• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

TANAMAN SAGU

2.1.1

Jenis dan Budidaya Sagu

Tanaman sagu dengan bahasa latin Metroxylon sagu, merupakan tanaman yang menyimpan pati pada batangnya (metro: empulur, xylon: xylem, sagu: pati). Klasifikasi tanaman sagu berdasarkan

database tanaman dari Pelayanan Konservasi Sumber Daya Alam (USDA 2005) menyebutkan bahwa sagu termasuk dalam Famili Arecaceae-palm, Genus Metroxylon dan Spesies Metroxylon sagu.

Terdapat beberapa genus Palmae yang patinya telah dimanfaatkan, yaitu Metroxylon, Corypha, Euqeissona, dan Caryota. Genus yang banyak dikenal adalah Metroxylon dan Arenga karena kandungan patinya cukup tinggi. Sagu dari genus Metroxylon secara garis besar digolongkan menjadi dua, yaitu tanaman sagu yang berbuah atau berbunga hanya sekali (Hapaxanthic) dan tanaman sagu yang berbuah atau berbunga dua kali atau lebih (Pleonanthic). Sagu dari golongan Hapaxanthic

terdiri dari lima varietas penting, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Metroxylon sagu, Rottboellatau sagu Molat

2. Metroxylon rumphii, Martiusatau sagu Tuni

3. Metroxylon rumphii, Martiusvarietas Sylvestre Matriusatau sagu Ihur

4. Metroxylon rumphii, MartiusvarietasLongispinum Matriusatau sagu Makanaru 5. Metroxylon rumphii, MartiusvarietasMicrocanthum Matriusatau sagu Rotan (Haryanto dan Pangloli 1992).

Bagian yang terpenting dalam pembentukan pati sagu adalah daun sebagai tempat fotosintesis. Pertumbuhan dan perkembangan daun yang baik akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organ-organ lainnya seperti batang, kulit dan empulur, sehingga pembentukan pati dapat berlangsung optimal. Batang sagu merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan (karbohidrat) yang dapat menghasilkan pati sagu. Ukuran batang sagu dan kandungan patinya bergantung pada jenis sagu, umur dan habitat pertumbuhannya. Pada umur panen sagu sekitar 11 tahun ke atas, empulur sagu mengandung pati sekitar 15-20%. Pada umur setelah masa panen, sagu akan mengalami penurunan kandungan pati. Penurunan kandungan pati biasanya ditandai dengan mulai terbentuknya primordia bunga. Setelah melewati fase primordia, kandungan pati menurun karena digunakan sebagai energi untuk pembentukan bunga dan buah. Setelah terbentuk bunga dan buah, batang akan menjadi kosong dan tanaman sagu akan mati. Keadaan tersebut mempermudah petani dalam mengetahui rendemen pati sagu maksimal. Ciri-ciri pohon sagu yang kandungan patinya mencapai maksimum dan siap panen adalah pangkal daun yang terletak di bawah pelepah daun berwarna kelabu biru. Ukuran diameter batang sagu siap panen bisa mencapai 80-90 cm dan rata-rata sekitar 50 cm. Pada umumnya, kandungan pati bagian bawah batang lebih besar dari pada bagian atas (Haryanto dan Pangloli 1992).

2.1.2

Potensi Sagu

Menurut Flach (1979) dalam Haryanto dan Pangloli (1992), sagu merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK). Tumbuhan ini merupakan tumbuhan penghasil karbohidrat yang cukup tinggi dibanding dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Potensi sagu di Indonesia mencapai kurang lebih 50% dari sagu dunia. Secara alami tumbuhan sagu tersebar

hampir di setiap pulau di Indonesia dengan luasan terbesar berpusat di Papua, sedangkan sagu semi budidaya terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera.

