• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Habitat bentik dasar perairan laut merupakan tempat hidup dari berbagai organisme yang disusun oleh lamun, alga, karang hidup, tipe substrat seperti pasir, lumpur pecahan karang dan berperan penting bagi kelangsungan hidup organisme asosiasinya. Berbagai penelitian dikembangkan untuk memetakan habitat bentik menjadi permasalahan penting dalam rangka memberikan penilaian secara cepat terhadap kesehatan dan tekanan yang dialami lingkungan terumbu karang sebagai salah satu ekosistem pesisir yang rentan (Zhang et al. 2013).

Pemetaan dengan data penginderaan jauh menggunakan foto udara dan sensor satelit telah terbukti efisien dari segi biaya dibandingkan dengan pengamatan lapangan. Terumbu karang yang relatif berada di perairan dangkal dan jernih sangat memungkinkan dapat dideteksi menggunakan data optik sensor satelit pasif sehingga banyak menjadi fokus dari penelitian-penelitian seperti ini (Mumby et al.

1999). Penelitian-penelitian tersebut dapat dikelompokan menjadi tiga kategori. Pertama adalah penerapan sensor multispektral dengan resolusi spasial kasar (20- 30 m) seperti data Landsat (Purkis dan Pasterkamp 2004). Jenis data ini mungkin memiliki efektifitas yang terbatas dalam pemetaan heterogenitas bentik karena resolusi yang relatif kasar. Kedua adalah kemampuan data multispektral dengan resolusi spasial yang lebih baik (>5 m) seperti citra IKONOS dan QuickBird (Maeder et al. 2002; Mumby dan Edwards 2002; Phinn et al. 2008; Zapata- Ramírez et al. 2012). Tipe data ini mampu menghasilkan akurasi yang baik dibandingkan data Landsat untuk area dengan jumlah kelas habitat rendah sampai sedang, tetapi tidak dapat digunakan dengan baik untuk pemetaan dengan tingkat detail. Ketiga adalah pemanfaatan data hyperspectral seperti Earth Observation-1 (EO-1/Hyperion), CASI dan HyMap (Phinn et al. 2008; Pu et al. 2012).

Landsat TM dan ETM+ adalah sensor satelit yang paling umum digunakan, tetapi kemampuannya untuk membedakan antara karang dan asosiasinya terbatas disebabkan oleh kemampuan resolusi spasial dan spektral. Ukuran piksel Landsat yang dikategorikan tingkat medium (30m) memungkinkan beberapa habitat terdapat dalam satu piksel yang menyebabkan terjadinya kesalahan klasifikasi. Perbedaan spektral antara karang, lamun dan alga yang sempit menyebabkan tidak mudah dideteksi oleh sensor Landsat dengan tiga band yang mampu menembus kolom perairan (Holden dan LeDrew 1998; Hochberg dan Atkinson 2000; Hochberg dan Atkinson 2003).

Beberapa penelitian sebelumnya melakukan pemetaan habitat dasar berbasis piksel dengan algoritma klasifikasi Maximum likelihood (ML) menemukan bahwa sensor Landsat TM dan ETM+ memadai untuk pemetaan karang, pasir dan lamun tetapi tidak dapat membedakan lebih dari enam kelas habitat berbeda. Akurasi peta- peta habitat dasar terumbu karang yang diturunkan dari citra Landsat untuk kelas kecil (4 kelas) mencapai 73% tetapi hanya mencapai 52% untuk delapan kelas dan 37% untuk 13 kelas (Mumby et al. 1997), Akurasi pemetaan habitat dasar terumbu karang menggunakan citra Landsat dengan skema klasifikasi yang lebih dari enam

kelas pada beberapa lokasi berbeda juga menghasilkan akurasi klasifikasi antara 53-56%, sedangkan akurasi klasifikasi dengan jumlah kelas kurang dari atau sama dengan enam kelas mencapai 60%. (Mumby dan Edwards 2002; Andréfouët et al.

2003; Benfield et al. 2007).

