• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metodologi dan Metode Penelitian

BAB I PENDAHULUAN

G. Metodologi dan Metode Penelitian

Penelitian tesis ini dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai: 1. bagaimana praktik atau cara murid-murid di KBQT melakukan literasi

informasi secara kritis dalam rangka pembelajaran; dan karenanya melibatkan:

2. bagaimana interaksi yang terbentuk antara murid-murid KBQT dengan dunia maya, teman sebaya, dan guru/pendamping; sehingga memunculkan:

3. pengetahuan dan pelatihan, pengalaman, serta produk sampingan. Berupa artefak-artefak budaya.

4. Selain itu, dalam penelitian ini juga didapatkan informasi mengenai bagaimana pendamping/guru memosisikan dirinya sehingga memberi kontribusi yang positif terhadap praktik literasi informasi secara kritis.

Data-data tersebut dibaca ulang dari sudut pandang pedagogi kritis. Untuk itu diperlukan suatu metodologi penelitian tertentu yang sesuai dengan informasi yang dibutuhkan dan sejalan dengan pendekatan teoritis mengenai Kajian Budaya.

1. Metodologi

Metodologi dalam Kajian Budaya mendasarkan pada tiga validitas, yakni (a) dialogic validity, yang digunakan dalam pendekatan metodologi hermeneutik; (b) deconstructive validity, untuk pendekatan metodologi postrukturalis; dan (c) contextual validity, untuk metodologi yang melakukan pendekatan terhadap konteks sosial (Saukko, 2003, hal. 19–21). Ketiga hal tersebut berkaitan erat dalam tiga ranah Kajian Budaya, yakni humanistik, strukturalis, dan Marxis kiri baru. Validitas dalam penelitian ini

menekankan pada dialogic validity. Ada tiga kriteria yang layak untuk diraih dalam validitas ini (Saukko, 2003, hal. 20), yakni

1. truthfulness, merujuk pada rasa keadilan dan persetujuan/izin yang diberikan oleh subjek penelitian, sehingga penelitian merupakan kerja kolaboratif antara peneliti dengan subjek penelitian;

2. self-reflexivity, merujuk pada peneliti yang harus bersikap reflektif, bahwasanya ia memiliki pengalaman personal, sosial, dan cultural baggage yang secara subjektif akan memengaruhi proses maupun analisis penelitian; dan

3. polyvocality, yakni menyadari bahwa subjek penelitian tidaklah “tunggal”, melainkan juga menyuarakan hal-hal lain yang berasal dari lingkungan, orang-orang di sekitarnya, keanekaragaman pendapat lain, hingga peneliti lain.

Dialogic validity ini tidak bermaksud “membeberkan” dunia lain dari sisi luar, tetapi lebih pada membahas perjumpaan antar-dunia-dunia ini. Hal ini sangat sesuai dengan pendekatan terhadap rumusan-rumusan permasalahan dalam tulisan ini, sehingga penelitian ini menggunakan dialogic validity dalam memaparkan hasil penelitian. Dengan demikian, suara atau konteks peneliti juga akan diungkapkan, baik di dalam metodologi penelitian maupun di dalam pemaparan data. Melihat validitas-validitas kunci dalam dialogic validiy ini, maka salah satu metodologi yang sesuai adalah etnografi. Definisi penelitian etnografi ini merujuk pada pendapat John Creswell berikut:

Rancangan etnografis adalah prosedur penelitian kualitatif untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan menginterpretasi pola-pola perilaku, keyakinan, dan bahasa yang sama pada culture-sharing group (kelompok berbudaya sama), yang berkembang seiring jalannya waktu .... Hal yang berperan sentral adalah budaya (Creswell, 2015, hal. 932).

Definisi di atas memiliki perbedaan dengan pendapat Norman K. Denzin, yang menyatakan bahwa etnografi adalah salah satu bentuk penelitian dan penulisan yang memproduksi deskripsi mengenai “jalan hidup” penulis dan apa-apa yang ditulisnya (Denzin, 1997, hal. xi). Denzin memberi istilah “penulisan” dan menyebut peneliti sebagai “penulis”. Lebih jauh, Denzin menjelaskan bahwa teori sosial adalah juga merupakan theory of writings, dan theory of writings juga merupakan teori atas karya interpretif (atau etnografis). Teori, penulisan, dan etnografi adalah tiga praktik material yang tak dapat dipisahkan. Menurut Denzin, mereka yang menulis tentang budaya, juga menuliskan teori, demikian pula sebaliknya. Karena sifat penelitian etnografis yang demikian, maka Denzin memparafrasekan pendapat Clough bahwa “... ada suatu kebutuhan akan bentuk refleksi dari tulisan yang mengembalikan teks etnografis dan teoritis ‘ke arah satu sama lain’”. Atau, etnografi yang memiliki sifat reflektif terhadap dirinya sendiri atau self-reflexivity, dan sekaligus memiliki teks etnografis yang dialogical, yakni ketika suara penulis dan suara liyan sama-sama bersuara dan saling berinteraksi (Denzin, 1997, hal. xii–xiii). Hal ini selaras dengan dialogic validity di atas.

