• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Empat Wacana dan Pembelajaran di KBQT

BAB IV PRAKTIK LITERASI INFORMASI KRITIS DAN PEDAGOGI KRITIS

B. Teori Empat Wacana dan Pembelajaran di KBQT

Dalam penelitian ini, relasi antara pendamping dan murid dibahas menggunakan Teori Empat Wacana. Dalam skema empat wacana, baik yang diuraikan Anne Herbert (2010) maupun Mark Bracher (2006), guru (atau pendamping di KBQT) menempati posisi sebagai agen, sedangkan murid menempati posisi sebagai liyan atau other. Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa wacana yang beroperasi di KBQT tidak melulu satu atau dua wacana saja pada waktu yang sama. Wacana-wacana tersebut secara simultan saling tumpang tindih, dan dapat berganti dengan cepat sesuai dengan kondisi dan siapa yang menempati posisi agen. Misalnya, seorang murid dapat saja berperan sebagai other dengan Bu Dewi sebagai agen di Wacana Histeris, tetapi di saat yang sama murid tersebut berada di Wacana Tuan di hadapan Pak Din yang berperan sebagai agen. Selain itu, bisa saja saat itu juga murid tersebut berperan menjadi agen di depan adik-adik kelasnya yang berperan sebagai other dalam Wacana Universitas.

Oleh karena itu, pembahasan dalam tulisan ini lebih mengerucut pada pengalaman murid-murid senior (Hasni, Yudha, dan Lita) dalam berelasi dengan pendamping senior (Ibu Ely, Ibu Dewi, dan Ibu Heni), serta pengalaman guru-guru senior ini, ditambah dengan hasil observasi kegiatan di KBQT.

a. Wacana Histeris dan Wacana-wacana Lain

Di KBQT, pendamping kerap menggunakan Wacana Histeris dalam berelasi dengan murid, seperti pada notasi berikut.

$ š‘Žā†’

š‘†1 š‘†2

š‘š‘’š‘›š‘‘š‘Žš‘šš‘š‘–š‘›š‘” ā†’ š‘šš‘¢š‘Ÿš‘–š‘‘

Pendamping membayangkan suatu kondisi ideal (misalnya muncul dalam kalimat ā€œtempat belajar sesungguhnyaā€), dan kondisi tersebut secara terkode tersampaikan kepada murid melalui keinginan-keinginan, nasihat-nasihat, serta pembelajaran yang dilakukan pendamping. Murid ā€œdirangsangā€, menjadi penasaran, bukan untuk dirinya sendiri, tetapi dalam rangka untuk memenuhi harapan pendamping. Hal ini secara implisit tampak dalam wawancara dengan Hasni dan Yudha. Mereka merasa tahu apa yang diinginkan pendamping, tetapi sekaligus ā€œmeraba-rabaā€ bahwa apa yang nantinya dilakukan pasti akan dikritisi (selain dipuji) menuju hasil yang lebih baik, yang mengoptimalkan segala kemampuan mereka. Murid berusaha merespons pendamping dengan giat dalam membuat karya, berdiskusi, serta menunjukkan pencapaian dirinya. Atau dengan kata lain, Hasni dan Yudha berusaha keras ā€œmenjawabā€ keinginan pendamping yang sebenarnya tidak/belum mereka ketahui dengan jelas.

Bahasa yang digunakan Bu Dewi dalam menunjukkan apa yang diinginkannya adalah bahwa murid diharapkan dapat ā€œmengenali diri sendiriā€. Proses mengenali diri sendiri dan berkarya iniā€”secara teoritisā€”akan selalu tidak sesuai dengan bayangan pendamping mengenai jouissance, yakni hal-hal tidak terungkapkan yang dihasrati pendamping. Sebagai subjek yang mengalami keterbelahan, pendamping kerap merujuk (baca: menggugat) ā€œmaster signifier lamaā€, misalnya kebiasaan sekolah reguler yang tidak berpusat pada anak, peraturan dan sistem pendidikan yang otoriter, Ujian

Nasional, dan bahkan common sense yang berlaku di antara guru pada umumnya: membuat silabus, rencana pengajaran, dan pekerjaan ā€œadministratifā€ lainnya yang ā€œmembebaniā€ guru. Tidak tertutup kemungkinan adalah pengalaman pendamping saat bersekolah dulu kala. Karena itu dapat dipahami apabila knowledge sebagai produk murid sebagai S1 tidak dapat sesuai dengan jouissance pendamping, seperti ditunjukkan oleh Verhaeghe berikut (1995, hal. 104).