Klasifikasi citra adalah tahap penting dalam analisis penginderaan jauh dengan pemilihan algoritma klasifikasi yang memberikan pengaruh besar terhadap hasil akhir. Studi-studi pemetaan habitat bentik terumbu karang sebelumnya sebagian besar banyak mengaplikasikan algoritma klasifikasi tradisional ML (Mumby dan Edwards 2002; Andréfouët et al. 2003; Pu et al. 2012). Secara umum sistem klasifikasi dirancang berdasarkan kebutuhan pengguna, pemilihan resolusi spasial data penginderaan jauh, kompatibilitas dengan penelitian sebelumnya, pemrosesan citra dan algoritma klasifikasi yang tersedia (Lu dan Weng 2007).

Berbagai teknik klasifikasi parametrik ML dan klasifikasi non-paramterik atau mesin pembelajaran (machine learning) seperti neural network dan decision tree masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan (Franklin et al. 2003). Sebagai contoh, ketika training sampel cukup tersedia dalam bentuk data yang terdistribusi secara normal maka algoritma klasifikasi ML mampu menghasilkan klasifikasi yang akurat. Sebaliknya ketika data yang digunakan terdistribusi secara tidak normal, maka neural network dan decision tree menunjukan hasil klasifikasi yang lebih baik. Metode ML membutuhkan respon spektral setiap kelas mengikuti distribusi Gaussian. Teknik machine learning kontemporer telah mendapat sedikit perhatian dalam pemetaan habitat bentik karena teknik ini menghasilkan akurasi yang lebih tinggi dari klasifikasi MLH terutama dalam klasifikasi data

hyperspektral (Zhang dan Xie 2013). Dengan demikian sangat diperlukan untuk memperluas teknik klasifikasi mesin pembelajaran dalam pemetaan habitat bentik terumbu karang sebagai alternatif dari algoritma ML.

Sebagian besar teknik klasifikasi citra untuk pemetaan habitat dasar terumbu karang didasarkan pada pendekatan berbasis piksel (Malthus dan Mumby 2003). Penelitian tentang pemetaan terumbu karang umumnya menggunakan algoritma klasifikasi tradisional seperti ML (Mumby et al. 1997; Andréfouët et al. 2003; Capolsini et al. 2003) karena algoritma ini menawarkan cakupan perhitungan variasi dalam kelas dengan memanfaatkan data nilai tengah dan varian/covarian. Perbaikan hasil dapat diperoleh dengan menggabungkan informasi spasial tambahan dalam proses klasifikasi yang dapat membantu untuk mendiskriminasi secara spektral kelas-kelas yang salah. Salah satu alternatif pendekatan adalah teknik segmentasi yang melibatkan penggabungan piksel untuk menghasilkan objek kemudian diklasifikasikan yang disebut dengan teknik klasifikasi berbasis objek. Kebanyakan teknik ini diaplikasikan untuk pemetaan wilayah darat dengan nilai akurasi yang cukup tinggi misalnya integrasi klasifikasi berbasis objek dan piksel untuk pemetaan mangrove dengan citra IKONOS dengan rata-rata akurasi 91.4% (Wang et al. 2004).

Pemetaan terumbu karang dengan data penginderaan jauh dibagi menjadi dua kelompok yaitu pemetaan zona geomorfologi dan tipe-tipe substrat. Informasi yang diturunkan dari data Landsat ETM+ pada aspek zona geomorfologi menggunakan teknik klasifikasi berbasis piksel dengan beberapa algoritma machine learning

seperti spectral angular mapper (SAM), spectral information divergence (SID) dan SVM menunjukan bahwa algortima SVM lebih baik menghasilkan peta zona geomorfologi dibandingkan dengan algoritma lainnya (Kondraju et al. 2014). Leon

44

dan Woodroffe (2011) menurunkan informasi zona geomorfologi dari citra Landsat ETM+ sebanyak 10 kelas menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek dengan algoritma neural network (ANN) menghasilkan akurasi pemetaan sebesar 75%.

Pemetaan terumbu karang dengan menggunakan citra Landsat ETM+ pada beberapa tingkatan jumlah kelas habitat dasar terumbu karang menunjukan bahwa teknik klasifikasi berbasis objek dengan algoritma non-paramterik (fuzzy logic) mampu menghasilkan akurasi 62.8% pada tingkat kelas intermedit atau lebih dari 6 kelas (Benfield et al. 2007). Wahidin et al. (2015) menguji kemampuan beberapa lagoritma machine learning yang terdiri dari support vector machine (SVM),

random tree (RT), k-neirest neighbor (KNN), bayessian (BY) dan decission tree

(DT) dengan teknik klasifikasi berbasis objek menggunakan citra Landsat 8OLI untuk kelas habitat tingkat intermedit menunjukan bahwa algoritma SVM mempunyai kemampuan lebih baik dibandingkan dengan algoritma lainnya dengan tingkat akurasi mencapai 73%.

