Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu komponen utama sumberdaya pesisir dan laut di wilayah tropis selain hutan mangrove dan padang lamun. Sebagai salah satu ekosistem penting di wilayah pesisir, ekosistem terumbu karang berperan secara ekologi, ekonomis dan sumber informasi dalam pengembangan berbagai macam penelitian. Secara ekologi ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah mencari makan (feeding fround) dan daerah pembesaran bagi berbagai jenis organisme (nursery ground) serta secara fisik berfungsi untuk melindungi daerah pantai dari gempuran dinamika perairan seperti gelombang penyebab abrasi pantai dan gelombang tsunami. Secara ekonomis ekosistem terumbu karang dengan tingkat keanekaragaman yang sangat tinggi, merupakan penyumbang sumber pangan dan obat-obatan dari laut bahkan menjadi salah satu sektor penyumbang devisa dalam pengembangan kegiatan wisata. Selain nilai estetika terumbu karang karena merupakan salah satu ekosistem dengan nilai keanekaragaman tinggi yang dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata, ekosistem terumbu karang juga merupakan media pembelajaran untuk berbagai penelitian dalam ekploitasi bidang farmakologi (obat-obatan).
Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanhellae. Terumbu karang termasuk dalam jenis filum Cnidaria kelas Anthozoa yang memiliki tentakel. Koloni karang dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni. Hewan ini memiliki bentuk unik dan warna beraneka rupa serta dapat menghasilkan CaCO3. Terumbu karang merupakan habitat bagi berbagai spesies tumbuhan laut, hewan laut, dan mikroorganisme laut lainnya yang belum diketahui.
Terumbu karang secara umum dapat dibedakan secara struktur fisik beserta ekosistem yang menyertainya yang secara aktif membentuk sedimen kalsium karbonat akibat aktivitas biologi (biogenik) yang berlangsung di bawah permukaan laut. Bagi ahli geologi, terumbu karang merupakan struktur batuan sedimen dari kapur (kalsium karbonat) di dalam laut, atau disebut singkat dengan terumbu. Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang dibentuk dan didominasi oleh komunitas kewan karang
Dalam peristilahan 'terumbu karang', "karang" yang dimaksud adalah, sekelompok hewan dari ordo Scleractinia yang menghasilkan kapur sebagai pembentuk utama terumbu. Terumbu adalah batuan sedimen kapur di laut, yang juga meliputi karang hidup dan karang mati yang menempel pada batuan kapur tersebut. Sedimentasi kapur di terumbu dapat berasal dari karang maupun dari alga. Secara fisik terumbu karang adalah terumbu yang terbentuk dari kapur yang dihasilkan oleh karang.
Terumbu karang pada umumnya terdistribusi di daerah dekat pantai atau daerah yang masih terkena cahaya matahari kurang lebih sampai kedalaman 50 m di bawah permukaan laut. Beberapa tipe terumbu karang dapat hidup jauh di dalam
laut dan tidak memerlukan cahaya, namun terumbu karang tersebut tidak bersimbiosis dengan zooxanhellae dan tidak membentuk karang.
Ekosistem terumbu karang sebagian besar terdapat di perairan tropis, sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami. Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis pada telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal terumbu karang.
Secara geomorfologi terumbu karang dibedakan berdasarkan keberadaannya di perairan. Tipe-tipe terumbu karang berdasarkan aspek geomorfologi dibagi menjadi i) terumbu karang tepi (freenging reef) yaitu terumbu karang tepi atau karang yang berkembang di mayoritas pesisir pantai dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. ii) terumbu karang penghalang (barier reef) yaitu terumbu karang yang terletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau, sekitar 0.5 km ke arah laut lepas dengan dibatasi oleh perairan berkedalaman hingga 75 meter. Terkadang membentuk lagoon (kolom air) atau celah perairan yang lebarnya mencapai puluhan kilometer. iii) terumbu karang cincin (atol) yaitu terumbu karang yang berbentuk cincin dan mengelilingi batas dari pulau-pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan daratan. iv) terumbu karang datar (patch reef) yaitu terumbu karang yang berkembang secara horizontal atau vertikal dengan kedalaman relatif dangkal dan tumbuh dari dasar pemukaan laut hingga di atas permukaan laut.
