• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebelum melakukan proses hidrolisis, perlu dilakukan penyiapan larutan H2SO4 sebagai

katalis, yaitu dengan melakukan pengenceran H2SO4 pekat menjadi konsentrasi 0.3 M dan 0.5 M.

Selanjutnya slurry empulur sagu disiapkan dengan konsentrasi 10% (b/b) basis kering atau sebanyak 10 g tepung empulur sagu ke dalam 90 g larutan asam. Slurry selanjutnya diberi perlakuan gelombang mikro menggunakan microwave oven. Tahapan penggunaan gelombang mikro untuk proses hidrolisis dinyatakan dengan power level. Power level menggambarkan besarnya energi yang digunakan dalam menghidrolisis bahan menggunakan microwave oven. Konversi power level terhadap besarnya energi yang digunakan disajikan pada Tabel 4.

Setelah bahan terhidrolisis dengan gelombang mikro, selanjutnya dilakukan penyaringan untuk memisahkan filtrat dari residu yang kemudian dilanjutkan dengan proses penetralan dengan NH4OH

untuk menghentikan proses hidrolisis. Fermentable sugar yang diperoleh selanjutnya dikarakterisasi untuk mengetahui hasil perlakuan terbaik. Proses pembuatan fermentable sugar secara lengkap disajikan pada Gambar 4.

Pemarutan empulur sagu Pembelahan batang sagu

Penggilingan dengan hammer mill

Pengeringan Batang tanaman sagu

Tepung empulur sagu kasar

Tepung empulur sagu ± 35 mesh

Tabel 4. Konversi power level oven microwave

Power Level % Power Output Wattage (Watts)

High 100 800-850

Medium High 70 650

Medium 50-60 500

Medium Low / Defrost 30 350

Low 20 160

Very Low 10 90

Sumber: Anonim (2010), http://ile-maurice.tripod.com/conversion.htm

Gambar 4. Proses hidrolisis empulur sagu secara asam menggunakan perlakuan gelombang mikro dua tahap

Pemanasan dengan Gelombang Mikro Dua Tahap (oven microwave): 1. Tahap 1: Power level 30% (waktu: 1 menit, 2 menit dan 3 menit) 2. Tahap 2: Power level 70% (waktu: 3 menit)

Penyaringan

Penetralan 10 g (bk) tepung empulur

90 g larutan asam

(0.3 M dan 0.5 M) Pencampuran

Slurry empulur sagu

Hidrolisat

Residu

Filtrat

Fermentable sugar

3.2.4

Rancangan percobaan

Penelitian ini dilakukan untuk mengamati pengaruh kombinasi power level gelombang mikro dua tahap dan konsentrasi asam terhadap fermentable sugar yang dihasilkan dari hidrolisis tepung empulur sagu. Rancangan percobaan yang dilakukan adalah uji beda antar perlakuan dengan dua kali ulangan. Dari tiap perlakuan kemudian diuji homogenitasnya menggunakan Program SAS dimana tiap-tiapnya dianggap sebagai perlakuan yang berbeda dan terpisah. Desain percobaannya adalah sebagai berikut:

A: Konsentrasi Asam A1: 0.3 M H2SO4

A2: 0.5 M H2SO4

B: Perlakuan Pemanasan

B0: Pemanasan otoklaf (pembanding) B1: Power level 70% (3`) (kontrol)

B2: Power level 30% (1`) + Power level 70% (3`) B3: Power level 30% (2`) + Power level 70% (3`) B4: Power level 30% (3`) + Power level 70% (3`)

Kombinasi perlakuan konsentrasi asam dan pemanasan yang digunakan dalam proses hidrolisis merupakan satu kesatuan perlakuan. Faktor kombinasi perlakuan konsentrasi asam dan pemanasan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Faktor kombinasi perlakuan konsentrasi asam dan pemanasan Faktor

Kode Konsentrasi Asam (A) Perlakuan Pemanasan (B)

0.3 M

Otoklaf (pembanding) A1B0

Power level 70% (3`) A1B1

Power level 30% (1`) + Power level 70% (3`) A1B2

Power level 30% (2`) + Power level 70% (3`) A1B3

Power level 30% (3`) + Power level 70% (3`) A1B4

0.5 M

Otoklaf (pembanding) A2B0

Power level 70% (3`) A2B1

Power level 30% (1`) + Power level 70% (3`) A2B2

Power level 30% (2`) + Power level 70% (3`) A2B3

Power level 30% (3`) + Power level 70% (3`) A2B4

Parameter yang diamati meliputi pengamatan mikroskopik terhadap hidrolisat, bobot residu, dan pengamatan terhadap filtrat seperti: total gula, gula pereduksi, DE, DP, volume filtrat, kejernihan sirup, kadar HMF, dan furfural. Untuk melihat adanya perbedaan antar perlakuan, dilakukan uji lanjut menggunakan uji Duncan.