Algoritma SVM pada saat ini telah berhasil diaplikasikan dalam masalah- masalah dunia nyata (real-world problem), dan secara umum memberikan solusi yang lebih baik dibandingkan metode konvensional seperti artificial neural network. Konsep dasar SVM merupakan kombinasi harmonis dari teori-teori komputasi yang telah ada puluh tahun sebelumnya seperti margin hyperplane, kernel dan juga konsep pendukung lainnya (Vapnik dan Kotz 1982; Cristianini dan Shawe-Taylor 2000). Perkembangan ini memberikan peluang untuk investigasi kemampuan SVM secara teoritis maupun dari segi aplikasi.

Kehadiran citra Landsat 8 OLI yang diluncurkan pada tanggal 11 April 2013 dengan karakteristik rersolusi spektral yang lebih baik dari generasi Landsat sebelumnya karena telah menyertakan empat band multispektral yang mampu menembus kolom perairan diharapkan menjadi alternatif untuk meningkatkan akurasi pemetaan habitat dasar terumbu karang dengan teknik klasifikasi berbasis objek. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan teknik klasifikasi berbasis objek untuk pemetaan habitat dasar terumbu karang dengan citra Landsat 8OLI menggunakan algoritma klasifikasi SVM.

Metode Penelitian

Skema Klasifikasi

Defenisi kelas habitat menggunakan data skema klasfikasi yang telah ditentukan pada bagian sebelumnya berdasarkan data pengamatan lapangan. Komponen bentik terumbu karang yang terdiri dari 7 kelas habitat (Tabel 10) dengan jumlah total sampel pengamatan sebanyak 195 dibagi menjadi 95 sampel untuk klasifikasi dengan citra satelit dan 100 sampel untuk pengujian akurasi peta tematik terumbu karang.

Tabel 10 Nama kelas habitat dan kode masing-masing kelas

Nama Kelas Kode Kelas

Pasir Pecahan Karang Pecahan Karang Karang Hidup Pasir

Pasir Alga Lamun

Pecahan Karang Pasir

PPK PK KH P PAL L PKP

Data dan Pra-pengolahan Citra

Data satelit yang digunakan adalah citra satelit Landsat-8 OLI (Operational Land Imager) path/row 109/059 akuisisi tanggal 17 Oktober 2013. Koreksi geometrik tidak dilakukan pada data citra karena merupakan data Level 1T yang secara sistematik telah terkoreksi geometrik (terrain corrected) dengan nilai RMSE total 8.9 m dan telah diproyeksi ke sistem koordinat UTM zona 52N. Karakteristik Landsat 8 OLI disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Karakteristik kanal citra Landsat 8 OLI

Band Nama band Panjang gelombang (µm) Resolusi (meters)

1 Coastal 0.43 - 0.45 30 2 Blue 0.45 - 0.51 30 3 Green 0.53 - 0.59 30 4 Red 0.64 - 0.67 30 5 NIR 0.85 - 0.88 30 6 SWIR 1.57 - 1.65 30 7 SWIR 2.11 - 2.29 30 8 PAN 0.50 - 0.68 15 9 Cirrus 1.36 - 1.38 30 10 TIRS 10.60 - 11.19 100 11 TIRS 11.50 - 12.51 100

Pra-pengolahan citra terdiri dari koreksi atmosferik, pemotongan area yang akan dianalisis, dan masking wilayah darat dan perairan dalam. Koreksi atmoferik menggunakan modul FLAASH yang terdapat pada perangkat lunak ENVI ver 5.2. Koreksi atmosferik diterapkan hanya pada 7 band multispektral Landsat-8 OLI dan tidak menyertakan band panchromatic (8), Cirrus (9) dan sensor (TIRS) (10 11). Citra hasil koreksi atmosferik selanjutnya dipotong (cropping) hanya pada wilayah kajian dan diterapkan teknik masking untuk menghilangkan wilayah darat dan laut dalam. Teknik masking menggunakan komposisi band sinar tampak yaitu coastal, biru, hijau, merah dan kanal infra merah dekat (IMD).