Impossibility ā†’ $ ā†’ š‘Ž// š‘†1 š‘†2 ā† Inability

Pendamping (Agen/lacking subject, $) samar-samar (karena prosesnya yang menurut Verhaeghe ā€œimpossibilityā€) menunjukkan pada murid (other/master signifier, S1) pengetahuan yang ā€œnikmatā€ (meminjam istilah Bu Dewi), tetapi tidak dengan memaksa, menyuruh, mengarahkan, dan tidak dengan mengajarkan (seperti arahan Pak Din bahwa pendamping tidak boleh membimbing dan tidak boleh mengajar). Hal ini muncul dalam wawancara seperti pengakuan Bu Dewi ketika menyebutkan bahwa di KBQT ia menemukan arti belajar sesungguhnya (yang sangat diinginkannya), bahkan mengaitkannya dengan pengalamannya waktu kecil bersekolah di sekolah reguler yang formal. Motivasi pendamping untuk memengaruhi muridā€”dalam bahasa Wacana Histerisā€”adalah dalam rangka mencari master signifier baru. Hal ini tampak dalam mengungkapkan ā€œrahasia umumā€ bahwa bukan kondisi seperti ini (kondisi di luar KBQT, kondisi pendidikan, kondisi pembelajaran di Indonesia) yang mereka inginkan, melainkan kondisi tertentu yang lain, yang hanya bisa terwujud jika ā€œmasterā€ yang

menguasai kondisi ini bisa diganti. Pencarian terhadap master signifier baru inilah yang problematis di dalam wacana ini (hal ini juga diungkapkan Bracher, 2006, hal. 97ā€“98).

Bracher menjelaskan bahwa guru sebagai agen dalam Wacana Histeris memiliki kecenderungan memengaruhi muridnya dengan cara menumbuhkan simpati dan perhatian murid atas identitas gurunya yang mengalami lacking (akibat ā€œperbuatan/perkataanā€ master signifier), sehingga murid memiliki pandangan yang kurang lebih sama dengan gurunya, dan murid berisiko mengalami disempowering effect (bandingkan dengan pendapat Bracher, 2006, hal. 97). Hal ini terlihat dari munculnya kritikan-kritikan murid terhadap sistem pendidikan nasional, kebiasaan-kebiasaan di sekolah reguler yang ā€œmembodohkanā€ seperti adanya PR (Pekerjaan Rumah), ranking, dan sebagainya; tidak jauh berbeda dengan pendapat umum para pendamping terhadap pendidikan di sekolah reguler. Kritikan-kritikan tersebutā€”terutama jika dilontarkan oleh murid juniorā€”kadang tidak disertai alasan atau rujukan pengalaman yang cukup memadai, serta terkesan ā€œterlalu terburu-buruā€ dalam memberikan label/stigma/judgement. Berisiko disempowering jika nantinya si murid ā€œcukup puasā€ dengan pendapatnya sendiri (yang mungkin dipengaruhi oleh pendamping atau kakak seniornya) dan gagal mendapatkan pengetahuannya sendiri.

Menurut Bracher, murid yang cenderung mencari pengakuan dengan cara mengadopsi konten ā€œidentitas asingā€ tertentu yang dipercayai akan diterima oleh gurunya, serta menolak elemen-elemen dirinya yang dipercayai akan ditolak oleh gurunya, merupakan kondisi ketika fenomena transference terjadi (lihat Bracher, 2006, hal. 80). Menurut Lacan, transference ini selalu terjadi dalam wacana apa pun ketika di situ ada subject supposed to know, dalam hal ini adalah pendamping. Sedangkan pendamping (atau guru) sulit sekali melepaskan diri dari keadaan menjadi sosok yang

dianggap lebih tahu daripada murid. Selain karena mereka berusia lebih tua (dan harus dihormati menurut orang Jawa), para pendamping juga memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman yang jauh di atas murid-murid. Jika di sekolah reguler pada umumnya fenomena ini mengarah pada Wacana Tuan atau Wacana Universitas, maka kondisi di KBQT memberi peluang besar munculnya Wacana Histeris secara dominan. Hal ini terjadi karena pendamping sejak awal bersikap oposisi terhadap master signifier yang lebih besar (salah satunya sistem pendidikan nasional), dan suka berposisi ā€œasal bukanā€ master signifier lama.