Areal tanaman sagu di Indonesia diperkirakan 95.9% tersebar di Kawasan Timur Indonesia dan 4.1% di Kawasan Barat Indonesia. Produksi tepung sagu kering di Maluku kurang lebih 4.4 ton per hektar per tahun dan di daerah Selat Panjang Riau mencapai 25 ton per hektar per tahun. Areal hutan sagu di Indonesia sekitar 1,250,000 hektar dengan kepadatan anakan 1,480 per hektar yang setiap panen menghasilkan 125-140 pohon per tahun. Hutan sagu tersebut tersebar di Papua seluas 1,200,000 hektar dan Maluku seluas 50,000 hektar serta 148,000 hektar hutan sagu semi budidaya yang tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat). Akan tetapi, dari luasan tersebut hanya sekitar 40% saja yang merupakan areal penghasil pati produktif dengan produktivitas pati 7 ton per hektar per tahun, hal ini ditandai dengan banyaknya tanaman sagu yang layak panen tetapi tidak dipanen sehingga akhirnya rusak. Pemanfaatan sagu di Indonesia hanya terbatas pada skala petani atau industri kecil dengan cara pengolahan manual dan memiliki harga jual yang rendah (Suryana 2007).

Terdapat sekitar 1,406,469 hektar tegakan sagu di Irian Jaya. Setiap hektar tegakan sagu per tahun paling sedikit menghasilkan 2.5 ton pati sagu. Dengan demikian, di Irian Jaya terdapat potensi pati sagu sekitar 3,516,173 ton sagu per tahun. Untuk kebutuhan pangan, masyarakat Irian membutuhkan sekitar 150,000 ton sagu per tahun. Dari data ini, di Irian Jaya terdapat potensi sagu sekitar 3,400,000 ton yang belum termanfaatkan. Terdapat sekitar 56,100 hektar tegakan sagu di Mentawai dengan produksi sekitar 1,200 ton. Potensi pati sagu di daerah Mentawai ini mencapai 139,000 ton per tahun. Terdapat tegakan sagu sekitar 95,790 hektar di Padang Pariaman dengan produksi 5,063 ton per tahun, di daerah ini terdapat potensi sagu yang belum termanfaatkan sebanyak 234,412 ton sagu per tahun. Dari penjelasan tersebut, potensi sagu di Indonesia sangat tinggi dan sudah saatnya dilakukan pemanfaatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan telah merintis pemanfaatan sagu menjadi bioetanol, baik skala laboratorium maupun skala usaha kecil. Hal ini merupakan penelitian awal dalam rangka menuju optimalisasi produksi bioetanol dari sagu (Haryanto dan Pangloli 1992).

2.2

SIFAT FISIK DAN KIMIA EMPULUR SAGU

Secara umum, penampakan fisik dari tanaman sagu varietas Metroxylon sagu adalah daun berujung runcing panjang dan tajam, batang tidak terlalu tinggi, namun dapat menghasilkan pati paling banyak dibandingkan varietas sagu lainnya. Metroxylon rumphii merupakan sagu yang paling banyak tumbuh di Maluku dan sekitarnya, tangkai daunnya berduri banyak dengan susunan berbaris melintang. Duri-duri sagu varietas Metroxylon rumphii berbentuk lurus sepanjang 1-4 cm dan memiliki mutu sagu sangat baik (Anonim 2010).

Menurut Rumalatu (1981), batang sagu terdiri dari lapisan luar yang keras dan bagian dalam yang mengandung serat dan pati. Tebal kulit luar yang keras mencapai 3-5 cm. Struktur batang sagu dari permukaan luarnya meliputi lapisan sisa-sisa pelepah daun, lapisan kulit luar yang tipis dan berwarna kemerah-merahan, lapisan kulit dalam yang keras dan padat berwarna coklat, lapisan serat dan empulur. Penampang membujur batang sagu disajikan pada Gambar 1.

sisa-sisa daun kulit tipis kulit keras serat-serat empulur

Gambar 1. Penampang membujur batang sagu (Ramalatu 1981)

Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), empulur sagu merupakan bagian batang sagu yang mengandung serat dan pati. Pati sagu diambil dengan cara mengekstrak batang sagu dan menyisakan ampas sebagai limbah yang kemudian hanya dimanfaatkan sebagai media tumbuh jamur. Ampas memiliki kandungan terbesar berupa selulosa, hemiselulosa dan lignin. Lignin memiliki struktur yang sulit untuk dihidrolisis sehingga umumnya ampas hanya dimanfaatkan dengan menghidrolisis selulosa menjadi glukosa. Perbandingan komposisi kimia antara empulur sagu dan ampasnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan komposisi kimia empulur sagu dan ampas sagu