Model matematika untuk rancangan percobaan penelitian ini adalah: Yijk = µ + (AB)ij + ฀ijk

Keterangan:

Yijk = Parameter yang diuji dengan perlakuan interaksi konsentrasi asam ke-i dan pemanasan

ke-j, serta ulangan ke-k µ = Nilai tengah populasi

(AB)ij = Pengaruh perlakuan interaksi konsentrasi asam ke-i dan pemanasan ke-j

฀(ij)k = Efek galat pada konsentrasi asam ke-i, pemanasan ke-j, dan ulangan ke-k.

3.2.5

Produksi Bioetanol

Fermentable sugar dari perlakuan hidrolisis terbaik selanjutnya dijadikan substrat fermentasi. Berdasarkan uji statistik diperoleh perlakuan yang menghasilkan karakteristik substrat terbaik terutama yang memiliki gula pereduksi, total gula dan DE tertinggi, serta memiliki nilai DP terendah. Untuk memproduksi etanol perlu dilakukan persiapan kultur yang akan digunakan pada tahapan fermentasi.

a. Persiapan Kultur Khamir

I. orientalis disegarkan dan diperbanyak pada medium agar miring PDA (Potato Dextose Agar) yang diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam. Pembuatan starter dilakukan dengan memindahkan kultur (1 ose untuk 50 ml) pada medium agar PDB (Potato Dextrose Broth) dan diinkubasi pada suhu 30oC selama 24 jam pada inkubator goyang. Setelah diinkubasi selama 24 jam, masing-masing kultur dapat digunakan dalam proses fermentasi sebanyak 10 ml tiap 100 ml substrat.

b. Tahapan Fermentasi

Pada tahap fermentasi diamati pembuatan bioetanol dengan substrat fermentable sugar dari: (1) perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap terbaik, (2) sirup dari pemanasan menggunakan otoklaf sebagai pembanding, dan (3) sirup dari glukosa teknis 10%. Substrat dari sirup glukosa teknis 10% bertindak sebagai kontrol. Sirup tersebut diperoleh dengan cara melarutkan glukosa teknis ke dalam akuades.

Fermentasi berlangsung pada sistem tertutup tanpa aerasi dengan inkubator goyang. Substrat dari glukosa teknis dan perlakuan dengan otoklaf diatur pHnya sehingga konstan pada pH 5, sedangkan substrat dari pemanasan gelombang mikro divariasikan pHnya menjadi pH 3, 4 dan 5. Substrat glukosa teknis disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit, sedangkan substrat dari perlakuan otoklaf dan gelombang mikro tidak perlu disterilkan dengan asumsi tidak ada mikroba yang mampu bertahan hidup pada pH yang sangat rendah. Substrat selanjutnya ditambahkan inokulum

I. orientalis hasil biakan dari PDB. Volume pembentukan CO2 yang dilepaskan dari sistem fermentasi

diukur dan dihitung sebagai laju pembentukan gas CO2 setiap 3 jam hingga jam ke-12, kemudian

pengukuran dilakukan setiap 6 jam hingga jam ke-48, dan setiap 12 jam sampai jam ke-72. Setelah 72 jam, kultur ditetapkan pHnya, kandungan total gula residu, gula pereduksi, DP, total asam, konsentrasi etanol (produk), dan parameter fermentasi seperti Yp/s (perolehan g produk per g substrat)

dan ∆s/s (penggunaan substrat). Konsentrasi etanol ditentukan dengan metode Gas Chromatography. Prosedur analisa cairan fermentasi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3.

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

KARAKTERISTIK EMPULUR SAGU

Bahan baku empulur sagu diperoleh dari industri rumah tangga di daerah Cimahpar, Bogor. Bahan baku awal memiliki kadar air yang cukup tinggi karena masih dalam keadaan basah. Empulur sagu tersebut selanjutnya dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari. Empulur sagu yang telah kering diperkecil lagi ukurannya dengan menggunakan hammer mill hingga lolos ayakan 35 mesh.

Warna empulur sagu awal secara visual adalah putih agak kecoklatan. Namun, seiring dengan lamanya waktu pengeringan, tepung empulur sagu berubah menjadi coklat karena telah mengalami reaksi pencoklatan (browning). Reaksi pencoklatan ini dapat terjadi karena rentang waktu yang lama antara waktu panen dengan waktu pengolahan pati sagu. Warna coklat yang terbentuk akan terikat kuat dengan pati, sehingga mempengaruhi kualitas pati. Reaksi pencoklatan terjadi karena adanya kandungan fenol dan oksidasi fenol (Ozawa dan Arai 1986 dalam Derosya 2010).