Karakteristik ekosistem terumbu karang berdasarkan fungsi ekologi dan ekonomis, berbagai bentuk dan tipe serta distribusinya di perairan dangkal dan dekat dengan wilayah darat, menyebabkan ekosistem ini rentan terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan di daratan seperti sedimentasi karena pembukaan lahan atas, konversi lahan karena kegiatan pembangunan di pesisir, penambangan karang, pencemaran oleh aktifitas pembuangan limbah dan aktifitas transportasi serta kegiatan budidaya maupun penangkapan ikan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. Selain kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, terumbu karang juga terancam oleh proses secara alamiah seperti aktifitas biologi dari pemangsaan oleh predator karang dan perubahan iklim secara global.
Dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir terumbu karang mengalami degradasi atau terjadinya penurunan kualitas lingkungan akibat kegiatan manusia atau perubahan iklim secara global dengan meningkatnya suhu permukaan laut. Upaya-upaya untuk mengurangi laju penurunan kualitas lingkungan terumbu karang telah menjadi perhatian banyak negara yang memiliki ekosistem ini termasuk Indonesia melalui kegiatan konservasi dan rehabilitasi.
Berbagai penelitian dilakukan untuk mengurangi laju kerusakan lingkungan terumbu karang telah dimulai sejak era 1980-an melalui kegiatan pemantauan (monitoring), mulai dari metode-metode sederhana yang dapat ditempuh dalam waktu singkat sampai metode-metode yang sangat rinci yang mengkonsumsi banyak waktu. Meskipun metode-metode pengamatan lapangan untuk mengekstrak informasi ekosistem terumbu karang dapat menghasilkan informasi secara detail, namun disatu sisi memiliki kelemahan selain mengkonsumsi banyak waktu, membutuhkan personil penelitian, biaya dan peralatan dalam jumlah besar, serta
76
data-data pengamatan lapangan belum optimal menjelaskan fenomena secara spasial.
Penyajian data secara spasial merupakan salah satu aspek yang mendukung pengelolaan ekosistem terumbu karang. Data spasial adalah data yang bereferensi geografis atas representasi objek di bumi. Data spasial pada umumnya berdasarkan peta yang berisikan interprestasi dan proyeksi seluruh fenomena yang berada di bumi baik berupa fenomena alamiah dan buatan manusia. Pemanfaatan data spasial saat ini merupakan salah satu alternatif untuk menunjang informasi-informasi yang dihasilkan dari data-data pengamatan lapangan lingkungan terumbu karang. Hal ini disebabkan karena terumbu karang juga tersebar pada daerah-daerah yang sulit dijangkau atau dengan aksesibilitas yang terbatas.
Salah satu aspek dalam penyajian data-data lingkungan terumbu karang secara spasial adalah data penginderaan jauh satelit yang berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir. Ketersediaan data penginderaan jauh mulai dari foto udara monochrome (hitam putih) sejak periode 1930-an kemudian peluncuran data satelit sumberdaya periode 1970-an (Landsat MSS) mempunyai kemampuan untuk merekam fenomena-fenomena permukaan bumi secara berulang dengan cakupan luas perekaman dari beberapa kilometer sampai ratusan kilometer. Ketersedian data penginderaan jauh berkembang pesat sampai saat ini, mulai dari resolusi spasial rendah yang mengusung informasi per satuan unit data (piksel), ratusan meter sampai resolusi tinggi yang mampu menyajikan data dengan ketelitian sampai beberapa sentimeter. Kemampuan memisahkan objek dari karakristik resolusi spektral juga turut mendukung data penginderaan jauh satelit dan foto udara.
