• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Mikrob Pelarut Fosfat

2.2.1 Penyebaran Mikrob Pelarut Fosfat

Salah satu alternatif untuk meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat dalam mengatasi rendahnya fosfat tersedia dalam tanah adalah dengan memanfaatkan kelompok mikrob pelarut fosfat yaitu mikrob yang dapat melarutkan fosfat tidak tersedia menjadi tersedia dan dapat diserap oleh tanaman. Dalam tanah dijumpai fosfor organik dan anorganik, keduanya merupakan sumber penting bagi tanaman. Tanaman menyerap fosfor dalam bentuk H2PO4-, HPO4 2-dan PO43-. Pada umumnya bentuk H2PO4- lebih tersedia bagi tanaman daripada HPO42- dan PO43-. Ketersediaan fosfor anorganik sangat ditentukan oleh pH tanah, jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik serta kegiatan jasad mikro dalam tanah (Lal, 2002).

Efek pelarutan umumnya disebabkan oleh adanya produksi asam organik seperti asam asetat, asam format, asam laktat, asam oksalat, asam malat dan asam sitrat yang dihasilkan oleh mikrob pelarut fosfat. Mikrob tersebut juga memproduksi asam amino, vitamin dan zat pengatur tumbuh seperti asam indol asetat (IAA) dan asam giberelin (GA3) yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (Richardson, 2001; Arshad dan Frankenberger, 1993; Patten dan Glick, 1996).

Di dalam tanah dapat ditemukan mikrob pelarut fosfat anorganik yang jumlahnya sekitar 104-106 per gram tanah dan sebagian besar berada pada daerah perakaran. Populasi mikrob pelarut fosfat dari kelompok bakteri jauh lebih banyak dibandingkan dengan kelompok fungi. Jumlah populasi bakteri pelarut fosfat dapat mencapai 12 juta organisme per gram tanah sedangkan fungi pelarut fosfat

hanya berkisar dua puluh ribu sampai dengan satu juta per gram tanah (Alexander, 1977). Mikrob pelarut fosfat hidup terutama di sekitar perakaran tanaman yaitu di daerah permukaan tanah sampai kedalaman 25 cm dari permukaan tanah. Keberadaan mikrob pelarut fosfat berkaitan dengan banyaknya jumlah bahan organik yang secara langsung mempengaruhi jumlah dan aktivitas hidupnya. Akar tanaman mempengaruhi kehidupan mikrob dan secara fisiologis mikrob yang berada dekat dengan daerah perakaran akan lebih aktif daripada yang hidup jauh dari daerah perakaran.

Keberadaan mikrob pelarut fosfat dari suatu tempat ke tempat yang lainnya sangat beragam. Salah satu faktor yang menyebabkan keragaman tersebut adalah sifat biologisnya. Mikrob pelarut fosfat ada yang hidup pada kondisi asam, netral dan basa, ada yang hipofilik, mesofilik, dan termofilik, serta ada yang hidup di kondisi aerob atau anaerob. Pertumbuhan mikrob pelarut fosfat sangat dipengaruhi oleh kemasaman tanah. Pada tanah masam, aktivitas mikrob didominasi oleh kelompok fungi sebab pertumbuhan fungi optimum pada pH 5-5,5. Pertumbuhan fungi menurun bila pH meningkat. Sebaliknya pertumbuhan kelompok bakteri optimum pada pH sekitar netral dan meningkat seiring dengan meningkatnya pH tanah.

2.2.2 Mekanisme Pelarutan Fosfat

Fosfat di dalam tanah dapat dalam bentuk organik dan anorganik yang merupakan sumber fosfat penting bagi tanaman. Fosfat organik berasal dari bahan organik, sedangkan fosfat anorganik berasal dari mineral-mineral yang mengandung fosfat. Pelarutan senyawa fosfat oleh mikrob pelarut fosfat berlangsung secara kimia dan biologi baik untuk bentuk fosfat organik maupun anorganik. Mikrob pelarut fosfat membutuhkan adanya fosfat dalam bentuk tersedia dalam tanah untuk pertumbuhannya.

Mekanisme pelarutan fosfat secara kimia merupakan mekanisme pelarutan fosfat utama yang dilakukan oleh mikrob pelarut fosfat. Mikrob pelarut fosfat mengekskresikan sejumlah asam organik berbobot molekul rendah seperti oksalat, suksinat, tartrat, sitrat, laktat, alfa ketoglutarat, asetat, formiat, propionat, glikolat, glutamat, glioksilat, malat, fumarat. Meningkatnya asam-asam organik

tersebut diikuti dengan menurunnya pH. Penurunan pH juga dapat disebabkan karena terbebasnya asam sulfat dan nitrat pada oksidasi kemoautotrofik sulfur dan amonium, berturut-turut oleh bakteri Thiobacillus dan Nitrosomonas (Alexander, 1977). Perubahan pH berperan penting dalam peningkatan kelarutan fosfat (Thomas, 1985; Asea et al., 1988). Selanjutnya asam-asam organik ini akan bereaksi dengan bahan pengikat fosfat seperti Al3+, Fe3+, Ca2+ atau Mg2+ membentuk khelat organik yang stabil sehingga mampu membebaskan ion fosfat terikat sehingga dapat diserap oleh tanaman.