Karakteristik Transformasi Reflektansi Dasar

Informasi karakteristik reflektansi dasar diekstrak dari nilai transformasi koreksi kolom perairan. Koreksi kolom perairan terhadap citra yang telah dimasking menggunakan komposisi band sinar tampak dengan mengekstrak nilai piksel citra pada tipe subtrat dasar yang sama (homogen) dalam hal ini pasir dari kedalaman berbeda. Panjang gelombang tergantung pada koefisien pelemahan (attenuation) radiasi cahaya dengan kedalaman perairan dapat menghambat

46

klasifikasi yang tepat dari substrat dasar yang sama pada kedalaman yang berbeda (Lyzenga 1978; Lyzenga 1981; Mumby et al. 1998; Hamylton 2011). Band multispektral citra dapat digunakan untuk mengurangi pengaruh attenuasi melalui perbandingan radian antar pasangan band dengan menghitung rasio koefisien

attenuasi (persamaan 8) dari nilai reflektansi dasar tipe substrat yang sama. Deskripsi untuk menunjukan korelasi antara variabel pasangan band citra yang diekstrak dari tipe substrat dasar homogen menggunakan plot pencar (scatter plot). Koreksi kolom perairan menggunakan persamaan untuk menghitung depth invariant index/DII(persamaan 8) setiap pasangan band sinar tampak. Analisis ini menghasilkan enam pasangan band sinar tampak (coastal, biru, hijau dan merah) dengan komposisi pasangan band yaitu DII_12, DII_13, DII_14, DII_23, DII_24 dan DII_34 yang selanjutnya digunakan sebagai input data untuk klasifikasi.

Seluruh pasangan band DII diuji secara statistik untuk mengetahui respon nilai transformasi reflektansi dasar dari kelas habitat terumbu karang. Uji dilakukan menggunakan analisis sidik ragam (analysis of variance, ANOVA) dengan hipotesis nol (H0) µ1=µ2,... µ3 dan hipotesis alternatif (Ha): µ1≠ µ2,…µ3 merupakan

reflektansi rata-rata dari habitat terumbu karang ke-i (i=1,2,3). Hipotesis diuji menggunakan one way ANOVA pada setiap kanal DII dengan tingkat kepercayaan 95% dan 99% (α= 0.05 dan α= 0.01). Penggunaan uji sidik ragam bertujuan untuk menentukan transformasi reflektansi dasar yang tidak responsif dimana nilai-p lebih lesar dari α sehingga perbedaan transformasi reflektansi masing-masing habitat dapat diketahui (Kurz dan Benteftifa 2006). Konstibusi dari masing-masing kelas habitat terhadap respon nilai transformasi spektral pasangan band DII ditentukan berdasarkan nilai kritikal (significant) uji lanjut Duncant new multiple range test/MRT (Harter 1960).

Klasifikasi Citra

Klasifikasi berbasis objek Salah satu pendekatan alternatif klasifikasi berbasis piksel adalah klasifikasi berbasis objek menggunakan perangkat lunak eCognition. Klasifikasi berbasis objek terdiri dari dua tahap yaitu segmentasi dan klasifikasi. Tahap segmentasi adalah tahap menghasilkan objek citra kemudian objek ini terbangun menjadi segmen-segmen yang selanjutnya digunakan untuk klasifikasi (Wang et al. 2004; Blaschke 2010).

Parameter segmentasi terdiri dari tiga parameter, yaitu: shape, compactness,

dan scale. Nilai yang digunakan oleh parameter shape dan compactness berkisar 0- 1. Faktor shape mengatur homogenitas spektral dan bentuk objek. Faktor

compactness menyeimbangkan kekompakan dan kehalusan, menentukan bentuk objek antara batas yang halus dan tepi yang kompak. Parameter scale mengatur ukuran objek yang sesuai dengan kebutuhan pengguna berdasarkan tingkat kedetilan dan merupakan parameter kunci dalam segmentasi citra. Oleh karena tidak ada ketentuan baku mengenai standar parameter nilai dalam klasifikasi berbasis objek (Benfield et al. 2007; Phinn et al. 2011), maka pada penelitian ini akan diuji kemampuan klasifikasi dengan skala segmentasi yang berbeda.

