem terumbu karang untuk skema klasifikasi selanjutnya dilakukan dengan menerapkan teknik line transeck quadrat
(English et al. 1997; Roelfsema dan Phinn 2008). Teknik line transeck quadrat
adalah teknik pengumpulan data dengan meletakan kuadran berukuran 1x1 m pada transek sepanjang 50 m dengan jarak peletakan kuadran adalah 2 meter pada setiap sisi kiri dan kanan lintasan sehingga jumlah peletakan kuadran adalah 25 kali. Setiap kuadran dilakukan perekaman gambar menggunakan kamera digital bawah air dengan jarak kurang lebih 120 cm antara kamera dengan objek bentik pada kuadran (Gambar 7).
Gambar 7 Teknik line transeck quadrat
Apabila kedalaman perairan kurang dari ketinggian/jarak kamera terhadap objek pada kuadran, maka perekaman gambar untuk analisis dilakukan beberapa kali sehingga untuk setiap kuadran terekam secara keseluruhan. Penerapan teknik
line transeck quadrat dengan panjang transek 50 meter merupakan penyesuaian dengan panjang piksel citra Landsat. Pemilihan lokasi line transeck quadrat dibuat sebelum survey lapangan berdasarkan sebaran stasiun pengamatan yang disiapkan dengan data citra Orbview-3. Line transeck quadrat ditempatkan pada daerah
22
sampel dengan mempertimbangkan variasi kehadiran komunitas bentik utama di daerah penelitian.
Teknik Analisis Data
Kategori Penutupan Bentik
Penetapan kategori penutupan bentik berdasarkan kategori penutupan komponen ekosistem terumbu karang yang didefenisikan dari kelas-kelas pada skema klasifikasi struktur geomorfologi, komponen biologi, kategori bentuk tutupan (life-form) dan kenaekaragaman. Kategori penutupan setiap foto kuadran dianalisis menggunakan aplikasi Coral Point Count with Excel extensions-CPCe (Kohler dan Gill 2006).
CPCe merupakan sebuah aplikasi standalone yang dikembangkan melalui visual basic, mampu secara otomatis, memfasilitasi dan cepat melakukan analisa perhitungan titik acak (random point count). CPCe juga mampu melakukan kalibrasi bidang planar dan perhitunan panjang substat dasar terhadap gambar hasil perekaman kamera digital bawah air. Selain itu CPCe juga memiliki kemampuan menghasilkan analisa statistik untuk setiap spesies/substrat spreadsheet pada Microsoft Excel (misalnya kelimpahan relatif, rata-rata, standar deviasi, standar eror) dan perhitungan indeks keragaman Shannon-Weaver untuk setiap spesies.
CPCe mempunyai 4 model perhitungan titik acak yaitu: simple random,
stratified random, uniform grid, dan equally space grid. Tipe spesifikasi titik acak yang diaplikasikan dalam penelitian ini adalah uniform grid menggunakan 25 titik yang ditumpang susun pada setiap foto kuadran (Gambar 8).
Gambar 8 Spesifikasi titik acak uniform grid dengan 25 titik tumpang susun analisis persentase tutupan
Persentase tutupan dihitung berdasarkan perbandingan jumlah titik setiap objek dan jumlah total titik dengan persamaan yang dikembangkan oleh (English et al. 1997):
Setelah menentukan titik acak pada gambar, selanjutnya diberi lebel sesuai dengan abjad atau nomor untuk diidentifikasi berdasarkan kategori utama (Lampiran 2) seperti yang digunakan dalam pemetaan terumbu karang berbasis foto. Kategori utama terdiri dari karang hidup, karang mati, lamun, alga, pasir, pecahan karang, rock dan fauna lain. Data hasil analisis kemudian diekspor ke program pengolahan spreadsheet Microsoft Excel untuk perhitungan persentase tutupan dan keanekaragaman jenis. Penetapan kategori penutupan bentik dengan CPCe untuk pengembangan skema klasifikasi berasal dari prinsip-prinsip yang diterapkan oleh (Mumby dan Harborne 1999) kemudian dimodifikasi untuk mendapatkan gambaran secara cepat sesuai dengan kondisi sebenarnya terumbu karang di lokasi penelitian.
Klasifikasi Eksosistem Terumbu Karang
Klasifikasi adalah proses identifikasi piksel citra dengan sifat-sifat yang sama, mengorganisir kedalam kelompok kemudian menentukan penamaan kelompok tersebut dan tahap akhir dari klasifikasi adalah peta yang memuat informasi tertentu (Green et al. 2000). Klasifikasi data citra satelit multispektral juga disebut dengan istilah klasifikasi multispektral yang menggunakan satu kriteria, yaitu nilai spektral (nilai kecerahan) pada beberapa saluran sekaligus. Klasifikasi multispektral dengan pendekatan nilai spektral merupakan klasifikasi yang berbasis pada piksel atau klasifikasi berbasis piksel. Perkembangan saat ini klasifikasi multispektral dilakukan dengan melibatkan unsur interpretasi lain disamping nilai spektral seperti tekstur dan bentuk misalnya segmentasi berbasis objek atau klasifikasi berbasis objek yaitu object based image analisys-OBIA (Danoedero 2012).
Klasifikasi Berbasis Objek Teknik klasifikasi berbasis objek (OBIA) adalah pendekatan yang terdiri dari dua tahap yaitu segmentasi dan menetapkan kelas- kelas pada area yang telah disegmentasi (Blaschke 2010). Tahapan teknik klasifikasi berbasis objek adalah sebagai berikut :
a) Citra satelit yang telah terkoreksi atmosferik dan kolom perairan (DII) dibagi menjadi segmen-segmen (proses segmentasi) menggunakan algoritma segmentasi multi-resolution segmentation (MRS) kemudian menentukan skala segmentasi. Proses segmentasi objek didasarkan pada parameter ukuran atau skala (scale), bentuk (shape), dan kekompakan atau