Pelarutan fosfat secara biologi terjadi karena mikrob tersebut menghasilkan enzim antara lain enzim fosfatase (Lynch, 1983) dan menghasilkan enzim fitase (Alexander, 1977). Fosfatase merupakan enzim yang akan dihasilkan apabila ketersediaan fosfat rendah. Fosfatase disekresikan baik oleh akar tanaman dan mikrob (Joner et al., 2000). Fosfatase yang dihasilkan oleh mikrob lebih dominan di dalam tanah. Pada proses mineralisasi bahan organik, senyawa fosfat organik diuraikan menjadi bentuk fosfat anorganik yang tersedia bagi tanaman dengan bantuan enzim fosfatase. Enzim fosfatase dapat memutuskan fosfat yang terikat oleh senyawa-senyawa organik menjadi bentuk yang tersedia.

Mikrob pelarut fosfat juga menghasilkan fosfat terlarut ke dalam tanah sehingga fosfat tersedia dalam tanah meningkat dan dapat diserap oleh akar tanaman. Unsur hara P diserap oleh akar tanaman melalui mekanisme difusi.

2.2.3 Isolasi Mikrob Pelarut Fosfat

Mikrob pelarut fosfat dapat diisolasi dari tanah yang kandungan fosfatnya rendah terutama di sekitar perakaran tanaman. Hal ini karena mikrob pelarut fosfat menggunakan fosfat dalam jumlah sedikit dan mampu memanfaatkan fosfat tidak tersedia untuk keperluan metabolismenya (Alexander, 1977). Adanya pelarutan fosfat oleh mikrob pelarut fosfat, maka fosfat tersedia dalam tanah meningkat dan dapat diserap oleh akar tanaman. Media selektif yang umum digunakan untuk mengisolasi dan memperbanyak mikrob pelarut fosfat adalah media agar Pikovskaya yang berwarna putih keruh karena mengandung P tidak larut seperti kalsium fosfat. Ciri terisolasinya bakteri pelarut fosfat pada media Pikovskaya adalah terbentuknya zona bening di sekitar bakteri. Zona

bening mencirikan bahwa bakteri tersebut mampu membebaskan fosfat dari kalsium fosfat yang digunakan dalam media Pikovskaya tersebut.

Kemampuan tiap mikrob pelarut fosfat tumbuh dan melarutkan fosfat berbeda-beda yang diidentifikasi dari waktu terbentuk dan luas zona bening. Mikrob pelarut fosfat yang unggul akan menghasilkan diameter zona bening yang paling besar dibandingkan dengan koloni yang lainnya.

Pengukuran kemampuan kuantitatif pelarutan fosfat dari mikrob dilakukan dengan cara menumbuhkan biakan murni mikrob pelarut fosfat pada media cair Pikovskaya. Sumber fosfat Ca3(PO4)2 dapat diganti dengan fosfat alam atau senyawa fosfat tidak larut lainnya. Medium disterilisasi dalam autoklaf dan kemudian diinokulasi dengan mikrob pelarut fosfat. Selanjutnya biakan tersebut diinkubasi. Kandungan P terlarut dalam media pikovskaya cair diukur dengan menggunakan metode Bray-1.

2.3 Tanaman Sawi Sendok

Tanaman sawi sendok mampu tumbuh pada ketinggian 5-2000 mdpl sehingga dapat ditanam pada dataran tinggi maupun dataran rendah. Tanaman sawi sendok tahan terhadap air hujan oleh karena itu dapat ditanam sepanjang tahun. Meski demikian, jumlah air yang berlebihan dapat menyebabkan tanaman menjadi lebih cepat busuk terutama pada bagian akar. Tanaman sawi sendok ini memiliki potensial untuk dibudidayakan dan memiliki harga yang tinggi. Selain itu manfaat sawi sendok sangat baik untuk menghilangkan rasa gatal di tenggorokan pada penderita batuk, penyembuh penyakit kepala, bahan pembersih darah, memperbaiki fungsi ginjal, serta memperbaiki dan memperlancar pencernaan. Sedangkan kandungan yang terdapat pada sawi sendok adalah protein, lemak, karbohidrat, Ca, P, Fe, vitamin A, vitamin B, dan vitamin C (Aji, 2009).

2.4 Karakteristik Umum Latosol (Inceptisol)

Pusat Penelitian Tanah (1983) mendefinisikan Latosol sebagai tanah yang mempunyai distribusi kadar liat tinggi (lebih atau sama dengan 60%), remah sampai gumpal, gembur, dan warna relatif homogen pada penampang tanah

dengan batas horison baur. Kejenuhan basa (NH4OAc) kurang dari 30% sekurang-kurangnya pada beberapa bagian dari horison B di penampang 125 cm dari permukaan. Tanah latosol tidak mempunyai horison diagnostik kecuali jika tertimbun oleh 50 cm atau lebih bahan baru. Selain horison A umbrik atau horison B kambik, tidak memperlihatkan gejala plintik di dalam penampang 125 cm dari permukaan dan tidak mempunyai sifat-sifat vertik.

Latosol dijumpai di daerah dengan kondisi curah hujan dan suhu yang tinggi yaitu lebih dari 2000 mm/tahun dengan bulan kering kurang dari 3 bulan (Soepardi, 1983). Latosol mempunyai solum dalam (>3,5 m) dengan warna merah hingga coklat. Sifat lain yang menonjol dan penting dari Latosol adalah terbentuknya keadaan granular. Inceptisol adalah tanah-tanah yang selain memiliki epipedon okrik dan horison albik seperti yang dimiliki tanah Entisol juga mempunyai beberapa sifat penciri lain seperti misalnya horison kambik. Inceptisol adalah tanah yang mulai berkembang tapi belum matang yang ditandai oleh perkembangan profil yang lebih lemah.

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2012 sampai Juni 2012 di Laboratorium Bioteknologi Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan serta lahan milik CV. Meori Agro Jl. Atang Sanjaya KM 4 Pasir Gauk, Bogor.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Dokumen terkait