Klasifikasi berbasis objek diterapkan dengan algoritma multi-resolution segmentation (MRS) berdasarkan parameter Skala (scale), shape, compactness. Parameter shape dan compactness menggunakan nilai tetap masing-masing 0.1 dan 0.5, sedangkan skala sebagai parameter ukuran segmentasi diuji dengan nilai berbeda mulai dari 0.1 0.2 0.3 0.4 dan 0.5 (Wahidin et al. 2015).

Peta-peta habitat bentik terumbu karang dari klasifikasi berbasis objek pada tingkat skala segmentasi berbeda dieksekusi dengan input image layer (IIL) seluruh band DII menggunakan algoritma klasifikasi machine learning Support Vector Machine (SVM), serta fitur atribut “mean” dan “standard deviation”.

Optimasi Parameter SVM Algoritma SVM merupakan klasifikasi terbimbing yang dapat mencari sebuah vector atau garis yang berfungsi sebagai pemisah dua kelas dengan memaksimalkan margin antar kelas tersebut. Algoritma klasifikasi ini berdasarkan prinsip linear classfier (kernel fungsi) yang terdiri dari fungsi linier dan radial basis function (rbf) tergolong klasifikasi machine learning. Konsep SVM dapat dijelaskan secara sederhana sebagai usaha mencari hyperplane terbaik yang berfungsi sebagai pemisah dua buah kelas pada input space (Vapnik dan Kotz 1982). Garis pemisah antar kelas dapat dibuat berupa garis linear dan radial basis function.

Konsep SVM dapat dijelaskan secara sederhana sebagai usaha mencari

hyperplane terbaik yang berfungsi sebagai pemisah dua buah kelas pada input data. Klasifikasi dapat diterjemahkan dengan usaha menemukan garis (hyperplan) yang memisahkan antara dua kelas tersebut. Hyperplan pemisah terbaik antara dua kelas dapat ditemukan dengan mengukur margin (C) hyperplan dan mencari titik maksimalnya. Margin adalah jarak antara hyperplan dengan bentuk terdekat dari masing-masing kelas. Bentuk yang paling dekat ini disebut sebagai support vector.

Fungsi rbf juga dilengkapi dengan parameter untuk mengontrol kecepatan proses

learning (gamma, ).

Optimasi parameter SVM dalam penelitian ini dilakukan pada parameter margin (C) terhadap fungsi kernel tipe linier dan rbf untuk mengetahui kemampuan algoritma SVM dalam menghasilkan akurasi pemetaan terumbu karang. Nilai C yang digunakan untuk menguji optimasi parameter SVM adalah kelipatan pangkat dua mulai dari nilai default 2 dengan konfigurasi 21 sampai 215. Nilai  pada kernel tipe rbf adalah 0 atau 1, jika nilai =0 maka kecepatan proses learning adalah 1/dimensi fitur. Nilai  yang digunakan adalah 1 untuk meperoleh kecepatan proses learning secara penuh dari dimensi fitur.

Klasifikasi berbasis piksel Sebagai perbandingan hasil klasifikasi berbasis objek, dilakukan juga pengujian terhadap teknik klasifikasi berbasis piksel dengan algoritma klasifikasi yang umum digunakan yaitu ML. Algoritma klasifikasi ML menggunakan data mean, varian dan covarian untuk menandai piksel kelas habitat berdasarkan data training sample (AOI). Data AOI untuk klasifikasi berbasis piksel menggunakan sampel pengamatan lapangan yang sama dengan data klasifikasi berbasis objek sebanyak 95 sampel pada setiap kelas habitat. Ukuran AOI sebagai sampel klasifikasi berbasis piksel menggunakan sampel pengamatan lapangan yang terlingkup dalam area segmentasi klasifikasi berbasis objek. Selain algoritma klasifikasi ML, klasifikasi berbasis piksel juga diterapkan algoritma klasifikasi seperti yang digunakan pada teknik klasifikasi berbasis objek.