Sumber: Haryanto dan Pangloli (1992)

Empulur sagu akan cepat menjadi coklat di sepanjang vaskular dan timbul bintik coklat di bagian intinya (pith). Selama perjalanan menuju tempat pengolahan dan menunggu saat pengolahan, empulur sagu yang telah terkupas kulitnya akan segera mangalami perubahan warna yang semakin lama akan semakin meningkat. Perubahan warna ini disebabkan oleh reaksi pencoklatan. Reaksi pencoklatan ini bisa terjadi secara enzimatik dan non enzimatik. Warna coklat pada empulur sagu disebabkan oleh terlukanya jaringan hingga akhirnya rusak. Kerusakan jaringan ini terjadi karena penebangan dan pengangkutan yang kurang baik saat pemanenan, sehingga jaringan akan menjadi memar, terpotong atau terkelupas (Eskin et al. 1971).

Selain sifat fisik tersebut, empulur sagu juga memiliki komponen kimia seperti yang telah diteliti oleh Safitri et al. (2009), empulur sagu terdiri atas pati sebanyak 57.25%, serat 31.59% dan memiliki kadar air 11.16%. Fujii et al. (1986) telah meneliti komposisi kimia empulur sagu dan membaginya ke dalam tiga bagian, yaitu empulur bagian luar, bagian tengah dan bagian dalam. Karakteristik empulur sagu yang diuji meliputi komponen proksimat, pati dan beberapa komponen mikro lainnya seperti asam organik. Data hasil pengujian tersebut disajikan pada Tabel 2.

Komposisi Empulur sagu Ampas sagu

Air (%) 64.80 78.34

Lemak (%) 0.41 0.20

Protein (%) 2.14 1.31

Serat kasar (%) 6.56 13.48

Tabel 2. Komposisi kimia empulur sagu kering

Sumber: Fujii et al. (1986), data dalam % basis kering, kecuali kadar air

Komponen utama tepung empulur sagu yang akan dihidrolisis selain pati adalah serat yang tergabung dalam bahan lignoselulosa. Komponen utama dalam bahan lignoselulosa adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Ketiganya membentuk suatu ikatan kimia kompleks yang menjadi bahan dasar dinding sel tumbuhan. Selulosa adalah karbohidrat kompleks dengan rumus empiris C6H10O5.

Selulosa merupakan polimer linier dengan berat molekul tinggi yang seluruhnya tersusun atas β-D-glukosa. Selulosa tidak larut dalam air, biasanya hanya dapat larut dengan alkohol dan eter. Selulosa sangat bersifat resisten untuk bereaksi dengan basa, tetapi memiliki kalarutan yang baik dengan asam kuat. Molekul-molekul selulosa seluruhnya berbentuk linier dan mempunyai kecenderungan kuat membentuk ikatan-ikatan hidrogen intramolekul dan intermolekul. Molekul- molekul selulosa secara agregat membentuk mikrofibril yang sangat teratur (kristalin) diselingi dengan bagian-bagian yang kurang teratur (amorf). Mikrofibril membentuk fibril-fibril dan akhirnya membentuk serat-serat selulosa. Dilihat dari sifat kimia, fisik maupun struktur supramolekulnya, maka selulosa dapat memenuhi fungsinya sebagai komponen struktur utama dinding sel tumbuhan (Fengel dan Wegener 1984).

Hemiselulosa merupakan istilah umum bagi polisakarida yang larut dalam alkali. Hemiselulosa sangat dekat asosiasinya dengan selulosa dalam dinding sel tanaman. Konstituen utama hemiselulosa adalah lima gula netral, yaitu glukosa, mannosa, galaktosa (heksosan), xilosa, dan arabinosa (pentosan). Hemiselulosa berbeda dari selulosa yang merupakan homopolisakarida dengan monomer glukosa dan memiliki derajat polimerisasi yang tinggi. Rantai utama hemiselulosa terdiri atas hanya satu jenis monomer (homopolimer), seperti xilan atau terdiri atas dua jenis atau lebih monomer (heteropolimer) seperti glukomannan. Rantai molekul hemiselulosa lebih pendek daripada selulosa. Berbeda dengan selulosa dan hemiselulola, lignin terdiri atas struktur molekul aromatik yang tersusun atas unit-unit fenil propana yang merupakan senyawa keras yang menyelimuti dan mengeraskan dinding sel (Fengel dan Wegener 1984).