Bracher menambahkan bahwa guru-guru kerap melakukan beberapa strategi menghadapi transference ini, namun alih-alih berhasil, strategi tersebut justru memperkuat ā€œkecintaanā€ murid terhadap guru (bandingkan dengan Bracher, 2006, hal. 82ā€“83). Para pendamping di KBQT juga melakukan strategi-strategi tersebut dan memperoleh hasil yang sama. Ketika Bu Dewi dan guru-guru senior sepakat untuk membebaskan murid berpikir, tidak mengajar/membimbing tetapi hanya mendampingi, wanti-wanti bahwa pendamping bisa salah, menciptakan suasana demokrasi di kelas, dan menyembunyikan/menahan pandangan-pandangan/pengetahuan dirinya di depan murid (supaya murid menemukan sendiri), maka murid justru akan menganggap peran pendamping semakin besar. Persis dengan pengakuan Hasni, Lita, dan Yudha, yang secara implisit sepakat bahwa pendamping memiliki peran yang sangat besar bagi kehidupan mereka. Di samping itu, pendamping pun tampaknya juga ā€œmenikmatiā€ mendapatkan pengakuan tersebut. Hal ini tampak dari bagaimana para pendamping menceritakan kedekatan mereka dengan para murid (bandingkan dengan pernyataan Bracher, 2006, hal. 84). Hal-hal di atas merupakan faktor-faktor yang menyebabkan sulitnya pola relasi pada subjek-subjek penelitian ini melangkah keluar dari Wacana

Histeris, menjadi Wacana Analis. Alih-alih keluar, justru ā€œberputarā€ sesekali menjadi Wacana Tuan dan Wacana Universitas.

Secara konsep, para pendamping sepakat bahwa peranannya di KBQT adalah sedapat mungkin tidak berperan; tidak mengajar, tidak membimbing, hanya mendampingi. Hal ini sepintas sesuai dengan harapan dalam Wacana Analis bahwa sekolah memberi ruang seluas-luasnya agar anak dapat belajar dari pengalaman dan situasi, menciptakan pengetahuan atas keinginannya sendiri, sehingga memperkuat identitasnya sebagai individu, dan bukan karena respons terhadap agen yang terbelah ($) atau agen yang menjadi tuan (S1). Walaupun secara konsep seakan sudah mengarah pada pedagogi kritis dengan Wacana Analis, namun dalam kenyataannya hal tersebut masih jauh dari harapan.

Walaupun demikian, berada di dalam Wacana Histeris merupakan pencapaian tertentu yang sulit diimbangi oleh komunitas-komunitas atau sekolah-sekolah lain. Wacana Histeris ini menjadi penting, karena walaupun sulit terwujud, wacana ini membuka peluang terciptanya Wacana Analis. Tetapi, tidaklah mudah untuk menciptakan Wacana Histeris jika suatu relasi berada di posisi Wacana Tuan atau Wacana Universitas.

***

Di KBQT, murid mendapat cukup ruang untuk membuat peraturan atau menciptakan konsensus atas suatu konsep/informasi melalui diskusi-diskusi dan kesepakatan-kesepakatan yang secara teknis dapat dikatakan berpusat pada anak. Di sini literasi kritis menemukan sisi praktisnya ketika murid-murid terbiasa mengobrolkan dengan siapapun suatu informasi tertentu (lihat gambar 4.2 di halaman 151). Murid kemudian memiliki peluang untuk mampu menciptakan struktur pengetahuannya sendiri,

bahkan mengkritisi para pendampingnya, serta relatif mengembangkan resistensi terhadap hoax atau informasi yang tidak sesuai kebutuhan.