Karakteristik data pengamatan lapangan ekosistem terumbu karang yang mampu menyajikan informasi secara rinci namun terbatas pada daerah yang sempit sementara data penginderaan jauh yang mampu menyajikan data dalam skala spasial yang luas namun tidak sedetail data pengamatan lapangan, merupakan peluang yang besar untuk dikombinasikan sehingga menghasilkan data lingkungan terumbu karang secara rinci dalam skala yang luas. Penelitian-penelitian tentang lingkungan terumbu karang dengan memanfaatkan data penginderaan jauh dan pengamatan lapangan terus-menerus dikembangkan. Hal ini disebabkan karena terumbu karang berada di bawah permukaan laut dari kedalaman dangkal (1 m) sampai kedalaman 30 meter bahkan beberapa jenis di daerah tertentu terumbu karang dapat dijumpai sampai pada kedalaman 50 meter atau dimana penetrasi cahaya matahari mampu menembus sampai ke dasar perairan. Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk penelitian dan pemantauan terumbu karang sangat memungkinkan karena teknologi penginderaan jauh sebagian besar memanfaatkan perekaman data permukaan bumi termasuk terumbu karang melalui perekaman energi reflektansi gelombang sinar tampak yang dapat menembus kolom perairan.
Berbagai metode telah dikembangkan untuk memanfaatkan data penginderaan jauh dalam penelitian-penelitian lingkungan terumbu karang mulai dari teknik sederhana berupa interpretasi secara visual sampai analisis kuantitatif. Karakteristik ekosistem terumbu karan yang kompleks karena disusun oleh berbagai komponen seperti organisme karang dan biota asosiasi, vegetasi substrat dasar seperti lamun dan alga serta berbagai tipe substrat membutuhkan teknik tersendiri untuk menghasilkan informasi tematik terumbu karang. Kondisi ini menyebabkan tidak ada terumbu karang yang benar-benar sama antara satu daerah dengan daerah yang lain. Oleh karena itu diperlukan teknik-teknik untuk
mendefenisikan objek-objek di terumbu karang sehingga dapat mengurangi subjektifitas penyajian informasi lingkungan terumbu karang.
Resolusi spasial dan spektral data penginderaan jauh mempengaruhi penyajian informasi objek-objek terumbu karang. Resolusi spasial berkaitan dengan tingkat ketelitian informasi yang dihasilkan, sedangkan resolusi spektral berkaitan dengan kemampuan data penginderaan jauh dalam memisahkan objek-objek yang dikaji. Semakin tinggi resolusi spasial maka informasi objek akan semakin detail sementara semakin tinggi resolusi spektral maka objek-objek dapat dibedakan denganh baik antara satu dengan yang lainnya. Data penginderaan jauh dengan resolusi spasial dan spektral yang rendah menyebabkan objek-objek hanya dapat diidentifikasi pada tingkat yang rendah atau dengan jumlah kelas yang terbatas. Sebaliknya semakin tinggi resolusi spasial dan spektral maka informasi dapat disajikan lebih detail dengan jumlah kelas yang lebih banyak.
Perkembangan teknologi penginderaan jauh yang semakin baik saat ini, menyebabkan resolusi spasial suatu jenis sensor satelit berbanding lurus dengan resolusi spektral. Artinya semakin baik resolusi spasial diikuti dengan semakin baiknya resolusi spektral akan menghasilkan informasi yang lebih baik. Namun pada kenyataannya kondisi ini tidak signifikan dengan ekstraksi informasi untuk menghasilkan peta-peta tematik lingkungan terumbu karang. Hal ini disebabkan karena karakteristik terumbu karang yang kompleks sering dijumpai objek-objek tercampur dalam satuan luas yang kecil (resolusi spasial tinggi), sementara data penginderaan jauh akan merekam data berdasarkan karakteristik reflektansi yang ditentukan oleh sifat-sifat objek.