2.3

PERLAKUAN PENDAHULUAN DENGAN GELOMBANG MIKRO

Perlakuan pendahuluan bertujuan untuk perusakan lignin, mengurangi kristalinitas selulosa, dan meningkatkan porositas bahan. Penggunaan gelombang mikro merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan dalam proses hidrolisis karbohidrat. Gelombang mikro merupakan gelombang

Komponen Empulur Utuh Bagian Luar Bagian Tengah Bagian Dalam

Pati (%) 83.50 81.51 83.20 84.72 Lemak kasar (%) 0.38 0.49 0.38 0.31 Serat kasar (%) 3.32 4.20 3.33 3.20 Abu (%) 3.80 4.00 3.50 3.20 Protein (%) 1.15 1.76 1.27 1.06 Pentosan (%) 2.87 - - - Asam malat (%) 1.02 - - - Air (%) 9.79 12.03 12.74 12.67

elektromagnetik yang mempunyai panjang gelombang antara 1.0 cm - 1.0 m dan frekuensi antara 0.3-30 GHz (Taylor dan Atri 2005). Menurut Copson (1975), frekuensi gelombang mikro mempunyai kesamaan dengan gelombang pada radar dan telekomunikasi sehingga untuk menghindari gangguan pada pemakaian radar dan telekomunikasi, maka pada tahun 1859 di Genewa, Federal Communications and International Radio Regulation menyetujui tiga frekuensi gelombang mikro untuk digunakan dalam industri, sains, kedokteran, dan aplikasi lainnya, yaitu 915 ± 25, 2450 ± 13, dan 5800 ± 125 MHz. Diantara frekuensi-frekuensi tersebut yang paling banyak digunakan untuk

oven gelombang mikro adalah 2.45 GHz, yaitu pada panjang gelombang 12.25 cm. Sumber tenaga bagi gelombang mikro adalah magnetron. Pada frekuensi 2.45 GHz magnetron bisa menghasilkan daya antara 500-2000 W bahkan dapat mencapai tingkat maksimum 6-10 kW.

Pemanasan dengan gelombang mikro terjadi karena adanya mekanisme pemanasan berbentuk polar. Molekul polar seperti air akan mengikuti gerakan elektromagnet pada frekuensi tertentu, sehingga timbul gerakan intermolekul pada molekul air yang berbentuk acak dan menghasilkan panas (Corsaro et al. 2004).

Pemanasan dengan mengunakan gelombang mikro dapat mengkonversi langsung pati menjadi gula dalam waktu yang singkat. Laju reaksi pengubahan pati menjadi glukosa menggunakan gelombang mikro adalah 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan pemanasan konvensional. Paparan bahan dengan pemanasan gelombang mikro dalam waktu yang singkat dapat memperkecil kemungkinan terjadinya hasil samping yang tidak diinginkan (Kunlan et al. 2001).

Struktur lignin yang keras dan tingginya sifat kristalin serat pada empulur sagu menyulitkan kerja asam atau penetrasi enzim ke dalam substrat. Namun, menurut Nicolic et al. (2008), perlakuan awal menggunakan gelombang mikro dapat merusak struktur pati dalam waktu paparan yang singkat. Proses perusakan yang diharapkan adalah seperti Gambar 2, dimana lignin rusak dan terputus-putus sehingga selulosa dan hemiselulosa yang terlindungi lignin ikut rusak. Rantai lignin, selulosa dan hemiselulosa yang telah rusak diharapkan memudahkan kerja asam membentuk gula sederhana.