2. Posisi Peneliti

Posisi dan cultural baggage saya sebagai penulis perlu dijelaskan sebagai berikut. Peneliti adalah mahasiswa pascasarjana dari Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, dan penelitian ini dilakukan dalam rangka penulisan tesis. Peneliti tertarik pada gagasan-gagasan pendidikan di luar arus utama seperti sekolah-sekolah atau komunitas pendidikan yang tidak menggunakan kurikulum formal, komunitas homeschooling, hingga unschooling, serta gagasan mengenai pedagogi kritis, terutama praktik di

Indonesia pasca-reformasi. Peneliti juga memiliki ketertarikan dan pengalaman di bidang internet, film, dan media masa.

3. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif

John Creswell menyatakan kapan peneliti cenderung menggunakan penelitian kualitatif, dan kapan menggunakan penelitian kuantitatif. Perbedaan tersebut ditunjukkan dalam Tabel 1.1 berikut.

Tabel 1. 1. Perbedaan Penggunaan Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Menurut John Creswell (2015, hal. 140)

Cenderung melakukan kuantitatif apabila penelitian mengharuskan:

Cenderung melakukan kualitatif apabila penelitian mengharuskan:

Mengukur variabel Mempelajari tentang pandangan individu

Mengases dampak variabel tersebut pada hasil

Mengases proses dari waktu ke waktu

Menguji teori atau penjelasan luas Menghasilkan teori berdasarkan perspektif

partisipan Menerapkan hasil pada sejumlah besar

orang

Mendapatkan informasi terperinci tentang beberapa orang atau tempat penelitian

Informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini akan dapat diperoleh jika penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Karena itu, penelitian ini menggunakan metode secara kualitatif.

4. Metode Penelitian a. Subjek penelitian

Pemilihan subjek penelitian (atau partisipan) dilakukan dengan menggunakan pendekatan purposeful sampling. Pendekatan ini sudah umum dilakukan di dalam penelitian kualitatif. Menurut Creswell, purposeful sampling ini memang digunakan untuk memahami dan mempelajari fenomena sentral (Creswell, 2015, hal. 31), dalam hal ini adalah literasi informasi kritis di kalangan anggota KBQT. Salah satu cirinya adalah, partisipan dipilih berdasarkan apakah partisipan tersebut memiliki banyak informasi atau narasumber strategis dalam penelitian ini. Penelitian ini juga memilih individu-individu untuk diajak menjadi partisipan.

b. Prosedur penelitian

i. Durasi penelitian

Penelitian lapangan dimulai dari tanggal 20 Desember 2016 s.d. 2 Februari 2017, dengan 9 (sembilan) kali kunjungan khusus untuk wawancara di luar observasi lingkungan. Walaupun penelitian lapangan secara formal selesai bulan Februari, akan tetapi peneliti masih menjalin komunikasi dengan partisipan, mengetahui perkembangan KBQT, dan meneruskan wawancara atau klarifikasi data hingga 20 Juni 2017.

ii. Prosedur Wawancara

Wawancara dilakukan dengan bekal outline wawancara. Sebelum wawancara, narasumber dipersilakan mengisi Kuesioner II yang berupa penajaman Kuesioner I. Selain itu, partisipan juga sudah diberi tahu lebih dulu kisi-kisi pertanyaan wawancara. Untuk pendamping, administratur, dan pendiri

KBQT, outline wawancara sudah disampaikan antara 1 hari s.d. 7 hari sebelumnya. Untuk murid, outline wawancara diberitahukan secara lisan ketika membuat perjanjian kapan wawancara dilakukan.

Walaupun wawancara menggunakan panduan, akan tetapi topik wawancara tidak dibatasi secara ketat, atau “semi terstruktur”. Jika ada topik yang muncul dan relevan, maka arah wawancara bisa bergeser. Demikian pula jika ternyata salah satu poin dalam outline sudah tidak relevan, maka urung ditanyakan.

Wawancara direkam secara audio dengan seizin partisipan sebelum wawancara dilakukan. Partisipan juga diberi tahu bahwa ia berhak untuk meminta agar rekaman dimatikan dan/atau mengingatkan bahwa pernyataannya tidak boleh dicatat, jika ada hal-hal yang dirasa tidak layak direkam dan/atau dicatat. Durasi setiap sesi wawancara beragam. Paling cepat sekitar 10 menit, dan paling lama 3 jam. Tetapi rata-rata setiap sesi wawancara dilangsungkan sekitar 1,5 s.d. 2 jam. Setiap partisipan murid mendapatkan 2-3 sesi wawancara, sedangkan untuk pendamping, administratur, dan pendiri masing-masing mendapatkan satu sesi wawancara.