Pengujian akurasi

Tahap akhir dari proses klasifikasi adalah menguji hasil akurasi pemetaan yang terdiri dari “overall accuracy (OA)”, “producer accuracy (PA)” dan “user accuracy (UA)” (Congalton dan Green 2008). OA digunakan sebagai representasi dari keseluruhan tingkat kebenaran antara citra dan data referensi. UA dihitung

48

untuk mengetahui akurasi klasifikasi berbagai variasi kelas habitat (Congalton 1991). Prosedur penelitian secara keseluruhan disajikan pada Gambar 18.

Skema Klasifikasi Pra Pengolahan Citra Landsat 8OLI Klasifikasi Citra Klasifikasi Berbasis Objek Klasifikasi Berbasis Piksel Algoritma MLH dan SVM Algoritma SVM Peta Tematik Habitat Terumbu Karang Uji Akurasi Perbandingan Hasil Uji Akurasi

Gambar 18 Prosedur penelitian klasifikasi habitat

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Reflektansi Dasar

Koreksi kolom perairan merupakan metode yang umum digunakan untuk mengurangi pengaruh variabel kedalaman dalam memetakan fitur dasar perairan dengan pendekatan berbasis citra satelit. Metode koreksi kolom perairan mampu mengurangi hambatan untuk memprediksi reflektansi dasar perairan berdasarkan prosedur metode depth invariant index (DII) dari tiap pasangan band spektral citra yang digunakan (Lyzenga 1978; Lyzenga 1981). Metode yang dikembangkan oleh Lyzenga ini tidak memerlukan perhitungan secara keseluruhan tetapi hanya menggunakan informasi yang berasal dari rasio koefisien pelemahan (attenuation coefficients)antara pasangan band spektral dari citra itu sendiri. Setiap pasangan band disajikan dalam grafik b-plot tranformasi logaritma untuk substrat dasar homogen dengan kedalaman berbeda (Gambar 19). Oleh karena pengaruh kedalaman pada nilai reflektansi substrat adalah tetap, nilai piksel setiap band bervariasi secara linier sesuai dengan kedalaman (ditunjukan oleh sebaran titik pada garis lurus). Nilai slope grafik bi-plot merupakan representasi dari jumlah relatif

attenuation pada setiap band atau rasio attenuation coefficient (ki/kj) antara pasangan band.

Gambar 19 Bi-plot tranformasi logaritma band Landsat 8OLI

Nilai piksel tidak seluruhnya dapat memberikan gambaran jenis substrat dasar yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti variasi alami reklektansi dasar, kualitas air dan karakteristik sensor. Namun demikian, setiap piksel dapat digunakan untuk menandai indeks tipe dasar perairan dari estimasi rasio ki/kj. Rasio (ki/kj) pasangan band citra Landsat 8OLI disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Rasio koefisien atenuasi pasangan band citra landsat 8OLI

Pasangan Band (ki/kj)

1/3 (coastal-hijau) 1/4 (coastal-merah) 2/3 (biru-hijau) 1/2 (coastal-biru) 2/4 (biru-merah) 3/4 (hijau-merah) 0.29 0.40 0.47 0.56 0.83 1.92

Rasio koefisein atenuasi berkisar antara 0.29-1.92 yang merupakan kisaran rasio koefisien atenuasi perairan laut (Lyzenga 1981). Semakin besar nilai ki/kj menunjukan bahwa kemampuan identifikasi terhadap tipe dasar perairan menurun. Koefisien atenuasi band spektral berbeda akan bervariasi tergantung pada tipe

50

spesifik perairan dalam penentuan sampel pada citra. Semakin besar kisaran panjang gelombang pasangan band yang dibandingkan, maka nilai rasio ki/kj semakin kecil yang berarti bahwa kemampuan terhadap identifikasi tipe dasar peairan semakin baik. Hasil perhitungan nilai ki/kj pada penelitian ini menunjukan bahwa kombinasi pasangan band 1/3 dan 1/4 dengan kisaran panjang gelombang lebih besar mempunyai nilai ki/kj lebih kecil dari pasangan band lainnya.

Beberapa peneliti telah mempublikasikan rasio ki/kj tetapi tidak dapat digunakan secara langsung karena menggunakan citra berbeda. Rasio ki/kj citra Landsat TM 1/3 lebih kecil dari band 1/2 dan band 2/3 di lokasi Bahamas dan Turks and Caicos Island (Lyzenga 1981; Armstrong 1993). Oleh karena itu (Green et al.