Gambar 2. Proses perusakan lignin oleh gelombang mikro (Anonim 2008)

Menurut Taylor dan Atri (2005), penggunaan energi gelombang mikro termasuk mekanisme perpindahan panas secara radiasi. Radiasi merupakan perpindahan panas dari suatu benda ke benda lain tanpa ada kontak fisik, tetapi melalui gerakan gelombang. Mekanisme dasar dari pemanasan gelombang mikro disebabkan oleh agitasi molekul-molekul polar atau ion-ion yang bergerak karena adanya gerakan medan magnetik atau elektrik. Adanya gerakan medan magnetik dan elektrik menyebabkan partikel-partikel bahan di dalam air (molekul polar) dibatasi oleh gaya pembatas. Hal

ini menyebabkan gerakan partikel tertahan dan membangkitkan gerakan acak sehingga menghasilkan panas.

Radiasi gelombang mikro berbeda dengan metode pemanasan konvensional. Radiasi gelombang mikro memberikan pemanasan yang merata pada campuran reaksi. Pada pemanasan konvensional, dinding oil bath atau heating mantel dipanaskan terlebih dahulu kemudian pelarutnya. Akibat distribusi panas seperti ini selalu terjadi perbedaan suhu antara dinding dan pelarut (Taylor dan Atri 2005).

2.4

HIDROLISIS ASAM

Hidrolisis karbohidrat merupakan reaksi kimia menggunakan air untuk memutus rantai polisakarida menjadi rantai-rantai pendek karbohidrat sederhana. Hasil hirolisis ditentukan oleh nilai DE (Dextrose equivalent) yaitu suatu nilai yang mencerminkan derajat hirolisis. Derajat hirolisis tertinggi dinyatakan dengan nilai DE 100, yaitu nilai yang menggambarkan terjadinya hirolisis sempurna pada pati menjadi glukosa. Sirup glukosa mempunyai nilai DE 20-91 (Zamora 2005).

Sebagai bahan baku bioetanol, pati sagu harus dihidrolisis untuk mendapatkan glukosa, kemudian dilakukan fermentasi untuk mendapatkan bioetanol. Hidrolisis pati sagu akan menghasilkan hidrolisat yang berbentuk cairan kental dengan komponen utama glukosa. Berbagai cara hidrolisis pati telah banyak dikembangkan, diantaranya hidrolisis asam, hidrolisis enzim dan kombinasi asam dan enzim. Hidrolisis pati menggunakan katalis asam memiliki diagram proses yang sederhana, namun memerlukan persyaratan peralatan yang rumit, yaitu harus tahan panas dan tekanan tinggi. Berbeda dengan hidrolisis menggunakan asam, selain kondisi proses yang tidak ekstrim, pemakaian enzim dapat menghasilkan rendemen dan mutu larutan glukosa yang lebih tinggi. Pada hidrolisis secara enzimatis, ikatan pati dipotong sesuai dengan jenis enzim yang digunakan, sedangkan hidrolisis menggunakan asam pemotongan dilakukan secara acak (Griffin dan Brooks 1989). Perbandingan hirolisis menggunakan asam dan enzim dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan hidrolisis asam dan enzimatis

Variabel Pembanding Hidrolisis

Asam Enzimatis

Kondisi hidrolisis yang lunak Tidak Ya

Hasil hidrolisis tinggi Tidak Ya

Penghambatan produk selama hidrolisis Tidak Ya

Pembentukan produk samping yang menghambat Ya Tidak

Katalis yang murah Ya Tidak

Waktu hidrolisis yang singkat Ya Tidak

Sumber : Karimi et al. (2006)

Asam kuat berkonsentrasi rendah (encer) pada kondisi reaksi moderat akan mudah menghidrolis hemiselulosa, tetapi diperlukan kondisi yang lebih ekstrim untuk dapat menghidrolisis selulosa. Keuntungan utama hidrolisis dengan asam encer adalah tidak diperlukannya recovery asam dan tidak adanya kehilangan asam dalam proses (Iranmahboob et al. 2002). Pada umumnya, asam yang digunakan untuk menghidrolisis bahan berlignoselulosa adalah H2SO4 atau HCl pada konsentrasi