Dalam hal ini, diskusi ā€œwajibā€ yang paling memberi pengaruh adalah kegiatan Upacara. Dalam Upacara, diaturlah berbagai kegiatan dan sanksi, yang diwajibkan untuk diikuti sepanjang minggu. Tidak jarang pembicaraan yang terjadi di kelas merujuk pada ā€œberdasarkan keputusan Upacaraā€. Upacara menjadi S1 yang beroperasi sebagai truth di dalam Wacana Universitas:

š‘†2 š‘†1ā†’ š‘Ž $ š‘š‘’š‘›š‘‘š‘Žš‘šš‘š‘–š‘›š‘” š‘‘š‘Žš‘› š‘Žš‘”š‘Žš‘¢š‘šš‘¢š‘Ÿš‘–š‘‘ š‘ š‘’š‘›š‘–š‘œš‘Ÿ ā†’ š‘šš‘¢š‘Ÿš‘–š‘‘

Dalam hal ini, S2 bukan saja diduduki oleh pendamping yang kadang berusaha mengingatkan murid untuk mematuhi keputusan Upacara, tetapi juga diduduki murid-murid tertentu (kebanyakan murid senior) yang kebetulan mengemban tanggung jawab sebagai koordinator forum, atau sekadar merasa bertanggung jawab sebagai murid senior yang sudah sepantasnya mengarahkan adik-adik kelasnya. Murid-murid lainnya beramai-ramai berusaha menyukseskan keputusan Upacara melalui berbagai kegiatan birokratif (mencatat kegiatan, agenda rapat, tata tertib, prosedur, dan sebagainya), yang akhirnya menghasilkan alienasi $ di sisi produk. Bukti dari peristiwa ini adalah bahwa ketika kegiatan Tawasi, maka tampak bahwa murid kerap tidak siap, enggan, dan bermalas-malasan memulai kegiatan. Koordinator Tawasi (Hasni) akan mengatur, menyuruh, mendorong teman-temannya agar melaksanakan Tawasi atas nama keputusan Upacara. Dalam Tawasi itu sendiri, tak jarang peserta dan pembicara menjadi seakan ā€œhanya agar kegiatan terlaksana dan terlaporkan dengan baikā€. Hal ini dapat dilihat dari

kualitas persiapan pembicara, jumlah kehadiran, dan keseriusan dalam Tawasi. Pun demikian, ā€œhasil Tawasiā€ā€”yakni catatan/notulensi yang menjadi ā€œukuranā€ keberhasilan forum iniā€”jarang dibuka/dipelajari lagi. Walaupun demikian, tak dapat disangkal bahwa para murid terlihat menikmati kegiatan ini, ditunjukkan dengan ekspresi senang, dan merindukan kegiatan ini bila lama tidak diadakan.

Apabila kegiatan Upacara diperluas menjadi kebiasaan mengobrol/diskusi (atau menciptakan konsensus) di kalangan murid KBQT sebagai bagian dari literasi informasi kritis, maka dapat dikatakan bahwa ada saat-saat ketika literasi informasi kritis beroperasi sebagai truth dalam Wacana Universitas, yakni ketika literasi informasi kritis tersebut ā€œdilembagakanā€ā€”misalnya dalam bentuk kegiatan Upacara.

Hal yang hampir sama adalah konsep ā€œsekolah bebasā€ dan ā€œsekolah alternatifā€ yang melekat pada KBQT. Konsep ini juga berpotensi untuk beroperasi sebagai truth dalam Wacana Universitas di KBQT. Saya menduga bahwa banyak kegiatan atau sikap yang dilakukan murid (terutama murid junior) adalah dalam rangka menyukseskan atau ā€œmendapat kreditā€ dalam ā€œsistemā€ sekolah bebas. Jejak-jejak ini tersirat muncul dalam wawancara dengan dua murid junior (Mario dan Ahmad), sayangnya tidak dapat lebih lanjut didalami karena jejak-jejak ini kurang terlihat dalam wawancara dengan murid-murid senior yang menjadi subjek penelitian ini.