2000) merekomendasikan bahwa jika citra satelit mempunyai beberapa band dengan sifat penetrasi ke dalam air yang baik seperti Landsat atau CASI sehingga tiap pasangan band spektral akan menghasilkan band DII, maka seluruh band DII sebaiknya digunakan untuk proses klasifikasi. Band DII yang dihasilkan dari citra Landsat 8OLI dalam penelitian ini sebanyak enam band digunakan dalam proses klasifikasi habitat terumbu karang.

Karakteristik transformasi reflektansi dasar tujuh kelas habitat terhadap band DII menunjukan bahwa nilai DII meningkat dari band DII_12 ke band DII_13 kemudian menurun pada ban DII_14. Nilai transformasi reflektasi kembali mningkat pada band DII_23 kemudian menurun drastis pada band DII_24 dan DII_34 (Gambar 20).

Gambar 20 Karakteristik transformasi reflektasi habitat terumbu karang dengan band DII

Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa transformasi reflektansi dasar band DII yang ditentukan oleh (R2) kelas habitat sebesar 98.73%. Berdasarkan tabel analisis sidik ragam band DII diperoleh nilai F hitung 211.87, lebih besar dari pada

F tabel (Tabel 13), maka hasil analisis ini menolak hipotesis nol dan menerima hipotesis alternatif bahwa paling kurang terdapat dua pasang transformasi reflektansi band DII dan kelas habitat yang berbeda. Dengan deimkian dalam analisis ini dapat dinyatakan terdapat rata-rata transformasi reflektansi yang berbeda nyata pada taraf 95% (p <0.05).

-12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6

DII_12 DII_13 DII_14 DII_23 DII_24 DII_34

T ra n sf o rm asi re fl e kt an si

Pasangan Kanal DII

Tabel 13 Analisis sidik ragam transformasi reflektasi kelas kabitat terhadap band DII Sumber Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F-hit Pr > F Model 11 750.6579 68.2416 211.8784 < 0.0001 Error 30 9.6624 0.3221 Total 41 760.3203

Hasil analisis Duncan menunjukkan bahwa terdapat tiga kelompok transformasi reflektansi band DII, yaitu kelompok band DII_14, DII-12 dan DII_23 yang tidak berbeda nyata dan kelompok band DII berbeda nyata yaitu DII_34, DII_24 dan DII_13. Transformasi reflektasni habitat dasar terumbu karang dikelompokan menjadi tiga yaitu kelompok habitat pasir (P) dengan karakteristik yang berbeda nyata dengan kelompok karang hidup (KH), lamun (L) dan pecahan karang pasir (PKP) serta kelompok pasir alga (PAL), pecahan karang (PK) dan pasir pecahan karang (PPK).

Optimasi Skala Segmentasi

Optimasi skala segmentasi klasifikasi berbasis objek mengacu pada hasil penelitian sebelumnya (Wahidin et al. 2015). Pengaruh parameter dapat terlihat secara jelas terhadap objek yang dihasilkan. Semakin besar nilai scale, makaobjek yang dihasilkan lebih besar. Terbukti bahwa parameter segmentasi mempengaruhi bentuk, ukuran dan jumlah objek yang dihasilkan (Gambar 21).

Gambar 21 Variasi ukuran objek yang dihasilkan dari besaran skala segmentasi; skala segmentasi (a) 0.1; (b) 0.2; (c) 0.3; (d) 0.4; (e) 0.5

52

Akurasi keseluruhan (OA) teknik klasifiaksi berbasis objek dengan algoritma

machine learning menunjukan bahwa semakin besar skala segmentasi yang diterapkan maka nilai akurasi dan jumlah objek menurun pada masing-masing algoritma kalsifikasi dengan skala segmentasi yang berbeda (Gambar 22).

Gambar 22 Pengaruh skala segmentasi terhadap akurasi keseluruhan (OA) dan jumlah objek yang dihasilkan

Nilai akurasi dan jumlah objek berkurang sesuai dengan penerapan skala segmentasi klasifikasi berbasis objek menunjukan fenomena yang berbeda antara algoritma SVM, RT, KNN dengan algoritma BY dan DT. Akurasi dan jumlah objek

Dokumen terkait