Penggunaan asam H2SO4 dan HCl sebagai katalis dalam hidrolisis asam menghasilkan gula

sederhana yang berbeda, dimana pada konsentrasi dan waktu hidrolisis yang sama, H2SO4

memberikan hasil yang lebih tinggi daripada HCl. Menurut Choi dan Mathews (1996), hidrolisis pati dengan menggunakan H2SO4 2% selama 40 menit pada suhu 132oC mengakibatkan 92% bagian pati

terkonversi menjadi glukosa, sedangkan HCl 2% dengan waktu dan suhu yang sama mengakibatkan 86% bagian pati terkonversi menjadi glukosa. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sari (2009), bahwa H2SO4 menghasilkan total gula sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan HCl pada konsentrasi, waktu

dan suhu yang sama karena sifat HCl lebih kuat dengan reaktivitas yang lebih tinggi daripada H2SO4.

Katalis asam dapat dicampurkan pada bahan lignoselulosa sebelum atau sewaktu perlakuan pemanasan. Untuk menghidrolisis hemiselulosa, konsentrasi asam yang digunakan antara 0.10%- 0.35%, akan tetapi konsentrasi asam yang dipakai biasanya tidak lebih dari 0.30%. Untuk menghidrolisis selulosa, konsentrasi asam H2SO4 yang digunakan biasanya 0.5% sampai 5%. Katalis

asam ditambahkan pada bahan lignoselulosa dengan pH antara 1-5, kadang-kadang pH 2-4.5 dan lebih sering pada pH 2.5-3.5 saat pemanasan dimulai. Pada hidrolisis asam, hemiselulosa dapat efektif dipecah menjadi monomer-monomer gula seperti arabinosa, manosa, xilosa, dan galaktosa sedangkan selulosa terdegradasi menjadi glukosa. Terbentuknya monomer-monomer dari komponen serat empulur sagu dapat meningkatkan rendemen gula selain konversi glukosa yang hanya berasal dari komponen pati (Sun dan Cheng 2005).

Proses hidrolisis dengan menggunakan asam kuat berkonsentrasi rendah selain memberikan hasil penguraian glukosa juga menghasilkan produk samping yang dapat menghambat proses fermentasi. Penghambatan yang potensial adalah 5-hydroxymethilfurfural (HMF), furfural, asam levulenat, asam asetat, asam format, asam uronat, dan lain-lain (Taherzadeh dan Karimi 2007).

Banyaknya inhibitor yang terbentuk pada hidrolisis asam dipengaruhi oleh suhu, waktu dan konsentrasi asam yang digunakan. Pada suhu dan tekanan yang tinggi, xilosa dan glukosa akan terdegradasi menjadi furfural dan HMF, sedangkan lignin dapat terpecah (terdekomposisi) menjadi senyawa-senyawa fenol yang juga terbentuk selama proses degradasi karbohidrat. Inhibitor tersebut akan mengurangi hasil dan produktivitas mikroorganisme yang digunakan selama proses fermentasi karena bersifat toksik (Palmqvist dan Hahn-Hagerdal 2000).

2.5

PRODUKSI BIOETANOL

Etanol (C2H5OH) adalah zat kimia organik berbentuk cairan pada suhu kamar, berwarna jernih,

berbau khas alkohol, memiliki berat molekul 46.07, mudah terbakar dan dapat dibuat dari biomassa maupun fraksi minyak bumi. Bioetanol merupakan etanol yang terbuat dari bahan nabati yang mengandung gula (nira tebu, aren, molases), pati (ubi kayu, ubi jalar, sorgum, jagung) atau lignoselulosa (jerami padi, tongkol jagung, tandan kosong kelapa sawit, bambu, kayu) (Kadam et al. 2000).

Proses konversi bahan berpati dan berlignoselulosa menjadi etanol secara garis besar terdiri atas tiga tahap, yaitu perlakuan pendahuluan, hidrolisis komponen pati dan serat menjadi gula-gula sederhana, dan fermentasi gula-gula sederhana menjadi etanol. Etanol dapat diproduksi dari gula yang difermentasi oleh khamir pada kondisi yang sesuai. Penambahan khamir dapat dilakukan dalam bentuk kering atau sebagai suspensi. Bahan-bahan yang mengandung monosakarida seperti glukosa dapat langsung difermentasi, sedangkan pati, disakarida, selulosa, ataupun karbohidrat kompleks harus dihidrolisis menjadi komponen sederhana (monosakarida) terlebih dahulu untuk kemudian difermentasi (Sa`id 1987).