Wacana Universitas tidak mudah untuk berubah menjadi Wacana Histeris. Di KBQT, tidaklah mudah untuk ā€œmemprotesā€ apa yang sudah murid-murid sepakati sendiri di dalam Upacara atau konsensus bersama. Pertaruhannya adalah dianggap menjadi murid yang tidak bertanggung jawab, tidak dewasa, dan tidak setia kawan. Akan tetapi, perilaku beberapa murid yang (hampir selalu) terlambat datang Upacara, enggan melakukan kewajibannya, bermalas-malasan memulai sebuah forum, barangkali

merupakan peluang sebagai oposisi atas agen. Menurut Bracher, salah satu akibat berbahaya dari Wacana Universitas ini adalah sedikitnya pengaruh atau hubungan dengan kehidupan nyata atau keseharian di luar wacana ini (Bracher, 2006, hal. 90)57. Meskipun tidak mudah, ā€œritualā€ dalam Wacana Universitas tersebut perlu untuk dikritisi, yang mungkin dilakukan di Wacana Histeris ketika murid melihat ke-tidak-konstektual-an ā€œritual merekaā€ sebagai lack-nya master signifier wacana ini. Tetapi, di KBQT, peneliti hanya menemukan gejala-gejala (seperti malas ikut Upacara, dll) yang barangkali terlalu terburu-buru jika disebut sebagai gerakan konfrontatif atas Wacana Universitas.

***

Berdasarkan hasil wawancara dengan Hasni, Lita, dan Yudha, tampak bahwa murid-murid senior jarang berada sebagai S2 (liyan) dalam Wacana Tuan. Akan tetapi, berdasarkan wawancara dengan para guru senior, tampak bahwa Wacana Tuan ini selalu menjadi andalan dalam kondisi tertentu. Misal ketika bu Ely terpaksa harus marah suatu waktu dan secara deskriptif dan mekanis memerintah murid-muridnya untuk membersihkan ruangan. Atau ketika beliau suatu saat ā€œmenyuruhā€ seorang anak memperbaiki perilakunya dengan menggunakan kalimat ā€œSepintar-pintarnya kamu, kamu belum pernah menjadi orang tua. Tetapi sebodoh-bodohnya ibu, ibu pernah menjadi seusia kamu. Jadi kamu sudah selayaknya menghormati pendapat orang tua.ā€ Wacana Tuan ini juga muncul saat pendamping ā€œkepepetā€ (misalnya tidak siap membawakan materi) dan wacana ini juga sangat mendominasi (bahkan menjadi andalan) pembelajaran di kelas junior.

57 Bracher menuliskan bahwa Wacana Universitas (disebutnya sebagai establishment pedagogy) actually produces little agency and significance in life beyond the classroom (Bracher, 2006, hal. 90).

Selain itu, berdasarkan hasil wawancara, tampak bahwa Pak Din kerap menjadi master signifier dalam Wacana Tuan. Beliaulah yang memutuskan untuk memberi sanksi pada murid atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan serta memiliki ā€œhak vetoā€ jika dirasa perilaku murid sudah ā€œkebablasanā€. Pendamping maupun murid, ketika menemui permasalahan, memiliki kesempatan untuk ā€œnaik bandingā€ dengan meminta petunjuk Pak Din.

Berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan, Wacana Tuan di KBQT muncul pertama-tama justru bukan karena master signifier yang opresif. Dalam hal Pak Din sebagai perwujudan master signifier (yang barangkali di baliknya adalah konsep kesetaraan pendidikan, kebebasan, dsb), maka hal yang sangat menonjol adalah kekaguman para pendamping dan murid terhadap sosok Pak Din. Kekaguman ini misalnya muncul pada ungkapan Bu Dewi ā€œā€¦ nek Pak Din kae levele wis adoh, duwur banget, mendekati sempurna mungkinā€58. Dengan kata lain, Pak Din merupakan subjek supposed to know yang layak untuk mendapat kepercayaan other (dalam hal ini pendamping dan murid). Pendamping dan murid tampak percaya sepenuhnya atas pemikiran-pemikiran dan kebijakan-kebijakan Pak Din. Hal ini ditunjang keberhasilan-keberhasilan Pak Din sejak pembentukan SPPQT, SMP Terbuka Qaryah Thayyibah, posisinya terhadap sistem sekolah formal, dan bagaimana Pak Din mengayomi keberlangsungan proses belajar dan mengajar di KBQT.