Sebagai catatan, agar partisipan (terutama murid) perempuan merasa nyaman saat wawancara, maka peneliti ditemani seorang pendamping wawancara yang berjenis kelamin perempuan.

iii. Pengamatan lapangan

Pengamatan lapangan dilakukan dengan mengunjungi dan mengamati (1) lingkungan belajar KBQT, bangunan utama, “aula”, fasilitas, dan sebagainya; (2) lingkungan sekitar lokasi, meliputi suasana hidup di tengah kampung, jalan

menuju lokasi, sekolah sekitar, persawahan, dan sebagainya; (3) kegiatan belajar murid, baik dalam tatap muka guru-murid maupun dalam kegiatan lain di sekolah.

iv. Pengumpulan artikel dari media (sumber sekunder)

Sebagian besar artikel dari media yang dikutip dalam tulisan ini sudah dikumpulkan dalam bentuk buku berjudul “Pendidikan Alternatif: Qaryah Thayyibah” (Zaenurrasyid (ed.), 2007). Selain itu, turut menjadi sumber sekunder adalah karya-karya tulis seperti tesis dan desertasi yang pernah dilakukan di KBQT. Sedangkan dari sekian banyak materi yang didapatkan secara daring mengenai KBQT, informasi terbanyak justru datang dari situs KBQT yang bergaya blog, beralamat di http://www.kbqt.org. Sayangnya, sampai terakhir penulis mengamati, berita di blog tersebut terakhir diperbarui tahun 2014. Sumber lainnya adalah buku-buku karya anak-anak KBQT yang dipajang di perpustakaan sekolah, film-film pendek karya murid, brosur dan poster di media sosial, serta video-video rekaman liputan media mengenai KBQT.

5. Penyajian Data

Data dalam penelitian ini diuji menggunakan dialogic validity, sehingga penjelasan mengenai persetujuan partisipan mengikuti wawancara, kondisi yang menggambarkan situasi pengambilan data, serta posisi peneliti dalam setiap data akan disebutkan.

Bentuk data primer berupa (1) transkrip wawancara, (2) foto, dan (3) catatan-catatan observasi lingkungan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari (1) buku-buku, (2) koran, dan (3) arsip di situs berita daring, blog, dan materi yang dapat diunduh.

Data yang dipaparkan berupa deskripsi dan paparan serta jika diperlukan kutipan wawancara, foto, serta data yang diambil dari kuesioner. Data akan dikelompokkan berdasarkan topik pembahasan, dan dibandingkan antara partisipan yang satu dengan partisipan yang lain: bukan untuk mencari konsensus, tetapi lebih pada mencari perbedaan berdasarkan keragaman latar belakang partisipan.

6. Pembahasan

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dan diinterpretasikan untuk digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Teori dan konsep yang digunakan untuk menganalisis dan membahas data hasil penelitian adalah sebagai berikut.

a. Praktik Literasi Informasi Kritis di KBQT

1. Subjek dibahas dengan menggunakan konsep karakteristik orang yang terliterasi menurut Potter (2009, hal. 564–566).

2. Relasi antara subjek dengan informasi dan penciptaan karya subjek dilihat menggunakan unsur-unsur dalam praktik literasi informasi kritis.

3. Pola-pola yang muncul dalam praktik literasi informasi kritis di KBQT dianalisis menggunakan konsep Piramida DIKW (Welsh & Wright, 2010, hal. 2–3).

b. Peran dan Posisi Pendamping di KBQT

Posisi dan peran pendamping dalam kontribusinya membangun suasana literasi informasi kritis dibahas dan dikaitkan dengan pengetahuan, kreativitas, dan empat wacana menurut Anne Herbert (2010). Posisi guru, karya, dan literasi informasi sebagai sarana untuk mendapatkan pengetahuan dibahas di bagian ini.

Selain itu, teori empat wacana juga digunakan untuk melihat relasi antara guru dengan murid, dan dikaitkan dengan pembelajaran seperti apa yang akhirnya muncul dari relasi tersebut.

c. Pembahasan dari Sudut Pandang Pedagogi Kritis

Kesimpulan dari pembahasan yang didapat mengenai praktik literasi informasi kritis murid-murid KBQT dan peran pendamping ditinjau menggunakan sudut pandang pedagogi kritis.

Pembahasan tersebut dilakukan dengan membandingkan praktik literasi informasi kritis dan empat wacana kreativitas, dengan misi, agenda, dan tujuan pedagogi kritis. Tidak tertutup kemungkinan terjadinya pergeseran, perpotongan, maupun kritik atas praktik itu sendiri.

Dalam penelitian ini, sedapat mungkin pembahasan mengaitkan ke konteks sosial yang lebih luas, termasuk di dalamnya dunia pendidikan dasar di Indonesia pada umumnya.

H. Sistematika Penulisan