Empulur sagu selanjutnya dikarakterisasi untuk mengetahui komposisi yang ada di dalamnya. Karakteristik kimiawi empulur sagu meliputi komponen proksimat, kadar pati dan komponen serat. Komposisi proksimat dan pati empulur sagu disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi proksimat dan pati empulur sagu

Komponen Nilai Air (%) Abu (% bk) Lemak (% bk) Protein (% bk) Serat kasar (% bk) Karbohidrat (by difference) (% bk) Pati (% bk) 14.52 5.16 3.72 1.59 7.93 81.6 55.86

Dari hasil analisa proksimat, komponen bahan tertinggi adalah karbohidrat, yaitu sebesar 81.6% yang sebagian besar terdiri atas pati sebesar 55.86%. Pati merupakan karbohidrat yang akan dikonversi menjadi glukosa sebagai substrat khamir dalam fermentasi. Komponen bahan lainnya seperti lemak, protein dan abu tergolong kecil sehingga empulur sagu yang digunakan pada penelitian ini cocok untuk dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan fermentable sugar.

Kadar air yang diperoleh dari penelitian Fujii et al. (1986) berkisar antara 9-12%. Kandungan air empulur sagu pada penelitian ini cukup tinggi disebabkan oleh kondisi bahan awal yang diperoleh dari industri rumah tangga di daerah Cimahpar Bogor masih dalam keadaan basah. Kadar air empulur sagu yang telah melewati tahap pengeringan adalah sebesar 14.52%.

Kadar abu pada bahan menunjukkan bahan anorganik yang tidak ikut terbakar saat bahan organik dibakar. Menurut Fengel dan Wegener (1984), abu merupakan sisa setelah pembakaran sempurna dari kayu. Abu terdiri dari garam-garam kalsium, kalium dan magnesium, serta terdapat sedikit natrium, aluminium, besi, mangan sulfat, klor, dan silikat. Kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral, kemurnian dan kebersihan suatu bahan yang dihasilkan (Harijadi 1993 dalam

Dwiko 2010). Kadar abu empulur sagu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5.16%, jumlahnya lebih tinggi daripada kadar abu empulur sagu dari penelitian Fujii et al. (1986) yang hanya sebesar 3.80%. Kadar abu yang lebih tinggi menunjukkan rendahnya kemurnian pada empulur sagu. Hal ini wajar karena sagu belum diolah menjadi pati sehingga masih banyak terdapat bahan mineral dan anorganik terutama yang terdapat pada kulit batang sagu.

Komponen lain yang akan dikonversi menjadi gula sederhana selain pati adalah serat. Komponen serat pada empulur sagu tergolong kecil, hanya sekitar 8%. Bagian utama dari komponen serat terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Hasil analisa komponen serat empulur sagu disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Komposisi serat empulur sagu Komponen

NDF (Neutral Detergent Fiber) ADF (Acid Detergent Fiber) Selulosa Hemiselulosa Lignin Nilai (%) 14.51 9.79 2.93 4.72 6.86

Berdasarkan hasil analisa komponen serat metode ADF (Acid Detergent Fiber) dan NDF (Neutral Detergent Fiber) dari Tabel 7, lignin merupakan komponen terbesar pada empulur sagu, yaitu 6.86%, diikuti oleh hemiselulosa sebesar 4.72% dan selulosa sebesar 2.93%. Jumlah lignin yang cukup besar dan selulosa yang sangat kecil membuat komponen serat pada empulur sagu kurang berpotensi untuk dikonversi menjadi gula sederhana karena komponen utama yang akan diubah menjadi gula sederhana adalah selulosa dan hemiselulosa. Lignin merupakan senyawa yang melapisi komponen serat dan pati, dengan demikian tingginya kadar lignin pada empulur sagu dapat menghambat proses hidrolisis. Tingginya kadar lignin disebabkan oleh umur dari tanaman sagu, semakin tua umur tanaman, maka kadar lignin akan semakin tinggi. Menurut Hermiati et al. (2010), lignoselulosa yang terdiri atas selulosa, hemiselulosa dan lignin berfungsi untuk membentuk kerangka struktrual dari dinding sel tumbuhan dan jumlahnya beragam pada berbagai jenis tumbuhan. Komposisi lignoselulosa pada tumbuhan bergantung dari spesies, umur dan kondisi pertumbuhan. Oleh karena itu, pemanfaatan karbohidrat yang terkandung di dalamnya membutuhkan metode hidrolisis yang tepat sehingga dapat menghasilkan rendemen gula yang tinggi.

4.2

HIDROLISIS EMPULUR SAGU SECARA ASAM DENGAN

Dokumen terkait