Akan tetapi, selain Pak Din, ternyata kesepakatan-kesepakatan dalam diskusi murid di KBQT juga berpeluang menjadi master dalam Wacana Tuan alih-alih Wacana Universitas. Hal ini terjadi ketika para koordinator forum (misalnya Hasni) karena suatu hal ā€œterpaksaā€ (dan bisa jadi keterusan) berperan sebagai ā€œpolisi ketertibanā€ yang

menyuruh (dan memberi sanksi) teman-temannya untuk melaksanakan kesepakatan. Ketika berperan sebagai S1, maka murid senior tidak lagi disibukkan untuk mengajak melaksanakan kesepakatan sebagai sistem yang dilakukan bersama-sama, tetapi lebih memerankan diri sebagai perwujudan kesepakatan itu sendiri.

b. Wacana Analis dan KBQT

Pengalaman berada dalam Wacana Analis di KBQT hanya sepintas-sepintas saja terjadi, seperti ditunjukkan oleh Lita dan Hasni bahwa mereka dalam beberapa kesempatan merasakan memiliki kesempatan dan peluang menelusuri apa yang menjadi keinginannya sendiri dan mewujudkannya sesuai cara yang mereka inginkan. Sesekali, muncul keinginan untuk semakin memahami permasalahan di luar dirinya, di luar apa yang sudah diajarkan. Berdasarkan pengakuan, hal ini muncul karena dorongan dan peran pendamping. Namun di sisi lain, keinginan ini segera tumpang tindih dengan harapan-harapan pendamping yang ada di dalam benak Hasni dan Lita. Dengan kata lain, kesempatan Hasni dan Lita mempelajari unconscious-nya dengan mudah teralihkan untuk berupaya memenuhi keinginan pendamping, atau kembali ke Wacana Histeris.

Di KBQT, pendamping sebagai agen tampak masih sering memanfaatkanā€” bahkan merasa nyamanā€”kondisi transference yang menyebabkan perubahan struktur wacana masih banyak berkutat antara Wacana Tuan dan Universitas menuju/dari Wacana Histeris. Transference ini hanya bisa ā€œdilikuidasiā€ dengan mengarahkan subjek supposed to know dari analis ke unconsciousness (K. D. Cho, 2009, hal. 58ā€“61). Wacana Analis mungkin terjadi apabila unconsciousness ini menggantikan subjek supposed to know sebagai sumber pengetahuan dan pembelajaran (K. D. Cho, 2009, hal. 56). Unconsciousness yang dimaksud dalam hal ini, menurut Cho, adalah wacana dari Liyan

(K. D. Cho, 2009, hal. 99) yang dapat dipahami dengan melihat relasi sosial, struktur sosial, dan sebagainya, atau dalam konteks KBQT adalah kehidupan keseharian di Desa Kalibening atau di Kota Salatiga yang dialami oleh murid-murid dan pendamping. Dengan kata lain, relasi murid dan pendamping di KBQT berpeluang berada dalam Wacana Analis apabila murid tidak lagi menganggap pendamping sebagai subject supposed to know yang ā€œmaha-tahuā€, dan mengarahkan sumber belajarnya pada unconsciousness mereka sendiri, yakniā€”seperti diungkapkan Cho (2009, hal. 60)ā€” traumatic knowledge.

Salah satu penyebab sulit terwujudnya Wacana Analis adalah karena posisi pendampingā€”terutama pendamping senior dan Pak Dinā€”adalah sulit untuk tidak menjadi subjek supposed to know. Selain itu, beberapa peluang yang memungkinkan beroperasinya Wacana Analis kerap justru berubah menjadi kebiasaan (atau ā€œritualā€ yang tidak signifikan) seperti dalam Wacana Universitas. Ketika kebiasaan atau kesepakatan ini terlanggar dan tidak dapat dibenahi, maka hanya dapat dibereskan melalui Wacana Tuan. Selain itu, meskipun pendamping mengaku cukup senang dan puas melihat murid dapat terlepas dari sekolah, belajar sendiri, dan bahkan lebih pintar dari pendampingnyaā€”yang mengisyaratkan munculnya self extraction dalam Wacana Analis (lihat K. D. Cho, 2009, hal. 61)ā€”namun pendamping juga tidak bisa memungkiri perasaan senangnya melihat murid-murid (dan ā€œalumniā€) yang menjaga keterikatan dengan pendamping, bahkan ā€œmerayakannyaā€ sebagai bukti keberhasilan pola pendidikan di KBQT.