Metode hidrolisis dan jenis karbohidrat yang digunakan sebagai substrat digunakan untuk menentukan jenis mikroba yang akan dipakai dalam proses fermentasi, sebab berbeda metode hidrolisis dan kandungan gula yang terdapat pada substrat, maka berbeda jenis mikroba yang digunakan. Pada umumnya khamir digunakan untuk melakukan fermentasi menghasilkan etanol karena dalam proses metabolismenya khamir mengkonsumsi gula dari pemecahan karbohidrat membentuk etanol. Khamir atau yeast merupakan mikroba bersel satu yang bersifat mikroskopik; berbentuk bulat (speroid), elips, batang atau silindris; dan tidak mempunyai flagel, tetapi beberapa jenis tertentu dapat membentuk filamen (pseudomiselium). Khamir dengan bentuk yang tetap dapat digunakan untuk identifikasi. Khamir dapat dimasukkan ke dalam klas Ascomycetes, Basidiomycetes

dan Deuteromycetes. Khamir hidup di dalam tanah, debu di udara, daun-daun, nektar bunga, permukaan buah-buahan, tubuh serangga, dan cairan yang mengandung gula seperti sirup, madu dan lain-lain. Cara hidup khamir bersifat saprofit dan parasit (Campbell dan Priest 1996).

Khamir dapat tumbuh dan memfermentasi gula menjadi etanol secara efisien pada pH 3.5-6.0 dan suhu 28-35oC. Walaupun laju awal produksi etanol meningkat pada suhu lebih tinggi, produktifitas keseluruhan akan menurun karena efek penghambatan etanol yang meningkat (Ratledge 1991). Menurut Paturau (1969), fermentasi etanol memakan waktu 30-72 jam. Frazier dan Westhoff (1978) menambahkan bahwa suhu optimum untuk fermentasi antara 25-30oC dan kadar gula antara 10-18%. Jika konsentrasi gula terlalu tinggi, aktivitas khamir dapat terhambat dan waktu fermentasi menjadi lebih lama serta tidak semua gula difermentasi.

Kebutuhan nutrien dan kofaktor juga penting bagi kehidupan khamir. Sejumlah kecil oksigen harus disediakan dan biasanya diberikan pada tekanan 0.05-0.10 mmHg, jika tekanan lebih besar dari nilai tersebut, maka konversi gula akan cenderung kearah pertumbuhan sel. Khamir memerlukan media dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Unsur-unsur dasar yang dibutuhkan adalah karbon, hidrogen, oksigen, fosfor, zat besi dan magnesium. Unsur karbon banyak diperoleh dari gula, sumber nitrogen didapatkan dari amonia, asam amino, peptida, pepton, nitrat atau urea bergantung pada jenis khamir. Fosfor merupakan unsur penting dalam kehidupan khamir terutama untuk pembentukan alkohol dari gula (Kosaric et al. 1983 dalam Ruriani 2010).

Pada permulaan proses fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya sehingga fermentasi terjadi secara aerobik. Setelah terbentuk karbondioksida (CO2), reaksi akan

berubah menjadi anaerobik. Alkohol yang terbentuk akan menghalangi fermentasi lebih lanjut setelah tercapai konsentrasi antara 13-15% volume. Konsentrasi alkohol akan menghalangi fermentasi bergantung pada suhu dan jenis khamir yang digunakan. Khamir tumbuh dengan baik pada kondisi aerobik, walaupun demikian beberapa khamir dapat tumbuh pada kondisi anaerobik. Proses respirasi pada kondisi aerobik digantikan dengan proses fermentasi pada kondisi anaerobik. Khamir akan selalu berespirasi pada setiap keadaan yang memungkinkan karena energi yang dihasilkan pada respirasi jauh lebih besar daripada energi yang dihasilkan pada fermentasi. Bila terdapat udara pada

Dokumen terkait