Defenisi objek merupakan faktor penting dalam menghasilkan informasi- informasi tematik ekosistem terumbu karang. Sebagian besar pemetaan ekosistem terumbu karang yang mengkombinasikan data penginderaan jauh dan pengamatan lapangan ditentukan oleh bagaimana mendefenisikan objek-objek komponen penyusun terumbu karang dalam skema klasifikasi tertentu. Skema klasifikasi yang ditentukan dengan baik juga akan menghasilkan informasi yang minimal dapat merepresentasi keadaan sebenarnya ekosistem terumbu karang.
Skema klasifiaksi yang dikembangkan untuk menghasilkan informasi ekosistem terumbu karang didasarkan pada aspek geomorfologi dan tipe-tipe substrat. Aspek geomorfologi ekosistem terumbu karang terdiri dari bentuk bentangan seperti rataan terumbu (reef flat), puncak terumbu (reef cresh), slope,
laguna dan sebagainya. Sedangkan tipe-tipe substrat adalah komponen penyusun terumbu karang seperti karang hidup dan organisme asosiasi, vegetasi substrat dasar seperti lamun dan alga maupun substrat abiotik dasar seperti pasir, lumpur, pecahan karang dan batuan atau sisa banguna karang (rock) atau material yang disusun oleh batuan vulkanik.
Pendekatan yang digunakan untuk mendefenisikan objek-objek lingkungan terumbu karang pada penelitian ini adalah pendekatan ekologi kuantitatif dengan skema klasifikasi habitat. Skema kalsifikasi dengan pendekatan ekologi kuantitatif berdasarkan data pengamatan lapangan dengan nilai persen tutupan komponen penyusun bentik terumbu karang di lokasi penelitian mampu menghasilkan kelas- kelas habitat seperti pada beberapa penelitian sebelumnya namun dengan komposisi penyusun yang berbeda. Tidak dijumpai kelas pada skema klasifikasi yang diterapkan disusun oleh satu komponen bentik tunggal, tetapi disusun oleh dua atau lebih sehingga penamaan terhadap kelas habitat yang akan digunakan dalam proses
78
klasifikasi habitat ekosistem terumbu karang didasarkan pada kontribusi komponen dominan. Analisis pengelompokan secara hirarki dalam pengambangan skema klasifikasi pada penelitian ini diharapkan dapat membantu untuk menghasilkan informasi ekosistem terumbu karang meskipun tidak dapat diterapkan di lokasi lain karena tergantung pada karakteristik lingkungan yang berbeda.
Teknik klasifikasi data penginderaan jauh dikembangkan dari teknik klasifikasi berbasis piksel yang hanya mengandung informasi tunggal yaitu nilai spektral pada penelitian ini dengan teknik klasifikasi berbasis objek yang melibatkan variabel tambahan seperti warna, kehalusan dan kekompakan objek. Algoritma klasifikasi juga dikembangkan dari algoritma konvensional seperti
maximul likelihood dengan algoritma yang lebih maju mampu menghasilkan akurasi klasifikasi yang lebih baik dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Penggunaan data citra Landsat 8 OLI dengan resolusi spektral yang lebih baik dari generasi Landsat sebelumnya juga merupakan faktor yang menentukan peningkatan akurasi.
Analisis deteksi perubahan dengan memanfaatkan resolusi temporal citra Landsat mampu menghasilkan informasi perubahan habitat bentik ekosistem terumbu karang selain luas perubahan habitat antar waktu, juga dapat menghasilkan perubahan dari satu habitat ke habitat yang lain. Fenomena perubahan kelas-kelas habitat bentik terumbu karang secara spasial dapat dijelaskan melalui analisis deteksi perubahan. Namun demikian faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan ekosistem terumbu karang masih perlu pengkajian lebih jauh karena keterbatrasan data-data pengamatan lapangan.