Sementara itu, para pendamping mengaku sudah cukup berbahagia melihat murid yang ā€œmenemukan dirinyaā€ (seperti pengakuan Bu Elly dan Bu Dewi). Hal ini

merupakan jejak-jejak bahwa identitas pendamping cukup dikuatkan oleh pengakuan dari the real.

Walaupun demikian, keberjarakan terhadap lingkungan dalam proses pembelajaran (akibat gagalnya unconscious menjadi sumber belajar) menyebabkan KBQT tidak dapat sepenuhnya mengemban tujuan transformasi sosial dan pemberdayaan yang diisyaratkan oleh Freire maupun Breuing.

c. Kreativitas di KBQT

Wacana Histeris yang terjadi di Qaryah Thayyibah memang paling dekat dengan teori-teori kreativitas secara tradisional (Herbert, 2010, hal. 67). Dalam wacana ini, murid menghasilkan rantai penanda yang sekiranya dapat memuaskan gurunya. Dalam hal kreativitas, barangkali guru cukup ā€œpuasā€ melihat karya tersebut sebagai penanda menuju jouissance-nya, sedangkan bagi murid kepuasan muncul karena seakan-akan merasa lebih maju atau mengalami peningkatan dalam usaha-usaha menyenangkan gurunya.

ā€œGuru mengklaim bahwa murid memiliki pengetahuan (dan memang benar demikian!). Produksi menghasilkan S2 menyebabkan baik jouissance maupun pleasure (berkaitan dengan produksi savoir dan connaissance dalam wacana ini) pada saat murid berusaha menemukan pengetahuan yang akan memuaskan guru mereka,ā€ (Herbert, 2010, hal. 67ā€“68).

Berkaitan dengan kreativitas, tatap muka pendamping dengan murid di KBQT yangā€”pada kelas seniorā€”banyak didominasi suara-suara murid dapat dianggap sebagai ā€œkerelaanā€ pendamping untuk membiarkan narasi pengajarannya (yang biasa ditemui di kelas yang berpusat pada guru) banyak diinterupsi oleh pertanyaan dan pendapat murid. Meskipun, jika tidak demikian, pendampinglah yang memancing pertanyaan murid. Di satu sisi, interupsi-interupsi ini berpeluang menciptakan jeda-jeda

sepanjang tatap muka, yang memberi kesempatan murid mengalami pengalaman kristalisasi sehingga berpeluang memproduksi savoir. Subject speak when ego is in doubt. Namun, di sisi lain karena desain tatap muka ini disengaja oleh pendamping, maka pendamping tetap merasa bahwa ia masih berada di dalam narasinya. Hal di atas senada dengan pendapat Herbert mengutip Roland Taft59, ego yang permissiveness mendorong kreativitas (Herbert, 2010, hal. 77, 129).

Posisi murid yang duduk melingkar menunjukkan bahwa tidak ada yang lebih utama dalam kelompok pembelajaran ini. Dengan kata lain, posisi duduk mengindikasikan bahwa murid dan pendamping memiliki kesempatan dan penghargaan yang sama untuk berpendapat. Selain itu, murid jadi dapat saling melihat ekspresinya satu sama lain. Hal inilah yang sulit ditemui di kelas sekolah reguler di mana semua murid menghadap ke depan memusatkan perhatian pada guru. Setiap murid memiliki kesempatan untuk menawarkan narasinya masing-masing serta rela ketika narasinya diinterupsi oleh pendamping dan murid lain. Jeda yang tercipta, disruptif yang muncul, tidak hanya bermanfaat bagi pendengar, tetapi juga memberi peluang bagi narator (murid yang saat itu mengungkapkan pendapat) untuk mengalami kristalisasi. Akan tetapi, bagaimanapun juga pengalaman kristalisasi ini dalam bentuk yang lebih panjang terlihat dalam porsi waktu tatap muka dengan guru yang relatif sebentar dibandingkan kegiatan mandiri murid. Seperti ditunjukkan di Bab 3, sebagian besar waktu belajar murid dialokasikan justru saat kegiatan forum dan perbincangan-perbincangan di RK. Pola ini memberi peluang murid untuk melakukan konstruksi dan dekonstruksi atas pembelajaran (atau informasi) yang ia terima.